A.
LATAR BELAKANG
Hubungan antara kaum muslimin di kawasan
Melayu-Indonesia dan Timur Tengah, telah terjalin sejak awal islam. Para
pedagang Muslim berasal dari Persia, Arab dan anak benua India yang mendatangi
kepulauan Indonesia, tidak hanya untuk berdagang, tetapi dalam batas tertentu
juga menyampaikan atau menyebarkan Islam kepada penduduk setempat. Berbagi pola
dan cara dilakukan oleh para ulama muslin ini dalam menyebarkan Islam di
Nusantara, salah satunya melalui pengajaran tasawuf.
Tasawuf Islam bagaikan hutan belantara lebat dan penuh
resiko, hanya orang-orang kuat dan waspada yang dapat melewatinya. Resiko
tersesat digigit binatang buas dan berbisa dapat dihindarkan bila mawas diri
dan pedoman arah (kompas), begitu pula dengan seorang sufi, sufi yang berjalan
tanpa pedoman (al-qur’an dan Hadist dan lengah dari bisikan sekitarnya bukan
tidak akan celaka ditelan kesesatan.
Pada kesempatan kali ini pemakalah akan membatasi
pembahsan dalam makalah ini seputar Tokoh-tokoh besar Tasawuf di Nusantara dan
pemikirannya pada abad ke-17 dan 18. Dengan rincian bahasan sebagai berikut,
yaitu :
1.
Tokoh Tasawuf di Nusantara
abad ke-17 hingga 20.
2.
Perkembangan Ajaran Tasawuf
awal Islam di Nusantara.
B.
PEMBAHASAN
1.
Tokoh Tasawuf di Nusantara
abad ke-17 hingga 20
a)
Hamzah Fansuri
Syekh Hamzah Fansuri dilahirkan di Kota Barus sekitar
awal abad ke-17, sebuah kota yang seorang Arab zaman dahulu dinamai “Fansur”[1].
Itulah sebabnya dibelakang namanya disebut Fansuri[2].
Hamzah hidup pada masa pemerintahan Sultan Iskandar Muda dan iskandar Tsani
yang sangat peduli pada bidang pendidikan, sehingga ia sedari kecil dapat
mempelajari ilmu-ilmu agama, fiqh, tasawuf, kesusastraan dan lainnya. Kemudian
ia melanjutkan pendidikannya k India, Persia dan arab sehingga ia sangat
menguasai bahasa Arab, Persia dan Bahasa Urdu.[3]
Dia merupakan seorang penulis produktif yang menghasilkan bukan hanya
risalah-risalah keagamaan, tetapi juga karya-karya prosa yang sarat dengan
gagasan-gagasan mistis. Mengingat karya-karyanya, dia sering dianggap sebagai
salah seorang sufi awas paling penting di wilayah Melayu-Indonesia dan juga
seorang perintis terkemuka tradisi kesusasteraan Melayu.
-
Ajaran Wujudiah Hamzah
Fansuri
Syekh Hamzah Fansuri dikenal sebagai sufi pertama yang
mengajarkan teori Wujudiah di Nusantara, beliau sering mengutip pernyataan
syair-syair Ibn ‘Arabi serta ‘Iraq untuk menopang pemikiran tasawufnya. Selain
itu ajarannya ini juga bertolak dari etika keagamaan paham qodariyah, yang
diajarkan oleh Syekh Abd Karim al-Jilli.
Fahamnya ini mengajarkan bahwa Tuhan lebih dekat
daripada urat leher manusia itu sendiri, dan bahwa Tuhan tidak bertempat,
sekalipun sering dikatakan Ia ada dimana-mana.[4]Ia
menggambarkan wujud Tuhan bagaikan lautan dalam yang tak bergerak, sedangkan
alam semesta merupakan gelombang lautan wujud Tuhan. Oleh karena itu, manusia
harus selalu mengusahakan Fana’ Fillah (lebur) masuk kembali kepada Dzat
atau Wujud Tuhan dengan meninggalkan kecenderengan kepada dunia dan
meningkatkan keinginan kepada mati. Dengan penjelasan di atas dapat dikatakan
bahwa pokok ajaran ini bermuara pada Fana’ dan Baqa’. Seseorang yang
ingin dekat dengan Allah sedekat-dekatnya, maka terlebih dahulu harus
meninggalkan segala sesuatu yang dapat menjauhkan diri-Nya yakni harus
meninggalkan kehidupan dunia.
b)
Syamsuddin Sumatrani
Beliau adalah murid dari Hamzah Fansuri, yang juga
mengajarkan faham wujudiyyah. Ia hidupdi bawah lindungan Sultan Iskandar
Muda dan Mahkota Alam (1607-1636 M).
Dalam pemikiran tasawufnya, ia membahas tentang Martabar
Tujuh dan sifat dua puluh Tuhan. Konsep ini ia adopsi dari Muh Ibn
Fadlullah al-Buhanpuri seorang ulama kelahiran India. Ia mengajarkan bahwa sesuatu
yang ada di alam semesta, termasuk manusia, adalah aspek lahir dan hakikat yang
tunggal, yaitu Tuhan. Menurutnya Tuhan merupakan satu-satunya yang
berwujud, sesuai dengan firman Allah :
uqèd ãA¨rF{$#
ãÅzFy$#ur
ãÎg»©à9$#ur
ß`ÏÛ$t7ø9$#ur ( uqèdur
Èe@ä3Î/ >äóÓx«
îLìÎ=tæ ÇÌÈ
Artinya :
“Dialah yang Awal dan
yang akhir yang Zhahir dan yang Bathin; dan Dia Maha mengetahui segala
sesuatu”. (QS. Al-Hadid : 3)
Dia
mengajarkan bahwa manusia harus menjalani kehidupan sufi untuk mengenal allah,
mendatangi “rumah tuhan” melalui pintu-pintu-Nya. Apabila tidak demikian,
niscaya mereka akan di usir dan tirai-tirai akan dikembangkan untuk menutupi
rumah.
c) Nuruddin
al-Raniri
Ia
berasal dari India, keturunan Arab dan lahir di Raner (India) , hidup menjelang
akhir abad ke-16. Ia berguru kepada pamannya Muhammad Jilani dalam hal tasawuf,
ia melanjutkan pendidikannya hingga ke Haramayn, Hadramwt, dan juga India.
Beliau merupakan seorang sunni yang menganut faham tasawuf Rifa’iyah.
Sesampainya di Nusantara beliau mulai memperkenalkan ajaran tasawuf neo-sufisme
yang disampaikan melalui ajaran tarekat Rifaiyah yang ia pelajari ketika
belajar di Timur tengah dahulu. Di Aceh, ia mendapat dukungan dari Sultan
Iskandar Tsani, penguasa Aceh, dan ia menuduh ajaran wujudiyah hamzah
Fansuri dan Syamsudin as-sumatrani. Menurutnya, Allah itu berbeda dengan
makhluk dan makhluk juga berbeda dengan pencipta. Wujud Allah itu wujud yang
Esa, tidak ada sesuatu yang menyertainya. Oleh karena itu, mengatakan “Allah
adalah makhluk, dan makhluk adalah Allah” adalah suatu itikad yang sesat lagi
kufur. Beberapa pemikiran beliau mengenai wujudiyah, yaitu : pertama,
Allah itu Esa, jadi tidak dapat dikatakan bahwa ala mini adalah Allah atau
sebaliknya. Kedua, alam, merupakan hasil ciptaan dari allah, jadi tidak
mungkin Allah bisa bersatu dengan ciptaannya. Ketiga, wahdatul al-wujud
merupakan pengesaan dari wujud Allah, bukan berarti wujud Allah satu dengan
makhluk.
d) Abdur
Rauf as-sinkli
Lahir di
Singkil, belajar selama 19 tahun di Mekah, madinah dan kota lainnya. Dalam
suasana kisruh politik dan keagamaan di Kesultanan aceh, ia berangkat ke tanah suci
Makkah dan sepanjang perjalanan dari Yaman ke Makkah ia banyak belajar dari
ulama-ulama yang ia temui. Sekitar tahun 1642, ia kembali lagi ke Aceh dan
diangkat menjadi mufti kerajaan. Ia menulis kitab-kitab keagamaan kala itu,
baik fiqh, tafsir, tasawuf dan lainnya.
Dalam menghadapi
polemic antara hamzah fansuri, syamsudin as-sumatrani dan nuruddin ar-raniri,
belai mengambil jalan tengah yakni mencela pendapat orang yang mengatakan
Mukmin kafir itu akan menjadikan orang yang mengatakannya kafir, jika yang
bersangkutan ternyata tidak kafir. Dapat kita lihat bahwa Abdurrauf memiliki
pemikiran tasawuf yang mengkombinasikan tasawuf falsafinya Ibnu Aarab yang
bertumpu pada ide dasar bahwa yang
memusatkan perhatian pada pembahasan metafisika bahwa wujud hakikinya Allah itu
adalah satu, dengan tasawuf Amalinya Al-ghazali yang memusatkan upaya mengenal
Allah secara langsung, tanpa hijab. Pemikiran tasawuf yang dikembangkannya pada
dasarnya bercorakAmali. Buktinya dapat diliha dari amalan-amalan tarekat
syatariyah yang mengutamakan amalan syar’I seperti zikir, shalat, puasa, dan
wirid-wirid membaca bacaan kalimat tayyibah.
e) Burhanuddin
Ulakan
Lahir di
pariaman, bernasab kepada ibu dengan mewarisi suku Guci, pernah berguru kepada
Abdurrauf as-sinkli di Aceh.[5]
Ia merupakan murid yang mendapat perlakuan khusus dari gurunya selama belajar,
dikarenakan kepintarannya. Ia sangat
berperan dalam proses pengislamisasian di Minangkabau. Dengan menggunakan
pendekatan tarekat Syatariah, ia mengajak kaum muslim di Minangkabau untuk
kembali kepada ajaran yang lurus. Corak pemikiran tidak jauh berbeda dengan
gurunya Syeikh Abdurrauf, yang ia gunakan dalam meluruskan akidah sesat kaum
adat yang berkembang di Minangkabau kala itu. Dan pada masa beliau terkenal
perjanjian Bukit Mara Palam yang melahirkan kalimat filosofi Minangkabau
Adat Basabdi Syarak, Syarak basandi Kitabullah. Perjanjian tersebut
mendapat dukungan dari para ulama dan pemuka adat Ulakan, mengutip dari Djamal
Do’a dalam bukunya bahwa :
“Dukungan
itu dipertegas lagi dengan lahirnya 10 point pokok yang dibicarakan sebelum Perjanjian
Bukit Marapalam yang terbagi atas dua bagian yaitu : 4 jatuh pada adat, dan
6 jatuh pada pusaka”[6]
Hal
diatas merupakan salah satu bukti kesuksesan Syeikh Burhanudin dalam menyatukan
syara’ dengan adat di tanah Minangkabau.
f) Abdul
al-Shamad al-Palimbani
Ia
merupakan salah satu ulama yang berpengaruh diantara para ulama asal Palembang,
terutama melalui karya-karya yang beredar luas di Nusantara. Kebesaran
al-Palimbani pada abad ke-18 hampir menyerupai ulama-ulama yang ada di Timur
Tengah kala itu. Ia lahir di Palembang sekitar tahun 1116/ 1704 M putra dari
Abd al-Jalil yang berketurunan Arab YAman dan ibu Radin Ranti, seorang Putri
Palembang.[7]
Karya-karyanya, berisi tentang tauhid, keutamaan jihad di jalan Allah, bacaan
wirid-wirid tertentu, tasawuf dan lain sebagainya. Kebanyakan karyanya ditulis
dalam bahasa Melayu.
-
Pemikiran
tasawufnya
Ia
merupakan ulama hasil didikan Kota Haramayn, ketika disana sudah terjadi usaha
pembaharuan Tasawuf dari wujudiah kepada corak akhlaki, melalui karya Imam
Al-Ghazali. Ia percaya bahwa karunia Tuhan hanya dapat dicapai melalui
keyakinan yang benar kepada Keesaan Tuhan yang mutlak dan kepatuhan penuh pada
ajaran syariat. Meski ia menerima pendapat dari Ibnu Arabi namun ia tetap
menafsirkannya lewat ajaran Al-Ghazali.
Dia
memberikan tekanan dalam tasawufnya lebih banyak pada penyucian pikiran dan
perilaku moral. Dengan demikian tasawufnya lebih merupakan tasawuf akhlak atau
amali ketimbang tasawug falsafi. Melalui pendekatan derajat nafsu manusia dan
zikir yang dilaluinya ia akan dapat sampai pada ma’rifatullah. Untuk
memperoleh itu harus melewati empat jalan yaitu ; taubat, kauf (takut) dan
roja’ (pengampunan dari Allah), zuhud, sabar, syukur ikhlas, tawakkal,
mahabbah, ridha, dan ma’rifah.
g) Muhammad
Yusuf al-Maqassari
Merupakan
tokoh yang dikenal luas sejak dari Sulawesi Selatan, Jawa Barat hingga Arabi.
Ia dikenal tidak hanya dalam kealiman dan keilmuwannya saja namun juga berjasa
dlam perjuangan mengusir penjajahan Belanda di Nusantara. Dikenal dengan nama Tuanta
Samalaka oleh penduduk Makassar, lahir pada 1036/ 1626 M di Moncong Loe
Gowa.
-
Pemikiran
dan ajaran tasawuf
Ia
mempunyai pandangan seperti kebanyakan gurunya di Timur Tengah, yang mempunyai
keinginan untuk menjalankan tasawuf dan syariat secara beriringan, setelah
melihat banyak praktek-praktek penympangan ajaran tasawuf. Ia dikenal sebagai
seorang sufi yang menganut faham Neo-sufisme.
h) Wali
songo dan pemikirannya
Berikut beberapa contoh wali songo beserta
pemikirannya, yaitu :
1) Sunan
Bonang, dalam menyebarkan agama Islam selalu menyesuaikan diri dengan corak
kebudayaan masyarakat Jawa yang sangat menggemari wayang dan music gamelan.
2) Sunan
Drajat, menyadarkan manusia dari ambisi jabatan dan kedudukan dengan
bertasawuf, yang keduanya ini akan mendorong manusia untuk menikmati dunia itu
dengan pola hidup berfoya-foya dan pemuasan nafsu perut. Jika perut diisi
makanan dan minuman enak, timbullah nafsu serakah dan nafsu-nafsu lainnya.[8]
Oleh karena itu ia menyarankan kepada murid-muridnya untuk mengurangi makan dan
perbanyak ibadah.
3) Sunan
Kalijaga, pemikiran kesufian yang ditampilkannya adalah konsep zuhud.
Menurutnya, masyarakat harus bekerja dan beramal. Orang boleh bekerja demi
memenuhi kebutuhan hidup namun harus memperhatikan halal dan haramnya kekayaan
tersebut. Sekalipun dunia ini penting, tetapi memperolehnya harus dengan cara
yang halal dan menjauhi yang haram bahkan subhat pun dihindari.
i)
H. Abdul Malik Karim Amrullah (Hamka)
Lahir di Desa Tanah Sirah
Nagari Sungati Batang, di tepi danau Maninjau Sumatera Barat tanggal 13
Muharram 1362 H. ayahnya seoram ulama terkenal yang mempunyai sekolah Thawalib di
Padang Panjang. Sikap progresif ayahnya telah menurun padanya sehingga ia
menjadi tidak puas dengan perdebatan antar tokoh agama kala itu, hingga ia
memutuskan untuk menuntut ilmu lebih jauh lagi.
-
Pemikiran tasawuf Buya Hamka
Buya Hamka merupakan seorang
tokoh reformis, dimana menurutnya terdapat gejala yang tidak bisa dibenarkan
oleh ajaran islam. Imaje tasawuf sebagai ilmu yang membuat manusia mudah
menyerah, pasif dan menyerahkan diri pada takdir dapat dirobah sedemikian rupa,
sehingga tasawuf dirasakan sebagai suatu ilmu yang berharga yang dapat
meningkatkan semangat beragama. Buya menegaskan, hidup adalah untuk meraih
bahagia. Dan bahagia itu terdiri dari lima tingkatan, yaitu :
1) Merasakan
kelezatan hidup dengan mengetahui batas-batas yang sebenarnya.
2) Perasaan
hati, menyadari hal-hal yang patut dihargai dan dan sebaliknya.
3) Menyadari
posisi dan perannya dalam keluarga dan masyarakat.
4) Profesionalisme,
yakni intelektualitas dan kreatifitas.
5) Aktif
dan dinamis.
Manusia dapat meraih bahagia
dengan perbuatan-perbuatan dan sifat-sifat yang baik, yang terlahir dari jiwa
yang bersih dan suci. Melalui pandangan buya yang luas terhadap ilmu tasawuf,
kelihatan sekali bahwa beliau bukan saja mengkritik tasawuf yang telah dislah
artikan oleh berbagai kalangan dalam dan luar tasawuf, namun beliau dengan
bijaksana sekali menempatkan tasawuf sebagai ilmu tradisionil Islam yang begitu
dibutuhkan bagi penghayatan nilai-nilai Islam.
2.
Ajarah Tasawuf awal
perkembangan Islam di Nusantara
a.
Panteisme
Pada abad ke-17 M,
wilayah Aceh telah banyak dihuni oleh para ulama yang bermazhab syafi’I. dalam
catatan Syihab, setidaknya terdapat empat ulama Aceh yang berhasil memperkaya
pemikiran keislaman Indonesia terutama tasawuf dan hokum islam, yang
pengaruhnya masih terasa hingga saat sekarang ini. Mereka adalah Hamzah
Fansuri, Syamsudin as-Sumatrani, Nurrudin ar-Raniri dan Abdurrauf as-Sinkili.
Hamzah fansuri dan Syamsudin as-sumatrani adalah dua orang guru dan murid
sebagai pelopor tasauf “panteisme”. Mereka memiliki pengaruh yang sangat kuat
lewat karya tulisnya baik Samitu bahas
Arab maupun Indonesia.[9]
Panteisme merupakan corak mistik yang mengnggap mungkinnya kesatuan antara
Tuhan dan Para Hamba yang dcintai-Nya yaitu para guru sufi.[10]
Selain itu, perlu kita keahui bahwa Pantheisme berasal dari kata yunani, yaitu pan yang berarti
semua dan theos
yang berarti Tuhan. Mengutip pendapat
Syamsul Munir Amin dalam Karomah Para Kiai, mengatakan bahwa :
“Panteisme merupakan
suatu faham tasawuf yng mengajarkan penyatuan antara hamba dengan Zat Tuhan
atau manunggaling Kaula lan Gusti”.[11]
Jadi pantheisme
adalah paham yang menganggap Tuhan adalah immanen [ada di dalam]
makhluk~makhluk. Dengan kata lain Tuhan dan alam adalah sama.[12]
Kaum sufi falsafi menganggap bahwasanya tiada sesuatupun yang wujud kecuali
Allah, sehingga manusia dan alam semesta, semuanya adalah Allah. Mereka tidak
menganggap bahwasanya Allah itu zat yang Esa, yang bersemayam diatas Arsy namun
selalu berada dalam setiap pergerakan yang dilakukan oleh hamba-Nya.[13]
Dari pengertian di atas
dapat di jabarkan bahwa seseorang yang menganut faham Panteisme, maka segala
sesuatu yang dilakukannya seolah-olah dilakukan oleh Allah ta’ala. Pantheisme
yang diyakini oleh kaum sufi falsafi adalah bertolak belakang dengan firman
Allah SWT. Yang telah menetapkan bagi diri-Nya itu tidak ada sesuatu pun yang
menyamai-Nya.
Allah berfirman ;
ãÏÛ$sù
ÏNºuq»yJ¡¡9$#
ÇÚöF{$#ur
4
@yèy_
/ä3s9
ô`ÏiB
öNä3Å¡àÿRr&
$[_ºurør&
z`ÏBur
ÉO»yè÷RF{$#
$[_ºurør&
(
öNä.ätuõt
ÏmÏù
4
}§øs9
¾ÏmÎ=÷WÏJx.
Öäïx«
(
uqèdur
ßìÏJ¡¡9$#
çÅÁt7ø9$#
ÇÊÊÈ
Artinya :
“
(Dia) Pencipta langit dan bumi. Dia menjadikan bagi kamu dari jenis kamu
sendiri pasangan-pasangan dan dari jenis binatang ternak pasangan- pasangan
(pula), dijadikan-Nya kamu berkembang biak dengan jalan itu. tidak ada
sesuatupun yang serupa dengan Dia, dan Dia-lah yang Maha mendengar dan
melihat”. (QS Asy-syura ; 11)
Jika
kita kaitkan dengan proses penyebaran Islam di Nusantara dengan menggunakan
metode panteisme ini, maka diperkirakan bahwa Islam tidak akan mudah diterima
oleh khalayak umum. Karena aturan yang dibuat disini terkadang tidak sesuai
dengan pemahaman setempat jiwa zaman masyarakat Nusantara pada abad itu. Bisa
dipastikan perkembangan Islam masa ini hanya berputar di sekitar orang-orang
yang meyakini dan percaya pada tasawuf panteisme tersebut.
b. Neo-Sufisme
Kehidupan askestisme (menghindar dari kekacauan
hidup di dunia) merupakan awal kehidupan tasawuf yang merupakan reaksi protes
pada keadaan pada abad VII dan VIII M khususnya masa dinasti Umayyah. Hal ini
akhirnya membawa sikap isolasi para sufi terhadap dunia dan nantinya akan
berujungan pada sikap pesimisme dikalangan para sufi. Hal itulah yang nantinya
melatarbelakangi munculnya tasawuf neo-sufisme.
Menurut Fazlur Rahaman, Neo-Sufisme
yaitu sufisme yang cenderung untuk menimbulkan aktivitas social dan menanamkan
kembali sikap positif terhadap dunia.[14]
Konsep Neo-sufisme Rahman sesungguhnya menghendaki agar umat islam mampu
melakukan tawazun (penyeimbangan) antara pemenuhan kepentingan akhirat
dan dunia. Umat islam harus mampu memformulasikan ajaran Islam dalam kehidupan
social. Menurutnya, konsep ini mengandung dua arti yakni : pertama, mengembalikan
tasawuf kepada bentuk keberagamaan masa Rasulullah, namun dengan tetap menerima
kehidupan dunia dalam mendekati Tuhan. Kedua, mengembangkan potensi
tasawuf dalam menghadapi perkembangan zaman dengan memanfaatkan pengalaman intuisi.[15]
Konsep tasawuf Neo-sufisme ini sering
diterapkan oleh para ulama dalam ajaran tarekat, misalnya : syatariah,
tsamaniyah, dsb. Melalui ajaran tarekat ini di Nusantara diajarkan bagaimana
cara islam melakukan pendekatan kepada Rabb-nya melalui pendekatan-pendekatan
yang seimbang antara kehidupan dunia dan akhirat.
C. PENUTUP
Berdasarkan
penjelasan di atas telah di jeaskan mengenai perkembangan pemikiran kaum sufi
di Nusantara mulai dari Abad ke-17 hingga 20. Meskipun tidak disebutkn seluruh
ulama sufi yang ada, namun dapat dipahami bahwa Islam awal beredar di Nusantara
dilakukan melalui pendekatan tasawuf, yang bermula dengan pendekatan panteisme
hingga berakhir dengan pendekatan neo-sufisme
DAFTAR PUSTAKA
Yunus,Abd.rahim, 1995, Posisi Tasawuf dalam Sistem
kekuasaan di Kesultanan Buton Pada Abad ke-19, Jakarta, INIS
Azra, Azyumardi, 1995, Jaringan Ulama Timur Tengah hingga
Kepulauan Nusantara Abad XVII dan XVIII, Bandung, Mizan
Samad, Duski, 2000, Sufi Nusantara dan pemikirannya,
Jakarta, The Minangkabau Foundation
Solihin, M., 2005, Melacak Pemikiran Tasawuf, Jakarta,
PT Raja Grafindo
D’oa, Djamal, 2002, Syeikh Burhanuddin dan Islamisasi di
Minangkabau,Jakarta, The Minangkabau Foundation
Zuhri, Saifuddin, 1981, Sejarah Kebangkitan Islam dan
Perkembangannya di Indonesia, Bandung ,Al-Ma’arif,
Fuad, Mahsun, 2005, Hukum Islam Indonesia : dari nalar
partisipatoris hingga emansipatoris, Jakarta, LKis
Simuh, Sufisme Jawa, 1995Yogyakarta ,Yayasan Bentang
Budaya
Amin, Syamsul Munir, Karomah Para Kiai, Yogyakarta,
LKis ,2008
Ali Mudofir, 1996, Kamus Teori Dan Aliran dalam Filsafat Dan Teologi, Yogyakarta,
UGM Press
Kholiq, Abdurrahman Abdul,
2001, Penyimpangan-penyimpangan
Tasawuf, terj., Jakarta, Robbani Press
Mahmud Gobel, 2008, Gerakan Neo-sufisme “studi atas
pemikiran Tasawuf Fazlur Rahman”, Jakarta
[1]
Abd.rahim Yunus, Posisi Tasawuf dalam Sistem kekuasaan di Kesultanan Buton
Pada Abad ke-19, (Jakarta : INIS, 1995), h.57
[2]
Azyumardi Azra, Jaringan Ulama Timur Tengah hingga Kepulauan Nusantara Abad
XVII dan XVIII, (Bandung : Mizan, 1995), h.167
[3]
Duski Samad, Sufi Nusantara dan pemikirannya, (Jakarta, the Minangkabau
Foundation, 2000), h.10
[4] M.
solihin, Melacak Pemikiran Tasawuf, (Jakarta : PT Raja Grafindo,2005),
h.34
[5]
Djamal d’oa, Syeikh Burhanuddin dan Islamisasi di Minangkabau, (Jakarta
: The Minangkabau Foundation, 2002) h.8
[6]
Ibid, h.92
[7]
Lopcit, h.64
[8]
Saifuddin Zuhri, Sejarah Kebangkitan Islam dan Perkembangannya di Indonesia,
(Bandung : Al-Ma’arif, 1981), h.281-282
[9]
Mahsun Fuad, Hukum Islam Indonesia : dari nalar partisipatoris hingga
emansipatoris, (Jakarta, LKis, 2005), h.35-36
[10]
Simuh, Sufisme Jawa, (Yogyakarta : Yayasan Bentang Budaya, 1995), h.15
[11]
Syamsul Munir Amin, Karomah Para Kiai, (Yogyakarta, LKis : 2008), h.317
[12]
Ali Mudofir, Kamus
Teori Dan Aliran dalam Filsafat Dan Teologi, (Yogyakarta:
UGM Press, 1996), h.177
[13]
Abdurrahman Abdul Kholiq, Penyimpangan-penyimpangan
Tasawuf, terj., J(akarta: Robbani Press, 2001), hlm. 59
[14]
Mahmud Gobel, Gerakan Neo-sufisme “studi atas pemikiran Tasawuf Fazlur
Rahman”, (Jakarta, 2008), h.8
[15]
Ibid, h.13
Tidak ada komentar:
Posting Komentar