1. Gambaran Umum
tentang peninggalan arkeologi Islam di Indonesia
a. Pusat-pusat
peninggalan akeologi Islam di Nusantara
Peninggalan arkeologi Islam Nusantara lebih
banyak diwarnai jenis peninggalan “ideofak”. Persamaan, perbedaan dan
perubahan-perubahan yang terjadi dalam struktur artefak mencerminkan proses
serupa dalam system ideology dan keagamaan masyarakat. Beberapa contoh penemuan
artefak yang ada di Indonesia, yaitu :
1) Lokasi pemakaman
dengan bentuk kuburan masa silam, seperti Makam Sunan Gunung Jati, Sunan Muria,
Giri. Mkam itu terletak di atas bukit, makam sultan-sultan Yogyakarta di Solo
di Imogiri, makam Sunan Sendang di sendangduwur. Jika tempatnya paling atas,
merupakan makam orang yang paling suci. Jika bentuk nisannya tinggi berundak,
biasanya menunjukkan kedudukan atau status social yang tertinggi.
2) Nisan Aceh yang
ditemukan di daerah Malaysia, Johor dan Negeri Sembilan. Makam Ibrahim (w.822
M) dan Sultan Nahrisyah (w 1428 M) di Kuta Krueng, Samudera Pasai. Menunjukkan
persamaan bentuk lukisan, cara penulisan dan bahan marmer seperti makam
Muhammad Inu Umar al-Kazaruni (w 1333 M) di Gujarat.
3) Penelitian mata
uang di Samudera Pasai dan Aceh, dapat memberikan petunjuk bagi penguatan data
penelitian sejarah kerajaan-kerajaan pada masa pemerintahannya, disamping
menunjukkan kaitannya dalam penelitian ekonomi perdagangan kerajaan-kerajaan
waktu itu.
4) Temuan keramik seperti yang terdapat di bekas ibu kota
Kesultanan Banten, Aceh, Goa menunjukkan adanya sejarah perekonomian dengan
Tiongkok, Thailand, Jepang, Eropa, timur Tengah, dan lainnya.
5) Dan daerah-daerah
lainnya di Nusantara.
b. Jenis-jenis
peninggalan arkeologi Islam di Indonesia
1) Mesjid
Merupakan tempat umat Islam berhubungan
dengan Tuhan. Namun demikian, mesjid juga merupakan produk rancangan manusia,
dimana struktur dan konstruksinya diadaptasikan dengan lingkungan alam dan
budaya masyarakat setempat. Contoh : mesjid Gresik, dan Sendangduwur di
Lamongan sangat kaya dengan ragam hias flora nya, bahkan hadir sejumlah anasir
seni hias yang bercorak Hindu-Budhis, seperti makara, ragam hias ikal-mursal,
gerbang bersayap dsb. Dalam Islam, masjid dianggap lebih baik jika dibuat
sesederhana mungkin, terutama di bagian dalam supaya setiap orang dapat
beribadah dengan khusuk. Peninggalan sejarah Islam dalam bentuk masjid, dapat
kita lihat antara lain pada beberapa masjid berikut.
Biasanya masjid didirikan pada tepi barat
alun-alun dekat istana. Alun-alun adalah tempat bertemunya rakyat dan rajanya.
Masjid merupakan tempat bersatunya rakyat dan rajanya sebagai sesama mahkluk
Illahi dengan Tuhan. Raja akan bertindak sebagai imam dalam memimpin salat.
Bentuk dan ukuran masjid bermacam-macam.
Namun, yang merupakan ciri khas sebuah masjid ialah atap (kubahnya). Masjid di
Indonesia umumnya atap yang bersusun, makin ke atas makin kecil, dan tingkatan
yang paling atas biasanya berbentuk limas.
Jumlah atapnya selalu ganjil. Bentuk ini
mengingatkan kita pada bentuk atap candi yang denahnya bujur sangkar dan selalu
bersusun serta puncak stupa yang adakalanya berbentuk susunan payung-payung
yang terbuka. Dengan demikian, masjid dengan bentuk seperti ini mendapat
pengaruh dari Hindu-Buddha.
Beberapa di antara masjid-masjid khas
Indonesia memiliki menara, tempat muadzin menyuarakan adzan dan memukul bedug.
Contohnya menara Masjid Kudus yang memiliki bentuk dan struktur bangunan yang
mirip dengan bale kul-kul di Pura Taman Ayun. Kul-kul memiliki fungsi yang sama
dengan menara, yakni memberi informasi atau tanda kepada masyarakat mengenai berbagai
hal berkaitan dengan kegiatan suci atau yang lain dengan dipukulnya kul-kul
dengan irama tertentu.
Beberapa contoh mesjid peninggalan Islam di
Nusantara, yaitu :
a. Mesjid Agung Banten
b. Mesjid Agung
Yokyakarta
c. Mesjid
baiturrahman, Aceh
d. Mesjid raya Medan
e. Dll.
2) Makam
Tradisi penguburan Islam tidak mengenal
“bekal kubur”, penggunaan peti mati, kecuali pada peti disertakan tanak yang
disentuhkan kepada jenazah. Ditambah lagi dengan hadist yang menyuruh
memberikan batu nisan pada bagian kepala, melarang menembok kuburan, membuat
bngunan di atas kuburan dipandang sebagai kaidah normative Islam.
Makam-makam tua peninggalan Islam di
Nusantara terdiri dari beberapa tipe yakni berjirat, tak berjirat dan berjirat
semu. Berdasarkan wilayah terdapat tipe Aceh, tipe Bugis-makasar, tipe Ternate-Tidore.
Sedangkan dari wujud seni kaligrafinya terdapat dua ciri menonjol berikut :
bukti-bukti epigrafi yang menyerap pengaruh unsure-unsur kebudayaan asing,
serta bukti epigrafi dan bentuk nisan sebagai wujud kreativitas local.
Hal penting yang menarik adalah tampilnya berbagai seni hias candi pada
sejumlah makam Islam di Jawa dan Madura, makan berundak-undak seperti di
Cirebon, bentuk lingga sebagai nisan di Sumatera Barat, maupun bentuk ikon
nisan di makam raja-raja Sulawesi Selatan.
3) Istana
Sama
halnya dengan kerajaan yang pernah ada di Nusantara, kesultanan-kesultanan
Islam pun mempunyai istana atau bangunan yang dijadikan tempat untuk memantau
serta menjalankan roda pemrintahan. Istana selain dijadikan tempat tinggalnya
para keluarga kerajaan juga dijadikan sebagai markas kekuatan dari kerajaan itu
sendiri. Diantara, peninggalan istana-istana kesultanan islam di Nusantara,
yaitu : istana Pasai di Aceh, kesultanan Demak di Jawa yang merupakan
kesultanan Islam pertama di Nusantara, Kesultanan Banten di Jawa Barat, Istana
Ternate dan Tidore, Istana Maimun, Istana Siak Sri Indrapura, Keraton
Yogyakarta, dll
Beberapa
contoh istana tersebut diantaranya :
a. Istana Siak sri
Indrapura
b. Istana Maimun di
Medan
c. Kesultanan Banten
d. Kerajaan Demak
e. Kerajaan Ternate
dan Tidore
f. Kesultanan
Yogyakarta dahulu
g. Dll.
4) Epigrafi
Epigrafi
merupakan peninggalan Islam yang berbentuk prasasti, inskripsi serta
benda-benda lain yang selain dari bangunan, makam, dan istana di Nusantara.
Prasasti Islam tertua di
Indonesia terdapat pada batu nisan Leran (Jawa) berangka tahun 575H/1082 M. Setelah
menyeliki bentuk batu dan unsur geografis yang terkait dengan keberadaan batu
ini, disimpulkan bahwa batu-batu ini berasal dari luar Pulau Jawa dan dunia
Nusantara, yaitu suatu daerah yang dekat dengan pusat historis dunia Islam. Hal
ini menunjukkan telah terjadi kontak dan hubungan antara masyarakat Nusantara
dengan daerah-daerah Islam seperti Kairo dan Iran. Disamping inkripsi ini juga
ditemukan Cap Lobu Tua di Barus (Sumatera). Di atasnya terdapat dua relief
timbul bertulisan Allah dan Muhammad. Cap Lobu Tua ini diperkirakan berasal
dari abad ke-10 atau ke-11 dari daerah luar Indonesia. Syair melayu yang
terdapat di atas salah satu dari kedua batu nisan seorang putri raja di Minye
Tujuh, Aceh yang berangka tahun 781 H (1380M) juga menunjukkan adanya pengaruh
Arab terhadap kerajaan ini. Sekalipun tulisan-tulisan dalam prasasti ini tidak
semua dapat dibaca, karena ada beberapa kata yang sulit dipahami. Namun
terlihat pengaruh Bahasa Arab dalam penulisan huruf dan tata letak teksnya.
Informasi baru yang sangat menakjubkan adalah kisah tentang Hamzah Fansuri,
seorang penyair melayu yang terkenal. Di Mekah, Claude Guillot dan Ludvik Kalus
menemukan batu nisan di Mekah yang memuat nama Syaykh Hamza bin `abd Allah al
Fansûrî, meninggal tanggal 9 Rajab 933 atau 11 april 1957. Diperkirakan nama
ini adalah milik penyair sufi melayu yang dikubur di Mekah. Hamzah tidak hidup
pada bagian kedua abad ke-16, namun dia telah telah hidup lebih awal. Barus,
daerah asal penyair ini pada abad ke-15 telah menjadi pusat-pusat agama dan
budaya alam Melayu selama periode sebelum abad ke-17 di samping Pasai dan
Malaka.
Selain itu juga terdapat relief Arab
yang terukir di dinding meriam yang terdapat di Banten dan di museum militer
Invaliden Bronbeek di Arnhem, Belanda ( meriam ini awalnya terdapat istana Aceh
di Kota Raja yang direbut pada tahun 1874 oleh Belanda). Meriam-meriam yang
terdapat di Aceh yang berasal dari Turki ini menandakan telah terjadi hubungan
antara kerajaan Aceh dengan Turki semenjak abad ke-16 dan adanya pemasokan
senjata dan pengiriman artileri oleh Turki ke Aceh namun bukan berasal dari
pemerintah Istanbul.
Meriam-meriam ini juga tidak semuanya berasal dari Turki. Dalam meriam lain
ditemukan nama nama Chingis Khan. Sehingga dapat dipastikan meriam ini berasal
dari Gujarat bukan Turki.
Namun terlepas dari asal meriam ini, jelas telah ada hubungan antara Aceh,
Turki dan Gujarat semenjak abad ke-16. Hubungan ini juga telah banyak
menyisakan pengaruh budaya Turki terhadap Aceh . Misalnya kelembagaan para
kasim, yang di seluruh Nusantara hanya terdapat di Aceh dan penyebaran
teori-teori keagamaan seperti wahdah al wujud dan pengaruh syiah dalam upacara
Asyura.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar