A. Latar Belakang
A pabila kita melewati jalan menuju kawasan Maninjau
dari daerah Bukittinggi, maka kita akan melewati daerah sejuk yang bernama
Embun pagi. Kawasan Embun Pagi yang berada di desa Padang Gelanggang 24 km dari
Bukitinggi dan tidak jauh dari Puncak Lawang seolah menjadi tempat persinggahan
wajib bagi mereka yang hendak berkunjung ke danau Maninjau. Padahal jika tiada
kabut menghadang, keindahan Danau Maninjau dengan airnya yang membiru dan
bukit-bukit hijau disekelilingnya akan terlihat lebih memukau dari lokasi Embun
Pagi yang berada 1000 km diatas permukaan laut. Namun, tidak banyak yang
mengetahui akan filosofi hingga daerah tersebut bisa ada dan dinamakan dengan
Embun Pagi.
Daerah ini sangat ramai dikunjungi oleh wisatawan,
namun tak banyak yang tahu bagaimana asal usul daerah ini berawal. Oleh karena
itu, penulis akan mencoba memaparkan sedikit banyaknya informasi yang penulis
terima untuk diberikan kepada semuanya, agar ilmu ini juga menjadi reski bagi
penulis di akhirat nantinya.
a.
Sejarah mula didirikannya Embun Pagi
Alkisah sekitar 84 tahun yang lalu Machmud St.
Tjaniago yang bertugas sebagai vaksinatur (Mantri Cacar) di Aceh
mengunjungi kampung halamannya di Bayur, Maninjau. Sementara di nagari
Bayur yang berada di tepian danau Maninjau bermukimlah Abdul Muin St. akmur
yang bekerja sebagai pegawai SSS (Sumatera’s Staatspoor = Jawatan Kereta Api
Sumatera) hingga mencapai jabatan Stationchef (Kepala Stasiun). Karena
jabatannya itu orang sering memanggilnya dengan sebutan “Angku Sep”.
Dari beberapa orang anaknya, putera sulungnya,
Kaharoeddin berhasil memasuki sekolah OSVIA (Opleidingschool voor Inlandsche
Ambtenaren – sekolah pamongpraja untuk bumiputra) di Bukittinggi. Setelah
selesai pendidikan di OSVIA, Kaharoeddin diangkat menjadi GAIB (Gediplomeerd
Ambtenaar Inlandsche Bestuur) yang diperbantukan pada Asisten Residen 50 Kota
di Payakumbuh terhitung 1 September 1926.
Sekitar sebulan setelah diangkat menjadi ambtenaar di
Payakumbuh, Kaharoeddin muda pulang ke Maninjau. Selain ingin menjenguk
keluarga, Kaharoeddin juga ingin menyaksikan pacuan kuda di Padang Gelanggang,
di dekat Matur. Ketika itulah secara kebetulan ia bertemu dengan Machmud St.
Tjaniago yang ternyata masih merupakan mamak (paman) dari Kaharoeddin yang
bersuku Tjaniago.
Adalah
Moekmin Dt. Bandaro, Kepala Nagari Bayur kala itu, yang memperkenalkan
Kaharoeddin kepada Sutan Tjaniago. Sutan Tjaniago langsung tertarik kepada
pemuda bertubuh sedang dan berpenampilan santun ini. “Oh, lai anak awak juo mah
(anak kita juga rupanya),” katanya ketika bersalaman dengan Kaharoeddin.
Machmud
Sutan Tjaniago yang bertugas di Aceh pulang ke Bayur dalam rangka mengantarkan
isterinya Saleha yang sakit keras. Ikut pulang puterinya Mariah yang jolong
gadang (beranjak dewasa – sekitar 15 tahun). Anak gadis itu harus meninggalkan
bangku kelas enam HIS di Aceh untuk menjaga dan merawat ibunya di kampung.
Tatkala Kaharoeddin pulang lagi ke Bayur untuk menemui
keluarganya beberapa waktu kemudian, dia mulai mendengar nama Mariah banyak
dibicarakan anak-anak muda di kampungnya. Rupanya yang dimaksud adalah putri
Sutan Tjaniago yang ia kenal di Padang Gelanggang tempo hari. Mariah pantas
menjadi buah bibir. Maklum gadis nan jolong gadang itu memang berparas cantik,
juga terpelajar karena pernah enam tahun di HIS. Pada waktu itu, sangat sedikit
anak perempuan, apalagi di kampung, yang menikmati bangku sekolah.
Suatu pagi di bulan Oktober 1926, Mariah yang baru
kembali dari mesjid seusai shalat Subuh, mendengar suara dehem orang batuk dari
halaman sebuah rumah yang sedang dilewatinya. Mengira
orang batuk biasa, Mariah yang berjalan bersama teman-teman remajanya tidak
ambil peduli. Kemudian pemuda yang baru saja mendehem tadi terdengar berbicara
sendiri dengan mengatakan: “Roos van Bajoer. ( Rupanya sekarang ada bunga
roos di negeri Bayur ini).” Mariah yang masih ‘ingusan’ tak mengerti kalau
kata-kata itu ditujukan kepadanya. “Awak kira ia memang mengatakan bunga
rose yang sebenarnya, jadi awak tak mengerti maksudnya,” kenang Mariah di
kemudian hari.
Sementara
itu Machmud Sutan Tjaniago sudah kembali ke Aceh. Baginya pertemuan dengan
pemuda Kaharoeddin di Padang Gelanggang tempo hari rupanya membawa kesan yang
mendalam. Setibanya kembali di Lhokseumawe ia menulis surat kepada kerabatnya
Abdul Muin St. Makmur di Solok. Isinya kira-kira: “Rupanya anak kita
Kaharoeddin sudah besar dan sudah menjadi ambtenaar sekarang. Anak saya Mariah
juga sudah gadis, sekarang tinggal di Bajoer merawat ibunya. Kalau angku
Sutan Makmur setuju, untuk menyambung tali persahabatan kita, bagaimana kalau
anak-anak kita itu kita pertemukan.”
Ternyata
bukan hanya satu surat yang diterima keluarga Sutan Makmur dengan maksud
meminang Kaharoeddin, sang ambtenaar muda itu. Ada sekitar 10 surat dengan
maksud yang sama diterimanya. Makanya ia kemudian memanggil putra sulungnya itu
pulang ke kampung untuk membicarakan masalah tersebut. Sutan Makmur lalu
memperlihatkan surat-surat lamaran itu kepada Kaharoeddin yang menyimak saja
ketika surat-surat tersebut dibacakan. Kebetulan surat dari Sutan Tjaniago
adalah yang paling terakhir dibacakan.
”Sekarang
mana yang kamu pilih,” tanya Sutan Makmur.
”Yang
itu sajalah,” jawab Kaharoeddin mantap menunjuk surat yang terakhir. Maksudnya
tentu jelas, adalah surat yang berasal dari Machmud Sutan Tjaniago, ayah Mariah
si Roos van Bajoer.
Singkat cerita, keluarga kedua belah pihak menyetujui
pilihan Kaharoeddin. Sehingga dilangsungkanlah pernikahan di akhir tahun 1926
yang kemudian melahirkan anak-anak mereka: Mariati, Adrin Kahar, Djohari Kahar,
Reno dan Amrin Kahar. Dalam perjalanan karirnya, Kaharoeddin kelak dikenal
sebagai sebagai polisi pejuang, dicatat sejarah sebagai Gubernur pertama
Propinsi Sumatera Barat. Ia juga merupakan perwira polisi pertama di Indonesia
yang meraih jabatan Gubernur dan tercatat pula sebagai putra Minang pertama
yang meraih pangkat Brigadir Jenderal di kepolisian.
Kaharoeddin pernah menjabat sebagai Kepala Polisi
Sumatera Tengah (1953 – pertengahan 1958) yang berdomisili di Bukittinggi
dengan daerah kerja Sumatera Barat, Riau dan Jambi. Di masa itu Kaharoeddin
menginstruksikan pembangunan Mess Polisi di desa Padang Gelanggang untuk
dipakai sebagai tempat peristirahatan / pesanggerahan bagi korps kepolisian.
Rupanya daerah tempat perkenalannya dengan Machmud Sutan Tjaniago (yang belakangan
menjadi ayah mertuanya) memiliki kesan yang sangat mendalam bagi diri
Kaharoeddin, sehingga lokasi Mess Polisi itu dinamainya Ambun Pagi (Embun
Pagi). Kaharoeddin konon mengibaratkan istilah “embun pagi” sebagai awal dari
perjalanan hidupnya bersama Mariah yang berawal dari daerah itu. Mess Polisi
tersebut selesai dibangun menjelang pertengahan tahun 1954, sebelum pernikahan
putrinya, Reno dengan Nazir, Kepala Sekolah SMA Bukitinggi kala itu.
Patah
tumbuh hilang berganti. Mess Polisi Ambun Pagi kini tinggal kenangan dan telah
lama digantikan oleh bangunan lain. Lokasinya kini ditempati bangunan Nuansa
Maninjau Hotel & Resort yang telah menyedot begitu banyak wisatawan untuk
menikmati keindahan danau terluas ke-11 di Indonesia ini. Kaharoeddin sendiri
telah lama dipanggil keharibaan Nya, yaitu tanggal 1 April 1981 dan isterinya
Mariah wafat di Jakarta pada tgl 10 Mei 2008 meninggalkan 5 anak dan 21
cucu.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar