Banyak yang bertanya kapan awal mula munculnya sistem kekerabatan "matrilineal" di Minangkabau. Dan, siapa yang mencetuskannya pertama kali ?
Memang tidak banyak sumber yang membahas tentang hal tersebut. Charles Robenta, dkk dalam tulisannya "Perjuangan Adityawarman di Kerajaan Dharmasraya Nusantara tahun 1339-1376, menulis bahwasanya asal muasal munculnya sistem kekerabatan matrilineal di Minangkabau bermula saat Adityawarman diutus sebagai bawahan Majapahit ke Dharmasraya.
Saat Adityawarman menjadi Raja bawahan di Dharmasraya akan memperluas wilayah kekuasaannya di
bumi Melayu, salah satu wilayah yang akan ditaklukan serta disatukan ke dalam kekuasaan Dharmasraya adalah Minangkabau, namun mendapat pertentangan dari Datuk Katumanggungan yang merupakan mamak (paman) Adityawarman sendiri, sebagai pemangku nagari Rajo Alam Minangkabau sudah berkehendak untuk melawannya dengan kekuatan militer namun dilain pihak Datuk Perpatih Nan Sebatang sudah memperkirakan, bahwa tidak mungkin Minangkabau menang menghadapi bala tentara Adityawarman yang terlatih dan bahkan sudah berpengalaman dalam pertempuran diantaranya pengalaman tempur disaat memadamkan pemberontakan Sadeng atas Majapahit di tanah Jawa.
Jika melawan pasukan Majapahit yang dibawa Adityawarman dipastikan pasukan Minangkabau akan mengalami kekalahan. Dengan usaha yang keras, akhirnya Datuk Perpatih nan Sebatang berhasil meyakinkan Adityawarman untuk bernegosiasi dan menghindari peperangan, dengan tetap mempertahankan harkat dan martabat Minangkabau dengan cara menikahkan Putri Jamilan dengan
Adityawarman yang merupakan penguasa di Dharmasraya. Oleh Datuk Perpatih nan Sebatang kekuasaannya sebagai Rajo Alam Minangkabau digantikan oleh adik perempuanya, yaitu Putri Jamilan, yang selanjutnya akan dikawinkan dengan Adityawarman. Datuk Perpati nan Sebatang telah menyiasati dengan cara merubah hukum monarki absolute yang Paterilinear diubah menjadi Matrilinear, dimana pewaris tahta dan suku adalah dari garis keturunan Ibu. Dengan demikian tidak ada celah bagi Adityawarman untuk mengganti permaisurinya, dan jika nantinya Adityawarman mempunyai selir, tidak mungkin keturunan selir menjadi Raja, karena hanya anak Putri Jamilan yang berhak atas warisan tahta.
Selain itu dengan menerapkan hukum MamakKamanakan, dimana Mamak bertanggung jawab penuh atas kemenakannya, tetap menjadikan penguasa penuh atas pewaris tahta di Minangkabau. Akhirnya setelah urusan konstitusional ini selesai, barulah Datuk Perpatih nan Sebatang bernegosiasi. Adityawarman setuju penggabungan kedua Kerajaan dengan menikahi Putri Jamilan, dan setuju pula dengan konstitusi Adat Minangkabau yang tersebut di atas, akhirnya tanpa perang-tanpa pertumpahan darah, Adityawarman menjadi Raja Minangkabau.
sumber: Charles Robenta, Tontowi Amsia dan Yustina Sri Ekwandari
Tidak ada komentar:
Posting Komentar