A. PENDAHULUAN
Kolonialisme Barat terhadap dunia Islam
yang berkepanjangan menyebabkan kehidupan kaum Muslim di permukaan bumi jadi
terganggu dan merasa tercabik-cabik. Kehidupan mereka terhiasi formalisme
keberagamaan, kehidupan mistik yang tidak sehat, tahayul menggantikan sikap
orisinal Islam yang kreatif, lenyapnya daya kritis dan keimanan terdesak menyebabkan
pemikiran menjadi sempit.
Situasi demikian mendorong umat Islam
untuk mencari “sesuatu” sebagai tempat menggantungkan harapan untuk mendapatkan
rasa aman. Sebagian besar umat memilih untuk mengingat kembali masa lalu Islam
yang gemilang. Masa kesempurnaan Islam yang telah menjadi sejarah, yakni pada
masa Rasulullah dan para sahabat, zaman di mana Islam masih berada dalam
wilayah yang terbatas. Islam dalam ruang dan waktu demikian didefinisikan
sebagai ideal, murni atau autentik. Islam autentik (al-ashalah) telah
lama hilang dari masyarakat muslim, baik disebabkan kelalaian maupun oleh
karena “sengaja dicuri” orang lain (Issa J. Boulatta, 2000: 19-20). Oleh karena
itu, umat Islam memandang perlu mencari autentisitas Islam supaya umat Islam
mendapatkan kembali keemasannya.
Di Indonesia gerakan-gerakan Islam
puritan sering kali dinisbahkan pada gerakan Paderi di Sumatera pada awal abad
ke-19 dan kemudian diikuti oleh trio pembaharu pada awal abad ke-20, yaitu
Muhammadiyah, Al-Irsyad, dan Persatuan Islam. Perbedaan penampilan dan sasaran
garapan ketiga gerakan itu, tidak menghalangi kita untuk menarik suatu benang
merah yang menjadi ciri utama dari gerakan-gerakan purifikasi. Benang merah itu
ialah perlawanannya terhadap tradisi dan kepercayaan masyarakat yang koruptif
dan menyimpang, serta seruannya untuk kembali kepada ajaran yang murni.
B.
PEMBAHASAN
1.
Sekilas tentang Gerakan
Pemurnian dan Pembaharuan Awal Islam di Timur Tengah
Pembaharuan dalam
islam di awali di daerah Mesir di timur tengah, bertepatan pada abad ke-18 di
daerah Nejd oleh Muhammad Ibnu abd Wahab yang merupakan seorang ulama serta di
bantu oleh Muhammad Ibn Saud yang merupakan seorang penguasa di Kerajaan Saudi
Arabia saat ini. Gerakan pembaharuan ini, berawal karena munculnya
bentuk-bentuk penyimpangan terhadap ajaran Islam yang dilakukan di daerah ini
oleh masyarakat, diantaranya :
a.
Para penduduk mengunjungi
kuburan para sahabat seperti Zaid ibn Khatab di Zubailah, kuburan Dirar ibn
al-azwar di Ghubaira’ dan lan sebagainya sambil memohon kepada ahli kubur untuk
dilepaskan dari kesulitan dan kesusahan hidup serta mohon dikabulkan segala
permintaan.
b.
Wanita dan pria saling
berkunjung ke dusun al-fida yang banyak ditumbuhi pohon al-fahhal (kurma
jantan) untuk memohon berkat dan cepat dapat jodoh.
c.
Para penduduk mengirimkan
daging, roti serta hadiah-hadiah lain ke gua Binti Al-Amir yang mereka yakini
sebagai tempat keramat.
d.
Seorang buta yang bernama
taj dianggap sebagai wali, dan ia banyak dimintai berkat agar bisa menolak mara
bahaya.[1]
Dikarenakan adanya
penyimpangan-penyimpangan tersebut, akhirnya muncullah gerakan-gerakan yang
menolak terjadinya hal tersebut yang dipimpin oleh Muhammad Ibnu Abdul Wahab.
Dimana gerakan ini bernama “wahabiah” yang dinisbahkan kepada nama ayahnya
Wahab. Pemikiran yang dicetuskan oleh Muhammad ibn Abdul Wahab merupakan reaksi
terhadap suasan faham tauhid yang telah dirubah oleh ajaran tarekat, bukan
terhadap suasana politik.[2]
Abdul Wahab
dikenal sebagai mujaddid atau pembaharu dengan bantuan Muh Ibn Saud. Mereka
bekerja sama berjuang menegakkan Islam yang benar hingga khirnya lahirlah
kerajaan Saudi Arabia. Abdul Wahab berhadapan dengan ulama konservatif yang
menutup pintu ijtihad buat masa yang akan datang. Kekuatan dakwah Ibnu Saud
dibantu oleh fatwanya Abdul Wahab, dan suksesnya dakwah Abdul Wahab dibantu
oleh pedangnya Ibnu Saud.
Terdapat beberapa bahasan ajaran
wahabi ini, yaitu :
1)
Kalimat “laa ilaaha
ilallha” tidak sekedar diucapkan, tapi harus direalisasikan.
2)
Seseorang yang menjabarkan
tauhid tetapi tetap melakukan syirik, maka orang tersebut disebut kafir.
Sebagaimana
diutarakan sebelumnya bahwa kehidupan keagamaan di Nejd pada masa itu diwarnai
oleh berbagai bentuk syirik, khurafat dan bid’ah. Menghadapi situasi yang
demikian maka arah pemikiran dan kegiatan Muhammad ibn Abdul Wahab tertuju pada
beberapa visi, yaitu :
a.
Tauhid.
b.
Kekufuran dan peperangan.
c.
Ziarah dan membina kubur.
d.
Bid’ah.
e.
Ijtihad dan taklid.
f.
Imamah.
g.
Amar ma’ruf nahi Mungkar.
Namun, pada kesempatan kali ini pemakalah tidak akan
membahas terlalu jauh mengenai hal tersebut, karena batasan makalah ini lebih
difokuskan pada pembahasan pembaharuan ajaran islam di Nusantara khususnya
Sumatera Barat atau Minangkabau. Yang mana pembahasan lebih lanjut akan
dipaparkan pada bagian berikutnya.
2.
Timur Tengah dan
Pengaruhnya dalam Pembaharuan di Indonesia
Gerakan
pembaharuan Islam di Indonesia mulai berakar pada pergantian abad yang lalu.
Perkembangan dan penyebaran pembaharuan Islam itu berasal dari
kelompok-kelompok kecil yang mulanya terpisah satu sama lain, tapi merupakan
kekuatan bersatu yang harus diperhitungkan Belanda.
Sebenarnya
orang-orang Islam Indonesia pada saat dijajah oleh Belanda tidak pernah
terlepas dari perkembangan dunia pada umumnya. Inspirasi pembaharuan ini
sebagian berasal dari luar, terutama dari Timur Tengah, khususnya Saudi Arabia
(Mekkah) dan Kairo yang pada masa itu sedang mengalami pebaharuan juga.
Ditambah lagi terdapatnya lembaga pendidikan disana , merupakan pusat
pengajaran islam; di negeri ini pulalah semakin lama semakin banyak para pemuda
Indonesia memuaskan dahaga pengetahuannya. Tidak lupa, pemikiran-pemikiran
baru, seperti yang dikemukakan oleh Muhammad Abduh dan Rasyid Ridha
menggelorakan hati mereka untuk melakukan pembenahan juga di bumi tercinta.[3]
3.
Gerakan Pembaharuan
di Minangkabau (Gerakan Paderi)
Pada abad ke 16 Islam sudah masuk ke Minang Kabau,
setelah kejatuhan Malaka, terjadilah proses sinkretisme yang berjalan cukup
lama. Terdapat dua cara hidup berdampingan yang damai : adat lama dengan syara’
lama sama-sama dihormati. Hal ini antara lain digambarkan dengan pepatah, Adat
basandi syara’, syara’ basandi adat[4].
Dengan beginilah mula-mula Islam mengadakan penyesuaian dengan struktur dan
landasan masyarakat Minangkabau yang matrilineal, mengikuti garis keturuan ibu
dalam system kekerabatan dan hak waris.
Di akhir abad ke-18 situasi dikotomi dalam masyarakat
itu antara lain ialah adanya kecenderungan yang makin menjadi-jadi pada kaum
adat, seperti perjudian, sabung ayam, minum-minuman keras dan madat. Kebiasaan
seperti ini bahkan mendapat dukungan dari golongan raja, para bangsawan, dan
para penghulu.[5] Dengan
demikian adat sudah meninggalkan syara’, sehingga terjadi keprihatinan para
ulama.
Tuanku Koto Tuo, seorang ulama yang sangat dihormati,
mulai meletakkan dasar pemurnian islam dengan mengajak masyarakat kembali
kepada ajaran Al-qur’an dan sunnah. Namun pendekatan damai yang dilakukannya
tidak bisa diterima oleh muridnya yang lebih radikal Tuanku Nan Renceh, seorang
yang amat berpengaruh dan mempunyai banyak murid di wilayah Agam.
Perpecahan guru dan murid ini adalah awal sesungguhnya
dari “Gerakan Paderi”. Kelompok radikal ini mendapat kekuatan baru pada tahun
1803 M. ketika tiga ulama ; Haji Miskin (Pandai Sikat), Haji Sumanik (dari VIII
Kota) dan Haji Piobang (dari Lima Puluh Kota) pulang dari Mekah. Mereka pulang
dengan membawa semangat Islam yang diilhami oleh Gerakan Wahabi yang puritan.
Di daerah Luhak Agam, para Tuanku mengadakan persatuan
dan kebulatan tekad untuk memperjuangkan tegaknya syara’ dan membasmi
kemaksiatan. Mereka itu terdiri dari : Tuanku Nan Renceh, Tuanku Basa, Tuanku
Galung, Tuanku Lubuk Aur, Tuanku Padang Lawas, Tuanku Padang Luar, Tuanku Kubu
Ambelan, dan Tuanku Kubu Sanang. Ke delapan ulama pederi ini disebut orang
dengan Harimau nan salapan.[6]
Karena Tuanku Koto
Tuo menolak, maka mereka meminta kesediaan Tuanku Mensiangan, putra dari Tuanku
Koto Tuo untuk bertindak sebagai pemimpin. Pada mulanya gerakan paderi
dilakukan dengan jalan nasehat-nasehat melalui ceramah agama yang
diselenggarakn di surau atau mesjid. Konflik terbuka dengan kaum adat terjadi,
ketika kaum adat mengadakan pesta menyabung ayam di Kampung Batu Batabuh.[7]
Tindakan pesta maksiat tersebut mengundang kemarahan Kaum Paderi, sehingga
Tuanku Koto Tuo yang sudah tua dan tidak suka akan tindakan kekerasanpun ikut mengecam
tindakan dari kaum adat. Peristiwa itu menandai dimulainya perang Paderi
melawan kaum adat. Kedua belah pihak memiliki seragam yang khas, yaitu kaum
Paderi berpakaian putih-putih dan kaum adat berpakaian hitam-hitam.
Dalam konflik
antara kaum adat dan kaum Paderi tidak semua penghulu dari kaum adat yang
melawan dan memusuhi kaum Paderi, bahkan cukup banyak penghulu yang berpihak
kepada Paderi. Disamping itu, penghulu di Lembah Alahan panjang mengikuti jejak
Kaum Paderi. Diantara penghulu tersebut berasal dari daerah Lubuk ambacang,
Jambak, Koto, Padang Lawas, Pasir, Mandiri, Padang Sikaduduk, Chaniago,
Marapak, dan lain sebagainya. Penghulu yang berpengaruh di Alahan Panjang,
Datuk Bandaro, merupakan pemimpin Paderi disana. Di daerah Tanah Datar dipimpin
oleh Tuanku Pasaman, yang kemudian bergelar Tuanku Lintau.
Diantara kedudukan
kaum paderi yang paling kuat adalah Bonjol. Disini didirikan benteng yang cukup
besar, didalamnya terdapat sebuah masjid, 40 rumah dan tiga gubuk kecil.
Ketika Datuk
Bandoro meninggal karena terkena racun, ia digantikan oleh Muhammad Syahab atau
Pelo ( Pendeto) Syarif yang kemudian dikenal dengan Tuanku Imam Bonjol. Ia
lahir pada tahun 1774, adalah anak dari Tuanku Rajanuddin dari kampung Padang
Bubus, Tanjung Bungo, daerah Lembah Alahan Panjang.
Perang saudara ini
terus meluas dan kemudian mengalami perkembangan baru setelah kekuasaan asing
mulai campur tangan. Pada waktu itu di pantai Sumatera Barat yang berkuasa
Inggris, kemudian menyerahkan kekuasaan itu kepada kolonial Belanda disebabkan
perjanjian London. Lalu kaum adat ini beralih minta bantuan kepada Belanda
untuk melawan kaum Paderi.
4.
Hubungan pemurnian
dan pembaharuan dengan pendidikan
Gerakan
pembaruan akan terus dilakukan dan tak akan pernah berhenti. Bisa saja, pembaruan
yang dilakukan hari ini, tapi karena satu hal, sehingga besok sudah tidak bisa
dilakukan lagi. Maka, pembaruan akan terus berlangsung. Begitulah seterusnya.
Muhammadiyah
selalu melakukan gerakan pembaruan. Muhammadiyah tanpa pembaruan, ibarat makan
sayur tanpa garam, maka rasanya hambar. Muhammadiyah harus selalu menjadi
pelopor. Sebagai pelopor, Muhammadiyah tidak boleh kehilangan kepeloporannya.
Karena
itu, pembaruan menjadi kebutuhan mutlak bagi warga pergerakan Muhammadiyah.
Jadi, pembaruan akan selalu terjadi dan terus berkembang.Dan, pembaruan itu
akan terjadi dalam semua bidang, tidak hanya terbatas pada bidang sosial.
Semuanya yang dilakukan harus dijalankan dengan tindakan nyata. Itulah yang
namanya amal syahadah.
warga
Muhammadiyah mendapatkan pedoman dan jawaban dalam masalah sosial keagamaan.
Tidak hanya masalah fikih tapi juga akidah, akhlak, dan masalah-masalah yang
lain
dengan
demikian dapat difahami, bahwa tajdid/ Amal Islami dalam Muhammadiyah mengalami
perubahan yang sangat berarti. Pada pase pertama tajdid dalam Muhammadiyah baru
pada tataran praktis dan gerakan aksi yang mengarah pada pemurnian akidah dan
ibadah, sebagai reaksi terhadap penyimpangan yang dilakukan oleh umat Islam
pada saat itu. Tema sentral tajdid pada pase ini adalah pemurnian. Kemudian
pada pase kedua sudah mulai terlihat pentingnya menyelesaikan masalah yang sama
sekali baru yang dihadapi umat Islam. Pada pase ini mulai dibahas bahkan
dirumuskan tajdid dalam arti modernisasi dan dinamisasi.
Rumusan
dan konsep tajdid diarahkan pada upaya untuk merspon perubahan masyarakat yang
berkaitan dengan al-umur al-dunyawiyyah. Pada pase ini tidak lagi berkutat pada
pemurnian aqidah dan masalah-masalah khilafiyah dalam fikih, tetapi lebih
diarahkan pada ijtihad insya’i. Sedangkan pada pase terakhir, tema tajdid dalam
Muhammadiyah tidak terbatas pada masalah purifikasi dan dinamisasi, tetapi
menuju rekonstruksi dan bahkan dalam batas tertentu melakukan dekonstruksi
terhadap ajaran normatif, menuju ajaran islam yang bersifat historis.sama
kuatnya dengan kecenderungan liberalis.
C.
PENUTUP
1.
Kesimpulan
Usaha purifikasi yang biasa disebut
sebagai gerakan tajdid, ishlah, atau salaf akan muncul dalam
masyarakat yang dipandang telah menyimpang dari ajaran Islam yang asli. Gerakan
purifikasi dengan semboyan “kembali kepada al-Quran dan Sunnah”.
Gerakan pencarian kemurnian Islam telah menjadi perhatian
para pemikir Muslim di berbagai kawasan Islam. Secara artifisial para pemikir
sama-sama melakukan pencarian kemurnian. Gerakan ini telah telah menuai hasil
kemajuan di berbagai bidang kehidupan umat Islam. Antara lain menguatnya
kesadaran akan pentingnya pembaharuan pemikiran dan gerakan Islam.
DAFTAR PUSTAKA
Abdullah,
Taufik, Sejarah Umat Islam Indonesia, Jakarta : MUI, 1991
Kuntowidjojo,
Perang Paderi, Jakarta : Pusat Sejarah ABRI Dep. Hankam, 1973
Nasution,
Harun, Pembaharuan dalam Islam, Jakarta : Bulan Bintang, 1975
Noer , Deliar,
Gerakan Moderen Islam di Indonesia 1900-1942, Jakarta : LP3ES, 1982
Poesponegoro, M.
D. dkk, Sejarah Nasional Indonesia IV, Jakarta : Balai Pustaka, 1993
Saifullah, Tokoh
dan Gerakan Pembaharuan dalam Islam di Kawasan Timur Tengah, Padang: IAIN
“IB” PRES, 2006
[1]
Saifullah, Tokoh dan Gerakan Pembaharuan dalam Islam di Kawasan Timur Tengah,
(Padang: IAIN “IB” PRES, 2006, h. 3)
[2]
Harun Nasution, Pembaharuan dalam Islam, (Jakarta : Bulan Bintang, 1975,
h.21)
[3]
Deliar Noer, Gerakan Moderen Islam di Indonesia 1900-1942, (Jakarta :
LP3ES, 1982.h.316)
[4]
Marwati Djoened P. , Nugroho Notosusanto, Sejarah Nasional Indonesia IV, (
Jakarta : balai pustaka, 1993. h. 168)
[5]
Kuntowidjojo, Perang Paderi, (Jakarta : Pusat Sejarah ABRI Dep. Hankam, 1973,
h. 89)
[6]
Taufik Abdullah, Sejarah Umat Islam Indonesia, (Jakarta : MUI, 1991,
h.155-156)
[7]
Opcit, h.106
Tidak ada komentar:
Posting Komentar