Hai Dear, wellcome to my Blog

Selasa, 18 Oktober 2022

Sejarah Asal usul Sistem Matrilineal di Minangkabau

 



Banyak yang bertanya kapan awal mula munculnya sistem kekerabatan "matrilineal" di Minangkabau. Dan, siapa yang mencetuskannya pertama kali ?
Memang tidak banyak sumber yang membahas tentang hal tersebut. Charles Robenta, dkk dalam tulisannya "Perjuangan Adityawarman di Kerajaan Dharmasraya Nusantara tahun 1339-1376, menulis bahwasanya asal muasal munculnya sistem kekerabatan matrilineal di Minangkabau bermula saat Adityawarman diutus sebagai bawahan Majapahit ke Dharmasraya.

Saat Adityawarman menjadi Raja bawahan di Dharmasraya akan memperluas wilayah kekuasaannya di
bumi Melayu, salah satu wilayah yang akan ditaklukan serta disatukan ke dalam kekuasaan Dharmasraya adalah Minangkabau, namun mendapat pertentangan dari Datuk Katumanggungan yang merupakan mamak (paman) Adityawarman sendiri, sebagai pemangku nagari Rajo Alam Minangkabau sudah berkehendak untuk melawannya dengan kekuatan militer namun dilain pihak Datuk Perpatih Nan Sebatang sudah memperkirakan, bahwa tidak mungkin Minangkabau menang menghadapi bala tentara Adityawarman yang terlatih dan bahkan sudah berpengalaman dalam pertempuran diantaranya pengalaman tempur disaat memadamkan pemberontakan Sadeng atas Majapahit di tanah Jawa.

Jika melawan pasukan Majapahit yang dibawa Adityawarman dipastikan pasukan Minangkabau akan mengalami kekalahan. Dengan usaha yang keras, akhirnya Datuk Perpatih nan Sebatang berhasil meyakinkan Adityawarman untuk bernegosiasi dan menghindari peperangan, dengan tetap mempertahankan harkat dan martabat Minangkabau dengan cara menikahkan Putri Jamilan dengan
Adityawarman yang merupakan penguasa di Dharmasraya. Oleh Datuk Perpatih nan Sebatang kekuasaannya sebagai Rajo Alam Minangkabau digantikan oleh adik perempuanya, yaitu Putri Jamilan, yang selanjutnya akan dikawinkan dengan Adityawarman. Datuk Perpati nan Sebatang telah menyiasati dengan cara merubah hukum monarki absolute yang Paterilinear diubah menjadi Matrilinear, dimana pewaris tahta dan suku adalah dari garis keturunan Ibu. Dengan demikian tidak ada celah bagi Adityawarman untuk mengganti permaisurinya, dan jika nantinya Adityawarman mempunyai selir, tidak mungkin keturunan selir menjadi Raja, karena hanya anak Putri Jamilan yang berhak atas warisan tahta. 

Selain itu dengan menerapkan hukum MamakKamanakan, dimana Mamak bertanggung jawab penuh atas kemenakannya, tetap menjadikan penguasa penuh atas pewaris tahta di Minangkabau. Akhirnya setelah urusan konstitusional ini selesai, barulah Datuk Perpatih nan Sebatang bernegosiasi. Adityawarman setuju penggabungan kedua Kerajaan dengan menikahi Putri Jamilan, dan setuju pula dengan konstitusi Adat Minangkabau yang tersebut di atas, akhirnya tanpa perang-tanpa pertumpahan darah, Adityawarman menjadi Raja Minangkabau.

sumber: Charles Robenta, Tontowi Amsia dan Yustina Sri Ekwandari

Selasa, 04 Oktober 2022

KONSEP, RUANG LINGKUP, dan SEJARAH FILOLOGI

 

MAKALAH

KONSEP, RUANG LINGKUP, dan SEJARAH FILOLOGI

 

Mata Kuliah:

Filologi

 



 

 

Oleh:

Nilma Yola

 NIM. 2020060002

 

 

 

 Dosen Pembimbing:

Dr. Ahmad Taufik Hidayat, MA

 

 

PROGRAM STUDI S2 SEJARAH PERADABAN ISLAM (SPI)

PASCASARJANA UIN IMAM BONJOL PADANG

TAHUN 2020



 

 

 

 

 


1.      Pendahuluan

Setiap peristiwa sejarah, pasti meninggalkan bukti bahwa sejarah itu pernah ada. Bukti tersebut bisa berbentuk fisik benda (puing-puing), tulisan (naskah dan prasasti). Nah, seiring perjalanan waktu, tentu saja manusia akan berevolusi dari yang awalnya hanya bisa berbahasa lisan, kemudian muncul tulisan, dan manusia mulai pintar menulis dan membaca. Akan bermunculan satu persatu bukti-bukti sejarah kehidupan di masa lalu. Khusus untuk bukti berupa tulisan atau naskah, itu untuk mempelajari atau menerjemahkan isi yang terdapat dalam naskah, kepada bahasa disuatu daerah tertentu, butuh keahlian khususnya dalam bidang bahasa dan sastra. Dan keahlian tersebut akan di bawahi dalam sebuah keilmuwan yaitu ilmu filologi, dan pembahasan lebih lanjut akan penulis bahas di bagian berikutnya.

2.      Pembahasan

a.      Pengertian Filologi

Filologi merupakan sebuah ilmu tentang sastra-sastra dalam arti luas yang mencakup bidang Bahasa, sastra, dan kebudayaan. Melalui filologi dapat dengan mudah meneliti Bahasa, melalui tiga bidang yaitu:

1)      Linguistic, khusus mempelajari unsur-unsur yang membangun Bahasa seperti, ucapan, cara membuat kalimat, dan lain-lain.

2)      Memaknai kata secara khusus, karena tujuannya adalah kejelasan Bahasa secara menyeluruh  dan sesuai kata demi kata, baik yang tertulis maupun yang lisan, dan;

3)      Ilmu sastra, yang berkepentingan dengan penilaian atau ungkapan Bahasa jika dilihat dari sudut estetika.[1]

 Dapat juga diartikan sebagai suatu ilmu yang diperlukan untuk mengkaji peninggalan berupa tulisan yang berasal dari kurun waktu berates-ratus tahun yang lalu.[2] Fungsinya untuk menemukan bentuk teks yang asli serta mengetahui pesan yang disampaikan penulis, setelah dibersihkan semua kesalahan-kesalahan yang terdapat pada teks. Kata filologi berasal dari Bahasa Yunani, yaitu “philos” yang artinya cinta dan “logos” berarti kata atau “senang bertutur”. [3] awalnya filologi diartikan dengan “cinta kata”, kemudian lama-kelamaan berkembang menjadi “cinta pada sastra” yang mencangkup Bahasa, kesastraan dan kebudayaan.[4]

Dalam bahasa Arab, filologi adalah ilmu “tahqiq al-Nushush”, sebagaimana disebutkan oleh Az-Zamakhsari dalam kitab “Asas al-Balaghah” sebagai berikut:

 

  حققت الامروأحققتة: كنت على يقين منه, وحققت الخبر فانا أحقه, وقفت على حقيقته, ويقول الرجل لاصحابه

إذابلغهم خبر فلم يستيقنوه: انا أحق لكم هذا الخبر, أى أعلمه لكم وأعرف حقيقت.....

Maksudnya:

“Mentahqiq sebuah teks atau nash, yaitu melihat sejauh mana hakekat sesungguhnya yang terkandung didalam teks itu. Mengetahui suatu berita dan menjadi yakin akan kebenarannya. Oleh sebab itu, yang dimaksud dengan “tahqiq” dalam bahasa ialah pengetahuan yang sesungguhnya dan berarti juga mengetahui haqeqat suatu tulisan”.[5]

Istilah tahqiq paling popular artinya diteliti oleh fulan. Orang yang melakukan tahqiq disebut muhaqqiq.

Secara istilah, tahqiq adalah penelitian yang cermat terhadap suatu karya yang mencakup hal-hal sebagai berikut:

a)      Apakah benar, karya yang diteliti merupakan karangan assli pengarangnya yang disebut pada buku.

b)      Apakah isinya benar-benar sesuai mazhab pengarangnya ?

c)      Sejauh mana tingkat kebenaran materinya ?

d)      Mentahqiq dan mentakhrij semua ayat-ayat Al-Qur’an dan hadist serta menyebut sumbernya dalam catatan kaki.

e)      Memberi penjelasan tentang hal-hal yang kurang jelas, seperti nama orang, tanggal yang diragukan, kejadian-kejadian dsb.

Selain pada al-Qur’an dan sunnah, tahqiq digunakan dalam penyusunan buku-buku sumber dalam segala bidang, seperti tafsir yang menggunakan riwayat (tafsir al-matsur), juga dibidang fiqh dan akidah. Melalui tahqiq maka penerbitan-penerbitan awal yang sangat teliti, kemudian ilmu-ilmu itu telah sampai dengan sempurna kepada kita sekarang ini.

Tahqiq juga menyelamatkan warisan kesastraan dari zaman pra islam, seperti di jazirah Arab. Sebagai contoh, upaya mentahqiq kitab Mu’jam al-Ain, karya al-khalil ibn Ahmad. Buku itu mendapat perhatian dan diteliti secara mendalam oleh para ulama Bahasa Arab melalui penelitian terhadap materi buku, meneliti perawinya, tanggal ditulisnya, dan masa hidup para guru-guru al-Khalil, lalu tempat pertama dimunculkan Mu’jam al-‘Ain. Hingga didapat hasil penelitian bahwasanya buku tersebut dapat diterbitkan disertai dengan penjelasan yang merupakan upaya ulama muhaqqin, dan upaya ahli filologi.

Dalam bahasa Inggris, philology dipakai dalam pengertian terbatas ialah studi sejarah dan penafsiran teks pada naskah-naskah lama. Pada tradisi klasik Barat, pengertian filologi diperluas menjadi studi kebudayaan berdasarkan teks. Di Belanda, istilah filologi diartikan sebagai ilmu pengetahuan yang berhubungan dengan studi teks sastra yang berkaitan dengan latar belakang budaya kehidupan pendukungnya, termasuk bahasa, sejarah, adat istiadat, agama dsb. Di negara-negara Anglo Saxon, filologi diberi makna linguistik yang cenderung mengarahkan studinya ke sejarah bahasa (linguistik histories), perkembangannya dan juga kekerabatannya antara beberapa bahasa.

b.      Sejarah Filologi

Mengurai sejarah perkembangan Filologi secara kronologis, apalagi dalam ruang lingkup pengertian pengertian Filologi dunia, muncul abad ke-3 SM, dipelopori oleh Erastothemes di Iskandariah. Masa ini, mereka berhasil membaca naskah Yunani lama yang ditulis dalam huruf bangsa Funisia. Menggunakan daun papyrus dengan cara merekam tradisi lisan yang mereka miliki sebelumnya.[6] Dalam upaya menggali khazanah ilmu pengetahuan yang dikandung naskah-naskah itu, mereka menggunakan sebuah metode yang kemudian dikenal dengan nama alat filologi. Para ahli menamakan periode ini dengan “Mazhab Iskandariah”.

Masa ini, kegiatan filologi juga juga dimanfaatkan dalam transaksi bisnis, untuk kegiatan perdagangan naskah ini, biasanya penyalinan naskah dilakukan oleh budak belia, yang memang masa itu masih banyak dan mudah didapatkan. Kemungkinan, dari proses ini terjadi banyak penyimpangan-penyimpangan dari bahan yang disalin. Hasil penyalinan ini kemudian dipasarkan disekitar laut Tengah. Bisa dibayangkan, proses penyalinan berkali-kali dari naskah yang menyimpang membuat naskah hasil salinan menjadi makin jauh dari naskah asli. Hal itu dikarenakan: ada unsur kesengajaan, penyalin kebetulan bukan ahli dalam ilmu yang ada ada dalam naskah yang ditulisnya itu; dan ada unsur kelalaian penyalin.

Selain itu, Filologi juga dipandang sebagai ilmu sastra secara ilmiah dengan mengkaji karya-karya Homerus, Plato, Herodotus, Hipocrates, Socrates, Aristoteles sebagai karya sastra yang bernilai tinggi. Setelah Iskandariah jatuh dibawah pengaruh Romawi, kegiatan penelitian berpindah ke Eropa Selatan yang berpusat di Kota Roma. Abad ke 1M, merupakan masa perkembangan tradisi Yunani dalam bentuk referensi terhadap naskah-naskah tertentu.

Pada abad ke 4 M, di kawasan Timur Tengah sudah berdiri berbagai pusat studi ilmu pengetahuan yang berasal dari Yunani, seperti: Gaza sebagai pusat ilmu oratori, Beirut dibidang ilmu hukum, Edessa dalam kebudayaan Yunani demikian di Antioch.[7]

Abad ke 5M terjadi perpecahan di kalangan kerajaan di Kota Edessa yang membuat banyak ahli filologi pindah ke wilayah Persia, merekalah yang mengembangkan kegiatan ilmiah ini di Kota Yundi Syapur. Banyak diterjemahkan naskah Yunani ke dalam bahasa Siria, yang kemudian di masa pemerintahan dinasti Islam akan diterjemahkan ke dalam bahasa Arab.

Masa pemerintahan Khalifah Al-Manshur, Harun al-Rasyid, dan al-Makmun, studi filologi makin meningkat dan mencapai puncak masa dinasti Abbasiyah ini. Masa itu dikenal ada tiga penerjemah kenamaan, yaitu: Qusta bin Luqa, Hunain bin ishak, dan al-Hubaisyi, dan keriganya beragama Nasrani.[8] Selain itu, ahli filologi di kawasan Timur Tengah juga menerapkan teori filologi terhadap naskah-naskah yang dihasilkan para penulis daerah setempat, yang terlihat dari kumpulan naskah di Bait al-Hikmah.

Abad ke 17 M, studi teks klasik Arab dan Persia di Eropa sudah dipandang mantap. Selain naskah Arab dan Persia, ditelaah pula naskah Turki, Ibrani dan Syiria. Penghujung abad ke 18M di Paris, banyak didirikan pusat studi ketimuran oleh Silverter de Sacy, disana banyak dipelajari naskah-naskah dari timur tengah, oleh para ahli dari kawasan Eropa.

Buku-buku yang membahas Filologi sebenarnya belum banyak ditemukan di tengah masyarakat. Orang yang sangat berjasa karena telah merintis dan mengupayakan tersedianya informasi yang sangat bermanfaat mengenai sejarah Filologi yaitu Reynolds dan Wilson (1975) sebagaimana diuraikan dalam Scribes and Scholars A Guide to the Transmission of Greek and Latin Literature. Buku tersebut banyak dijadikan rujukan dikalangan akademik dalam hal yang berkaitan dengan Filologi, bahkan hingga saat ini. Buku tersebut juga telah dipublikasikan dalam versi Bahasa Indonesia yang disusun oleh tim dari Universitas Gadjah Mada Djogjakarta (Siti Baroroh Baried, dkk. 1983) dalam Pengantar Teori Filologi yang didalamnya juga menguraikan tentang sejarah perkembangan filologi, dan menjadikan beberapa edisi naskah – naskah Nusantara sebagai sumber kajian.

Keinginan untuk mengkaji naskah-naskah Nusantara mulai timbul seiring kedatangan bangsa Barat pada abad ke 16M. mereka orang Barat mengumpulkan naskah-naskah dari Nusantara lalu menjadikannya sebagai komoditi jual beli di Laut Tengah. Kolektor naskah Nusantara itu ialah Peter Foros atau Piert William, sedangkan kolektor naskah nusantara dari kalangan pedagang yaitu Edward Picocke, pemilik naskah Hikayat Sri Rama (tertua) dan Milliam Laud.

Pelancong dari Belanda, Frederik de Haufman yang bisa berbahasa Melayu, mengarah sebuah buku yang berjudul  Spraeck ende Woordboek in de Malaysche en de Madagaskarsche Talen, kemudian buku ini diterjemahkan ke dalam bahasa Latin, Inggris dan Perancis.

Tahun 1629, di kepulauan Nusantara terbit terjemahan al-kitab yang pertama dalam Bahasa Melayu. Penulisnya ialah Jan Jacobsz dan penerjemahnya Albert Cornelisz Ruil. Kemudian banyak muncul penerjemahan kitab injil sesudahnya.

Kehadiran para misioner di Indonesia, dengan bekal ilmu pengetahuan Linguistik telah mendorong tumbuhnya kegiatan untuk meneliti naskah-naskah berbagai daerah di Nusantara. Kajian para ahli filologi terhadap naskah-naskah Nusantara bertujuan untuk menyunting, membahas serta menganalisanya. Dan akibat keterbatasan tenaga penyunting naskah, maka difokuskan saja kepada naskah yang berbahasa Jawa dan Melayu.

Perkembangan selanjutnya, naskah disunting dalam bentuk transliteris dalam huruf Latin, ada juga naskah yang disunting ke dalam Bahasa Belanda  dan Inggris. Suntingan naskah dengan metode kritik teks yang banyak dilakukan pada Abad ke 20, menghasilkan suntingan yang lebih baik dari sebelumnya. Pada abad ke 20M, banyak diterjemahkan naskah keagamaan dan sejarah.

Pada periode mjtakhir, mulai dirintis studi naskah Nusantara dengan Analisa struktur berdasarkan ilmu sastra (Barat). Dengan demikian, terbukalah kemungkinan penyusunan sejarah kesastraan Nusantara atau kesastraan daerah dan keduanya telah mendorong minat untuk menyusun kamus bahasa-bahasa  Nusantara.

 

Sebagai suatu disiplin ilmu yang mempelajari naskah-naskah lama pernah dipandang sebagai ilmu yang mempelajari sastra-sastra dan Bahasa. Inilah latarbelakang dimulainya kegiatan pengkajian terhadap teks-teks yang berupa karya sastra yang dinilai mengandung kadar sastra tinggi. Hal ini menekankan aspek kesasteraan dan kritik. Disis lain, ilmu filoloi juga mengutamakan kajian Bahasa, khususnya Bahasa-bahasa yang digunakan didalam teks-teks lama.

Naskah-naskah (manuskrip) yang dijadikan objek kajian filologi bisa saja mengandung teks-teks bacaan yang berbeda. Malahan, ada yang memperlihatkan bacaan yang sudah agak rusak. Ada juga pihak yang menganggap perbedaan-perbedaan tersebut sebagai satu keslahan yang harus diperbaiki oleh peneliti. Hal inilah yang kemudian memunculkan istilah filologi tradisional. Dalam hal ini, kegiatan filologi difokuskan untuk menetapkan bentuk sebuah teks yang paling mendekati bentuk teks asli.

Saat ini, dalam perkembangan ilmu filologi, terkadang ada kecenderungan melihat perbedaan-perbedaan yang terdapat dalam setiap teks sebagai bentuk kreativitas. Dimana variasi tersebut dianggap sebagai ungkapan proses kegiatan kreatif mengenai hal-hal yang berhubungan dengan aspek kehidupan manusia pada zamannya. Pandangan ini yang membawa filologi pada suatu pengertian lain yang disebut  filologi modern.

Filologi modern memandang perbedaan-perbedaan yang ada dalam teks sebagai suatu ciptaan atau pngungkap kegiatan yang kreatif mengenai hal-hal yang berhubungan dengan aspek-aspek kehidupan manusia pada zamannya. Kegiatan penelitian ini tujuannya tidak lagi untuk merekonstruksi teks guna mendapatkan satu bentuk teks yang paling dekat dengan teks asli, tetapi lebih cenderung diarahkan untuk mengungkapkan persepsi penyalin pada setiap kurun waktu penerimaannya. Atau, bisa disebutkan sebagai suatu model (tren) didalam penelitian-penelitian naskah sebagaimana dijumpai dari hasil-hasil penelitian di Universitas Gadjah Mada Yogyakarta terutama dalam rangka program S3.

Secara historis, bangsa Indonesia banyak dipengaruhi oleh bangsa-bangsa Eropa terutama Belanda, termasuk di dalam bidang akademik. Filologi yang berkembang di Indonesia, cenderung mengikuti pengertian yang berkembang di Negeri Belanda, sebagai satu disiplin ilmu yang mendasarkan kegiatannya pada bahan-bahan tertulis dan bertujuan untuk mengungkapkan makna teks dari segi kebudayaannya.

Di Indonesia, Filologi lebih banyak diarahkan pada kajian teks yang menggunakan Bahasa-bahasa daerah, seperti Melayu, Jawa, Bali, Sunda, dan lain-lain. Aktivitas filologi di Indonesia dimulai sekitar abad ke-16, oleh orang-orang dari Kawasan Benua Eropa seperti Belanda yang melakukan aktivitas perdagangan naskah. Setelah itu, baru dilakukan oleh misionaris yang ingin menyebarkan agama Kristen di Indonesia.[9]

Menurut Baroroh-Baried, terdapat beberapa factor penyebab lahirnya disiplin keilmuwan filologi, yaitu:

1.      Munculnya informasi tentang masa lampau didalam sejumlah karya tulisan.

2.      Anggapan bahwa nilai-nilai yang terkandung dalam peninggalan tulisan masa lampau masih relevan dengan kehidupan sekarang ini.

3.      Kondisi fisik dan substansi materi informasi akibat rentang waktu yang Panjang.

4.      Factor social budaya yang melatarbelakangi penciptaan karya-karya tulisan masa lampau yang tidak ada lagi atau tidak sama dengan latar social bidaya pembacanya masa kini.

5.      Keperluan untuk mendapatkan hasil pemahaman yang akurat.[10]

Dari pemaparan diatas dapat disimpulkan bahwa filologi merupakan. Sebuah bidang keilmuan yang mempelajari tentang Bahasa, sejarah, sastra, dan kebudayaan, terkandung dalam peninggalan tulisan masa lampau, bertujuan untuk menyampaikan kembali pesan-pesan yang terkandung didalamnya.

c.       Ruang Lingkup Filologi

Filologi juga dipandang sebagai ilmu yang menyelidiki perkembangan kerohanian suatu bangsa dari kesusastraan atau yang menyelidiki kebudayaan melalui Bahasa dan karya kesasteraan.

1)      Objek Penelitian Filologi

Sasaran penelitian objek filologi yaitu: naskah dan teks klasik. Naskah, diartikan suatu karya tulis yang berwujud tulisan tangan yang dalam Bahasa Inggris disebut manuscript dan dalam Bahasa Belanda handschrift. Naskah yang menjadi objek material penelitian Filologi adalah berupa naskah yang ditulis pada kulit kayu, bambu, lontar, rotan dan kertas. Artinya, bahwa perjanjian-perjanjian, ukiran, dan rulisan pada batu nisan adalah diluar pembahasan Filologi. Naskah-naskah itu dilihat sebagai hasil budaya berupa cipta sastera. Menurut Suripan Sadihutomo, telaah Filologi bukan hanya berobyek sumber tulis, melainkan juga sumber lisan.[11]

Istilah “klasik” pada teks-teks Nusantara pada hakekatnya lebih ditekankan kepada masalah waktu dan periode masa lampau yang di Indonesia biasanya disebut dengan “premodern”, yaitu suatu kondisi yang pada waktu itu pengaruh Eropa belum masuk secara intensif.[12]

2)      Tujuan Ilmu Filologi

Tujuan adanya Filologi, yaitu:

a.       Tujuan Umum

1.      Memahami sejauhmana perkembangan suatu bangsa melalui sastranya, baik tulisan maupun lisan.

2.      Memahami makna dan fungsi teks bagi masyarakat penciptanya/ penulisnya.

3.      Mengungkapkan nilai-nilai budaya lama sebagai alternatif pengembangan kebudayaan.

b.      Tujuan Khusus

1.      Menyunting seuah teks yang dipandang dekat dengan teks aslinya.

2.      Mengungkapkan sejarah terjadinya teks dan sejarah perkembangannya.

3.      Mengungkapkan persepsi pembaca pada setiap kurun/ zaman penerimaannya.[13]

Kegunaan filologi bermanfaat untuk referensi sejarah, hukum adat, sejarah perkembangan agama, kebahasaan, kebudayaan, dan referensi public.

3)      Metode Filologi

Dalam penelitian naskah ada dua metode yang selama ini sering digunakan, yakni metode (edisi) diplomatic dan metode (edisi) kritis.[14] Teks diplomatic ini identic dengan teks naskah bersangkutan, dan teks edisi kritis adalah suatu (persiapan, pendahuluan) rekonstruksi teks asli. Prinsip dasar dari sebuah edisi kritis adalah mengikuti kembali jalur transmisi dan mencoba memperbaiki teks-teks agar sedekat mungkin dengan teks asli.[15]

Dilihat dari banyak sedikitnya jumlah naskah yang dijadikan objek penelitian, metode filologi dapat dibagi menjadi dua, yaitu:

a)      Metode (edisi) naskah tunggal, dan

b)      Metode (edisi) naskah jamak.

Untuk meng-edisi naskah, dapat ditempuh dua cara, yaitu:

1.      Edisi Diplomatik

Naskah, pada edisi ini diterbitkan tanpa disertai perubahan sedikitpun, baik ejaan, pungtuasi maupun pembagian teks. Jadi, dalam bentuk sempurna dari edisi ini adalah naskah asli direproduksi fotografis. Halaman naskah dipotret dan dicetak begitu saja, metode ini dianggap paling murni karena factor subjektivitas editor tidak berpengaruh didalamnya. Tetapi dari segi praktis, dianggap kurang menarik, karena hanya dapat dinikmati oleh kalangan tertentu saja terutama mereka yang telah memiliki dasar pengetahuan aksara atau Bahasa yang ada didalam naskah bersangkutan.

2.      Edisi Standar

Edisi ini disebut edisi biasa, meskipun naskah yang tersedia hanya satu (naskah tunggal), tetapi didalam metode ini penyunting sangat memperhatikan semua aspek kegiatan penyuntingan naskah, seperti menyediakan transliterasi, membetulkan kesalahan yang dijumpai dalam teks, menyesuaikan ejaan sampai kepada menyusun apparat kritik dan membuat komentar mengenai kejanggalan-kejanggalan (bacaan) yang dijumpai.

Setiap perubahan yang dilakukan dalam edisi ini akan dicatat ditempat khusus untuk memudahkan pemeriksaan kembali atau membandingkan dengan bacaan yang ada didalam naskah. Apabila sebuah penelitian dihadapkan pada tersedianya sejumlah naskah (lebih dari satu) maka untuk kepentingan penyuntingan ada beberapa alternatif yang digunakan yaitu:

(1)   Metode Intuitif, disebut juga metode subjektif dan tergolong sebagai metode kritik teks yang tertua, dan cara kerjanya didasarkan atas subjektivitas (intuisi). Untuk kepentingan edisi teks, diambil satu naskah yang paling tua diantara naskah-naskah yang ada. Bagian kesalahan dalam teks, kemudian diperbaiki berdasarkan teks naskah lain dengan menggunakan logika (secara ilmiah).

(2)   Metode Objektif, Metode ini lebih menekankan pada usaha mencari hubungan kekeluargaan dari naskah-naskah yang ditemukan peneliti. Dengan melihat jumlah dan nilai kesaksian sejarah bisa dijadikan acuan dalam memilih bacaan yang benar. Menetukan kebenaran itu didasarkan kepada kebenaran objektif, tidak subjektif. Cara kerjanya dengan membandingkan kata dmi kata, bila dalam beberapa naskah terdapat banyak kesalahan yang sama di tempat yang sama pula, maka dapat disimpulkan naskah tersebut berasal dari satu sumber. Metode ini cocok diterapkan pada naskah-naskah yang proses penurunannya mengikuti tradisi tertutup (vertical).

Dalam proses penurunan naskah ada dikenal istilah naskah yang bersumber dari satu nenek moyang  (arcketyp), merupakan induk naskah atau nenek moyang naskah (berupa Salinan), dapat dipandang sebagai pembagi persekutuan terbesar dari naskah-naskah yang ada. Naskah archetyp diberi nama alpha, beta dan gama menggunakan huruf Yunani kuno. Kemudian, ada lagi naskah hyparchetyp, merupakan bagian dari  naskah-naskah seversi.

(3)   Metode Gabungan

Digunakan apabila menurut tafsiran nila semua naskah yang ada hampir sama. Perbedaan antarnaskah tidak terlalu mencolok dan dapat dianggap tidak mempengaruhi teks. Pemilihan bacaan dianggap sebagai kesalahan dari naskah-naskah yang ada, didasrkan pada mayoritas dengan perkiraan bahwa tingkat kemungkinan bacaan itu lebih baik lebih besar. Dapat diartikan bahwa, jumlah naskah mayoritas merupakan saksi dari bacaan yang benar. Melalu metode ini, teks yang dihasilkan dapat dianggap sebagai satu teks yang baru karena merupakan gabungan dari semua naskah yang ada.

(4)   Metode Landasan

Metode ini dikenal juga dengan metode legger atau induk, digunakan apabila menurut tafsiran nilai semua naskah jelas berbeda. Ada naskah yang dari segi kualitas lebih baik bahkan paling menonjol. Hal itu dikarenakan naskah tersebut mengandung sedikit kesalahan dibandingkan naskah yang lain.[16]

Metode-metode ini nanti, menghasilkan satu edisi teks yang dari segi tekstual hampir seluruhnya mempunyai kesamaan dengan teks pada naskah landasan.

Sebagai satu disiplin studi filologi menuntut metode yang memadai. Berbagai factor yang terlibat dalam kerja filologi menjadi pertimbangan dalam menetapkan metode. Factor-faktor tersebut, yaitu:

1.      Pandangan tentang studi filologi yang dilatari oleh sikapnya terhadap variasi.

2.      Kondisi sasaran dan objek kerjanya seperti terlihat pada materialnya, pada system Bahasa, system sastra, dan konvensi social budayanya.

3.      Besarnya jumlah peninggalan tulisan yang memuat teks dan bentuknya


 

3.      Penutup

Dari penjelasan diatas dapat disimpulkan bahwa, filologi merupakan pengetahuan tentang sastra-sastra dalam arti luas mencakup bidang bahasa, sastra dan kebudayaan.

Filologi lahir, tumbuh dan berkembang di wilayah kota Iskandariah pada abad ke 3 M. mereka  berhasil membaca naskah Yunani lama yang ditulis dalam huruf bangsa Funisia. Kemudian berkembang ke wilayah di Timur tengah, hingga sampailah ke Nusantara.

DAFTAR KEPUSTAKAAN

Ahmad, Zaidan. FILOLOGI, Buku Perkuliahan Program Studi Bahasa dan Sastra Arab Fakultas Adab dan Humaniora UIN SUnan Ampel. Surabaya: Fak Adab dan Humaniora UIN SUnan Ampel, 2013.

Baried, Siti Baroroh, dkk. Pengantar Teori Filologi. Yogyakarta: Fak Sastra UGM, 1999.

I Ketut, Nuarca. Sebuah Pengantar Metode Filologi. Bali: Fak Ilmu Budaya Univ Udayana, 2017.

Lubis, Nabilah. Naskah Teks dan Metode Penelitian Filologi. Jakarta, t.t.

———. Teks dan Metode Penelitian. Jakarta: Fak Adab IAIN Syarif Hidayatullah, 1996.

Mahmud Abbas, Mahmudah. Tarikh al-Kitab al-Islami al-Makhthuth. Riyadh: Dar Tsaqit lil-Nasyri, t.t.

Martin, L. West. Textual Criticiosm and editorial Technique, Aplicable tu Greec and latin Texts. Stutgart: Teubner, 1973.

Maththa, al-Tharabishi. Fi Manhaj Tahqiq al-Makhthuthath. Damaskus: Dar al-Fikri, 1983.

Reynold, Wilson. Scribes and Scholars, A Guide to the Transmission of Greek and Latin Literature. Oxford: Clarendon Press, 1975.

Sadihutomo, Suripan. Filologi Lisan: Telaah Teks Kentrung. CV Lautan Rejeki, 1999.

subalidinata. “Manfaat Studi Sastra Jawa Kuna dari Segi Filologi,” 1975.

Willem, Molen. “Aim and Methods of Javanese Philology” dalam Indonesia Circle, 1981.

 



[1] Nabilah Lubis, Naskah Teks dan Metode Penelitian Filologi (Jakarta, t.t.), h. 14.

[2] Siti Baroroh Baried dkk, Pengantar Teori Filologi (Yogyakarta: Fak Sastra UGM, 1999), h. 1.

[3] Nabilah Lubis, Teks dan Metode Penelitian (Jakarta: Fak Adab IAIN Syarif Hidayatullah, 1996), h. 14.

[4] subalidinata, “Manfaat Studi Sastra Jawa Kuna dari Segi Filologi,” 1975.

[5] al-Tharabishi Maththa, Fi Manhaj Tahqiq al-Makhthuthath (Damaskus: Dar al-Fikri, 1983), h. 9.

[6] L. West Martin, Textual Criticiosm and editorial Technique, Aplicable tu Greec and latin Texts (Stutgart: Teubner, 1973), h. 10.

[7] Baried, Pengantar Teori Filologi, h. 35-36.

[8] Mahmudah Mahmud Abbas, Tarikh al-Kitab al-Islami al-Makhthuth (Riyadh: Dar Tsaqit lil-Nasyri, t.t.), h. 21.

[9] Nuarca I Ketut, Sebuah Pengantar Metode Filologi (Bali: Fak Ilmu Budaya Univ Udayana, 2017), h. 9.

[10] Baried, Pengantar Teori Filologi, h. 2.

[11] Suripan Sadihutomo, Filologi Lisan: Telaah Teks Kentrung (CV Lautan Rejeki, 1999), h. v-vi.

[12] Zaidan Ahmad, FILOLOGI, Buku Perkuliahan Program Studi Bahasa dan Sastra Arab Fakultas Adab dan Humaniora UIN SUnan Ampel (Surabaya: Fak Adab dan Humaniora UIN SUnan Ampel, 2013), h. 11.

[13] Baried, Pengantar Teori Filologi, h. 5.

[14] Molen Willem, “Aim and Methods of Javanese Philology” dalam Indonesia Circle, 1981, h. 5.

[15] Wilson Reynold, Scribes and Scholars, A Guide to the Transmission of Greek and Latin Literature (Oxford: Clarendon Press, 1975), h. 186.

[16] I Ketut, Sebuah Pengantar Metode Filologi, 15–16.