1. Arsitektur dan Bangunan
Arsitektur atau seni bangunan ala masa Hindu-Buddha juga
bertahan hingga kini. Meski tampilannya tidak lagi serupa benar dengan bangunan
Hindu-Buddha (candi), tetapi pengaruh Hindu-Buddha membuat arsitektur bangunan yang ada di Indonesia menjadi khas.
Salah satu ciri bangunan Hindu-Buddha adalah “berundak.”
Sejumlah undakan umumnya terdapat di struktur bangunan candi yang ada di
Indonesia. Undakan tersebut paling jelas terlihat di Candi Borobudur, bangunan peninggalan Dinasti Syailendra yang beragama Buddha.
Hal yang khas dari arsitektur candi adalah adanya 3 bagian utama
yaitu ‘kepala’, ‘badan’ dan ‘kaki.’ Ketiga bagian ini melambangkan ‘triloka’
atau tiga dunia, yaitu: bhurloka (dunia manusia), bhuvarloka (dunia orang-orang
yang tersucikan), dan svarloka (dunia para dewa).
Pengaruh sistem 3 tahap hidup religius manusia ini bertahan
cukup lama. Bahkan ia banyak diadaptasi oleh bangunan-bangunan yang dibangun
pada masa yang lebih kekinian. Bangunan-bangunan yang memiliki ciri seperti ini
beranjak dari bangunan spiritual semisal masjid maupun profan (biasa)
semisal Gedung Sate di Bandung.
Arsitektur semacam candi ini sebagian terus bertahan dan
mempengaruhi bangunan-bangunan lain yang lebih modern. Misalnya, Masjid Kudus
mempertahankan pola arsitektur bangunan Hindu ini. Masjid Kudus aslinya bernama
Masjid Al Aqsa, dibangun Jafar Shodiq (Sunan Kudus) tahun 1549 M. Yang unik
adalah, sebuah menara di sisi timur bangunan masjid
menggunakan arsitektur candi Hindu.
Selain bentuk menara, sisa lain arsitektur Hindu pun terdapat
pada gerbang masjid yang menyerupai gapura sebuah pura. Juga tidak ketinggalan
lokasi wudhu, yang pancurannya dihiasi ornament khas Hindu.
Banyak hipotesis yang diutarakan mengapa Jafar Shodiq
menempatkan arsitektur Hindu ke dalam sebuah masjid. Hipotesis pertama
mengasumsikan pembangunan tersebut merupakan proses akulturasi antara budaya
Hindu yang banyak dipraktekkan masyarakat Kudus sebelumnya dengan budaya Islam
yang hendak dikembangkan. Ini dimaksudkan agar tidak terjadi Cultural Shock
yang berakibat terasingnya orang-orang pemeluk Islam baru sebab
tercerabut secara tiba-tiba dari budaya mereka.
Hipotesis kedua menyatakan bahwa penempatan arsitektur Hindu
diakibatkan para arsitek dan tukang yang membangun masjid menguasai gaya
bangunan Hindu. Ini berakibat hasil pembangunan mereka bercorak Hindu.
Pengaruh arsitektur Hindu pun terjadi pada bangunan yang lebih kontemporer semisal Gedung Sate yang terletak di Kota Bandung. Gedung Sate didirikan tahun 1920-1924 dengan arsiteknya Ir. J. Gerber. Ornamen-ornamen di bawah dinding gedung secara kuat bercirikan ornament masa Hindu Indonesia. Termasuk pula, menara yang terletak di puncak atas gedung yang mirip dengan menara masjid Kudus atau tumpak yang ada di bangunan suci Hindu di daerah Bali.
Pengaruh arsitektur Hindu pun terjadi pada bangunan yang lebih kontemporer semisal Gedung Sate yang terletak di Kota Bandung. Gedung Sate didirikan tahun 1920-1924 dengan arsiteknya Ir. J. Gerber. Ornamen-ornamen di bawah dinding gedung secara kuat bercirikan ornament masa Hindu Indonesia. Termasuk pula, menara yang terletak di puncak atas gedung yang mirip dengan menara masjid Kudus atau tumpak yang ada di bangunan suci Hindu di daerah Bali.
Bangunan modern lain yang memiliki nuansa arsitektur Hindu juga
ditampakkan Masjid Demak. Nuansa arsitektur Hindu pada masjid yang didirikan
tahun 1466 M misalnya tampak pada atap limas yang bersusun tiga (meru), mirip
dengan candi dimana bermaknakan bhurloka, bhuvarloka, dan svarloka. Namun, tiga
makna tersebut kemudian ditransfer kearah aqidah
Islam menjadi islam, iman, dan ihsan.
Ciri lainnya adalah bentuk atap yang mengecil dengan kemiringan
lebih tegak ketimbang atap di bawahnya. Atap tertinggi yang berbentuk limasan
ditambah hiasan mahkota pada puncaknya. Komposisi ini mirip meru, bangunan
tersuci di pura Hindu.
2. Pakaian
Banyak pengaruh hindu yang masih
kental masuk dalam pakaian sehari-hari masyarakat, diantaranya yang terdapat
dalam pakaian tari pendet. Tari putri ini memiliki pola
gerak yang lebih dinamis daripada Tari Rejang yang dibawakan secara berkelompok
atau berpasangan. Biasanya ditampilkan setelah Tari Rejang di halaman pura dan
biasanya menghadap ke arah suci (pelinggih) dengan mengenakan pakaian upacara
dan masing-masing penari membawa sangku, kendi, cawan, dan perlengkapan sesajen
lainnya.
Berdasarkan kostum yang dipakai, sangat jelas terlihat nuansa
Hindu yang terkandung disana, mulai dari kemben yang dipakai hingga asesoris
sebagai pelengkap. Selain itu nuansa Bali juga terlihat jelas dalam pakaian
kebaya yang dipakai saat ini. Pada mulanya atau sebelum ditetapkannya
kebaya sebagai pakaian nasional, kebaya merupakan pakaian tradisional umat
Hindu dan ada beberapa suku yang menggunakan kebaya sebagai pakaian tradisional
seperti Suku Jawa, Bali, Sunda, Madura dan lain-lain. Pakaian kebaya oleh
wanita Hindu etnis Bali digunakan sebagai pakaian untuk ke Pura atau untuk
Sembahyang selain untuk acara adat atau keagamaan lainnya. Hal tersebut
merupakan salah satu bukti bahwa Hindu dalam perkembangannya
mengakomodir atau melestarikan budaya setempat termasuk tata cara berpakaian.
3. Perilaku sehari-hari
Salah satu warisan hindu yang masih berkembang dalam masyarakat
yaitu, tradisi bakar kemenyan yang diyakini oleh masyarakat Hindu dapat menjadi
penghubung mereka dengan dewa atau dewi yang berada di khayangan.
“Kemenyan” berasal dari “getah” [eksudat] kering yang berasal
dari pohon kemenyan, yang keluar dengan sendirinya atau senagaja ditoreh
[diturih], serupa dengan cara mengambil getah karet. Terdapat beberapa jenis
kemenyan yang masing-masing memiliki kadar wangi yang berbeda-beda, sangat
tergantung pada kualitasnya. Kemenyan
yang bagus, pada masanya, mempunyai
harga sebanding dengan emas. Tradisi memakai kemenyan ini dinamakan dengan
“ngukus”.
Pada satu sisi, ngukus merupakan bagian dari budaya yang dilaksanakan
oleh sebagian masyarakat Sunda terutama yang beragama Hindu, dan lainnya. Pada
sisi lainnya, kepemilikan kemenyan dapat menunjukkan status sosial pemiliknya;
yakni jika ia memiliki kemenyan yang berkualitas tinggi, berarti ia adalah
orang kaya; demikian sebaliknya. Pada sisi lain juga, pada jamannya, kemenyan
menunjukkan komoditas yang mampu menggerakkan roda ekonomi.
“Ngukus”, umumnya, dilakukan untuk mangawali sebuah doa atau
ritus, seperti :
a. Syukuran (do'a-d'oa pada moment "bahagia"),
b. Tahlil-an (do'a-do'a pada moment kematian),
c. Mengawali do'a jika mau menanam padi atau memanen padi,
d. Ngaruwat,
e. Mujasmedi.
DAFTAR REFERENSI
Lombard, denys. Nusa
Jawa : Silang Budaya. PT Gramedia Pustaka Utama. Jakarta : 1996
http//.nusantara.blogspot
TUGAS AKHIR
Diajukan untuk memenuhi tugas
perkuliahan pada mata kuliah
SK – PRA ISLAM
Oleh:
Nilma Yola : 110 173
Dosen Bidang studi :
Muhammad Ilham S.Sos, M.Hum,
JURUSAN SEJARAH KEBUDAYAAN ISLAM (B)
FAKULTAS ADAB
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI (IAIN)
IMAM BONJOL PADANG
1433 H/ 2012 M
Tidak ada komentar:
Posting Komentar