A.
Perlawanan Pangeran Diponegoro
Terbaginya Keraton Mataram menjadi
kerajaan (1755) bukan saja pertanda dari kemerosotan kerajaan yang diwariskan
oleh Sultan Agung, tetapi juga merupakan
krisi dalam kesadaran kulturan Jawa. Apalagi kemudian sebagian wilayah
Surakarta harus diserahkan kepada Pangeran Sambernyawa untuk menjadi
Mangkunegara. Sedangkan keratin Yogyakarta dipaksa Inggris untuk menyerahkan
wilayahnya untuk menjadi Pakualam. Semua peristiwa itu menunjukkan bahwa kerajaan
Mataram sduah tidak memiliki kekuatan politik dan militer lagi.
Abad ke 18-19 msyarakat masih belum
juga menemukan jalan keluar untuk mengatasi penetrasi kekuasaan politik dan
ekonomi Belanda. Para ulama dengan pesantren mereka seakan-akan menjauhkan dan
dijauhkan dari hal-hal yang menyangkut kepentingan bersama. Bahkan, keratin
harus tunduk kepada desakan Belanda. Campur tangan kolonial terhadap kehidupan Keaton
semakin tinggi, hingga seolah memarjinalkan ulama dari kehidupan keratin.
Dalam situasi ini lahirlah Antawirya
pada tanggal 11 November 1785, putra dari Sultan Hamengkubuwono III dengan
Raden Ayu Mangkarawati. Antawirya yang kemudian bergelar Pangeran Diponegoro,
dari kecil diasuh oleh Ratu Ageng di Tegalreja sambil mendalami ilmu al-Qur’an
dan Hadist. Meskipun berasal dari keluarga keratin, namun is jarang datang
kesana kecuali pada acara Grebeg Mulud dan Sungkeman hari Raya Idul Fitri
kepada ayahnya Sultan Hamengkubuwono III.
Semenjak meninggal ayahnya, tahta
jatuh kepada Pangeran Jarot (13 tahun) dan kemudian wafat digantikan oleh
Pangeran Menol (3 tahun). Berhubung kedua pangeran masih muda, maka pucuk
pimpinan di pegang oleh Patih Danureja IV yang dekat dengan Belanda, sehingga
banyak terjadi pergantian kultur keraton dengan kebudayaan Belanda. Berbagai
usaha sudah dilakukan P.Diponegoro untuk menyelamatkan keratin namun selalu
gagal.
Pada suatu hari Residen A.H.Smissaert
dengan Patin Danureja IV merencanakan membuat jalan raya, yang kebetulan
melintasi tanah milik P.Diponegoro. hal tersebut ditentang oleh beliau. Lalu
diajukan surat penolakan kepada residen, namun ditolak. Kemudian dilakukanlah
penyerangan terhadap pangeran Diponegoro. Pemanggilan pihak colonial terhadap
beliau tidak dipenuhi, malahan utusan keratin Sultan Mangkubumi justru malah
bergabung dengan P.Diponegoro melawan Belanda.
Tanggal 20 juli 1825 P.Diponegoro
mengumumkan secara resmi perang terbuka melawan Belanda, beliau berhasil
menjebol benteng Tegalreja dan melanjutkan perjalanan ke Bukit Selarong.
Masing-masing pengikutnya diberi tugas masing-masing mempertahankan posisi
mereka. Dari Bukit selarong ia menunjukkan kepada pasukannya suatu cahaya api
kemrahan tanda dibakarnya keratin Tegalreja dan mesjidnya oleh Belanda. Pada
peperangan tersebut, P.Diponegoro menanamkan tujuan yang ditanamakan kepada
pasukannya, yaitu :
Pertama, mencapai cita-cita
luhur mendirikan masyarakat yang bersendikan agama islam.
Kedua, mengembalikan keluhuran
adat Jawa, yang bersih dari pengaruh barat.
Tekad yang luhur tersebut memantapkan
hati para pengikutnya, tidak hanya itu masyarakat juga bersuka rela untuk
menyediakan dirinya menjadi prajurit. Hingga Belandapun kewalahan menghadapi
serangan dari pasukan P.Diponegoro ini. Berbagai upaya dilakukan untuk
mengalahkan pasukan ini, namun selalu gagal. Kemudian belanda menjalankan
siasat liciknya dengan dalih ingin melakukan perundingan perdamaian tanggal 28
Maret 1830, diundanglah P.Diponegoro ke Kantor Residen di magelang. Pihak
Diponegoro meminta kebebasan untuk merdeka dan bebas mendirikan kedaulatan,
namun ditolak. Ketika itu dilaksanakan rencana liciknya dengan menangkap
P.Diponegoro dan memindahkannya ke Semarang. Sampai akhirnya beliau di benteng
Ujung Pandang, Makasar. Dan menghabiskan sisa hidupnya disana. Selama dalam
pengasingan, beliau berhasil menulis Babad Diponegoro yang merupakan
penggalan kisah dari awal berdirinya kerajaan Mataram hingga perjuangan beliau
mengalahkan Belanda.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar