Hai Dear, wellcome to my Blog

Kamis, 17 Oktober 2013

My Love Spirit

Merekalah yang selalu ada untukku, Keluargaku tercinta dan terkasih.


MAKAM ONGKU KIRAMAT YANG TERLUPAKAN


Saat semua orang tengah sibuk menggali sejarah di Lintau, kiranya tak berlebihan jika kami menghimbau kepada Pemda Tanah Datar menggali kesejarahan almarhum yang dimakamkan di Padang Lowe, Tepi Selo. Almarhum disebut penduduk setempat ONGKU KIRAMAT, sebagai orang yang saleh di jamannya.

Kami menyadari bahwa urusan almarhum dengan dunia ini sudah lama selesai, namun sebagai anak nagari Minangkabau, apa salahnya kita belajar dan mengambil hikmah dari kehidupan pribadinya sebagai i'tibar bersama.


Selasa, 15 Oktober 2013

Asal Usul kata Melayu dan Minangkabau

Prof.Dr.Husain Naimar, guru besar antropologi Universitas Madras menerangkan bahwa kata melayu berasal dari bahasa Tamil.Malai berarti gunung, malaiur adalah suatu suku bangsa pegunungan dan sebutan malaiur fonetis menjadi melayu. Penduduk sebelah pesisir selatan pegunungan Dekkan adalah orang malabar,orang minangkabau menyebutnya malabari. Malayalam adalah bahasa yang dipergunakan oleh suku bangsa dravida yang mendiami pegunungan. Di minangkabau menurut penelitian Prof.Husein Naimar banyak terdapat kata-kata tamil dan sanskerta hal ini membuktikan adanya hubungan sejarah antara Minangkabau dan Malabar.

Di Malabar pun sistem masyarakatnya juga menurut garis keibuan dan pusako tinggi turun dari mamak ke kemanakan. Prof. Yean quisiner dari salah satu universitas di Pris meneliti ke minangkabau , mendaptkan adanya hubungan antara Minangkabau dengan Burma, Muangthai,Kamboja dan Vietnam bukti adanya hubungan terlihat dari kata pagaruyung paga (suku matriakat seprti juga dijumpai pada suku khazi, malabar dan lainnya) “ru” artinya pusat “yung” (danyun)artinya kerapatan, jadi Pagaruyung dapat diartikan pusat kerapatan suku yang menganut sistem keibuan durian ditakuak rajo adalah perobahan fonetik dari durum patakai raya.

Du : kata bilangan dua/seluruhnya
Rum : kerekel/pasir
Pataka : dataran pantai
Raya : luas/besar

Masa sejarah digolongkan kepada masa setelah adanya tulisan pada benda peninggaklan sejarah seprti prasati, candi dan sebagainya, masa sejarah tidak sama untuk setiap suku bangsa contoh misalnya bangsa Mesir memulai masa sejarahnya setelah 4000 SM, bangsa India 3000 SM dan Indonesia 400 SM., 500-300 SM dari India selatan mereka mengarungi samudera memasuki pantai timur Sumatera antara lain Muara Kampar bersama dengan itu suku bangsa dari Birma, Kamboja, Vietnam melalui lembah sungai Irawali.

Perpindahan ini berjalan bertahun-tahun bahkan berabad-abad dua kelompok ini sama-sama mempunyai ikatan matrilinear ada kelompok yang mencari aliran sungai pada saat perpindahan ini apa yang terjadi di belahan dunia yang sudah lama memasuki zaman logam antara lain dapat kita jelaskan sebagai berikut :

India berkembang agama budha yang dibawa Sidharta Gautama (563-483 SM). Gautama adalah putera Raja Sudhodana dari kerajaan Kavilawastu yang wilayahnya meliputi Nepal, Bhutan dan Sikkin, 1600 SM di India sudah pula berkembang agama Hindu (mahabratha). China di kala itu dikuasai Dinasti Chou tahun 1050-256 SM waktu itu hidup filosof Konfutse, Laotse dan Mengtse

Kedua daerah itu adalah tempat turunnya ras dentro malayutermasuk Minangkabau, dapat dipastikan gelombang 2 yang datang 500-400 SM beragama Budha dan Hindu, dilihat secara kontekstual kemungkinan mereka yang turun dari Burma, Kamboja dan Thailand sebagai embrio suku besar melayu di Minangkabau (suku melayu di Minangkabau adalah Melayu, Bendang, Kampai, Mandahiling dan Panai) dan mereka yang datang dari India Selatan (pantai timur) adalah embrio suku Jambak, Pitopang, Salokutiannyia, Bulukasok dan Banuhampu atau sebaliknya namun kedua kelompok ini disbut sebagai Melayu Continental.

Dalam rentang waktu 500-400 SM itu mereka telah membentuk kekuasaan budaya seperti raja gunung dan raja sungai agama Budha sudah dikembangkan pada saat itu kemungkinan saja pada periode ini mereka sudah sampai ke hulu Batang Kampar, hulu Batang Rokan, hulu Batanghari dan hulu sungai lainnya.

Situasi kehidupan masyarakat waktu itu hidup dengan berdagang, sawah dan mulai berkembang pertambangan emas dan hasil hutan lainnya, ada yang berpendapat sudah ada terbentuk nagari sumkayam atau nagari Minangkabau sekarang tetapi akhirnya dibantah oleh karena konsep nagari baru muncul setelah rombongan kedua datang ke Minangkabau.
Ada pertanyaan dengan apa mereka menyelusuri dataran tinggi Minagkabau jawabannya adalah dengan kerbau oleh karena agama yang dianutnya perlu menyayangi binatang kerbau,gajah, lembu , sehingga dari kerbau ini mereka dapat mengembangkannya permainan rakyat melalui adu kerbau. Dr Nooteboom memperkuat alasan tentang kegiatan berlayar yang dimiliki oleh ahli Yunani zaman purba Strabo dan Pilinius bukanlah Srilangka akan tetapi adalah Sumatera atas dasar itu Dr Nooteboom(pengikut zulkarnain) ketika ia berlabuh di India berarti sudah ada hubungan Minangkabau dengan India berkenaan waktunya adalah 336 SM

Asal-usul Nama Minangkabau :
a. Drs Zuhir Usman bahwa di dalam hikayat raja-raja Pasai Minagkbau diartikan menang
adu kerbau
b. Hal ini mendapat bantahan dari Prof.Dr. Purbacaraka hal ini bersifat legenda
beliau mengatakan bahwa Minagkabau berasal dari Minangtamwan artinya pertemuan dua
muara sungai.
c. Prof Van de Tuuk menerangkan bahwa Minangkabau asalnya dari Pinang Khabu yang
artinya tanah asal
d. Prof Dr Husein Naimar menyatakan bahwa Minagkabau adalah perubahan fonetik dari
menonkhabu bahsa tamil yang artinya tanah pangkal

Perang di Tanjung Barulak

Oleh : Ricky Saiful an Group Kerajaan-kerajaan Minangkabau
Dalam banyak buku yang menuliskan kisah tentang peristiwa berdarah di Koto Tangah, jarang penulis menyinggung tentang perang di Tanjung Barulak sebagai asal muasalnya, termasuk tentang alasan tuntutan hukuman mati beberapa orang keluarga raja Minangkabau.

Dalam catatan umum yang biasa kita baca bahwa pertemuan di Koto Tangah itu adalah pertemuan antara kaum paderi yang diwakili oleh Tuanku Lintau dengan kaum adat yang diwakili oleh keluarga raja. Kemudian terjadilah pembunuhan keluarga raja dan hanya beberapa orang saja yang selamat menurut shahibul hikayat. BENARKAH DEMIKIAN FAKTANYA?

Mari kita simak sedikit catatan yang masih bisa kita lihat dalam buku yang ditulis E. Francis yang berjudul “Herinneringen uit den Levensloop van een Indische Ambtenaar van 1815 tot 1851, Medegedeeld in brieven door E. Francis, Ridder der Orde den Nederlanhschen Leeuw, President Javasche Bank, Oud Hoofdambtenaar, Batavia, HM Van Dort, 1859, blz 74-75”

Deze maatregel maakte een geweldigen indruk op de overige weerspanningen, die zich toen dadelijk aan hem onderwierpen, uitgenomen het district Tandjong Barula, dat zih hardnekkig tegen zijn leer bleef verzetten, en hem dwong het te beoorlogen en dus tot gehoorzaamheid te noodzaken. Spoedig echter werd hij door eenige naastbestaanden der vorsten van Pagger Roeijoeng gedwongen, die plaats te verlaten, maar hij keerde ook kort daarna terug en hernam haar met geweld. Hierop verzocht hij eene bijeenkomst van alle vorsten en grooten van Tana Datar te KOTTA TENGA, en in deze vergadering liet hij uit hun midden om het leven brengen Jang di Pertoean Radja Narro, Jang di Pertoean Radja Tallang, broeder van den verbannen Regent van Manangkabauw, een den zoon van den oudvorst van Manangkabauw, Radja Moening, terwijl hij hen ketters verklaarde, die tegen de godsdienst hadden gezondigd, omdat de eerste hem te Tandjong Baroela had beoorlogd, en de beide andere dien daarin hadden ondersteund.

BACA KATA DEMI KATA, pahami dulu dan jangan terperangkap dengan pemahaman yang selama ini kita baca dari banyak buku yang ada.

GELAR

Oleh : Anthon Lubuk in Group Kerajaan-Kerajaan Minangkabau
tanpa kau tulis dengan jelas di depan namamu setumpuk gelar kebangsawananmu,
orang - orang akan tahu dan bisa menilaimu dari apa yang dilihat dan dirasakannya saat melihatmu.
lagi pula jika mereka tidak mau memanggilmu dengan gelar itu, bukankah itu tak mengapa?
bukankah hanya mereka leluhur kita yang pernah dilantik menjadi raja di zamannya ?
yang kebetulan juga mewariskan setetes darah di raga kita.
hanya saja gelar yang diberikan orang itu ada juga yang mengartikan sebagai wujud penghargaan mereka pada leluhur kita yang pernah bertahta dalam sebuah kerajaan.
walaupun saat ini ada banyak orang yang gila gelar, padahal sejarah tdk pernah mencatat leluhurnya sebagai raja di zaman kerajaan dulu.
ya GILA GELAR, adalah suatu penyakit turun - temurun yang selalu ada di setiap generasi.

ini juga terjadi pada gelar Keilmuwan,
terkadang ditemui nama dengan Gelar keilmuwan yang banyak, serasa lagi menulis di atas sebuah formulir, bahkan banyak orang yang merasa sulit mengucapkan namanya sendiri akibat gelar keilmuwannya yang panjang dan banyak.
memang suatu kebanggaan mengucap atau menuliskannya agar orang lain tahu.
tapi bukankah gelar keilmuwan itu bisa terlihat dari cara berfikir kita, sikap dan tingkah laku kita dalam berbuat dan berbicara, cara pandang kita dalam melihat suatu masalah, dan juga cara kita menata hidup?
tanpa harus menuliskannya dengan lengkap, mereka juga bisa tahu.
kecuali jika memang diperlukan menuliskan nama lengkap kita denga gelar untuk keperluan pekerjaan atau hal - hal formal lainnya.
masih untung juga jika gelar itu diraih karena memang telah melalui proses belajar yang semestinya, karena jaman sekarang budaya membeli gelar keilmuwan sudah jadi trend.
bahkan tanpa malu memasangnya dengan bangga.
tenyata GILA GELAR tidak hanya berlaku untuk gelar kebangsawanan, ini juga berlaku dalam gelar keilmuwan.

padahal jika kita mau sedikit berfikir..
gelar tertinggi semua umat manusia di dunia ini adalah HAMBA Tuhan,
yang akhirnya nanti meninggalkan dunia juga hanya dengan gelar itu, tanpa embel - embel gelar lainnya.
mungkin tak akan ditemui lagi orang - orang yang terjangkit Virus GILA GELAR ini.

Serangan ke Sulit Air masa Perang Paderi

Raffik Dylova said:

Catatan lain, yang menyebutkan penyerangan ke Sulit Air itu memakan waktu 5 hari, dan meninggalkan kehancuran yang luar biasa. Dengan kata lain penduduk Sulit Air pada waktu itu ‘pergi’ ke suatu tempat. Saya baru menduga mereka pindah ke Padang Barimbiang dan Kinari Kabupaten Solok, karena mereka mengaku berasal dari Sulit Air. Ada banyak pertanyaan yang menghinggapi saya selama ini :

1. Sebenarnya siapakah orang Sulit Air? Dan kenapa serangan pertama Belanda ditujukan ke negeri ini? Dalam hikayat disebutkan mereka tidak pernah beraja ke Pagaruyung, dan … tidak pernah disinggung-singgung dalam sejarah dan tambo sebelum masa itu. Hanya secuil pituah adat yang tersisa yang menyebutkan: ‘Sulit Air cumeti Koto Piliang’.

