Hai Dear, wellcome to my Blog

Senin, 01 April 2013

History of Embun Pagi



A.  Latar Belakang
A pabila kita melewati jalan menuju kawasan Maninjau dari daerah Bukittinggi, maka kita akan melewati daerah sejuk yang bernama Embun pagi. Kawasan Embun Pagi yang berada di desa Padang Gelanggang 24 km dari Bukitinggi dan tidak jauh dari Puncak Lawang seolah menjadi tempat persinggahan wajib bagi mereka yang hendak berkunjung ke danau Maninjau. Padahal jika tiada kabut menghadang, keindahan Danau Maninjau dengan airnya yang membiru dan bukit-bukit hijau disekelilingnya akan terlihat lebih memukau dari lokasi Embun Pagi yang berada 1000 km diatas permukaan laut. Namun, tidak banyak yang mengetahui akan filosofi hingga daerah tersebut bisa ada dan dinamakan dengan Embun Pagi.
Daerah ini sangat ramai dikunjungi oleh wisatawan, namun tak banyak yang tahu bagaimana asal usul daerah ini berawal. Oleh karena itu, penulis akan mencoba memaparkan sedikit banyaknya informasi yang penulis terima untuk diberikan kepada semuanya, agar ilmu ini juga menjadi reski bagi penulis di akhirat nantinya.
a.   Sejarah mula didirikannya Embun Pagi
Alkisah sekitar 84 tahun yang lalu Machmud St. Tjaniago yang bertugas sebagai vaksinatur (Mantri Cacar) di Aceh mengunjungi kampung halamannya di Bayur, Maninjau. Sementara di nagari Bayur yang berada di tepian danau Maninjau bermukimlah Abdul Muin St. akmur yang bekerja sebagai pegawai SSS (Sumatera’s Staatspoor = Jawatan Kereta Api Sumatera) hingga mencapai jabatan Stationchef (Kepala Stasiun). Karena jabatannya itu orang sering memanggilnya dengan sebutan “Angku Sep”.
Dari beberapa orang anaknya, putera sulungnya, Kaharoeddin berhasil memasuki sekolah OSVIA (Opleidingschool voor Inlandsche Ambtenaren – sekolah pamongpraja untuk bumiputra) di Bukittinggi. Setelah selesai pendidikan di OSVIA, Kaharoeddin diangkat menjadi GAIB (Gediplomeerd Ambtenaar Inlandsche Bestuur) yang diperbantukan pada Asisten Residen 50 Kota di Payakumbuh terhitung 1 September 1926.
Sekitar sebulan setelah diangkat menjadi ambtenaar di Payakumbuh, Kaharoeddin muda pulang ke Maninjau. Selain ingin menjenguk keluarga, Kaharoeddin juga ingin menyaksikan pacuan kuda di Padang Gelanggang, di dekat Matur. Ketika itulah secara kebetulan ia bertemu dengan Machmud St. Tjaniago yang ternyata masih merupakan mamak (paman) dari Kaharoeddin yang bersuku Tjaniago.
Adalah Moekmin Dt. Bandaro, Kepala Nagari Bayur kala itu, yang memperkenalkan Kaharoeddin kepada Sutan Tjaniago. Sutan Tjaniago langsung tertarik kepada pemuda bertubuh sedang dan berpenampilan santun ini. “Oh, lai anak awak juo mah (anak kita juga rupanya),” katanya ketika bersalaman dengan Kaharoeddin.
Machmud Sutan Tjaniago yang bertugas di Aceh pulang ke Bayur dalam rangka mengantarkan isterinya Saleha yang sakit keras. Ikut pulang puterinya Mariah yang jolong gadang (beranjak dewasa – sekitar 15 tahun). Anak gadis itu harus meninggalkan bangku kelas enam HIS di Aceh untuk menjaga dan merawat ibunya di kampung.
Tatkala Kaharoeddin pulang lagi ke Bayur untuk menemui keluarganya beberapa waktu kemudian, dia mulai mendengar nama Mariah banyak dibicarakan anak-anak muda di kampungnya. Rupanya yang dimaksud adalah putri Sutan Tjaniago yang ia kenal di Padang Gelanggang tempo hari. Mariah pantas menjadi buah bibir. Maklum gadis nan jolong gadang itu memang berparas cantik, juga terpelajar karena pernah enam tahun di HIS. Pada waktu itu, sangat sedikit anak perempuan, apalagi di kampung, yang menikmati bangku sekolah.
Suatu pagi di bulan Oktober 1926, Mariah yang baru kembali dari mesjid seusai shalat Subuh, mendengar suara dehem orang batuk dari halaman sebuah rumah yang sedang dilewatinya. Mengira orang batuk biasa, Mariah yang berjalan bersama teman-teman remajanya tidak ambil peduli. Kemudian pemuda yang baru saja mendehem tadi terdengar berbicara sendiri dengan mengatakan: “Roos van Bajoer. ( Rupanya sekarang ada bunga roos di negeri Bayur ini).” Mariah yang masih ‘ingusan’ tak mengerti kalau kata-kata itu ditujukan kepadanya. “Awak kira ia memang mengatakan bunga rose yang sebenarnya, jadi awak tak mengerti maksudnya,” kenang Mariah di kemudian hari.
Sementara itu Machmud Sutan Tjaniago sudah kembali ke Aceh. Baginya pertemuan dengan pemuda Kaharoeddin di Padang Gelanggang tempo hari rupanya membawa kesan yang mendalam. Setibanya kembali di Lhokseumawe ia menulis surat kepada kerabatnya Abdul Muin St. Makmur di Solok. Isinya kira-kira: “Rupanya anak kita Kaharoeddin sudah besar dan sudah menjadi ambtenaar sekarang. Anak saya Mariah juga sudah gadis, sekarang tinggal di Bajoer merawat ibunya. Kalau angku Sutan Makmur setuju, untuk menyambung tali persahabatan kita, bagaimana kalau anak-anak kita itu kita pertemukan.”
Ternyata bukan hanya satu surat yang diterima keluarga Sutan Makmur dengan maksud meminang Kaharoeddin, sang ambtenaar muda itu. Ada sekitar 10 surat dengan maksud yang sama diterimanya. Makanya ia kemudian memanggil putra sulungnya itu pulang ke kampung untuk membicarakan masalah tersebut. Sutan Makmur lalu memperlihatkan surat-surat lamaran itu kepada Kaharoeddin yang menyimak saja ketika surat-surat tersebut dibacakan. Kebetulan surat dari Sutan Tjaniago adalah yang paling terakhir dibacakan.
”Sekarang mana yang kamu pilih,” tanya Sutan Makmur.
”Yang itu sajalah,” jawab Kaharoeddin mantap menunjuk surat yang terakhir. Maksudnya tentu jelas, adalah surat yang berasal dari Machmud Sutan Tjaniago, ayah Mariah si Roos van Bajoer.
Singkat cerita, keluarga kedua belah pihak menyetujui pilihan Kaharoeddin. Sehingga dilangsungkanlah pernikahan di akhir tahun 1926 yang kemudian melahirkan anak-anak mereka: Mariati, Adrin Kahar, Djohari Kahar, Reno dan Amrin Kahar. Dalam perjalanan karirnya, Kaharoeddin kelak dikenal sebagai sebagai polisi pejuang, dicatat sejarah sebagai Gubernur pertama Propinsi Sumatera Barat. Ia juga merupakan perwira polisi pertama di Indonesia yang meraih jabatan Gubernur dan tercatat pula sebagai putra Minang pertama yang meraih pangkat Brigadir Jenderal di kepolisian.
Kaharoeddin pernah menjabat sebagai Kepala Polisi Sumatera Tengah (1953 – pertengahan 1958) yang berdomisili di Bukittinggi dengan daerah kerja Sumatera Barat, Riau dan Jambi. Di masa itu Kaharoeddin menginstruksikan pembangunan Mess Polisi di desa Padang Gelanggang untuk dipakai sebagai tempat peristirahatan / pesanggerahan bagi korps kepolisian. Rupanya daerah tempat perkenalannya dengan Machmud Sutan Tjaniago (yang belakangan menjadi ayah mertuanya) memiliki kesan yang sangat mendalam bagi diri Kaharoeddin, sehingga lokasi Mess Polisi itu dinamainya Ambun Pagi (Embun Pagi). Kaharoeddin konon mengibaratkan istilah “embun pagi” sebagai awal dari perjalanan hidupnya bersama Mariah yang berawal dari daerah itu. Mess Polisi tersebut selesai dibangun menjelang pertengahan tahun 1954, sebelum pernikahan putrinya, Reno dengan Nazir, Kepala Sekolah SMA Bukitinggi kala itu.
Patah tumbuh hilang berganti. Mess Polisi Ambun Pagi kini tinggal kenangan dan telah lama digantikan oleh bangunan lain. Lokasinya kini ditempati bangunan Nuansa Maninjau Hotel & Resort yang telah menyedot begitu banyak wisatawan untuk menikmati keindahan danau terluas ke-11 di Indonesia ini. Kaharoeddin sendiri telah lama dipanggil keharibaan Nya, yaitu tanggal 1 April 1981 dan isterinya Mariah wafat di Jakarta pada tgl 10 Mei 2008 meninggalkan 5 anak dan 21 cucu. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar