Antara Fakta dan Mitos
Kita
akui bersama bahwa sampai sekarang para sejarawan memiliki pandangan yang
berbeda terhadap autofikasi Tambo Alam Minangkabau. Disamping yang meyakini
kebenarannya, ada juga yang menyangsikannya. Demikian juga hal nya dengan Kaba
yang dulunya dituturkan secara turun temurun yang mengandung cerita aneh dan
irasional yang dianggap kurang masuk akal. Tambo dan kaba selain banyak berisi
mitos banyak pula memakai kata ibarat dan kata kiasan yang perlu dicerna lebih
lanjut arti dan maknanya. Oleh sebab itu ketika membaca Tambo dan Kaba
hendaknya jangan dilihat dan diterima sebagaimana yang tersurat saja, namun
perlu diketahui makna tersurat didalamnya.
Lareh Nan Duo
Dasar-dasar
pemerintahan dan masyarakat yang hingga saat ini masih dipusakai oleh masyarakat
Luhak Lima Puluh Kota pada khusunya dan Minangkabau pada umumnya, pada mulanya
disusun dan dibangun di zaman Daulat yang dipertuan Datuk Sri Maharajo Dirajo
Nan Bango Nago. Bila kita menegetahui bahwa seorang raja mempunyai kekuasaan
mutlak, tidak demikian halnya dengan system pemerintahan yang dibangun oleh
raja ini, dimana raja tidak langsung memerintah rakyatnya.
Pemerintahan
dikendalikan oleh dua orsng pembesar (Dt. Katumangguangan dan Dt. Parpatiah Nan
Sabatang) yang menjalankan peraturan menurut tata cara mereka masing-masing.
Tapi hal ini bukanlah menunjukkan bahwa keduanya bertindak dengan semaunya
saja. System pemerintahan yang mereka bangun tersebut bernama “kelarasan”.
Dalam
tambo daerah Minangkabau terdiri dari Lareh nan Duo dan Luhak Nan Tigo. Lareh
diciptakan oleh Dt. Katumangguangan dan Dt. Parpatiah Nan Sabatang, yang
kemudian berkembang menjadi dua kelarasan Koto Piliang dan Kelarasan Bodi
Caniago.
Kelarasan
Koto Piliang berasal dari Dt. Katumangguangan, yang juga disebutdengan Lareh
Nan Panjang. Dimana terdapat system aristrokrasi yang mana terdapat orang-orang
yang ditinggikan posisinya menurut adat dan ada yang posisinya sebagai orang
bawah atau masyarakat biasa. Adapun Kelarasan Bodi Caniago berasal dari Dt.
Parpatiah Nan Sabatang, disebut juga denagn Lareh Nan Bunta. Menjalankan system
kesetaraan dan prinsip-prinsip hidup demokrasi.
Dt
Katumangguangan diperkirakan lahir pada tahun 1147, dan wafat tahun 1296, memiliki
nama kecil Sutan Paduko Basa. Anak dari Puti Indo Jalito permaisuri dari Sultan
Sri Maharajo Dirajo (1101-1149). Dengan demikian dt. Katumangguangan adalah
seorang Putra Mahkota dari Pariangan yang kemudian turn ke Sungai Tarab,
wilayah Luhan Tanah Datar.
Dt
Parpatiah Nan Sabatang yang diperkirakan lahir 1152, memiliki nama kecil Sutan
Balun. Ia adalah saudara seibu (adik) dari Sutan Paduko Basa atau Dt
Katumangguangan namun berlainan ayah. Ayah Sutan Balun bernama Indo Jati (Cati
Bilang Pandai). Selanjutnya Dt. Parpatiah nan Sabatang yang juga berasal dari
pariangan turun ke Limo Kaum.
Kaum
kerabat dari kedua Datuk ini yang kemudian dating ke Luhak Nan Bungsu,
disamping beranak pinak dan berkemabangbiak, dalam kehidupan bermasyarakat
mereka senantiasa memegang teguh “adaik lamo puasako usang” yang telah
digariskan oleh sistim kelarasan tersebut. Hal ini berlaku sejak dulu hingga
sekarang dan mungkin juga selamanya. Sebagaimana diungkapkan dalam pepatah “indak
lakang dek paneh indak lapuak dek hujan”.
Dengan
melihat struktur bangunan dan rumah gadang maupun balai adat serta atribut adat
lainnya yang terdapat di berbagai tempat di wilayah Luhak Lima Puluh Kota,
dapat di duga bahwa masyarakat di wilayah tersebut menganut prinsip kelarasan
Bodi Caniago atau Koto Piliang. Sungguhpun ada perbedaan namun tidaklah nyata
antara satu dengan lainnya. Perbedaan diantara keduanya disamping terletak pada
bentuk Rumah Gadang, pada bagian lain juga dalam hal menyelesaikan dan
menuntaskan suatu masalah.
Luhak Lima Puluh Kota
Menurut
versi tambo, ninik moyang masyarakat Lima Puluh Kota pertama kalinya turun dari
lereng Gunung Sago. Bila ditelusuri lebih jauh ninik moyang tersebut adalah
rombongan pertama dari Luhak Tanah Datar ke daerah ini, yaitu dari Gadam Balai
Janggo, Pagaruyung. Rombongan tersebut terdiri dari 9 orang penghulu beserta
keluarga dan kaumnya, mereka turun mengitari lereng Gunung Sago kemudian sampai
di suatu tempat yang kemudian bernama Air Tabit. Mereka ini disebut juga dengan
Niniak Nan Sambilan yang kedatangannya diibaratkan “anggang turun jo Mangkuto”,
artinya kedatangan mereka sudah memakai gelar soko pangulu. Diantara niniak nan
sambilan itu adalah ;
1.
Syekh Khalilullah
Berasal
dari Arab, memakai dua gelar pusako yaitu Dt. Edan Dirajo dan Dt Mangkuoto Basa
Nan Hitam.
2.
Kari Alam
Memakai
dua gelar Pusaka yaitu Dt. Saidi alam dan Dt Tandiko Nan Batuah.
3.
Sutan Sillah
Memakai
gelar Dt. Paduko Rajo Lelo.
4.
Birabbinnas
Berasal
dari Arab, bergelar Dt. Bito Diarajo.
5.
Said Tinggi, syekh Abdullah
Berasal
dari Baghdad, bergelar Dt. Marajo Adil.
6.
Rajo Indo Puto
Memakai
gelar Dt. Lidah Jin Nan Hitam Lidah.
7.
Rajo Nun
Memakai
gelar Dt. Somad Dirajo.
8.
Rajo Panawa
Memakai
gelar Dt. Malagiri Nan Putih.
9.
Syekh Khatib
Memakai
gelar Dt. Marajo Indo Nan Mamangun.
Atas
kesepakatan bersama Dt. Marajo Indo Nan Mamangun tetap tinggal di Air Tabit,
sedangkan yang lain meneruskan perjalanan kea rah sebelah timur menempuh hutan
belukar yang lebat, serta melintasi sebuah Batang Air dengan cara meniti akar
yang cukup besar, sehingga akhirnya sampailah mereka ke seberang. Disana mereka
berhenti dan membuat pemukiman yang dimulai dengan taratak. Tempat tersebut
kemudian bernama Tiakar, asal katanya meniti akar.
Lama
kelamaan Tiakar semakin berkembang sehingga akhirnya sebagian penduduk mencari
tempat yang baru. Dt. Rajo Panawa berjalan ke arah timur dimang terlihat
sebatang pohon yang besar dan tinggi. Beliau menuju kesana, ternyata pohon
tersebut adalah pohon Basung dan di bawahnya terdapat
Puyau
atau rawa-rawa. Dt Rajo Panawa mencari tempat yang agak tinggi dan membuat pemukiman disana bersama keluarga
dan kaumnya. Empat tersebut kemudian berkembang dari taratak menjadi dusun,
dari dusun menjadi koto yang bernama Payobasung.
Dari
Tiakar adapula yang menyeberang ke utara, mereka menemukan suatu kawasan yang
luas, subur, dan datar. Di lahan yang cukup datar ini mereka membuat pemukiman
baru, dari taratak menjadi dusun dan kemudian berkembang menjadi koto.
Mengingat besar dan luasnya daerah ulayat Koto yang baru ini maka diberi nama
Koto Nan Gadang. Di koto Nan Gadang inilah bermukim sebagaian dari ninik Nan
sambilan bersama kaum keluarganya, seperti Dt. Said awal. Dt Lidah Jihin, Dt
Edan dirajo, dan lainnya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar