A.
Mesjid Agung Al-Karomah
Masjid Agung Al Karomah adalah masjid besar yang terletak
di Kota Martapura, Kabupaten Banjar, Kalimantan Selatan dan merupakan salah
satu masjid terbesar di Kalimantan Selatan. Masjid ini juga merupakan markah
tanah dari Kota Martapura karena mudah diakses dari seluruh kota di Kalimantan
Selatan karena terletak di Jl. Ahmad Yani yang merupakan jalan utama (jalan
nasional) antar kota, terutama dari Kalsel ke Kaltim.
Sebagai pusat Kerajaan
Banjar, Martapura tercatat menjadi saksi 12 sultan yang memerintah. Pada waktu itu
Mesjid berfungsi sebagai tempat peribadatan, dakwah Islamiyah, integrasi umat
Islam dan markas atau benteng pertahanan para pejuang dalam menantang Belanda.
Akibat pembakaran Kampung Pasayangan dan Masjid Martapura, muncul keinginan
membangun Masjid yang lebih besar. Tahun 1280 Hijriyah atau 1863 Masehi,
pembangunan masjid pun dimulai.
Masjid Agung Al Karomah, dulu namanya adalah Masjid Jami’ Martapura, yang didirikan oleh panitia pembangunan masjid yaitu HM. Nasir, HM. Taher (Datu Kaya), HM. Apip (Datu Landak).
Masjid Agung Al Karomah, dulu namanya adalah Masjid Jami’ Martapura, yang didirikan oleh panitia pembangunan masjid yaitu HM. Nasir, HM. Taher (Datu Kaya), HM. Apip (Datu Landak).
Kepanitiaan ini didukung
oleh Raden Tumenggung Kesuma Yuda dan Mufti HM Noor.Menurut riwayatnya, Datuk
Landak dipercaya untuk mencari kayu Ulin sebagai sokoguru masjid, ke daerah
Barito, Kalimantan Tengah. Setelah tiang ulin berada di lokasi bangunan Masjid
lalu disepakati.Tepat 10 Rajab 1315 H (5 Desember 1897 M) dimulailah
pembangunan masjid jami’ tersebut. Secara teknis bangunan masjid tersebut
adalah bangunan dengan struktur utama dari kayu ulin dengan atap sirap, dinding
dan lantai papan kayu ulin. Seiring dengan perubahan masa dari waktu ke waktu
masjid tersebut selalu di renovasi, tapi struktur utama tidak berubah.Malam
Senin 12 Rabiul Awal 1415 H dalam perayaan hari kelahiran Nabi Besar Muhammad
SAW, Masjid Jami’ Martapura diresmikan menjadi Masjid Agung Al Karomah. Saat
ini Masjid Agung Al Karomah berdiri megah dengan konstruksi beton dan rangka
atapnya terbuat dari baja stainless, yang terangkai dalam struktur space frame.
Untuk kubahnya dilapisi dengan bahan enamel.
Di dalam masjid, sampai
saat ini masih dapat ditemukan dan dilihat struktur utama Masjid Jami Martapura
yang tidak dibongkar, sehingga dapat dilihat sebagai bukti sejarah mulai
berdirinya masjid tersebut.
2.
Aristektur
Dilihat dari segi
arsitekturnya, bentuk Masjid Agung Al Karomah Martapura mengikuti Masjid Demak
Buatan Sunan Kalijaga. Miniaturnya dibawa utusan Desa Dalam Pagar dan ukurannya
sangat rapi serta mudah disesuaikan dengan bangunan sebenarnya sebab telah
memakai skala.
Sampai saat ini bentuk bangunan Masjid menurut K.H. Halilul Rahman, Sekretaris Umum di kepengurusan Masjid sudah tiga kali rehab. Dengan mengikuti bentuk bangunan modern dan Eropa, sekarang Masjid Agung Al Karomah Martapura terlihat lebih megah.
Meski bergaya modern, empat tiang Ulin yang menjadi Saka Guru peninggalan bangunan pertama Masjid masih tegak di tengah. Tiang ini dikelilingi puluhan tiang beton yang menyebar di dalam Masjid
Arsitektur Masjid Agung Al Karomah Martapura yang menelan biaya Rp27 miliar pada rehab terakhir sekitar tahun 2004, banyak mengadopsi bentuk Timur Tengah. Seperti atap kubah bawang dan ornamen gaya Belanda. Semula atap Masjid berbentuk kerucut dengan konstruksi beratap tumpang, bergaya Masjid tradisional Banjar. Setelah beberapa kali rehab akhirnya berubah menjadi bentuk kubah.
Sampai saat ini bentuk bangunan Masjid menurut K.H. Halilul Rahman, Sekretaris Umum di kepengurusan Masjid sudah tiga kali rehab. Dengan mengikuti bentuk bangunan modern dan Eropa, sekarang Masjid Agung Al Karomah Martapura terlihat lebih megah.
Meski bergaya modern, empat tiang Ulin yang menjadi Saka Guru peninggalan bangunan pertama Masjid masih tegak di tengah. Tiang ini dikelilingi puluhan tiang beton yang menyebar di dalam Masjid
Arsitektur Masjid Agung Al Karomah Martapura yang menelan biaya Rp27 miliar pada rehab terakhir sekitar tahun 2004, banyak mengadopsi bentuk Timur Tengah. Seperti atap kubah bawang dan ornamen gaya Belanda. Semula atap Masjid berbentuk kerucut dengan konstruksi beratap tumpang, bergaya Masjid tradisional Banjar. Setelah beberapa kali rehab akhirnya berubah menjadi bentuk kubah.