2. Benarkah pada kurun 1812-1821 ada pengumpulan pasukan Paderi di tempat tersebut?

3. Bila setelah serangan 1821 itu negeri menjadi kosong, kemudian siapakah orang-orang yang kemudian membangun kembali negeri tersebut, dan pada saat ini menjadi nagari terbesar di Sumatera Barat? Saya coba melakukan penelitian amatir selama ini, dan memang dalam tahap penyusunan puzzle. Sehubungan dengan pertanyaan nomor 2, saya menilai dari aspek geomorlogis belaka, kurang lebih sbb:

Bila kita berada di Ombilin Singkarak, terdapat dua jalan menuju ke bukit, satu ke arah Batusangkar-Pagaruyung dan satu lagi ke arah Bukit Kanduang – Sulit Air. Dari sejarah yang saya pernah dengar, sebelumnya titik di Simawang itu merupakan daerah strategis. Dan sebelumnya Inggris dikabarkan juga membangun semacam pos di tempat tersebut. Dari titik ini sebenarnya dapat dipantau ‘jalan dagang’ ke arah Batusangkat-Pagaruyung. Mengenai istilah ‘jalan dagang’ ini dapat dilihat pada Kamus Minangkabau karya Dr. Gusti Asnan. Karenanya cukup beralasan bila Belanda ingin menduduki titik ini sepenuhnya. Namun sebelumnya, saya mencurigai bila kaum Paderi juga telah menduduki titik ini.

Pada masa itu disebutkan, dari Talago Laweh Sulit Air dapat leluasa mata memandang sampai ke Padang Panjang. Apalagi bila sampai mendaki Gunung Merah, maka terlihatlah bentangan luas luhak Tanah Datar hingga perbatasan kedua luhak yang lain. Kuat dugaan saya bila pada masa 1812-1821 ada pengumpulan kekuatan Paderi di tempat tersebut. Namun tentunya telah ada pula pemukim awal yang telah tinggal di tempat tersebut, dan membangun budaya ‘cumeti Koto Piliang’. Untuk pertanyaan ke-3, saya sudah coba menghitung proyeksi mundur penduduk, untuk sekitar tahun 1840 ada kurang lebih 2.000 jiwa, atau sekitar 500 KK. Dan komposisi ini masih saya uji dengan total jumlah ruang rumah gadang. Bilamana pas, maka bisa sampai pada hipotesis: Sulit Air ‘dibangun baru’ pasca perang Paderi.

Kamis, 03 Oktober 2013

SEJARAH PERKEMBANGAN ISLAM DI PATANI THAILAND





David Brown secara menarik melihat gerakan Muslim di Thailand Selatan sebagai bagian dari reaksi atas ’kolonialisme internal di Thailand. Disparitas ekonomi antara pusat dan provinsi di pinggiran menimbulkan tumbuhnya semangat ’separatisme’, atau istilah Brown ’separatisme etnis’ yang terjadi di Selatan, Utara dan Timur Laut.

Masing-masing melibatkan melayu Muslim di Selatan, etnis perbukitan di Utara, dan orang Isan di Timur Laut. Identitas Muslim Melayu di Selatan, masyarakat komunis di Utara secara jelas berbeda dengan mayoritas Thai-Buddha, sedangkan di Timur Laut hanya berbeda etnis, yaitu kelompok Laos-Thai, meskipun agama sama.

Disparitas ini memang sangat mencolok, pada tahun 1983, jauh sebelum krisis moneter yang bermula di Thailand, Kota Metropolis Bangkok memiliki pendapatan per kapita, 51.441 bath, sementara Minoritas Muslim , Konflik Dan Rekonsiliasi Di Thailand Selatan 97 Selatan, 16.148 bath, tiga kali lipat lebih rendah dibandingkan Bangkok, sementara di bagian Utara, 12.441 bath dan wilayah Timur Laut, 7.146 bath.

Disparitas ini menimbulkan kekecewaan, kecemburuan dan rasatidak adil yang kemudian berakibat pada keinginan masyarakat untuk mengatur mereka sendiri (otonomi, dan merdeka).

Dua puluh empat tahun kemudian, kesenjangan inipun semakin lebar, karena pemerintah menaruh curiga atas tumbuhnya kekuatan masyarakat di wilayah ini, dan pembangunan tidak diprioritaskan.

Disparitas memiliki konsekuensi yang mendalam diluar aspek ekonomi, yaitu lambatnya peningkatan sumberdaya manusia, pendidikan yang tidak merata, dan tekanan kebijakan berbasis keamanan yang mengancam masyarakat.

Masyarakat serasa tidak di ’rumah’ mereka sendiri. Kesenjangan ini pula yang menurunkan tingkat nasionalisme masyarakat diluar mayoritas Thai-Buddha. Perbedaan yang mencolok antara Melayu Muslim di Selatan dan Buddha-Thai di seluruh wilayah Thailand dilihat oleh Ted Robert Gurr tidak pada keragaman etnisitasnya, tetapi lebih pada agamanya. Muslim di Selatan Thailand dan Buddha dianut hampir diseluruh Thailand.

Negara dengan penduduk multi agama dan multietnik mendapat tantangan besar bagaimana menyatukan mereka dalam payung satu nasionalisme. Apalagi beberapa etnik atau agama telah tumbuh dalam satu kekuatan dinamis selama ratusan tahun.

Sebagian gerakan separatisme muncul dari satu etnik atau agama yang mendapat kebijakan ’diskriminatif’ dari pemerintah pusat.

Kebijakan ini diciptakan untuk meredam menguatnya identitas lokal sehingga pemerintah pusat merasa terancam, atau sengaja dibuat untuk tujuan ’integrasi nasional’. Antara 1947 hingga 1953, beberapa negara baru di Asia Tenggara mendapat letupan kelompok yang menuntut ’otonomi khusus’ atau ’pemisahan diri’ dari pemerintah pusat.

Dua negara yang belum berhasil ’menaklukkan’ kelompok ini diantaranya Thailand Selatan dan Filipina.yang kebetulan sama-sama Muslim minoritas ditengah mayoritas Buddha di Thailand dan Kristen di Filipina. Sementara Islam menyebar ke berbagai negara di Asia Tenggara, diantaranya ke Thailand Selatan, atau dikenal dengan sebutan Muslim Patani, atau secara resmi di Thailand, Islam Pattani.

Tulisan ini akan mengupas dinamika Islam di Thailand Selatan dari aspek etnisitas (sosial) dan keamanan. Fokus utama pada perkembangan Muslim Pattani antara 2004 hingga Mei 2007. Periode ini sangat urgen tidak hanya karena banyaknya korban dalam kurun waktu ini, setidaknya 2000 korban meninggal, tetapi juga karena pemerintah Thailand mulai serius membicarakan upaya rekonsiliasi dengan mengacu pada integrasi Gerakan Aceh Merdeka (GAM) ke Indonesia.

Perdamaian Aceh menjadi model upaya perdamaian dan rekonsiliasi di Thailand Selatan.Identitas lokal di Thailand Selatan lebih dekat dengan Kelantan dan Kedah, Malaysia. Masyarakat secara tradisional lebih at home menggunakan bahasa Melayu dibandingkan bahasa Thai yang digalakkan oleh pemerintah pusat sebagai bahasa resmi negara. Keterpaksaan masyarakat Melayu Muslim di Thailand Selatan dirasakan selama puluhan tahun, sejak integrasi Melayu di selatan Thailand menjadi bagian dari Kerajaan Thailand.

Penggunakan bahasa Thai wajib digunakan di kantor kerajaan, pemerintah, sekolah dan media. Radio, TV dan media cetak harus menggunakan bahasa Thai sebagai medium pemberitaan. Media elektronik, khususnya radio lokal hanya Minoritas Muslim , Konflik Dan Rekonsiliasi Di Thailand Selatan 99 diperbolehkan menggunakan bahasa Melayu tidak lebih dari 20 persen keseluruhan programnya.

Strategi pemerintah Thailand memang membuahkan hasil. Dalam waktu sekitar 50 tahun, banyak generasi muda Melayu Muslim lebih suka berbahasa Thai dibandingkan bahasa Melayu, baik di sekolah maupun dalam pergaulan sehari-hari. Tetapi mereka ’dipaksa’ keluarga untuk berbicara dalam bahasa Melayu ketika mereka berkumpul dilingkungan keluarga.

Upaya menjaga ’tradisi nenek moyang’ menjadi bagian dari identitas terkuat bagi keluarga Muslim Melayu di Thailand Selatan yang berbeda dengan kebanyakan masyarakat Thai lainnya. Mereka menyadari bahwa niat memisahkan diri dari pemerintah Kerajaan Thailand hanyalah suatu mimpi lama, yang kini harus ditinggalkan.

Terintegrasi dengan Thailand, bersaing dengan mayoritas masyarakat etnis Thai yang Buddis adalah pilihan saat ini. Strategi yang perlu dibangun adalah memajukan pendidikan, mendukung pembangunan nasional, dan menjaga stabilitas lokal.

Hal yang terakhir masih menjadi kendala bagi penciptaan perdamaian di wilayah selatan. Berbagai teror, pembunuhan dan pengeboman sering terjadi dalam tiga tahun terakhir, dengan jumlah meninggal settidaknya 2000 orang, sejak Januari 2004. Anehnya, belum ditemukan kelompok yang bertanggung jawab dalam kerusuhan ini.

Ketika terjadi penyerangan atau pembunuhan yang melibatkan korban tentara, polisi atau masyarakat Buddha, yang dituduh adalah Muslim. Bahkan Thaksin menyebut istilah mereka ’Bandit Muslim’. Istilah yang menodai perasaan Muslim Melayu di selatan, karena pencitraan telah sengaja diciptakan oleh pemerintah, tanpa melihat lebih obyektif siapa yang terlibat.

Muslim di Thailand sekitar 15 persen, dibandingkan penganut Budha, sekitar 80 persen. Mayoritas Muslim tinggal di Selatan Thailand, sekitar 1,5 juta jiwa, atau 80 persen dari total penduduk, khususnya di Patani, Yala dan Narathiwat, tiga provinsi yang sangat mewarnai dinamika di Thailand Selatan.

Tradisi Muslim di wilayah ini mengakar 100 Minoritas Muslim , Konflik Dan Rekonsiliasi Di Thailand Selatan sejak kerajaan Sri Vijaya yang menguasai wilayah Asia Tenggara, termasuk Thailand Selatan.

Thailand Selatan terdiri dari lima provinsi: Pattani, Yala, Narathiwat, Satun dan Songkhla, dengan total penduduk 6.326.732 (Kantor Statistik Nasional, Thailand, 2002). Mayoritas penduduk Muslim terdapat di empat provinsi: Pattani, Yala, Narathiwat dan Satun, yaitu sekitar 71% diperkotaan, dan 86 % di pedesaan (YCCI, 2006: 34), sedangkan di Songkhla, Muslim sekitar 19 %, minoritas, dan 76.6 % Buddha.

Sementara mayoritas penduduk yang berbahasa Melayu, ratarata 70 persen berada di tiga provinsi: Pattani, Yala dan Narathiwat, sementara penduduk berbahasa China, ada di tiga provinsi: Narathiwat, 0.3 %, Pattani, 1.0 %, dan Yala, 3.0 % (Sensus Penduduk, Thailand, 2000).

Mengenai masuknya Islam ke Thailand, ada yang mengatakan Islam masuk ke Thailand pada abad ke-10 melalui para pedgang dari Arab dan ada yang mengatakan Islam masum ke Thailand melalui Kerajaan Samudra Pasai di Aceh.

Dahulu, ketika Kerajaan Samudera Pasai ditaklukkan oleh Thailand, banyak orang-orang Islam yang ditawan, kemudian di bawa ke Thailand. Para tawanan itu akan dibebaskan apabila telah membayar uang tebusan. Kemudian para tawanan yang telah bebas itu ada yang kembali ke Indonesia dan ada pula yang menetap di Thailand dan menyebarkan agama Islam.

Wilayah Thailand yang dihuni oleh orang-orang Islam adalah wilayah bagian selatan yang berbatasan langsung dengan Malaysia. Muslim di Thailand merupakan golongan minoritas, karena mayoritas penduduknya beragama Budha. Daerah-daerah muslim di Thailand bagian selatan adalah Pattani, Yala, Satun, Narathiwat, dan Songkhla.

Kaum muslimin di Thailand yang terkenal dengan nama Patani memiliki perasaan kuat tentang jati dirinya, karena daerah Patani pada awal abad ke-17 pernah menjadi salah satu pusat penyebaran Islam di Asia Tenggara.

Pemerintah Thailand berusaha memasukkan daerah-daerah paling selatan itu ke negeri Thai. Hal ini dilakukan pada masa Raja Chulalongkom pada tahun 1902. Patani dijuluki tempat kelahiran Islam di Asia Tenggara. Bahkan, seorang Patani, Daud ibn Abdillah ibn Idris al-Fatani diakui sebagai seorang ulama terkemuka mengenai ilmu-ilmu Islam di Asia Tenggara.

Daerah yang sekarang disebut Thailand selatan pada masa dahulu berupa kesultanan-kesultanan yang merdeka dan berdaulat, diantara kesultanan yang terbesar adalah Patani. Pada abad ke empat belas masuklah Islam ke kawasan itu, raja Patani pertama yang memeluk Islam ialah Ismailsyah. Pada 1603 kerajaan Ayuthia di Siam menyerang kerajaan Patani namun serangan itu dapat digagalkan.

Pada 1783 Siam pada masa raja Rama I Phra Culalok menyerang Patani dibantu oleh oknum-oknum orang Patani sendiri, sultan Mahmud pun gugurlah, meriam Sri Patani dan harta kerajaan dirampas Siam dan dibawa ke Bangkok.

Maka Tengku Lamidin diangkat sebagai wakil raja atas perintah Siam tetapi kemudian ia pun berontak lalu dibunuh dan digantikan Dato Bangkalan tetapi ia pun memberotak pula.

Pada masa raja Phra Chulalongkorn tahun 1878.M Siam mulai mensiamisasi Patani sehingga Tengku Din berontak dan kerajaan Patani pun dipecahlah dan unit kerajaan itu disebut Bariwen.

Sebelum peristiwa itu terjadi sesungguhnya pada 1873 M Tengku Abdulqadir Qamaruzzaman telah menolak akan penghapusan kerajaan Patani itu. Kerajaan Patani dipecah dalam daerah-daerah kecil Patani, Marathiwat, Saiburi, Setul dan Jala.

Pada 1909 M Inggris pun mengakui bahwa daerah-daerah itu termasuk kawasan Kerajaan Siam. Dan pada tahun 1939 M, Nama Siam diganti dengan Muang Thai. Bahasa Siam menjadi bahasa kebangsaan di kawasan Selatan, di sekolah-sekolah merupakan bahasa resmi, tulisan Arab Melayu digantikan tulisan Siam yang berasal dari Palawa.

Pada 1923 M, beberapa Madrasah Islam yang dianggap ekstrim ditutup, dalam sekolah-sekolah Islam harus diajarkan pendidikan kebangsaan dan pendidikan etika bangsa yang diambil dari inti sari ajaran Budha.

Pada saat-saat tertentu anak-anak sekolah pun harus menyanyikan lagu-lagu bernafaskan Budha dan kepada guru harus menyembah dengan sembah Budha. Kementrian pendidikan memutar balik sejarah : dikatakannya bahwa orang Islam itulah yang jahat ingin menentang pemerintahan shah di Siam dan menjatuhkan raja.

Orang-orang Islam tidak diperbolehkan mempunyai partai politik yang berasas Islam bahkan segala organisasi pun harus berasaskan: Kebangsaan. Pemerintah pun membentuk semacam pangkat mufti yang dinamakan Culamantri, biasanya yang diangkat itu seorang alim yang dapat menjilat dan dapat memutar balik ayat sehingga ia memfatwakan haram melawan kekuasaan Budha.

Pada saat-saat tertentu dipamerkan pula segala persenjataan berat, alat-alat militer. Lalu mereka mengundang ulama Islam untuk melihat-lihat, dengan harapan akan tumbuh rasa takut untuk berontak. Akan tetapi orang-orang yang teguh dalam keislamannya itu tetap berjuang, menegakkan sebuah negeri yang berdaulat berasas Islam Republik Islam Patani.

Segala upacara yang sekuler dikerjakan dan Islam hanya terbatas pada adat, partai-partai pun tidak mau berdasarkan Islam dan tetap sekuler walaupun adat agama adakalanya dibawa juga seperti salam dan bismillah seperti tercantum dalam konstitusinya itu.

Transformasi dari loyalitas primordial ke loyalitas kepada negara dalam rangka menciptakan intergrasi nasional biasanya merupakan agenda utama di negara-negara yang proses perwujudan gagasan negara-negaranya belum selesai.

Agenda ini menjadi sangat pelik apabila negara bersangkutan dengan pluralitas etnis, budaya dan agama. Berdasarkan kategori primordial itu, negara tersebut memiliki kelompok mayoritas dan minoritas, dimana kelompok minoritas hendak dipaksa untuk diintegrasikan kedalam kelompok mayoritas.

Daftar Bacaan :

Badrus Sholeh, ‘Minoritas Muslim, Konflik Dan Rekonsiliasi di Thailand Selatan’, FISIP universitas BUDI LUHUR.

Qonun Malaka


A.    Latar Belakang
Salah satu puncak kejayaan kejayaan Islam di Nusantara ditandai dengan berdirinya beberapa kerajaan Islam besar yang mempunyai pengaruh besar. Salah satu contoh kerajaan itu ialah kerajaan Malaka, yang terletak di daerah semenanjung Malaka. Hingga hari ini, telah banyak diperbincangkan tentang sejarah kerajaan ini : termasuk dalam bidang politik dan budaya berpolitik Melayu ketika itu, terangkumlah juga bidang-bidang sejarah lain. Ini termasuk juga undang-undang, ekonomi, dan kegiatan pelaut.[1]
Salah satu peninggalan yang terkenal yaitu Undang-undang Malaka, hal yang luar biasa dihasilkan oleh masyarakat kala itu dengan segala keterbatasan yang ada. Untuk pembahasan lebih lanjut, akan di bahas pada pembahasan berikut, pembahasan itu antara lain mencangkup :
a.      Bagaimana asal muasal kerajaan Malaka ?
b.      Apa itu Undang-undang Malaka dan fungsinya ?
B.     Pembahasan
a.      Sekilas mengenai Kerajaan Malaka
Kerajaan Malaka merupakan kerajaan Islam kedua di asia Tenggara. Kerajaan ini berdiri pada awal abad ke 15.[2] Kerajaan malaka ini di dirikan  oleh Parameswara, seorang raja keturunan Sriwijaya yang melarikan diri setelah kerajaan Sriwijaya runtuh. Pada awalnya Melaka bukanlah sebuah kerajaan islam, Melaka berubah menjadi kerajaan islam pada tahun 1409, disaat Parameswara menikah dengan puteri dari pasai dan ia masuk islam. Ia mewarisi kepandaian politik dan karisma yang besar sehingga di waktu pelariannya itu, ia masih mendapat penghormatan dan dukungan dari tempat-tempat yang ia lalui. Setelah diusir dari Palembang Parameswara pergi ke Tumasik (Singapura) dan berhasil membunuh rajanya. Ia menjadi raja di sana untuk beberapa tahun sebelum  mendirikan Malaka. Tome Pires mengatakan ini menjadi pengalaman dan intrik politik secara alami untuk akhirnya bisa menjadi seorang penggagas sebuah kerajaan.[3]
b.      Undang-undang Malaka
Dilihat dari ilmu antropologi undang-undang dapat dilihat dari dua pendekatan yakni; pertama, menurut Levi-Strauss , undang-undang dilihat  sebagai suatu system yang berfungsi. Fungsi ini bergerak (operate) diberbagai-bagai peringkat dikalangan kelompok –kelompok masyarakat dan dengan berbagai cara pula. Tujuan udang-undang yang paling asas atau mendasar adalah untuk menentukan peraturan. Karena untuk menjaga dan mengawal keamanan dan keselarasan social serta keharmonisan  masyarakat. Kedua, menurut David S. Moyer undang-undang dilihat sebagai suatu system yang berkonsep, terdiri dari berbagai kategori system yang tersusun secara formal (formally organized system of categories).
Sebagaimana yang pernah diajukan oleh Mac Gluckman bahwa undang-undang dalam rangka pengajian antropologi adalah merupakan suatu penegasan. Undang-undang atau system perundangan adalah suatu cara untuk menyelesaikan berbagai bentuk konflik dan kekecohan dalam masyarakat (antara sesama individu, di kalangan sesama kelompok atau antara individu dengan kelompok dengan system keadilan yang telah pun ditentukan dalam masyarakat tersebut).
Penduduk Melaka bercorak cosmopolitan (bermacam budaya), bahasa yang dipakai oleh penduduk ini berjumlah 84 macam.[4] penduduknya diperkirakan 190. 000 orang menjelang kedatangan portugis, dengan diperkirakan jumlah hulu balang sekitar 100.000 orang. Oleh karena itu, sangat mustahil Melaka tidak mempunyai sebuah undang-undang atau sesuatu yang dapat mengawal tindak tanduk anggota masyarakatnya yang ada di Bandar atau kota Malaka itu sendiri, ataupun diluar malaka. Undang-undang bertujuan untuk melahirkan sebuah masyarakat yang bersistem, Tome Pires, pelapor portugis sezaman yang lebih berminat pada keadaan ekonomi dan perdagangan Melaka, pernah juga menyebut tentang wujudnya dari Hukum Malaka, yaitu unit kalimat yang rujukannya kepada organisasi system dan urusan perdagangan.
Terdapat teks undang-undang tradisional di Melaka yaitu hukum Kanun Malaka. Ia dikenali juga sebagai undang-undang darat Melaka dan Risalat Hukum Kanun. Konstitusi di kerajaan Malaka dapat dibedakan menjadi dua kategori. Pertama, adalah konstitusi yang sejak awal menjadi tradisi dari kerajaan Palembang yang diterapkan oleh raja Malaka dengan para pembesar-pembesar yang sejak awal mengikutinya dan turut membangun Malaka. Kedua, Munculnya konstitusi baru (Undang-undang Malaka) yang disebabkan oleh kompleksnya keadaan sosial masyarakat Malaka, hal ini wajar dan memang umum terjadi di kerajaan manapun.
Undang-undang Malaka disusun dan ditulis melalui tradisi lisan dan ingatan yang dimiliki oleh para menteri Malaka. Pada tahap tertentu, peraturan- peraturan yang sudah dituliskan dan didokumentasikan tidaklah berarti bahwa sasaran dan tujuan Undang-undang Malaka itu ‘wajib’ digunakan untuk semua permasalahan hukum. Ia hanya merupakan salah satu bukti eksplisit tentang hakikat adanya undang - undang dalam sebuah kerajaan Melayu lama. Ia hanya digunakan seperlunya, atau hanya menjadi kitab rujukan para hakim ketika hendak mengambil keputusan (untuk hukum-hukum Islam, untuk Bendahara, Laksamana dan Syahbandar; dan Penghulu Bendahari untuk undang-undang rakyat).
Undang-undang Malaka terdiri dari 4 unsur (komponen) yaitu :
1.      Hukum Adat yang meliputi kebiasaan, moral, etika, peraturan-peraturan resmi   (tidak tertulis)
2.      Naskah dan dokumentasi Undang-undang tertulis.
3.      Undang-undang Islam.
4.      Titah Raja, patik, murka, karunia dan nugraha.
Undang-Undang Malaka yang sebenarnya tidak mengacu pada Undang-Undang secara universal seperti halnya yang dibuat oleh negara-negara selain Malaka. Namun undang-undang Malaka mengacu pada  masa kesultanan Malaka, yang tidak lain adalah hukum adat itu sendiri. Bukan itu saja, undang-undang di sini juga mengikutsertakan hukum syari’at Islam.
 Sedangkan peran yang terbesar dalam manifestasi undang-undang adalah titah raja itu sendiri. Raja sebagai simbol kekuasaan tertinggi sekaligus sebagai sumber hukum yang mutlak, apapun yang diucapkannya merupakan undang- undang. Raja mempunyai hak mutlak. Adapun ucapan-ucapan raja terbagi menjadi lima, yaitu :
1.      Titah.
2.      Patik.
3.      Murka.
4.      Karunia.
5.      Nugraha.
Sebagaimana yang dituliskan oleh Liaw YockFang dalam bukunya “Undang-Undang Malaka” (1976), yang berbunyi:
“ Pasal yang kedua menyatakan hukum bahasa segala raja-raja itu perkara yang tiada dapat kita menurut kata ini melainkan dengan titah tuan kita juga maka dapat. Pertama titah, kedua patik dan ketiga murka, keempat karunia, kelima nugraha. Maka segala kata ini tiada dapat dikatakan oleh kita sekalian. Adapun berpatik dan bertitah dan murka itu dan karunia itu tiada dapat kita mengatakan pada seorang pun melainkan bahasa  itu  tertentulah  kepada  raja-raja  juga...“. 
Raja dianggap sebagai “wakil” Tuhan di dunia yakni dzulillah fil’ard atau dzulillah fil’a’lam. Otoritas inilah yang secara emplisit menegaskan kuasa raja atas segala-galanya. Hal ini sebenarnya merupakan suatu sistem politik untuk mengekalkan status quo kerajaan. Di samping itu, hukum yang terangkum dalam Undang-undang Melaka ini dijelaskan mengikuti dan menurut hukum adat istiadat sejak zaman Sultan Iskandar Zulkarnain. Sebagaimana yang tertera berikut ini :
“...Adapun ketahuilah olehmu sekalian akan adat ini turun temurun  daripada zaman Sultan Iskandar Dzulkarnain yang memerintahkan segala manusia... “ .[5]
Pengenalan  status quo  ini telihat dalam proses dan tujuannya.  Hukum Kanun Malaka atau Undang-undang Malaka dibuat di istana Malaka. Pihak-pihak yang terlibat secara langsung untuk menyusun undang-undang tersebut ialah raja sendiri dan para pembesarnya. Rakyat jelata yang berada di luar istana mungkin tidak tahu tentang undang-undang tersebut. Begitu juga dengan raja-raja ‘lokal’ yang berada dalam wilayah taklukan Malaka mungkin tidak terlibat di dalamnya. Akan tetapi penggunaan undang-undang yang luas dan menyeluruh bagi semua wilayah kekuasaan kerajaan Malaka adalah suatu kewajiban.
c.       Fungsi Undang-Undang Malaka
Selain sebagai maksud politis di atas, Undang-undang Malaka juga mempunyai fungsi untuk penegakan hukum dalam kehidupan Malaka saat itu. Adalah wajar Malaka mempunyai undang-undang secara tertulis di tengah masyarakatnya yang terus berkembang. Tujuan ditulisnya Undang-undang Malaka, selain sebagai hukum tertulis yang diperuntukkan untuk semua ‘anak negeri’, yang mengatur hukum pidana dan perdata, juga diperuntukkan untuk pengekalan adat. Adat Melayu ini dikenal dengan Adat Temenggung, agar tidak terjadi kesalahan dalam melaksanakan adat-istiadat tersebut.
Adat Temenggung diyakini sebagai adat pertama yang perkenalkan di dunia Melayu, ia berasal dari Minangkabau, Sumatera Barat. Adat ini mempunyai pengaruh agama Hindu-Budha dan ketika Islam datang adat Temenggung juga ikut kena pengaruhnya.
Jika dibandingkan dengan adat Melayu yang lain, adat Temenggung adalah adat yang paling lengkap. Ia meliputi keseluruhan aspek dalam kehidupan manusia. Terdapat dua hal terpenting dalam adat ini, yaitu : pertama, sistem  kekeluargaan  dan  sistem  politik.  Dalam  adat  perkawinan,  adat Temenggung mengamalkan sistem perkawinan endogami yaitu perkawinan hanya boleh dilakukan oleh pasangan yang tidak melanggar hukum dan hanya boleh sama satu agama, yakni Islam. Dalam perkawinan ini banyak mengambil dari hukum Islam bermahzab  Syafi’i.  Dalam sistem waris,  Adat  Temenggung mengamalkan sistem dengan hukum Islam walaupun terdapat sedikit perbedaan pada  masalah  pembagiannya.  Kedua,  untuk  soal  politik, adat  Temenggung meletakkan sistem autokrasi. Raja atau Sultan yang memerintah diberi kuasa penuh untuk menjalankan kekuasaan secara penuh dan mutlak. Konsep daulat dan durhaka menjadi bagian dari sistem ini. Dalam konsep ini rakyat tidak boleh mempersoalkan setiap keputusan raja atau sultan dalam hal apapun.
Berbeda dengan adat Temenggung, ada adat Perpatih yang juga berasal dari Minangkabau. Perbedaannya  dalam  beberapa  hal  adalah  adat  Perpatih  dalam  konsep kekeluargaan lebih mengutamakan nashab atau keturunan dari sebelah ibu.[6]
Kekuatiran akan terjadinya kesilapan dan kekeliruan dalam pelaksanaan adat-istiadat kerajaan mungkin tidak merisaukan raja-raja Malaka, karena di sekeliling raja ada para menteri yang sudah sangat mengerti akan hal itu. Akan tetapi hukum adat raja diraja dirasa perlu untuk dimengerti semua rakyat agar tidak disalahgunakan. Hukum adat ini pada dasarnya untuk memperlihatkan wibawa raja-raja yang secara tegas harus dipisahkan dan diberi hak istimewa dari rakyat biasa, karena raja adalah simbol yang harus ditaati.
d.       Manuskrip Undang-undang Malaka
Undang-undang Malaka terbagi dua bagian.  PertamaUndang-undang darat, yang sering disebut dengan Undang-undang Melaka, ia ditulis sebanyak 46 salinan dengan berbagai judul seperti Undang-undang Malaka, Undang-undang Negeri dan Pelayaran, Surat Undang-undang, Kitab Undang-undang, Undang- undang Melayu, Undang-undang Raja Malaka, Undang-undang Sultan Mahmud Syah, Kitab Hukum Kanun dan Surat Hukum Kanun. Kedua, Undang-undang laut, atau juga dikenal sebagai Adat Pelayaran Melaka, Kitab Peraturan Pelayaran, dan Hukum Undang-undang Laut.
e.       Undang-Undang Malaka sebagai Alat Propaganda
Di tengah masyarakat yang majemuk dan menjadi bandar metropolitan, karena disingagahi oleh banyak saudagar asing, baik yang hanya ingin berdagang atau mengadu nasib di rantau ini, Malaka telah menjadi pelabuhan yang sangat ramai. Pembauran budaya pun menjadi hal yang lumrah, baik lewat interaksi sosial sesama  anggota  masyarakat  ataupun  lewat  hubungan  perkawinan.  Sultan Muhammad Syah misalnya mempunyai dua orang istri dari suku yang berbeda. Istri pertama beliau adalah Tun Wati, campuran Melayu-Tamil dan yang kedua berasal dari keturunan Melayu-Rokan, Sumatra. Bentuk kerajaan dengan sistem warisan (seperti di Malaka), menurut Machiavelli akan menghadapi kesulitan-kesulitan yang relatif lebih kecil. Hal ini disebabkan oleh kepercayaan dan mitos yang terdapat pada masyarakat yang menghasilkan  “kekuasaan  ideologis”  masih  mudah  didapati  dan  terus dimanfaatkan dan dilestarikan oleh penguasa. Keyakinan tentang legitimasi Tuhan, keturunan tokoh-tokoh yang hebat dan istimewa serta kewibawaan yang diturunkan  langsung  lewat  garis  keturunan  melahirkan  bentuk  kekuasaan ideologis, yakni kekuasaan yang diperoleh dari gagasan (ide) yang datang dari kekuasaan kharismatik yang memiliki daya persuasi yang kuat. atau arketipe.[7]
Rezim penguasa berkepentingan untuk terus menyakinkan rakyat bahwa rajanya adalah mempunyai kekuatan mukjizat. Dengan pola budaya protokoler yang  ribet penguasa mendapatkan nilai kesucian, kewibawaan dan kemuliaan lewat jubah kebesarannya, ritual-ritual, upacara dan sebagainya. Upacara-upacara dan protokoler merupakan kegiatan-kegiatan sosial yang sengaja dibuat untuk menciptakan jarak sosial dan dengan demikian akan menjaga kekuasaan kelas elit dengan rakyat biasa. Untuk kepentingan ini, Undang-undang Malaka memberikan hak-hak istimewa kepada para penguasa.
Ada beberapa pasal-pasal dipengaruhi oleh hukum adat dan pengaruh Hindu-Budha. Warna kuning misalnya, mempunyai nilai yang tinggi, karena ia adalah  warna  emas,  dimana  dalam  keyakinan  agama  Hindu-Budha  emas mempunyai nilai sakral. Hak-hak istimewa yang diberikan kepada raja merupakan salah satu instrument penguasa, hal tersebut di atas jelas merupakan dasar hukum yang kuat karena Undang-undang Malaka dibuat oleh elit penguasa. Sehingga secara dalam menjaga suatu susunan pemerintahan. Undang-undang merupakan alat dalam mepropaganda satu kekuatan sistem kerajaan yang secara hukum kanun tetap berlangsung hingga akhir zaman. Dari propaganda tersebut dapat melahirkan satu kekuasaan ideologi sebagai hasil kemajuan secara intelektual. Namun ‘kekuasaan ideologi’ ini telah melahirkan konflik baru, bukan pada tataran penguasa versus rakyat tapi pada elit penguasa yang selama ini berlindung dan mengambil keuntungan dari pengaruh ideologi tersebut. Konflik elit ini justru menciptakan pola idialistis dimana kesetiaan rakyat-sebagai ‘korban ideologi’ justru dicari justifikasinya untuk mencari pembenaran lewat menghitam-putihkan” keyakinan ke dalam Undang-undang oleh segelintir elit penguasa yang berseteru menjadi hukum Kanun Malaka.
Undang-undang Malaka atau Hukum Kanun Malaka dianggap sebagai salah satu kemajuan peradaban intelektual terpenting, diawali oleh misi- misi politik tertentu yang boleh juga disebut sebagai mediator elit penguasa dengan dasar pembodohan mengatasnamakan keyakinan hakiki. Dengan demikian Undang-undang Malaka digunakan sebagai instrument penguasa untuk kekuasaan.
C.    Penutup
1.      Kesimpulan
Dari penjelasan di atas, dapat kita lihat bagaimana kedudukan dan fungsi Qonun Malaka dalam mengatur tata cara kehidupan bermasyarakatnya.
2.      Saran
Semoga makalah ini memberikan manfaat bagi kita semua, terutama pemakalah sendiri. Serta dapat dijadikan sebagai bahan rujukan untuk tulisan ilmiah berikutnya.


Makalah
Qonun Malaka


Diajukan untuk memenuhi tugas perkuliahan pada mata kuliah
Kapita Selekta Konsentrasi Indonesia







Oleh:

Nilma Yola                    : 110 173



Dosen Bidang Study :
Drs. Rusdy Ramli, M. A
Drs. Muhapril Musri, M. Ag




JURUSAN SEJARAH KEBUDAYAAN ISLAM (B)
FAKULTAS ADAB
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI (IAIN)
IMAM BONJOL PADANG
1434 H/ 2013 M




DAFTAR PUSTAKA


 Helmiati, Sejarah Islam Asia Tenggara, Bandung : Nusa Media, 2011
  Ahmad Kassim, Hikayat Hang Tuah, Kuala Lumpur : Dewan Bahasa Pustaka 1975
 Mohamed,  Mustafa  Ali, Undang-undang Malaka, Selangor : Pelanduk  publication, 1987
 Azmah Abdul Manaf, Sejarah Sosial Masyarakat Malaysia, Kuala Lumpur :  Lohprint SDN. BHD, 2001
 Zainal Abidin, Kesultanan Melayu Malaka; Pentadbiran Kuno atau Modern ?, Malaka: Institusi Kajian Sejarah dan Patriotisme Malaysia (IKSEP), 1997
Bakar Abdul Latif Abu, Melaka dan Arus Gerakan Kebangsaan Malaysia, Kuala Lumpur : University Malaya, 1996


[1] Abdul Latif Abu Bakar, Melaka dan Arus Gerakan Kebangsaan Malaysia, (Kuala Lumpur : Universiti Malaya, 1996), h.10
[2] Helmiati, Sejarah Islam Asia Tenggara, (Bandung : Nusa Media, 2011), h. 29
[3] Kassim Ahmad, Hikayat Hang Tuah. (Kuala Lumpur; Dewan Bahasa Pustaka 1975), h. 87
[4] laporan tome pires dalam Armando corteseo, the suma oriental of tome pires, vol 2 (London, the Hakluyt society, 1944), hlm 261
[5] Mohamed,  Mustafa  Ali. Undang-undang Malaka,  (Selangor; Pelanduk  publication,1987).h. 35
[6] Azmah Abdul Manaf, Sejarah Sosial Masyarakat Malaysia, (Kuala Lumpur. Lohprint SDN. BHD, 2001), h. 187, Cet. Ke-1.
[7] Bin Abdl Wahid, Zainal Abidin, Kesultanan Melayu Malaka; Pentadbiran Kuno atau Modern ? (Malaka: Institusi Kajian Sejarah dan Patriotisme Malaysia (IKSEP), 1997). hal, 73