Hai Dear, wellcome to my Blog

Minggu, 31 Maret 2013

Kertas Daluwang


1.  Sejarah bahan naskah Daluwang
Sebelumnya, mari kita lihat dulu pemaknaan dari kertas daluwang itu sendiri. Menurut siti Zahra dalam bukunya FILOLOGI, dia memaknai bahwa :
“Kertas Daluwang adalah sejenis kertas yang dibuat secara tradisional dari kulit kayu”.
Berawal dari ditemukannya jenis kertas papyrus di Mesir kuno, kemudian disusul oleh China serta Negara-negara lainnya di dunia, menginspirasi pembuatan kertas di Nusantara beberapa abad kemudian.
Di kepulauan Nusantara hingga kawasan kepulauan di Samudera Pasifik, sejak zaman pra-sejarah, masyarakatnya memiliki keterampilan membuat bahan pakaian dari serat sejenis pohon yang dihasilkan dengan cara dipukul-pukul dan dikerjakan oleh kaum wanita. Bahan pakaian tersebut di Polynesia dikenal dengan nama tapa, sedangkan di Sulawesi Tengah disebut dengan fuya. Serat pohon yang digunakan berasal dari pohon yang dalam bahasa Jawa dikenal sebagai glugu atau galugu, dalam bahasa Melayu-bahasa Bosamah dikenal sebagai sepukau, kemudian saeh (bahasa Sunda), dhalubang, dhulubang (bahasa Madura), kembala (bahasa Sumba Utara), rowa (bahasa Sumba Barat), ambo(bahasa Baree), lingowas (bahasa Banggai), iwo (bahasa Tembuku), malak (bahasa Seram) (nama latinnya Broussonetia papyrifera). Di Polynesia dipergunakan juga serat pohon jenis lain, di antaranya pohon Sukun (Artocarpus Blumei) dan jenis ficus. Bahan pakaian itu di Jawa disebut dluwang atau daluwang dalam bahasa Sunda.
Pada masa pra-Islam, pakaian dluwang itu bukan pakaian biasa untuk keperluan sehari-hari, melainkan dipakai dalam kegiatan upacara keagamaan, bagi orang-orang yang hidup dilingkungan keagamaan atau orang-orang saleh.
Lembaran dluwang dapat dihiasi dengan gambar-gambar berwarna, demikian juga tapa di Polynesia dan fuya di Sulawesi Utara dan Sulawesi Tengah. Zat pewarna dapat dibuat dari jenis-jenis tumbuhan seperti kunyit (Curcuma) dan mengkudu (Morinda citrifolia). Di daerah Kalimantan, Suku Dayak juga memiliki bahan kain tenun tradisional yang berasal dari serat dari suatu jenis tanaman yang dikenal dengan ulap doyo.
Pada masa pemeluk agama Islam telah mengambil posisi yang berpengaruh di kota-kota pantai utara Jawa, penggunaan daluwang sebagai bahan pakaian berakhir dan mulai dipakai sebagai bahan tulis-menulis dengan contoh yang dikenal dengan kertas Arab yang diperkenalkan oleh pedagang Islam. Hal ini menyebabkan orang-orang Jawa yang baru masuk Islam mengubah penggunaan daluwang sebagai bahan pakaian menjadi bahan tulis. Hal lain adalah penggunaan lontar tidak praktis untuk menulis huruf Arab, dengan demikian penggunaan kertas dan bahan sejenis kertas semakin berkembang.
Naskah tertua yang dikenal dalam Ilmu pengetahuan dengan bahan tulis dluwang atau daluwang dan memakai aksara Jawa, berasal dari akhir abad ke-16 serta isinya mengenai mistik Islam kini di simpan di Perpustakaan Universitas Leiden di Belanda dengan nomor kode Lor.1928.

2.  Asal bahan dan daerah yang menggunakan
Bahan kertas tersebut berasal dari berbagai daerah di Nusantara, dikenal dengan nama tapa di Polynesia, sedangkan di Sulawesi Tengah disebut dengan fuya, dalam bahasa Jawa dikenal sebagai glugu atau galugu, dalam bahasa Melayu-bahasa Bosamah dikenal sebagai sepukau, kemudian saeh (bahasa Sunda), dhulubang (bahasa Madura), kembala (bahasa Sumba Utara), rowa (bahasa Sumba Barat), ambo (bahasa Baree), lingowas (bahasa Banggai), iwo (bahasa Tembuku), malak (bahasa Seram) (nama latinnya Broussonetia papyrifera), dll. Kertas tersebut digunakan untuk dijadikan alas menulis sebagai ganti kertas lontar yang tidak lagi bagus digunakan untuk menulis karena daya tahannya kertasnya yang tidak lama.

3.  Proses pembuatan
Pohon yang berusia 3-6 bulan di tebang. Kulit bagian luar dibuang sehingga tinggal kulit bagian dalam yang berwarna putih. Kulit yang berwarna putih itu kemudian di potong sepanjang 30-40 cm.
Potongan kulit kayu itu direndam dalam air sekitar 12 jam agar menjadi lembut dan mudah dipukul-pukul. Makin lama direndam, maka kulit kayu itu akan menjadi semakin lembut dan hasilnya akan semakin lebih baik. Jika kulit kayu direndam lebih dari 12 jam (semalam) maka airnya harus diganti.
Setelah selesai direndam, kulit kayu itu dipukul-pukul selembar demi selembar dengan alat pemukul di atas balok kayu berukuran kira-kira 12 x 4 cm dengan tinggi 3 cm.
Setelah dipukul, satu potong kulit yang ukurannya 10 cm akan berubah menjadi 30 cm. untuk menghasilkan satu lembar kertas dibutuhkan 2 atau 3 lembar kulit dalam yang ditumpuk. Kemudian dilipat dua, dipukul lagi begitu seterusnya sampa 4 lipatan hingga dirasa cukup merata dan menyatu, lalu dibuka lipatannya.
Setelah dipukul, bahan tersebut dicelupkan dalam air lalu diperas. Setelah itu bahan dibungkus daun pisang, diperam dalam sebuah keranjang bamboo selama lebih kurang 3 hari. Bertujuan agar getah kulit kayu itu keluar dan merekatkan serat-seratnya. Makin lam pemeraman dilakukan makin baik kualitas kertas yang dihasilkan.
Setelah diperam, bahan tersebut dijemur dibawah terik matahari di atas bentangan batang pisang sambil di gosok-gosok hingga permukannya halus. Penjemuran itu berlangsung sampai bahan tersebut kering dan lepas dari batang pisang. Kertas siap digunakan. (Zahra, 2000 : 4.10-4.11)
4.  Tempat penyimpanan
Dari hasil tinjauan kami di kawasan Lubuk Jambi, Riau tempat penyimpanan naskah yang kami temukan di rumah datuak Tomo di Koto.
Contoh kertas daluwang :




Tidak ada komentar:

Posting Komentar