Bila arsitektur bangunan
banyak berubah, namun mimbar tempat khatib berkhutbah yang berumur lebih satu
abad sampai sekarang berfungsi. Mimbar berukiran untaian kembang dan berbentuk
panggung dilengkapi tangga sampai sekarang masih berfungsi dan di arsiteki H.M
Musyafa. Pola ruang pada Masjid Agung Al Karomah juga mengadopsi pola ruang
dari arsitektur Masjid Agung Demak yang dibawa bersamaan dengan masuknya agama
Islam ke daerah ini oleh Khatib Dayan. Karena mengalami perluasan arsitektur
Masjid Agung Demak hanya tersisa dari empat tiang ulin atau disebut juga tiang
guru empat dari bangunan lama.
Tiang guru adalah tiang-tiang yang melingkupi ruang cella atau ruang keramat. Ruang cella yang dilingkupi tiang-tiang guru terdapat di depan ruang mihrab, yang berarti secara kosmologi cella lebih penting dari mihrab. Sejarahnya tiang guru empat menggunakan tali alias seradang yang ditarik beramai-ramai oleh Datuk Landak bersama masyarakat. Atas izin Allah SWT tiang Guru Empat didirikan. Masjid pertama kali dibangun berukuran 37,5 meter x 37,5 meter.
Tiang guru adalah tiang-tiang yang melingkupi ruang cella atau ruang keramat. Ruang cella yang dilingkupi tiang-tiang guru terdapat di depan ruang mihrab, yang berarti secara kosmologi cella lebih penting dari mihrab. Sejarahnya tiang guru empat menggunakan tali alias seradang yang ditarik beramai-ramai oleh Datuk Landak bersama masyarakat. Atas izin Allah SWT tiang Guru Empat didirikan. Masjid pertama kali dibangun berukuran 37,5 meter x 37,5 meter.
B.
Masjid Keramat Banua Halat
Masjid Al-Mukarromah atau yang lebih dikenal dengan nama
Masjid Keramat Banua Halat adalah masjid tua yang berada di desa Banua Halat
Kiri, Tapin Utara, Tapin, Kalsel. Masjid ini berjarak sekitar 120 km dari
ibukota provinsi Kalimantan Selatan. Diceritakan bahwa ketika agama Islam masuk
ke daerah ini, maka terjadilah pemisahan antara penduduk yang menganut agama
Islam dengan penduduk yang masih menganut kepercayaan nenek moyang. Sejak
itulah kampung mereka disebut Banua Halat, artinya “kampung pembatas”, yaitu
pembatas antara penduduk yang menganut agama Islam dengan yang menganut
kepercayaan lama. Sisa-sisa budaya dari kelompok ini, yang menunjukkan bahwa
mereka pada mulanya merupakan kesatuan komunitas dapat ditelusuri dari
peralatan upacara Baayun Maulid (lazim disebut Baayun Mulud) yang
diselenggarakan di Masjid Banua Halat bersamaan dengan peringatan Maulid Nabi
Muhammad SAW, tanggal 12 Rabiul Awal. Tradisi mengayun anak yang merupakan
perpaduan unsur kepercayaan lama dengan Islam ini tidak hanya dijalani oleh
bayi dan anak-anak, namun juga orang-orang tua.
Ø
Sejarah
Tidak diketahui pasti kapan masjid ini dibangun. Menurut
sejarah, masjid yang dikeramatkan tersebut dibangun H. Syafrullah atau yang
dikenal orang terdahulu sebagai Datu Ujung (dalam versi lain ada yang juga
menyebutkan kalau masjid ini didirikan oleh Haji Mungani Salingnata pada tahun
1840). Datu Ujung ini memiliki kehebatan yang masih dikenal sampai sekarang,
yaitu tiang miring. Tiang ini menjadi salah satu tiang utama di masjid
tersebut.
Sebagai tokoh masyarakat yang dikenal, Datu Ujung bersama
masyarakat membangun masjid keramat untuk tempat ibadah masyarakat sekitar.
Saat pembangunan masjid tersebut tiang-tiang masjid dicari Datu Ujung ke Desa
Batung, Kecamatan Piani. Menurut sejarah pula, tiang-tiang itu hanya ditendang
Datu Ujung dengan kesaktiannya hingga bisa dihanyutkan ke sungai dan sampai di
depan Masjid Keramat yang berada di pinggiran Sungai Tapin.
Setelah masjid selesai, warga mengadakan selamatan. Saat
selamatan itu ternyata ikan untuk di makan warga kurang, lalu Datu Ujung
berpesan kepada warga untuk jangan makan dahulu sebelum ia datang karena Datu
Ujung akan mengambil ikan di Negara, Hulu Sungai Selatan. Warga pun tidak
percaya, mengingat jarak antara Banua Halat dengan Negara sangat jauh, mustahil
kalau harus menunggu Datu Ujung kembali dalam waktu singkat. Walhasil warga pun
makan duluan, saat itulah Datu Ujung muncul dengan membawa banyak ikan.
Melihat warga yang tidak mengindahkan pesannya tersebut,
membuat Datu Ujung jadi marah hingga dia menghentakkan kakinya ke tanah hingga
menimbulkan bekas tanah yang miring. Hingga sekarang, bekas pijakan tanah
tersebut yang berada di di bagian pojok kanan masjid masih membekas.
Di salah satu tiang masjid, terdapat sebuah tiang yang
mengeluarkan minyak. Tidak diketahui pasti kapan minyak itu keluar dan
sebabnya.
Masjid ini pernah dibakar oleh Belanda. Pada saat terbakar,
hampir seluruh material bangunan masjid yang berada di tepian sungai itu ludes.
Yang tersisa hanya satu tiang utama yang kini terus mengeluarkan minyak itu.
Kemudian, pada tahun 1862 Masjid Al-Mukarromah dibangun kembali.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar