Masjid Jami Kiai Gede di
Kotawaringin merupakan masjid tertua di propinsiKalimantan
Tengah warisan dari kesultanan Kotawaringin. Kesultanan Kotawaringin merupakan
kesultanan pertama dan satu satunya yang pernah berdiri di wilayah propinsi Kalimantan
Tengah. Nama Kiai Gede yang menjadi nama masjid ini merupakan nama
dari nama seorang Ulama dari tanah jawa yang berjasa menyebarkan Islam di
Kotawaringin.
Masjid tua
dari kayu ulin yang masih berdiri kokoh dan menjalanakan fungsinya dengan baik
hingga hari ini. Kesultanan Kotawaringin awalnya merupakan sebuah kepangeranan
yang menjadi bagian dari Kesultanan Banjar diKalimantan
Selatan. Wilayah Kesultanan kotawaringin kini masuk dalam dalam
wilayah administrasi Kabupaten Kotawaringin Barat yang berpusat di KotaPangkalan Bun,
Propinsi Kalimantan Tengah.
Lokasi Masjid
Kiai Gede
Masjid Kiai
Gede berada di desa Kotawaringin Hulu, Kecamatan Kotawaringin Lama, Kabupaten Kotawaringin Barat, Provinsi Kalimantan
Tengah. Sekitar 61km menyusuri sungai Limandau dari kota Pangkalan Bun (ibukota
kabupaten Kotawaringin Barat), Kota Pangkalan Bun sendiri
berjarak sekitar 449Km dariPalangkaraya ibukota propinsi Kalimantan Tengah. Pada pencitraan satelit tahun 2002 di
google earth lokasi masjid ini masih belum terlihat jelas, Selain kualitas foto
penginderaan nya yang masih beresolusi rendah ditambah dengan gumpalan awan
menutupi lokasi nya.
Masjid Kiai Gede menghadap Sungai yang membelah Kota Waringin Barat
karena sarana angkutan air masih menjadi pilihan utama. Kontruksi kayu pilihan
dan pondasi panggung memungkinkan bangunan lebih tahan menghadapi perubahan
cuaca. Arsitektur yang dipilih bersusun, meski tidak sama persis dengan Masjid Agung Demak, namun memiliki struktur yang sama.
Sejarah
Masjid Kiai Gede
Masjid Jami Kiai Gede di bangun tahun 1632 Miladiyah yang bertepatan
dengan tahun 1052 Hijriyah. Saat itu Kerajaan Banjarmasin yang membawahi
Kasultanan Kotawaringin dengan pemerintahan dipegang Pangeran Adipati Muda
(1010-1055 H). Jauh sebelum masuknya kaum imperialis kolonial Belanda,
Kotawaringin merupakan wilayah kerajaan/kesultanan.
Menurut catatan sejarah kota berdasarkan penanggalan Hijriyah
berturut-turut tampil sebagai pemimpin, Pangeran Adipati Antakusuma (893-908
H), Pangeran Mas Adipati (908-939 H), Pangeran Penembahan Anom (939-954 H),
Pangeran Prabu (954-1010 H), Pangeran Adipati Muda (1010-1055 H), Pangeran
Penghulu (1055-1095 H), Pangeran Ratu Begawan (1095-1162 H), Pangeran Ratu Anom
Kusuma Yuda (1162-1225 H).
Pangeran Ratu Imanuddin (1225-1275) atau sekitar tahun 1814 Miladiyah
pusat pemerintahan yang semula di Kotawaringin dipindahkan ke Pangkalan Bun. Di
pusat pemerintahan yang baru ini Pangeran Ratu Imanuddin membangun istana yang
megah dan bernama Istana Indra Kencana.
Pangeran Ahmad Hermansyah (1275-1281 H), Pangeran Anom Kesuma Udha
(1281-1323 H), Pangeran Ratu Sukma Negara (1323-1333 H). Pangeran Ratu Sukma
Alamsyah memerintah setelah mengalami masa kekosongan pada tahun 1914-1939
Miladiyah. Setelah mangkat beliau digantikan Pangeran Ratu Anom Alamsyah yang
memerintah tahun 1939-1947 Miladiyah.
Ketika Kerajaan Majapahit memerintah di Tanah Jawa, daerah ini menjadi
bagian wilayah kekuasaan Majapahit. Setelah Majapahit runtuh dan digantikan
Kasultanan Demak Bintoro bergantilah penguasa, demikian halnya dengan Kerajaan
Banjarmasin pernah menguasai daerah ini.
Kiai Gede Dan
Demak Bintoro
Beberapa
sumber menyebutkan bahwa Kiai Gede adalah seorang ulama dariKesultanan Demak,
beliau pernah berguru kepada Sunan Giri di Gresik, beliaudan para pengikutnya yang setia berangkat ke pulau
Kalimantan sekitar tahun 1591
M. Ketika itu Kasultanan Banjarmasin dibawah perintahan Sultan
Mustainubillah raja keempat yang memerintah tahun 1650-1678 Miladiyah.
|
Raden Fatah
memerintah di Demak dari tahun 1478 M – 1518M, dilanjutkan oleh Sultan kedua
Pati Unus atau Pangeran Sabrang Lor (1518M – 1521M). Lalu dilanjutkan oleh
Sultan Trenggono (1521M – 1546M) sekaligus menjadi sultan terakhir di Kesultanan Demak.
Setelah itu terjadi perebutan kekuasaan antar anggota keluarga antara Aryo
Penangsang dan Jaka Tingkir yang dimenangkan oleh Jaka Tingkir. Tahun 1568 Jaka
Tingkir mendirikan Kerajaan Pajang menandai berahirnya sejarah Kesultanan Demak.
Kesultanan
Banjar (selaku kesultanan Induk dari kesultanan kotawaringin) memang pernah
menjadi kesultanan bawahan dari Kesultanan Demak di masa pemerintahan Pati Unus
(1518M – 1521M) sebelum penaklukan Malaka, Kesultanan Banjar menjadi kesultanan
pembayar Upeti kepada Kesultanan Demak. Namun berdirinya kesultanan
kotawaringin berikut Masjid Kiai Gede jauh setelah berahirnya era kesultanan
Demak, namun memang sulit untuk menyimpulkan ditambah lagi dengan sejarah
masjid ini yang senantiasa dihubung hubungkan dengan Kesultanan Demak bahkan
beduk di masjid ini pun disebut sebagai hadiah dari kesultanan Demak.
Kiai Gede dan
Masjid Kesultanan Kotawaringin
Kiai Gede
tiba di Kesultanan Banjar pada masa pemerintahan Sultan Banjar
IV, Sultan Mustain Billah bin Sultan Hidayatullah (1595-1642). Namun lagi lagi
terdapat selisih antara tahun keberangkatan Kiai Gede di tahun 1591M dengan
masa kekuasaan Sultan Mustain Billah bin Sultan Hidayatullah 1595-1642. Namun
semua sumber menyebutkan bahwa kedatangan Kiai Gede di Kesultanan Banjar di
Masa Kekuasaan Sultan Mustain Billah.
|
Sulit untuk menyimpulkan atau menduga duga, apakah memang butuh waktu 4 tahun untuk menempuh perjalanan laut dari Demak ke Banjarmasin, atau memang beliau dan rombongan tidak langsung menuju Banjarmasin tapi singgah dan menetap dulu ke beberapa tempat yang lain atau mungkin ada hal lain yang dapat menjelaskan selisih angka tahun tersebut. |
Disebutkan
bahwa kedatangan Beliau diterima dengan baik di Kesultanan Banjar. Sultan Banjar menugaskan Kiai
Gede untuk menyebarkan ajaran Islam di Kotawaringin, sekaligus merintis pendirian sebuah kasultanan baru. Kelak Kiai Gede
yang berjasa menyebarkan ajaran Islam mendapat kedudukan sebagai Adipati di
Kotawaringin dengan pangkat Patih Hamengkubumi yang bergelarAdipati Gede Ing
Kotawaringin.
Bersama para pengikutnya Kiai Gede membangun Kotawaringin dari belantara
menjadi sebuah kawasan pemukiman, berawal dari 40 orang yang dikirim dari
Kasultanan Banjarmasin terus berkembang dan sampai sekarang menjadi salah satu
daerah hunian yang maju. Setelah pembangunan cukup untuk sebuah kawasan
pemukiman tahun 1680 Miladiyah ketika pemerintahan dipegang Pangeran Adipati
Antakusuma, Kiai Gede dikukuhkan menjadi adipati yang berkedudukan di
Kotawaringin. Sejak saat itu perkembangan masyarakat muslim terus maju sampai
sekarang menjadi salah satu wilayah pemukiman yang terus berkembang.
Arsitektur khas
Masjid Jami Kiai Gede terbuat dari bahan kayu pilihan, kayu ulin yang
memungkinkan bertahan untuk jangka waktu lama. Pondasi bangunan dirancang
menggunakan bahan yang tahan cuaca, untuk menghindari lapuk dimakan usia
tiang-tiangnya tidak ditanam melainkan diletakkan di atas mangkuk terbuat dari
kayu ulin, khas Kalimantan.
Bangunan
masjid dikelilingi pagar kayu setinggi ± 1,25 cm, berdiri pada halaman seluas
900 m2. Denahnya berbentuk bujur sangkar berukuran 15,5 × 15,5 m, dengan tipe
joglo. Masjid ini merupakan rumah panggung/kolong dengan ketinggian ± 1,5 m
dari permukaan tanah. Lantai dan dinding terbuat dari kayu ulin. Untuk masuk ke
dalam ruangan dipergunakan tangga yang terbuat dari kayu di samping bangunan.
Di dalam bangunan terdapat 36 buah tiang yang terdiri dari tiga jenis yaitu:
1.Tiang 20
ini sebagai penguat dinding/penyangga. Tiang utama (soko guru) berjumlah empat
buah terdapat di tengah ruangan. Bentuk-nya segi delapan dan pada keempat
sisinya penuh dengan ukiran ber-matif sulur-sulur dan spiral.Tiang berdiri di
atas umpak yang ber-bentuk kelopak bunga teratai.
2.Tiang dengan bentuk silinder (bulat) berjumlah 12 buah ukuran-nya lebih kecil dari tiang soko guru, tidak berukir. Pada bagian tengah bulatannya lebih kecil dari bagian bawah dan atas, juga. berdiri di atas umpak lebih sederhana dari umpak sokoguru. Letaknya mengelilingi tiang sokoguru. |
3.Tiang yang
berjumlah 20 buah merupakan deretan ke dua mengelilingi sokoguru. Bentuk bulat
dan lebih kecil dari tiang 12, letaknya menempel pada dinding dalam masdjid.
Fungsi tiang 20 ini sebagai penguat dinding/penyangga.
Selain tiang
dalam bangunan utama terdapat mihrab dan mimbar. Sebagai pelengkap masjid dalam
ruangan juga terdapat bedug yang merupakan hadiah dari kerajaan Demak. Ukuran
panjang 161 cm dengan garis tengah 58 cm dan digantung dengan rantai besar.
Bagian bawahnya terdapat tulisan Jawa Kuno dengan tahun Saka. Pada bagian
belakang terdapat bangunan tambahan berukuran 5 × 12 m, tepat di tengah-tengah
bangunan induk. Fungsi bangunan mi sebagai tempat jamaah yang terlambat datang.
Sebenarnya bangunan ini untuk jamaah wanita.
Dinding
terbuat dan kayu dengan lubang angin di bagian atasnya. bangunan mempunyai atap
seperti atap puncak bangunan induk. Di muka masjid ada bangunan kecil untuk
tempat wudhu. Pelengkap masjid lain adalah jam penunjuk waktu shalat yang
terbuat dari kayu dan berupa tugu. Atap bangunan merupakan atap tumpang tiga
dari bahan sirap. Di antara tingkatan atap terdapat dinding dari kayu. Pada
atap ke tiga bentuk seperti kerucut dan di puncaknya terdapat hiasan bunga tiga
tangkai. Di bagian bawah atap, bagian ujungnya ada hiasan sulur. Antara atap ke
dua dan ke tiga pada ujung bawah dinding atap tingkat dua terdapat tiang
sebagai penyangga atap teratas dilengkapi alat pengeras suara untuk
mengumandangkan adzan.
Perbaikan
Masjid Kiai Gede
Masjid Kiai
Gede telah mengalami tiga kali perbaikan yaitu tahun 1951 dilakukan penambahan
bagian teras, atap sirap dengan dana swadaya dari masyarakat setempat dan
dibantu oleh para jamaah masjid. Perbaikan kedua pada bagian mimbar tahun 1968.
Tahun anggaran 1980/1981-1985/1986 dilaksanakan pemugaran oleh Bidang
Permuseuman Sejarah dan Keprubakalaan Kantor Wilayah Depdikbud Provinsi
Kalimantan Tengah melalui Proyek Pemugaran dan Pemeliharaan peninggalan Sejarah
dan Purbakala Kalimantan Tengah.
Referensi
Tidak ada komentar:
Posting Komentar