Hai Dear, wellcome to my Blog

Minggu, 31 Maret 2013

ASAL USUL MASYARAKAT LIMA PULUH KOTA VERSI TAMBO


 Antara Fakta dan Mitos
          Kita akui bersama bahwa sampai sekarang para sejarawan memiliki pandangan yang berbeda terhadap autofikasi Tambo Alam Minangkabau. Disamping yang meyakini kebenarannya, ada juga yang menyangsikannya. Demikian juga hal nya dengan Kaba yang dulunya dituturkan secara turun temurun yang mengandung cerita aneh dan irasional yang dianggap kurang masuk akal. Tambo dan kaba selain banyak berisi mitos banyak pula memakai kata ibarat dan kata kiasan yang perlu dicerna lebih lanjut arti dan maknanya. Oleh sebab itu ketika membaca Tambo dan Kaba hendaknya jangan dilihat dan diterima sebagaimana yang tersurat saja, namun perlu diketahui makna tersurat didalamnya.

Lareh Nan Duo
Dasar-dasar pemerintahan dan masyarakat yang hingga saat ini masih dipusakai oleh masyarakat Luhak Lima Puluh Kota pada khusunya dan Minangkabau pada umumnya, pada mulanya disusun dan dibangun di zaman Daulat yang dipertuan Datuk Sri Maharajo Dirajo Nan Bango Nago. Bila kita menegetahui bahwa seorang raja mempunyai kekuasaan mutlak, tidak demikian halnya dengan system pemerintahan yang dibangun oleh raja ini, dimana raja tidak langsung memerintah rakyatnya.
Pemerintahan dikendalikan oleh dua orsng pembesar (Dt. Katumangguangan dan Dt. Parpatiah Nan Sabatang) yang menjalankan peraturan menurut tata cara mereka masing-masing. Tapi hal ini bukanlah menunjukkan bahwa keduanya bertindak dengan semaunya saja. System pemerintahan yang mereka bangun tersebut bernama “kelarasan”.
Dalam tambo daerah Minangkabau terdiri dari Lareh nan Duo dan Luhak Nan Tigo. Lareh diciptakan oleh Dt. Katumangguangan dan Dt. Parpatiah Nan Sabatang, yang kemudian berkembang menjadi dua kelarasan Koto Piliang dan Kelarasan Bodi Caniago.
Kelarasan Koto Piliang berasal dari Dt. Katumangguangan, yang juga disebutdengan Lareh Nan Panjang. Dimana terdapat system aristrokrasi yang mana terdapat orang-orang yang ditinggikan posisinya menurut adat dan ada yang posisinya sebagai orang bawah atau masyarakat biasa. Adapun Kelarasan Bodi Caniago berasal dari Dt. Parpatiah Nan Sabatang, disebut juga denagn Lareh Nan Bunta. Menjalankan system kesetaraan dan prinsip-prinsip hidup demokrasi.
Dt Katumangguangan diperkirakan lahir pada tahun 1147, dan wafat tahun 1296, memiliki nama kecil Sutan Paduko Basa. Anak dari Puti Indo Jalito permaisuri dari Sultan Sri Maharajo Dirajo (1101-1149). Dengan demikian dt. Katumangguangan adalah seorang Putra Mahkota dari Pariangan yang kemudian turn ke Sungai Tarab, wilayah Luhan Tanah Datar.
Dt Parpatiah Nan Sabatang yang diperkirakan lahir 1152, memiliki nama kecil Sutan Balun. Ia adalah saudara seibu (adik) dari Sutan Paduko Basa atau Dt Katumangguangan namun berlainan ayah. Ayah Sutan Balun bernama Indo Jati (Cati Bilang Pandai). Selanjutnya Dt. Parpatiah nan Sabatang yang juga berasal dari pariangan turun ke Limo Kaum.
Kaum kerabat dari kedua Datuk ini yang kemudian dating ke Luhak Nan Bungsu, disamping beranak pinak dan berkemabangbiak, dalam kehidupan bermasyarakat mereka senantiasa memegang teguh “adaik lamo puasako usang” yang telah digariskan oleh sistim kelarasan tersebut. Hal ini berlaku sejak dulu hingga sekarang dan mungkin juga selamanya. Sebagaimana diungkapkan dalam pepatah “indak lakang dek paneh indak lapuak dek hujan”.
Dengan melihat struktur bangunan dan rumah gadang maupun balai adat serta atribut adat lainnya yang terdapat di berbagai tempat di wilayah Luhak Lima Puluh Kota, dapat di duga bahwa masyarakat di wilayah tersebut menganut prinsip kelarasan Bodi Caniago atau Koto Piliang. Sungguhpun ada perbedaan namun tidaklah nyata antara satu dengan lainnya. Perbedaan diantara keduanya disamping terletak pada bentuk Rumah Gadang, pada bagian lain juga dalam hal menyelesaikan dan menuntaskan suatu masalah.

Luhak Lima Puluh Kota
Menurut versi tambo, ninik moyang masyarakat Lima Puluh Kota pertama kalinya turun dari lereng Gunung Sago. Bila ditelusuri lebih jauh ninik moyang tersebut adalah rombongan pertama dari Luhak Tanah Datar ke daerah ini, yaitu dari Gadam Balai Janggo, Pagaruyung. Rombongan tersebut terdiri dari 9 orang penghulu beserta keluarga dan kaumnya, mereka turun mengitari lereng Gunung Sago kemudian sampai di suatu tempat yang kemudian bernama Air Tabit. Mereka ini disebut juga dengan Niniak Nan Sambilan yang kedatangannya diibaratkan “anggang turun jo Mangkuto”, artinya kedatangan mereka sudah memakai gelar soko pangulu. Diantara niniak nan sambilan itu adalah ;
1.     Syekh Khalilullah
Berasal dari Arab, memakai dua gelar pusako yaitu Dt. Edan Dirajo dan Dt Mangkuoto Basa Nan Hitam.
2.    Kari Alam
Memakai dua gelar Pusaka yaitu Dt. Saidi alam dan Dt Tandiko Nan Batuah.
3.    Sutan Sillah
Memakai gelar Dt. Paduko Rajo Lelo.
4.    Birabbinnas
Berasal dari Arab, bergelar Dt. Bito Diarajo.
5.    Said Tinggi, syekh Abdullah
Berasal dari Baghdad, bergelar Dt. Marajo Adil.
6.    Rajo Indo Puto
Memakai gelar Dt. Lidah Jin Nan Hitam Lidah.
7.    Rajo Nun
Memakai gelar Dt. Somad Dirajo.
8.    Rajo Panawa
Memakai gelar Dt. Malagiri Nan Putih.
9.    Syekh Khatib
Memakai gelar Dt. Marajo Indo Nan Mamangun.

Atas kesepakatan bersama Dt. Marajo Indo Nan Mamangun tetap tinggal di Air Tabit, sedangkan yang lain meneruskan perjalanan kea rah sebelah timur menempuh hutan belukar yang lebat, serta melintasi sebuah Batang Air dengan cara meniti akar yang cukup besar, sehingga akhirnya sampailah mereka ke seberang. Disana mereka berhenti dan membuat pemukiman yang dimulai dengan taratak. Tempat tersebut kemudian bernama Tiakar, asal katanya meniti akar.
Lama kelamaan Tiakar semakin berkembang sehingga akhirnya sebagian penduduk mencari tempat yang baru. Dt. Rajo Panawa berjalan ke arah timur dimang terlihat sebatang pohon yang besar dan tinggi. Beliau menuju kesana, ternyata pohon tersebut adalah pohon Basung dan di bawahnya terdapat
Puyau atau rawa-rawa. Dt Rajo Panawa mencari tempat yang agak tinggi  dan membuat pemukiman disana bersama keluarga dan kaumnya. Empat tersebut kemudian berkembang dari taratak menjadi dusun, dari dusun menjadi koto yang bernama Payobasung.
Dari Tiakar adapula yang menyeberang ke utara, mereka menemukan suatu kawasan yang luas, subur, dan datar. Di lahan yang cukup datar ini mereka membuat pemukiman baru, dari taratak menjadi dusun dan kemudian berkembang menjadi koto. Mengingat besar dan luasnya daerah ulayat Koto yang baru ini maka diberi nama Koto Nan Gadang. Di koto Nan Gadang inilah bermukim sebagaian dari ninik Nan sambilan bersama kaum keluarganya, seperti Dt. Said awal. Dt Lidah Jihin, Dt Edan dirajo, dan lainnya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar