Hai Dear, wellcome to my Blog

Tampilkan postingan dengan label Sejarah Indonesia. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Sejarah Indonesia. Tampilkan semua postingan

Kamis, 01 Agustus 2024

TASAWUF TUMBUH DI NEGERI SINGA Reaksi Terhadap Ahl Tareqat


 

Nilma Yola

Universitas Islam Negeri Imam Bonjol Padang

dindayola17@gmail.com

Diah Putranti Rahmaning Tiyas

Universitas Islam Negeri Imam Bonjol Padang

diahputranti.rTiyas@gmail.com

ABSTRACT

Singapore, as an Islamic minority country, was once the center for the development of Islamic scholarship in Southeast Asia. Singapore's position as a center for international trade and commerce has encouraged scientific transmigration from the Middle East to the archipelago, which was spearheaded by traders and Sufis. This serves as the foundation for the presence of Sufism in Singapore. This study aims to explain the history of Islam in Singapore and the development of Sufism there. The approach used in this research is qualitative. The process begins with gathering data and sources pertinent to the conversation. The obtained data and sources undergo verification, which involves review, comparison, and analysis. Once the correct results are obtained, the final stage of the data analysis is documented in written form. According to the study's findings, it is very likely that the arrival of Islam in Singapore occurred from the 8th to the 11th centuries, brought by traders from Arabia. When the Malacca Sultanate controlled Temasik in the 15th century, Islam experienced rapid development. In Singapore, Sufism-style Islam emerged. Despite experiencing ups and downs, the teachings of Sufism are still part of the Islamic tradition in Singapore. As a result, Islam, as a minority religion, was able to survive until it finally had various legitimate institutions in the Singapore government.

Keywords: Islamic history; Sufism; Singapore

ABSTRAK

Singapura, sebagai negara minoritas Islam, pernah menjadi pusat pengembangan keilmuan Islam di Asia Tenggara. Posisi Singapura sebagai pusat perdagangan dan perdagangan internasional telah mendorong terjadinya transmigrasi keilmuan dari Timur Tengah ke Nusantara, yang dipelopori oleh para pedagang dan sufi. Inilah akar dari jejak-jejak tasawuf di Singapura. Kajian ini bertujuan untuk menjelaskan sejarah Islam di Singapura serta perkembangan tasawuf di negara tersebut. Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini yaitu kualitatif. Diawali dengan pengumpulan data dan sumber-sumber yang berkaitan dengan pembahasan. Data dan sumber yang telah diperoleh kemudian diverifikasi

yaitu ditelaah dan dibandingkan untuk kemudian dianalisis. Setelah mendapatkan hasil yang benar, tahap akhir data dideskripsikan dalam bentuk tulisan. Hasil kajian menunjukkan bahwa kemungkinan besar masuknya Islam di Singapura terjadi sejak abad ke-8 hingga abad ke-11, dibawa oleh para pedagang dari Arab. Islam mengalami perkembangan pesat ketika Temasik dikuasai oleh Kesultanan Malaka pada abad ke-15. Islam bercorak tasawuf berkembang di Singapura. Meski mengalami pasang surut, ajaran tasawuf masih menjadi bagian dari tradisi Islam di Singapura. Sejalan dengan itu, Islam sebagai agama minoritas mampu bertahan hingga akhirnya memiliki berbagai institusi yang sah dalam pemerintahan Singapura.

Kata Kunci: Sejarah Islam; Tasawuf; SIngapura

PENDAHULUAN

Singapura merupakan sebuah negara yang terbentuk dari pulau kecil di ujung gugusan Semenanjung Melayu, di wilayah Asia Tenggara. Negara ini berbatasan dengan Kepulauan Riau (Indonesia) dan Johor (Malaysia). Singapura merupakan sebuah negara yang dihuni oleh 4.839.000 jiwa, yang terdiri dari berbagai ras dan etnis. Mayoritas penduduk Singapura adalah etnis Tionghoa, dan sisanya adalah etnis Melayu, Tamil, Arab dan Pakistan. Sedangkan agama dan kepercayaan masyarakatnya yaitu menganut agama Budha (33%), Taoism 11%, Confusionism (Kong Hu Cu) 20%, Muslim 15%, Kristen 14,6%, Hindu 4%, dan sisanya kepercayaan-kepercayaan lainnya (Subehi, 2022)

Islam di Singapura merupakan agama minoritas, dengan sekitar 13,5% penduduknya adalah etnis Melayu, sedangkan sisanya berasal dari etnis Arab, India, dan Pakistan. Menurut Sharon Siddique, Muslim di Singapura terbagi menjadi dua kelompok utama yaitu: migran dari dalam negeri dan migran dari luar negeri. Migran dari dalam negeri berasal dari wilayah Nusantara dan umumnya adalah etnis Melayu, seperti dari Sumatera, Riau, Jawa, Sulawesi, dan Bawean. Sementara migran dari luar negeri adalah Muslim keturunan Arab, India, Pakistan, dan Hadramaut (Nurbaiti, 2019)

Masyarakat Melayu pada umumnya beraliran Islam Sunni, yang mana mereka juga mengikuti berbagai mazhab, seperti Syafi’i, Hambali, Maliki, dan Hanafi, serta sedikit pengikut Syi’ah. Sementara itu, Mazhab Syafi’i menjadi mazhab yang paling banyak dianut oleh masyarakat etnis Melayu di Singapura. Hal ini disebabkan ketika wilayah Singapura yang dahulunya bernama Temasik merupakan salah satu wilayah kekuasaan Kesultanan Malaka, kesultanan ini berorientasi pada paham fikih Syafi’i. Kesultanan Malaka juga mendapat pengaruh yang sangat signifikan dari perkembangan keilmuan di Sumatra. Pada zaman tersebut, Kesultanan Samudera Pasai menjadi acuan bagi kesultanan-kesultanan di dunia Melayu. Sultan Malik Al-Zahir, dengan tegas menyatakan bahwa Samudera Pasai bermazhab Syafi’i, yang mana hal itu memberikan pengaruh yang besar di wilayah Asia Tenggara (Jambak, 2018)

Sebagai negara sekuler, Singapura tidak menekankan pilihan kepercayaan penduduknya. Meskipun mayoritas penduduknya adalah etnis Tionghoa yang beragama Buddha, namun Islam tetap menjadi bagian integral dari keragaman agama di Singapura. Islam, yang dianggap sebagai al-Din oleh kaum Muslim, diakui oleh Pemerintah Singapura dan tercantum dalam Konstitusi Republik Singapura. Perkembangan Islam di Singapura sejalan dengan perkembangan Islam di negara-negara Asia Tenggara lainnya.

Perjalanan perkembangan Islam di Singapura adalah bagian dari sejarah panjang negara ini. Secara kronologis, perkembangan ini dimulai dengan kedatangan pedagang dan mubaligh Muslim dari Timur Tengah, diikuti oleh kekuasaan berbagai Kesultanan Islam di Temasik. Saat Temasik berada di bawah kekuasaan Malaka, terbentuklah jaringan ulama dari berbagai wilayah, termasuk Nusantara. Perkembangan ini berlanjut hingga Singapura menjadi negara merdeka, terpisah dari Federasi Malaysia.

Sejak berada di bawah kekuasaan Inggris, Singapura didominasi oleh etnis Tionghoa, menjadikan Islam sebagai agama minoritas dengan mayoritas penganutnya adalah etnis Melayu. Meskipun demikian, sebagai negara sekuler, Singapura menghargai hak-hak warga negaranya, terbukti dengan pembentukan lembaga-lembaga Islam. Pada tahun 1915, dibentuklah Lembaga Penasehat Orang-orang Islam untuk menangani masalah sosial keagamaan. Tugas lembaga ini yaitu mengurus pernikahan sesuai syariat Islam, menentukan waktu berpuasa dan hari raya, serta memberi masukan kepada pemerintah Inggris. Awalnya, lembaga ini dikendalikan oleh Inggris dengan anggota Muslim, tetapi pada tahun 1928, kepemimpinannya beralih kepada seorang Muslim bernama Hafizuddin S. Moonshi.

Awalnya, hak untuk mengeluarkan fatwa hanya dimiliki oleh Mufti Kerajaan Johor, yang didampingi oleh Qadhi Singapura. Kemudian, Mufti Singapura diberikan hak untuk memimpin komisi fatwa secara musyawarah. Pada tahun 1968, Pemerintah Singapura membentuk Majelis Ugama Islam Singapura (MUIS) untuk menasehati presiden tentang masalah-masalah Islam. Pembentukan MUIS didasarkan pada "Akta Pentadbiran Hukum Islam" (AMLA). Selain MUIS, terdapat lembaga-lembaga Islam lainnya, seperti Majelis Pendidikan Anak-anak Muslim (MANDAKI) yang mengurus pendidikan, Dana Perwalian Muslim (DANAMIS) yang menangani ekonomi dan pendanaan sosial Muslim, serta lembaga-lembaga dakwah seperti Himpunan Dakwah Islam Singapura (JAMIYAH) dan Association of Muslim Professionals (AMP) (Herawati, 2018). Demikian perkembangan Islam yang terus meningkat dari waktu ke waktu di Negara Singapura.

Melihat dari sejarahnya, negara dengan minoritas Muslim ini, ternyata pada masa dahulu pernah menjadi salah satu pusat perkembangan keilmuan Islam di Asia Tenggara. Sejak Temasik berada di awah kekuasaan Islam, wilayah ini menjadi tempat bertemunya para cendikiawan Muslim dari berbagai belahan dunia. Terlebih daerah ini juga memiliki peran besar dalam aspek berdagangan kala itu. Transfer keilmuan Islam berkembang di Singapura. Pengaruh corak-corak aliran Islam juga berkembang, seperti pengaruh dari berbagai mazhab. Tidak ketinggalan tasawuf dan peran para sufi juga memiliki pengaruh yang besar. Tasawuf berkembang di kalangan tokoh ulama dan Penguasa Melayu. Didukung dengan pesatnya perdagangan di Selat Malaka, sehingga ajaran tasawuf menyebar dan berkembang ke berbagai daerah, termasuk Temasik (Singapura dulu), karena posisinya yang strategis di Selat Malaka. Selanjutnya, tarekat Naqsbandiayah tiba di Singapura, yang saat itu menjadi penghubung jemaah haji dan titik fokus pertukaran informasi komersial/dagang. Di Singapura, cabang tarekat Naqsbandiyah bernama Naqsbandiyah Haqqani didirikan oleh Syekh Nazim Haqqani. Tarekat lain yang juga berkembang di Singapura adalah Tarekat Aurad Muhammadiah, yang berada di bawah kepemimpinan Al-Fadhil Sheikh Abdul Hafiz bin Muhammad Taha As-Suhaimi dan banyak lagi tarekat lainnya yang muncul dan berkembang di Singapura.

Saat ini, setelah Singapura menjadi negara yang modern, eksistensi ilmu tasawuf dan tarekat tidak segemilang dahulu. Hal tersebut bisa saja dilatarbelakangi oleh dominasi etnis Tionghoa dan agama Budha di negara ini. Oleh karena itu, penulis tertarik mengkaji tentang tasawuf tumbuh di Singapura; reaksi terhadap Alh Tareqat. Terutama menguraikan tentang bagaimana tasawuf bisa masuk dan berkembang dalam negara yang realitasnya terdiri dari minoritas Muslim ini. Lalu bagaimana kaitan antara kehadiran tareqat dengan ilmu tasawuf di Negara tersebut.

METODE PENELITIAN

Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif. Penulisan dilakukan dengan bebarapa tahapan: 1) Heuristik, yang berarti pengumpulan data-data. Pada tahap ini penulis mencari sumber terkait dengan tema yang penulis bahas berkaitan dengan sejarah dan perkembangan ilmu tasawuf di Singapura. Selain bersumber dai buku-buku penulis juga mengumpulkan artikel-artikel jurnal terkait dengan tema dan pembahasan yang sama. 2) Kritik sumber, pada proses ini yang penulis lakukan adalah memilih bagian mana yang sesuai dan cocok untuk penulis ambil data-datanya yang terdapat pada sumber yang penulis temukan, kemudian data tersebut penulis kritisi dan lakukan pengelompokan data sesuai dengan klasifikasinya. Lalu diambil data mana yang dapat penulis jadikan sebagai acuan dalam mengkaji dan menjawab pertanyaan dari penitian ini. 3) Analisa data, dilakukan setelah data data yang sejenis penulis kelompokkan, lalu penulis mulai menganalisa, data mana saja yang sekiranya sesuai dan tepat untuk menemukan jawaban atas pertanyaan penelitian. 4) Historiografi penelitian. setelah mendapat dan menelaah data yang relevan, data kemudian dirangkum dalam bentuk tulisan dengan menggunakn metode deskriptif analitif berdasarkan data dan sumber-sumber sejarah.

PEMBAHASAN

A. Sejarah Masuknya Islam di Singapura

Dahulu, Singapura dikenal dengan nama Temasik. Dalam kitab Pararaton dan Negarakertagama, Temasik disebut sebagai "Tumasik". Sumber lain menyebutkan bahwa pada abad ke-14, Temasik juga dikenal sebagai "Pulau Ujung" (Pu-lo Chung). Temasik merupakan kerajaan kecil yang diperkirakan berdiri sejak abad ke-13 Masehi. Menurut Asep (2016), beberapa raja yang pernah memerintah Temasik antara lain:

1. Raja I Sri Tri Buana (1299-1347);

2. Raja II Seri Pikrama Wira (1347-1362);

3. Raja III Sri Rana Wikema (1362-1375);

4. Raja IV Sri Maharaja (1375- 1388).

5. Raja IV Sri Sultan Iskandar Syah, memerintah selama lima tahun di Singapura (1388-1391), kemudian di Malaka (1393-1397).

Sebelum terbentuknya negara bangsa, wilayah Singapura pernah dikuasai oleh beberapa kerajaan dan kesultanan, terutama yang berada di sekitar Selat Malaka dan Semenanjung Melayu. Singapura pernah berada di bawah kekuasaan Kesultanan Malaka sekitar 1398-1511, Kesultanan Johor pada 1511-1699, dan Kesultanan Riau pada 1699-1818. Sebelum kekuasaan Islam, wilayah ini dikuasai oleh kerajaan Hindu-Buddha terbesar di Nusantara, yaitu Kerajaan Majapahit dan Kerajaan Sriwijaya.

Sementara itu, tidak diketahui secara pasti kapan tepatnya Islam masuk ke Singapura. Namun wilayah Singapura yang kala itu memiliki peran dan pengaruh yang besar dalam perdagangan internasional karena posisinya yang strategis. Hal ini memunculkan kemungkinan besar bahwa masuknya Islam telah terjadi sejak abad ke-8 hingga abad ke-11, yang mana para pedagang dari Arab telah banyak melakukan pelayaran ke wilayah sekitar Selat Malaka. Pada periode tersebut, Temasik telah menjadi pusat perdagangan maritim cukup penting (Amin & Ananda, 2018). Temasik yang berarti Kota Pantai diidentifikasi sebagai salah satu tempat persinggahan para pedagang yang akan menuju ke Cina.

Islam mulai berkembang pesat di Temasik ketika wilayah ini dikuasai oleh Kesultanan Malaka pada abad ke-15. Menurut sejarah Melayu, seorang bangsawan dari Kerajaan Sriwijaya di Palembang bernama Parameswara melarikan diri ke Temasik, sebuah kerajaan kecil di ujung Semenanjung Melayu, karena tekanan dari Majapahit. Setelah Temasik diserang oleh Siam, Parameswara berpindah ke Malaka dan mendirikan sebuah kerajaan di sana. Malaka menjadi titik singgah penting bagi para pedagang asing, termasuk pedagang Muslim. Parameswara mulai berinteraksi dengan pedagang Muslim dan akhirnya memeluk Islam pada tahun 1414, dengan bimbingan Sayyid Abdul Aziz, seorang Arab dari Jazirah Arab. Setelah itu, Parameswara mengubah namanya menjadi Sultan Iskandar Syah (Amin & Ananda, 2018). Masuknya Islam Raja Parameswara kemudian diikuti oleh para pengikut serta kerajaan-kerajaan yang berada di bawah kekuasaannya, termasuk Temasik.

Pada abad ke-15 hingga abad ke-16, Islam di Singapura berkembang pesat seiring dengan meluasnya kekuasaan Kesultanan Malaka. Pada masa itu, kekuasaan Malaka meliputi Pahang, Trengganu, Kelantan, serta Kampar, Rokan, Indragiri, Siak, dan Riau-Lingga, yang kini termasuk wilayah Indonesia. Kesultanan Malaka menjadi kekuatan Islam yang dominan dari Selat Malaka hingga Temasik, dengan pengaruh besar dalam politik dan perdagangan. Potensi besar ini menarik perhatian berbagai bangsa untuk menguasai Malaka. Namun, proses islamisasi yang sedang berkembang pesat terganggu oleh datangnya kolonialisme. Pada tahun 1511, Portugis melancarkan invasi ke Malaka, menyebabkan para Sultan Malaka mundur ke Johor, yang turut menghambat kegiatan penyebaran dan dakwah Islam (Pratama et al., 2022).

Setelah kemunduran Malaka akibat kolonialis Portugis, wilayah Temasik menjadi bagian dari Kesultanan Johor antara abad ke-16 hingga abad ke-19. Namun, pada tahun 1613, kolonialis Portugis membakar sejumlah pemukiman di muara Sungai Temasik. Akibatnya, wilayah ini kurang mendapat perhatian selama hampir dua abad berikutnya (Abidin, 2020). Selanjutnya, wilayah Singapura mulai dimasuki oleh Inggris dengan kedatangan Stamford Raffles, yang mendarat pada 28 Januari 1819. Raffles kemudian membentuk Singapura dan menjadikannya sebagai pelabuhan bebas (Helmiati, 2014).

Situasi ini menjadikan Singapura memiliki peran penting dalam pasar internasional, terutama karena kota ini menjadi jalur transit perdagangan antara India dan Cina. Setelah pelabuhan dagang dibuka, banyak pedagang asing mulai datang ke wilayah ini. Keadaan ini menjadi salah satu faktor yang mendukung penyebaran ilmu pengetahuan Islam. Salah satu tokoh terkenal keturunan Arab yang memanfaatkan kesempatan ini adalah Syekh Mohamed bin Ahmed Alsagoff, yang pindah dari Malaka ke Singapura untuk berdagang (Tumiran, 2021). Pada abad ke-19, pengembangan tasawuf mulai digalakkan oleh para ahli tarekat. Pada masa ini, Singapura menjadi tempat pemberhentian atau transit bagi para jamaah haji dari Indonesia. Para ahli tarekat kemudian mulai mengajak para jamaah untuk melakukan khalwat.

B. Perkembangan Tasawuf di Singapura

Singapura, meskipun merupakan negara dengan minoritas Muslim, dulunya pernah menjadi salah satu pusat penting perkembangan Islam di Asia Tenggara. Wilayah ini memainkan peran dalam menyatukan berbagai kelompok masyarakat Muslim dari Asia Tenggara, Timur Tengah, Asia Selatan, dan wilayah lainnya. Karena peran tersebut, Singapura menjadi tempat berkumpulnya para cendekiawan Muslim dan pusat publikasi serta distribusi tulisan-tulisan ulama dari berbagai daerah seperti Hadramaut, Pattani, Aceh, Jawa, Palembang, dan lainnya.

Pada masa awal islamisasi di Singapura, pengaruh tasawuf sangat kuat. Perkembangan tasawuf di Singapura ditandai dengan ajaran-ajaran yang berkembang di kalangan ulama dan raja-raja Melayu saat itu. Ini tidak terlepas dari peran jaringan antara ulama Timur Tengah dan Nusantara. Kontak antara Timur Tengah dan Nusantara mempercepat transformasi keilmuan dan tradisi islamisasi di Nusantara. Ditambah dengan ramainya perdagangan di Selat Malaka, proses islamisasi semakin berkembang. Dari sinilah ajaran-ajaran tarekat mulai menyebar di Nusantara, termasuk Tarekat Satariyyah yang berkembang hingga ke Banten, Jawa Barat. Dalam perkembangannya, Abd al-Ra'uf ibn Ali al-Jawi al-Fansuri, murid dari Ibrahim al-Kurani (1615-1690), yang dikenal sebagai guru besar di Haramayn, berperan penting dalam penyebaran Tarekat Satariyyah.

Pada abad berikutnya, muncul ajaran tarekat baru yaitu Naqsyabandiyah. Tarekat ini berkembang di wilayah Riau, Minangkabau, dan terutama Singapura, karena pada masa itu Singapura menjadi tempat berkumpulnya jamaah haji dari Nusantara dan pusat pertukaran informasi dagang. Beberapa tokoh penting dalam penyebaran Tarekat Naqsyabandiyah di Singapura termasuk Syekh Ismail al-Minangkabawi (1712-1844), yang menulis karya berjudul "Mawahibul Falaq bi Syarhi Qashidah al-'Arif Billah al-Qadhi Nashiruddin Ibni Bintil Milaqasy-Syazili" dan "Ar-Rahmatul Habitah fi Zikri Ismiz Zati Wa ar-Rabitah," serta Ahmad Khatib dari Sambas (1803-1875) yang menggabungkan ritual Tarekat Naqsyabandiyah dengan silsilah Qomariyah. Ini kemudian diidentifikasi sebagai gerakan maju dari Sammaniyah.

Tarekat Naqsyabandiyah adalah salah satu tarekat tertua dan dengan pengikut terbanyak karena penyebarannya yang luas. Tokoh utama dalam tarekat ini adalah Syekh Baha ad-Din Naqshband, yang lahir pada tahun 1318 di Qasri Arifa dekat Bukhara dan meninggal pada tahun 1389. Sesuai dengan namanya, beliau adalah pendiri tarekat Naqsyabandiyah. Sebagian besar hidupnya dihabiskan di Bukhara dan Transoxiana. Sayangnya, tidak banyak catatan tentang Syekh Baha ad-Din Naqshband karena beliau melarang murid-muridnya untuk mencatat segala perbuatannya dan perkataannya.

Pada masa-masa selanjutnya, tarekat Naqsyabandiyah memiliki berbagai cabang. Salah satu tokoh penting yang berperan dalam penyebaran tarekat ini adalah Syekh Ahmad al-Faruqi al-Sirhindi, yang menyebarkan tarekat Naqsyabandiyah Mujaddidi pada awal abad ke-19 di wilayah India dan Ottoman. Selain itu, Syekh Maulana Khalid Bagdad menjadi pelopor setelah Syekh Sirhindi dengan mengembangkan cabang Khalidiyah. Syekh Maulana Khalid juga menjadi tokoh penting yang membawa ajaran Naqsyabandiyah ke wilayah-wilayah yang sebelumnya dianggap kurang penting bagi mayoritas umat Islam, seperti Mozambik, Ceylon, dan Sumatera.

Dari Sumatera, tarekat Naqsyabandiyah Khalidiyah kemudian menyebar ke utara, yaitu Semenanjung Malaya, dan ke timur, yaitu Kalimantan, Kepulauan Sulu, dan Mindanao bagian selatan. Usaha Syekh Maulana Khalid dalam menyebarkan tarekat ke negeri-negeri jauh memberikan wajah baru bagi kawasan Asia Tenggara. Kelompok ini juga berkontribusi besar dalam menentang dominasi asing, seperti perlawanan Aceh terhadap Belanda, pergolakan di Filipina Selatan, dan melawan pemerintahan Thailand atas Pattani yang dihuni oleh etnis Melayu Muslim (Sani, 2010)

Naqsyabandiyah Haqqani adalah salah satu tarekat yang relatif baru hadir di Singapura. Tarekat ini didirikan oleh Syekh Nazim Haqqani, yang lahir di Larnaca, Siprus, dan memiliki garis keturunan yang sampai kepada Syekh Abd al-Qadir al-Jailani, pendiri tarekat Qadariyah. Perkembangan tarekat Naqsyabandiyah Haqqani di Singapura tidak terlepas dari peran Syekh Hisham, yang datang ke Singapura dan bertemu dengan Syekh Zakaria, putra dari Grand-Sheikh tarekat Qadariyah di Singapura. Syekh Hisham kemudian membaiat Syekh Zakaria dan mengangkatnya sebagai wakil khalifah tarekat Naqsyabandiyah Haqqani di Singapura. Para pengikut tarekat ini rutin berkumpul setiap Kamis malam di Masjid Kampong Siglap untuk melakukan zikir bersama.

Selain itu, perkembangan ajaran tarekat di Singapura juga didukung oleh sejumlah ulama dari Timur Tengah dan keturunan Nabi Muhammad saw., yang dikenal sebagai Habaib. Para Habaib di Singapura umumnya mengikuti Tarekat Ba'alawi, yang juga dikenal sebagai Tarekat Alawiyah, yang berasal dari Hadramaut, Yaman. Tarekat Alawiyah didirikan oleh Saidina al-Faqih Muqaddam Muhammad bin Ali Ba'alawi, yang merupakan keturunan ke-11 dari Rasulullah saw. Tarekat ini memiliki pengaruh besar dalam dunia Islam, khususnya di Nusantara, karena telah banyak mengislamkan orang Melayu sejak masuknya tarekat ini sekitar 1.400 tahun yang lalu (Mohsin et al., 2016)

Tarekat ini berfokus pada pembersihan jiwa dengan mencontoh sikap hidup Rasulullah saw. Ajaran tarekat ini bertujuan untuk mewujudkan makna suluk batin melalui penanaman sifat ikhlas, zuhud, tawakal, serta adab-adab yang diajarkan oleh Imam al-Ghazali. Pusat pengajaran Tarekat Alawiyah berada di Masjid Ba’alawi, di mana para pengikutnya menjalankan amalan Ahl al-Sunnah wa al-Jama’ah. Kegiatan yang biasa dilakukan termasuk perayaan keagamaan seperti Maulid Nabi setiap bulan Rabi’ul Awal dengan membaca rawi dalam ritual "barzanji." Selain itu, di Masjid Ba’alawi, tarekat Alawiyah juga rutin mengadakan majelis wirid dengan membaca Ratib Al-Attas serta kitab-kitab maulid lainnya seperti Maulid Diba’i.

Tasawuf memiliki berbagai corak ajaran. Salah satu tarekat lain yang berkembang di Singapura adalah Tarekat Aurad Muhammadiah, yang dipimpin oleh Al-Fadhil Syekh Abdul Hafiz bin Muhammad Taha As-Suhaimi. Beliau menerapkan amalan dari Syekh Muhammad Ibnun’Abdullah As-Suhaimi, yang juga dikenal sebagai Kyai Agung. Tarekat ini mulai berkembang ketika Syekh Abdul Hafiz menetap selama 40 hari di Singapura. Hingga kini, amalan tarekat ini terus diajarkan, terutama di Madrasah Al-Ma'arif Al-Islamiyah, dalam bentuk amalan Aurad/Maulid setiap malam Jumat dan malam Senin untuk mencapai mahabbah kepada Nabi Muhammad saw. Setelah wafatnya, tarekat ini dilanjutkan oleh keturunan-keturunan dan para khalifah yang diangkatnya. Perkembangan tarekat ini mencapai puncaknya di bawah pimpinan Ustadz Ashari bin Muhammad, pendiri Darul Arqam.

Saat ini, berbagai macam tarekat berkembang di Singapura. Menurut Khairul Amilin & Fazrihah Duriat dalam bukunya "Peran Ajaran Sufi dan Para Habaib di Singapura," beberapa tarekat yang ada antara lain: Ahmadiyah Idrisiyah, Naqsyabandiyah Haqqani Osmanli, Ahmadiyah Idrisiyah Rashidiyah Dandarawiyah, Ahmadiyah Idrisiyah Ja'fariyah, Arusiyah Qadiriyah, Chistiyah, Aurad Muhammadiah, Khalidiyah, Ba'alawiyah, Dasuqiyah Shadhiliyah, Darqawiyah Alawiyah, Naqsyabandiyah Mohsiniyyah, Darqawiyah Shadhiliyah Qadiriyah, Khalwatiyah, Naqsyabandiyah Haqqani, Naqsyabandiyah Aliyyah, Naqsyabandiyah Khalidiyah, Naqsyabandiyah Mujaddidiyah Saifiyah, Naqsyabandiyah Khalidiyah, Suhrawardiyah Sanusiyah, Qadiriyah, Qadiriyah Aleemiyah, Qadiriyah Chistiyah Suhrawardiyah, Naqsyabandiyah Sanusiyah, Qadiriyah Naqsyabandiyah, Qadiriyah Rifa'iyah, Tijaniyah, Shadhiliyah Aliyyah, dan lainnya ( Amilin & Duriat, 2021)

Di tengah gejolak perkembangan tasawuf di Singapura, muncul berbagai tanggapan dan reaksi terhadap para ahli tarekat, baik di Singapura maupun di Nusantara secara umum. Syekh Salim Ibn Sumayr menulis sebuah naskah berjudul “Hadhi Nubdhah li al-Mu'alim Salim ibn Sumayr fi Radd Ahl al-Tariqah fi Singgapurah Sanatan 1269 H”, sebagai bentuk tanggapan terhadap dinamika tarekat yang berkembang di Singapura pada abad ke-19. Pada tahun tersebut, banyak peziarah dan jamaah haji berkumpul di Singapura. Selama waktu transit mereka untuk menunaikan haji, para ahli tarekat mengajak jamaah haji untuk ikut berkhalwat dan mengikuti tarekat. Para ahli tarekat mengajak jamaah untuk menyibukkan diri dengan berzikir pada waktu-waktu tertentu dan menjalani khalwat selama 40 hari. Mereka yang mengikuti hal ini dianggap akan mendapatkan kedudukan yang tinggi dalam agama. Namun, inilah yang kemudian dikritik oleh Syekh Ibn Sumayr melalui naskahnya. Dalam naskah tersebut, beliau mengkritik bagaimana tarekat mengajak jamaah untuk menyibukkan diri dengan khalwat tanpa menyampaikan tentang larangan-larangan agama dan perintah syariat kepada jamaah (Arifin, 2022)

Saat ini, ajaran-ajaran tarekat masih tetap dilaksanakan di Singapura, yang dikembangkan oleh para habaib dan ahl tarekat. Perkembangan Islam di negara Minoritas ini juga mendapat perhatian dari pemerintah. Sebagai negara sekuler, Singapura menjamin hak-hak warga negara untuk menentukan kepercayaan yang dianut. Perhatian terhadap perkembangan Islam diwujudkan dengan dibentuknya berbagai lembaga yang menangani masalah sosial keagamaan, seperti MUIS, MANDAKI, DANAMIS, JAMIYAH, dan kelembagaan Islam lainnya.

PENUTUP

Singapura sebagai negara minoritas Islam, pada masa dahulu pernah menjadi tempat perkembangan dan pusat keilmuan Islam di Asia Tenggara. Eksistensi Singapura telah dimulai sejak abad ke-15, ketika daerah ini menjadi salah satu daerah kekuasaan Kesultanan Malaka dan sekaligus sebagai salah satu pusat perdagangan dan pelabuhan di Asia Tenggara. Trasmigrasi keilmuan Islam dari belahan Timur Tengah, telah menunjang proses islamisasi di Negara Singapura. Dalam perannya sebagai pelabuhan terpenting, Singapura menjadi wadah bagi perkumpulan kaum Muslim dari berbagai belahan dunia, seperti dari Timur Tengah, Asia Selatan, dan Asia Tenggara. Pada masa inilah, perkembangan keilmuan Islam mulai kembali bersinar, yang mana para pedagang mulai kembali berdatangan ke Singapura, termasuk pedagang-pedagang sekaligus sufi, Muslim dari Arab, India, Hadramaut, dan Nusantara. Hal ini tidak lepas dari peran jaringan antar ulama Timur Tengah dengan Nusantara. Pada abad ke-19, pengembangan tasawuf mulai di lakukan secara gencar oleh ahl tarekat, yang mana Singapura ketika itu menjadi tempat pemberhentian atau transit para jama`ah haji dari Indonesia. Perkembangan tasawuf di Singapura, munculah berbagai tanggapan dan reaksi terhadap ahl tarekat, terkhusus di Singapura dan Nusantara umumnya.


DAFTAR PUSTAKA

Abidin, Y. (2020). Pengantar Budaya Masyarakat Asia Tenggara. UNAS PRESS.

Amilin, K & Duriat, F. (2021). Peranan Ajaran Sufi dan Para Habaib di Singapura. Akademi Tareqat Tasawwuf Al-Ja’fari.

Amin, F., & Ananda, R. A. (2018). Kedatangan dan Penyebaran Islam di Asia Tenggara: Tela’ah Teoritik Tentang Proses Islamisasi Nusantara. Analisis: Journal Studi Keislaman, 18 (2), 91.

Arifin. (2022). Nubdzah Fi Radd Ahl Al-Tariqah Fi Singapura Oleh Salim Ibn Sumair: Sebuah Komentar Terhadap Penganut Tarekat Di Nusantara Abad 19. Jumantara: Jurnal Manuskrip Nusantara, 13 (2), 138.

Helmiati. (2014). Sejarah Islam Asia Tenggara. LPPM UIN Sultan Syarif Kasim Riau.

Herawati, A. (2018). Eksistensi Islam di Asia Tenggara. Ash-Shahabah: Jurnal Pendidikan Islam, 4 (2), 125.

Jambak, F. F. (2018). Pemahaman Keagamaan Islam di Asia Tenggara Abad XIII-XX. Millah: Journal Of Religious Studies, 6 (2), 56–61.

Mohsin, M. A., Baharudin, M. H. A. M., Abdullah, N., Sawari, S. S. Md., Napiah, O., Noor, S. S. Mohd., & Kamarul Azmi Jasmi, K. A. (2016). View of Ratib al-Attas Menurut Perspektif al-Quran dan Hadis. 8((3-2)), 101–107. https://doi.org/10.11113/sh.v8n3-2.970

Nurbaiti. (2019). Pendidikan Islam Pada Awal Islamisasi di Asia Tenggara. Rajawali Press.

Pratama, F. S., Erasiah, Zain, F. M., Oktavia, N., & Rossa, M. (2022). Tumasik In The Tresures Of Southeast Asian Islamic Civilization (A Study Of The Islamic Civilization Of Singapore In The 15-20 Th Century). El-Hakam: Jurnal Studi Keislaman, 7 (2), 215–217.

Sani, H. B. A. (2010). The Rise And Role of Tariqa Among Muslims In Singapore-The Case of The Naqshbandi Haqqani. National University of Singapore.

Subehi, I. (2022). Minoritas Muslim di Asia Tenggara. KBM Indonesia.

Tumiran, S. N. (2021). Personaliti Termasyhur Singapura: Syed Mohamed bin Ahmed Alsagoff. Prosiding Nadwah Ulama Nusantara (NUN), 434.


Dynamics of Fatayat NU West Sumatra, Period of Three Srikandi Nahdiyin 1971-1999


 Nilma Yola 1*, Mufti Ulil Amri 2*, Lukmanul Hakim3

123UIN Imam Bonjol Padang

*Email: nilmayola@uinib.ac.id

Abstract

This research aims to explore the role of Fatayat NU West Sumatra

during three different leadership periods, namely Khadijah

Mawardi, Husna Aziz, and Siti Izzati Aziz. The research method used

is the historical method, which includes the stages of heuristics,

source criticism, synthesis, and preparation of reports based on the

results of data analysis. The results showed that during the

leadership of Khadijah Mawardi, Fatayat NU did not show

significant movement, especially because at the same time there was

monoloyalty to the Golkar Party in the New Order era. Furthermore,

during the leadership of Husna Aziz, the role of Fatayat NU began to

increase and was recognised by the wider community, especially

through cooperation with the Ministry of Religion and UNICEF.

However, during the leadership of Siti Izzati Aziz, there was a

setback due to her focus on preparing to run as a legislative candidate

from one of the political parties at that time.


INTRODUCTION

After the NU Congress in Palembang in 1952, Fatayat NU was recognised as an

autonomous organisation under NU. Then, the organisation began to expand its network

to other areas in Sumatra Island, such as Palembang, North Sumatra, Jambi, and Lampung.

Furthermore, the expansion also included Kalimantan and other regions, until finally 70

branches were formed in various regions during the 10-year period from 1950 to 1960. As

there was no Fatayat NU branch in West Sumatra, NU officials in the region took the

initiative to establish Fatayat NU management there.

Since NU announced its withdrawal from Masyumi in 1952, it was a tragedy that

shook the politics of Muslims at that time. Initially, Masyumi was established with the aim

of combining the political aspirations of Muslims through political parties in parliament.

The majority of supporters of the Masyumi Party were members of the NU organisation.

However, when NU withdrew, it certainly caused an uproar among the party's supporters.

As a result, the Masyumi Party lost support from NU's traditional Muslim group.

The background to NU's decision to leave the Masyumi Party was a difference of

opinion in the late 1940s. This was related to the declining role of the ulama in the political

party, where previously, the position of the Shuro Council previously given to the NU had

undergone changes in its rights and authority by the party management.(Yola, 2014) This

was the forerunner of the establishment of Fatayat NU in West Sumatra in order to gain

votes in the second election in 1971.(Maidir Harun, 2021)

‘That I still remember, when NU began to join, initially there was only

Muslimat NU, then after the election Fatayat NU appeared.’

‘In the 70s, as the 1971 elections approached, Fatayat NU was formed. The

aim was to expand the scope of NU. At that time NU was still active in

politics."

What this means is that, based on the results of the first election in 1955, although

the NU Party was the fourth winner of the election, in West Sumatra the NU Party did not

win a single seat from NU representatives. Meanwhile, the Masyumi Party, which was a

‘political opponent’ at that time, obtained several seats in parliament from West Sumatra.

Seeing Masyumi's significant strength in West Sumatra, NU felt the need to participate and

gain support from the community, especially in the context of the next general election. In

this case, the concept of political marketing expressed by Nursal can be applied. NU

planned a series of activities with a long-term focus. They utilised a marketing approach to

build effective relationships with constituents and the wider community. (Taufik

Nurrohman & Moh. Ali A, 2013) Through its cadres in West Sumatra, NU hopes to gain a

strong position and great support from the community.

Another view of the origin of Fatayat NU in West Sumatra was given by Armaidi

Tanjung, a young NU figure who was active in the West Sumatra NU. According to his

understanding, he discovered the presence of Fatayat NU around the 1980s, when he began

to be the board of GP Anshor West Sumatra. However, he does not have definite

information about official documents that mark the beginning of Fatayat NU's presence in

West Sumatra. The following is an explanation conveyed by him to the author:

"I do not have specific information about when Fatayat NU started operating in West

Sumatra. Regarding the reason why Fatayat NU came late to West Sumatra, I also

cannot provide an explanation. I first met the Chairperson of Fatayat NU in the

management period of the 1980s. Currently, that person is in Jakarta and can be

contacted for further information. That is the amount of information I have."

" I joined GP Anshor in 1989, and at that time Fatayat NU already existed. GP Anshor

itself has been operating in West Sumatra since the 1950s."(Armaidi Tanjung, 2021)

From this story, there is no definite answer from the former GP Anshor board at

that time. Perhaps when the informant joined the GP Anshor organisation, he had seen the

existence of the Fatayat NU organisation in West Sumatra. It is possible that Fatayat NU

already existed before 1989 in West Sumatra.

Based on the opinions of the two NU figures, the author estimates that since 1971

Fatayat NU has begun to germinate in West Sumatra, but because the management ignores

the proof of the management decree (SK), until now there is no definite document

regarding the certainty of it.

Apart from the issue of official documents, what is certain is that since the 1970s

Fatayat NU has set foot in West Sumatra, as it is known that the region is inhabited by most

people who think with modernity. Since the reform of the education system in the 19th

century, the people of West Sumatra have advanced in terms of mindset in every line of

life.

Then, what about the leadership of Fatayat NU in West Sumatra, are they accepted

with open arms, or even get rejection? Then, how did the Fatayat NU board carry out its

organisational movement from the New Order period to the early Reformation?


RESEARCH METHODS


This type of research uses the Historical research method, by going through four

stages namely Heuristics, source criticism, data analysis and finally writing research

results. The research technique also uses the interview method with figures related to the

NU, Muslimat and Fatayat NU West Sumatra organisations who are still alive and their

colleagues who can be asked for information as witnesses to related history.

Some of the figures the author interviewed were Husnun Aziz as Chairman of GP

Anshor in the 1970s, Azizah Aziz as Secretary of Fatayat NU in the 1980s. In addition,

interviews were also conducted with Armaidi Tanjung, an NU figure and senior journalist

who wrote a lot about NU in West Sumatra, and others.


RESULTS AND DISCUSSION

After entering West Sumatra, NU did not immediately become a well-known

organisation to the community, especially the autonomous body of NU itself. This was

mainly because West Sumatra already had an influential organisation, Perti (Persatuan

Tarbiyah Islamiyah), which was founded on 5 May 1928 in Candung, Bukittinggi, on the

initiative of Sheikh Sulaiman Ar-Rasuli, Sheikh Abbas, and Sheikh Muhammad Djamil

Djaho.

Perti is a traditionalist organisation based in rural, agrarian and Islamic boarding

schools in West Sumatra. They uphold the Shafi'i Mazhab and refer to the books and

beliefs of Ahlusunnah wal-jamaah. The establishment of this organisation was triggered

by conflicts of thought and differences of opinion between the older and younger ulama,

especially in matters of Fiqh, Tariqah, and others. These conflicts were often presented

through oral and written discussions, the results of which were documented in several

print media.

In an effort to demonstrate their existence, the old guard also began to publish

magazines such as al-Mizan, Ar-Radd wa al-Mardud, and others. This was aimed at

showing the superiority of the older scholars in scientific debate, just as the younger

ones had done. Seeing these dynamics, Sheikh Sulaiman Ar-Rasuli initiated a meeting

with other elders. An agreement was reached to establish the Madrasah Tarbiyah

Islamiah (MTI) in 1930, which then united the old ulama in an organisation called Perti.

Although the organisation expanded to areas such as Jambi, Tapanuli, Bengkulu, Aceh,

West Kalimantan and South Sulawesi, its strongest influence remained in West

Sumatra.(Kementerian Penerangan, 1954)

The Perti organisation is in line with NU in tradition and scholarship, both

adhering to the Ahlu Sunnah wal-Jamaah school of thought and following the four

Imams of the madhhab. Over time, Perti also decided to establish its own political party,

the Tarbiyah Islamiah Party. The similarities in culture, ideology and school of thought

between NU and Perti may be one of the reasons for NU's acceptance in West Sumatra,

as they felt they had something in common in their movements. In addition, the

friendliness of West Sumatran society towards immigrants also opened up

opportunities for NU and its autonomous organisations to mix in West Sumatra.

NU and Perti have similar beliefs, namely following ahlusunnah waljamaah, and

this similarity in beliefs is evident from the following statement. Sahirin said that:

" Not surprisingly, the Perti organisation, which calls itself an adherent of

Ahlusunnah wal Jamaah and the Syafii school of thought, has many

interesting aspects to explore."(Sahirin, 2020)

Nonetheless, in situations where two organisations have almost the same things

in common, one of the two is likely to become more dominant while the other may lag

behind. The same applies to Perti and NU. At that time, Perti's influence was still quite

strong, and the presence of NU did not disrupt their presence in West Sumatra so there

was no social jealousy between the two, in other words, the level of social discontent

was low. If the main organisation is already well accepted in the community,

introducing its women's organisation (Fatayat NU) will not be a difficult thing to

do.(Suwarno, 2001) It can be observed that both the long-established Perti in West

Sumatra and the newly established NU have similar basic principles. Therefore, the

presence of NU in West Sumatra did not threaten the existence of pre-existing

organisations.

In addition to the two factors mentioned above, it is also important to recognise

the role of figures who played a major role in NU in West Sumatra. Some of the figures

who bear witness to the history of NU in West Sumatra include highly respected

individuals in the area, such as H. Abdul Aziz Sholeh Tuanku Mudo, H. Tuanku

Bagindo Mohammad Leter, H. Abdul Razak Tuanku Mudo, Buya KH. Mansur Dt.

Nagari Basa, and others.

These figures are not ordinary people, they are highly respected figures in West

Sumatra and have great influence in the community. Their presence alone has a strong

attraction, similar to a magnet that draws people to join NU. Thus, from the above

explanation, it can be seen that the presence of NU and its autonomous organisations in

West Sumatra from the beginning did not cause rejection from pre-existing

organisations or from the local community.(Nilma Yola, 2023)


Firstly, the author will discuss Fatayat NU during the period of Khadijah Mawardi,

which lasted from 1971 to 1982. Khadijah Ismail, who was the first Fatayat NU Chairperson

in West Sumatra, was a lecturer at the Faculty of Tarbiyah IAIN Imam Bonjol Padang and

a foundation administrator at STAI-YAPTIT Pasaman Barat. Her husband, Mawardi

Nasution, was also a West Sumatra NU official at the time.

1. Khadijah Ismail1

As is customary for Fatayat NU in Java, the Fatayat NU board was first chosen from

the closest circle or relatives of NU administrators. This decision was made through

deliberation and consensus between the West Sumatra NU, Muslimat, and GP Anshor

Regional Administrators, as well as several other NU activists. Khadijah Ismail was then

chosen to be the first Fatayat NU Chairperson in West Sumatra. However, during this

period, Fatayat NU did not experience significant development for a decade, or often called

‘suspended animation’. Coupled with the enactment of the obligation of monoloyalty to

the Golkar Party during the Orde Baru regime.(Syafrizal, 2020) Khadijah Ismail allegedly

served as Chairperson of Fatayat NU West Sumatra from around 1971 to the 1980s, which

ended at the same time as Husna Aziz's leadership continued.

The vacuum of Fatayat NU activities in West Sumatra coincided with the vacuum

of Fatayat NU management nationally, as previously explained. The lack of figures who

led and directed Fatayat NU during that period caused no development or work

programme to be seen during that period.

Further information about Khadijah Ismail's leadership period is not available, and

the last information obtained states that she died in 2016. However, information from one

of her relatives, Dra. Putrina, a retired IAIN Imam Bonjol employee, confirms that Khadijah

Ismail in 1970 was domiciled in Padang City as a lecturer at the Faculty of Tarbiyah IAIN

Imam Bonjol Padang. This corroborates the fact that in 1971, Khadijah Ismail did serve as

the head of Fatayat NU while carrying out her teaching duties on campus. However, there

is no further information about Khadijah Ismail's involvement in the Fatayat NU

organisation.

Second, during Husna Aziz's time Fatayat NU began to rise and develop. Based on

her story to the author, Husna Aziz was initially only included as the regional secretary of

Fatayat NU West Sumatra during the leadership of Khadijah Mawardi. This was because

she was the daughter of NU West Sumatra leader Buya Bagindo Aziz, but during that time

she did not know anything about the running of the Fatayat NU organisation, aka she was

not active in the organisation. According to her memories, around the 1980s, she was reelected

as Chairperson to replace Khadijah Ismail, along with the visit of PP Fatayat NU

officials who brought the responsibility to run the PKHA Project by Fatayat NU

administrators who were active in the region. The project must be carried out by active

Fatayat NU administrators, while Khadijah Ismail's management period has been

vacuumed. Therefore, she was appointed as a replacement for Khadijah Ismail as the

Chairperson of Fatayat NU. The inauguration of the new board was held in the evening at

Muaro Hotel, followed by the initiation procession. Initially, Husna refused to accept the

role of the board, but the NU central board who came continued to persuade her until she

finally agreed. (Nilma Yola, 2023)


2.  Husna Aziz

Husna Aziz was appointed as the Chairperson of Fatayat NU also because of her

position as the daughter of an NU figure in West Sumatra. When PP Fatayat NU visits West

Sumatra, they will definitely visit the NU secretariat office, which happens to be located in

the pavilion where her family lives, which was used by her father as the office of the NU

Secretariat and its banom at that time. Instead of looking for another candidate, it was more

practical to directly appoint a relative from the West Sumatra NU board, which would

certainly be approved by the NU figure.

To assist Husna Aziz in running the programme assigned by the central Fatayat NU

PP, her younger sister, Azizah Aziz, who was still young at the time, was appointed as the

person who would help her run the organisation as well as the cooperation project.

Moreover, with the young pregnancy she was facing, it was not possible for her to move

too actively, for the safety of the foetus in her womb.(Husna Aziz, 2021)

To start the first step, Fatayat NU West Sumatra collaborated with GP Anshor to

expand their presence in various regions. As a result, several Fatayat NU branches were

formed, such as PC Fatayat NU Padang Pariaman Regency, PC Fatayat NU Bukittinggi

Regency, PC Fatayat NU Agam, PC Fatayat NU Payakumbuh, PC Fatayat NU 50 Kota

Regency, PC Fatayat NU Sawahlunto Sijunjung Regency, PC Fatayat NU Padang, and PC

Fatayat NU Pasaman.

At the beginning of the establishment of Fatayat NU, the branches that were formed

were not yet active in activities. The management was taken from the daughter of the local

NU board. After the board was elected and inaugurated, the socialisation of the PKHA

program began to each management, while introducing Fatayat NU to the community.

At that time, Fatayat NU, Muslimat NU, and GP Anshor supported each other in

the implementation of activities because there was still a lack of human resources who were

ready to go directly to the field. The lack of interest of the younger generation is also a

challenge in developing the organisation.

Their enthusiasm in building branches in various regions is very high. In fact, they

are willing to stay at the home of local NU administrators during socialisation. Personal

approach and support from the Muktasyar PWNU also helped smooth their affairs in the

regions, leading to the establishment of new branches.(Nilma Yola, 2021)

During this period, moderator training was also conducted for field officers

implementing the PKHA programme. Based on the 1983 Statistical Report, infant and

under-five mortality rates in Indonesia were relatively high, reaching 90.3 per thousand

births for infants and 17.8 per thousand for under-fives. However, census results in 1985

showed a decline in infant mortality to 7.5 per thousand births. This decline was supported

by health programmes implemented by the government with the help of relevant officials.

In order for the officials involved to work effectively in the field, they need to be

equipped with adequate knowledge. Therefore, before going to the community, Fatayat

NU as the implementer of this activity held a motivator training. This training was held at

Wisma B.K.K.B.N DATI I West Sumatra, Jalan Khatib Sulaiman No.1 on 18-21 October 1987.

This training is a continuation of the cooperation programme in the Child Survival Project

between the Indonesian government and UNICEF in 1985/1989, as stated in the letter of

Assistance Agreement which has been signed for the second year.(Aziz, 1987)

The objective of the training is to provide motivation to implement immunisation

and diarrhoea control programmes. The training participants, 50 in total from 8 regional

branches, will be equipped with the necessary knowledge to enable them to become

effective motivators in the community. The participants come from various regions such as

Padang, Pariaman, Agam, Payakumbuh, Bukittinggi, Sawahlunto/Sijunjung, Pasaman,

and District 50 Kota.

This activity was funded by UNICEF, the Provincial Government, and Fatayat NU

West Sumatra. The Child Survival Project (PKHA), which is carried out in collaboration

with NGOs, is expected to provide benefits to the community, especially for those who

have children and toddlers. This is especially important for people living in areas that are

difficult to reach by health services. This motivator training is part of the support provided

to run the PKHA programme initiated by UNICEF, the Ministry of Religious Affairs, and

executed by Fatayat NU. Those were some of the activities that were quite large and broad

in scope carried out by Fatayat NU in West Sumatra during Husna Aziz's time. Then, the

management period ended and the leadership changed to Siti Izati Aziz, the younger sister

of Husna and Azizah Aziz.

Third, during her leadership period, there was no visible development of the Fatayat

NU organisation as before. She was more inclined to continue what had been pioneered by

her two older siblings. Although she did not get permission from her husband to be active

in organisational activities, at the request of her mother to replace her sister, Husna Aziz,

she decided to follow her wishes as a form of obedience to her parents.

3. Siti Azizah Aziz

In addition, she was preparing to run for the West Sumatra Provincial Parliament.

Most of her focus was on preparing to enter politics. This may have caused her to focus less

on developing the Fatayat NU organisation as her two sisters had done before.

However, in 1991, during Siti Izzati's inactive leadership, her father, Buya Aziz,

began to look for solutions to make Fatayat NU active again. He saw leadership potential

in his granddaughter, Jusmaniar, who often visited his house in Padang City. So, Jusmaniar

was invited to participate in NU activities and began to learn about the Fatayat NU

organisation. When the position of Chairperson of Fatayat NU Padang City was vacant,

Jusmaniar was appointed as Chairperson of Fatayat NU Padang City because of her

experience in organising in Padang City and the assumption that without the existence of

an active branch, the region would have no meaning. Although at the same time she also

served as PAW for the Fatayat NU Regional Board, this is where Jusmaniar began to

continue the struggle of Fatayat NU in West Sumatra. She served as a Fatayat NU board

member only until 1999, because her parents began to get sick and she was required to

serve her parents in the village. Since then, the echo of Fatayat NU in West Sumatra has not

been heard anymore. Structurally they still exist, but the movement is no longer visible.


CONCLUSIONS

Fatayat NU was initially present in West Sumatra with the aim of contributing to

the number of votes in the second election in 1971 by the NU Party. However, in reality,

the NU Party experienced a change in direction as an organisation that focused more on

service to the ummah, so in 1971, the NU Party no longer participated in the second election

contest.

During the first decade since its establishment in West Sumatra, Fatayat NU under

the leadership of Khadijah Mawardi did not carry out active activities. This was because

Khadijah was busy as a lecturer engaged in teaching activities, and also because at that time

there was monoloyalty to the Golkar Party in the New Order era.

However, in the second decade, Fatayat NU's presence in West Sumatra began to

be felt. This was marked by the opening of new branches in various regions in West

Sumatra. This was further strengthened by the cooperation programme between the

Ministry of Religious Affairs and UNICEF run by Fatayat NU. However, although it began

to be recognised by the community, Fatayat NU experienced significant changes after the

change of leadership from Husna Aziz to Siti Izzati Aziz, without any innovation or new

work programmes being introduced.


ADVICE

This research is only about the figures who govern Fatayat NU in West Sumatra,

for further researchers can continue the study of the causes of the decline of Fatayat NU in

West Sumatra until now.


ACKNOWLEDGMENTS

Thank you to those who have helped in completing this research, especially the

resource persons who have been willing to take the time to provide information to the

author. Mr. Maidir Harun, Armaidi Tanjung, Husna Aziz, Azizah Aziz, Jusmaniar, etc.


REFERENCE

Armaidi Tanjung. (2021). Wawancara Pribadi dengan Armaidi Tanjung.

Aziz, A. (1987). Laporan Pelaksanaan Latihan Motivator Fatayat NU Sumatra Barat.

Husna Aziz. (2021). Wawancara pribadi dengan Husna aziz.

Kementerian Penerangan. (1954). Kementerian Penerangan, Kepartaian dan Parlementaria di

Indonesia. Kementerian Penerangan.

Maidir Harun. (2021). Wawancara dengan Maidir Harun.

Nilma Yola. (2021). Wawancara Pribadi dengan Azizah Aziz.

Nilma Yola. (2023). Derap Langkah Fatayat NU Sumatra Barat. Penerbit ADAB.

Sahirin. (2020). Sejarah Perkembangan PERTI di kabupaten Seluma Tahun 1950-2019. IAIN

Bengkulu.

Suwarno. (2001). Muhammadyah Sebagai Oposisi. UII Press.

Syafrizal. (2020). Kemunduruan Politik Aliran di Sumatra Barat Pada Awal Orde Baru:

Partai Perti Sebagai Perbandingan. Analisis Sejarah, 9 (2), 1.

Taufik Nurrohman & Moh. Ali A. (2013). Partai Politik dan Pemilukada (Analisis Marketing

Politik dan Strategi Postioning Partai Politik Pada Pilkada Kabupaten Tasikmalaya.

Universitas Siliwangi.

Yola, N. (2014). Dinamika Partai Politik Islam di Indonesia; Analisis tentang Eksistensi Nahdlatul

Ulama dalam Partai Masyumi. IAIN Imam Bonjol Padang.


Organisasi Perempuan Tradisionalis di Tengah Masyarakat Modernis (Fatayat NU di Sumatera Barat 1971-1999)

ORGANISASI PEREMPUAN TRADISIONALIS DI TENGAH MASYARAKAT MODERNIS: (Fatayat NU di Sumatera Barat 1971-1999)



Nilma Yola

UIN Imam Bonjol Padang

dindayola17@gmail.com

Abstrak

Tulisan ini membahas mengenai sejarah perkembangan Fatayat NU di Sumatera Barat. Masalah dalam penelitian ini adalah bagaimana sejarah masuk dan berkembang Fatayat NU di Sumatera Barat. Dalam membahas tulisan ini penulis menggunakan metode penelitian sejarah. Hasil dari penelitian ini menjelaskan bahwasanya Fatayat NU masuk ke Sumatera Barat Pada tahun 1971, dengan tujuan awal untuk melebarkan sayap NU di daerah. Periode pertama, Fatayat NU dipimpin oleh Ibu Khadijah Ismail namun mengalami kevakuman dalam menjalankan organisasi, mulai bergerak kembali saat terbentuknya kepengurusan Fatayat NU periode kedua masa kepengurusan Husna Aziz. Hingga mengalami kemunduran masa kepengurusan Siti Izzati Aziz.

Kata kunci: Fatayat NU, sejarah dan Sumatera Barat.

Abstract

This paper discusses the history of the development of Fatayat NU in West Sumatra. The problem in this research is how the history of the entry and development of Fatayat NU in West Sumatra. In discussing this paper the author uses the method historical research. The results of this study explain that Fatayat NU entered West Sumatra in 1971, with the initial aim of to expand NU's wings in the regions. The first period, Fatayat NU was led by Khadijah Ismail's mother but experienced a vacuum in carrying out organization, began to move again when the Fatayat management was formed NU for the second period of the management of Husna Aziz. Until experiencing the setback of Siti Izzati Aziz's tenure.

Keywords: Fatayat NU, history dan West Sumatera.


A. Latar Belakang Hadirnya Organisasi Fatayat NU di Sumatera Barat

Dari sejak berdiri hingga diakui secara resmi oleh PBNU sebagai salah satu organisasi banomnya, Fatayat NU bergerak cepat melebarkan sayap kekuasaannya ke wilayah lain di sekitaran Pulau, Jawa lalu ke Pulau Sumatera hingga kepuluan di wilayah Timur Indonesia. Di Pulau Sumatera jaringan penyebaran organisasi Fatayat NU meliputi wilayah Sumatera Utara. Jambi, Lampung dan Palembang. Hingga pada akhirnya masuk ke wilayah Sumatera Barat.

Terdapat beberapa pendapat dari tokoh-tokoh yang mengetahui informasi mengenai Fatayat NU di Sumatera Barat, seperti:

1. Maidir Harun, mengatakan bahwa masuknya Fatayat NU ke Sumatera Barat bertepatan dengan akan digelarnya pemilu di Indonesia. NU sebagai salah satu organisasi Islam terbesar, melalui partai politik NU ikut serta dalam pemilihan umum kala itu melihat adanya peluang untuk mendapatkan jatah kursi di DPRD Sumatera Tengah. Biasanya suara Masyumi adalah pemenang pemilu pada pemilihan umum terdahulu.

“Seingat saya, awalnya NU hanya ada Muslimat sebagai organisasi perempuan di Sumatera Barat. Tidak lama setelah itu berdiri Fatayat NU, tujuannya untuk memperluas jaringan NU di Sumatera Barat.

Pendapat tersebut didukung dengan data hasil pemilu sebelumnya tahun 1955, sebagai berikut :

1. Di wilayah pemilihan Sumatera Tengah berhasil mendapatkan 11 kursi di parlemen pada pemilijan umum tahun 1955, dengan rincian: 6 kursi dari Masyumi, 3 kursi dari Perti, 1 kursi dari PKI dan 1 kursi dari PPTI. Dari pemenang pemilu di atas, NU tidak mempeoleh kursi pada pemilihan kali ini di wilayah Sumatera Tengah, maka dari itu ia mulai menambah perwakilannya melalui organisasi pemudinya.

2. Armaidi Tanjung, berujar bahwasanya Fatayat NU sudah ia dapati pada tahun 1980-an, bertepatan dengan dirinya aktif bergabung pada organisasi GP Anshor Sumatera Barat tahun 1989, dan mereka sering melakukan kerja bersama degan Fatayat NU saat mengangkat kegiatan di tengah masyarakat.. Namun, ia tidak mengetahui kapan pastinya Fatayat NU Sumatera Barat berdiri, dikarenakan tidak ada arsip ataupun dokumentasi yang ia temukan mengenai Fatayat NU tersebut.5 Berikut ungkapan darinya:

“Ambo, kalau bilo masuaknyo secaro persis ambo ndak tau, tapi kalau latar belakang baa talambek masuak, tu bisa ambo manjawab tu. Lalu, Ambo yang baru dapek ketuanyo tu yang tahun 80-an.

Kini urangnyo di Jakarta, bisa di telpon itu. Ha, itu informasi yang dapek dek ambonyo”.

(saya, soal kapan masuk Fatayat NU saya tidak tahu. Namun, kalau bicara soal latar belakang kenapa Fatayat NU terlambat masuk ke Sumatera Barat saya bisa menjawab. Saya bertemu dengan Ketua Fatayat NU itu yang ada pada kepengurusan tahun 1980-an. Sekarang orangnya ada di Jakarta, bisa dihubungi itu. Itu informasi yang saya tahu.

“Ambo bergabung dengan Anshor dan NU tu tahun 1989, haa bersama dengan itu alah ado Fatayat NU, karano itu informasi yang ambo dapatkan, sedangkan Anshor dari tahun 50 an alah ado”.

(Saya bergabung dengan GP Anshor pada tahun 1989, nah bersamaan dengan itu sudah ada Fatayat NU, dan GP Anshor itu sudah ada di Sumatera Barat sejak tahun 1950-an).

3. Husna Aziz, merupakan putri dari Mukhtasyar PBNU masa itu sekaligus Ketua Fatayat NU periode ke-2, mengatakan bahwa ia menjabat sebagai pengurus sekitar tahun 1980-an.

“Uni lupo sangaik bilo lah ado Fatayat NU ko di awalnyo, rasonyo tahun 80-an uni ingek, katiko itu uni hamil anak uni nan partamo, sadang hamil mudo uni katiko itu. Katiko itu ado proyek yang punyo Fatayat NU, dan tu harus ado pengurus yang aktif, makonyo ditunjuaklah uni jadi ketua manggantian ibu Khadijah tu, sebab urang pusat kan berkunjung ka sakretariat NU maso itu di pavilium uni, dirumah. Malam tu juo uni ntah di hotel Muaro ntah dima wakatu tu tu langsuang dilantik jo dibaiat, awalnyo uni manolak tapi disamangek an juo taruih dek pengurus pusat yang datang (kunjungan ibu

Makhfudoh), Husna kamu bisa. Akhirnyo uni yang jadi ketua sasudah Ibu Khadijah Ismail tu lai”.

(Uni lupa kapan persisnya Fatayat NU ini hadir di Sumatera Barat, rasanya sekitar tahun 1980 an. Uni ingat pada masa itu uni sedang hamil anak pertama, pas banget waktu itu tengah hamil muda. Lalu datang pengurus Fatayat NU pusat membawa kabar mengenai adanya proyek kerjasama Fatayat NU, dan proyek itu harus dijalankan oleh pengurus Fatayat NU aktif, sedangkan masa kepengurusan Bu Khadijah selama ini sudah vakum. Lalu ditunjuklah uni sebagai pengganti Buk Khadijah menjadi ketua Fatayat NU. Pada hari itu juga, malamnya dilakukan pelantikan pengurus baru di Hotel Muaro , lalu langsung di baiat. Pada awalnya uni menolak untuk dijadikan pengurus. Namun, karena di kasih dukungan terus sama pengurus pusat akhirnya uni bersedia menjabat sebagai Ketua Fatayat NU).

Pengangkatannya lewat penunjukan langsung oleh pengurus Fatayat NU pusat yang berkunjung ke Sumatera Barat dalam rangka sosialisasi pelaksanaan program PKHA yang diamanahkan oleh Departemen Agama bekerja sama dengan UNICEF. Kerja sama tersebut mengharuskan adanya kepengurusan Fatayat NU aktif di setiap daerah yang ditunjuk sebagai pelaksana kegiatan tersebut. Bertepatan, Husna merupakan putri dari salah satu tokoh pembawa NU ke wilayah Sumatera Barat yaitu Buya Aziz. Kebiasaan dalam organisasi Fatayat NU untuk penunjukan pengurus diambil dari putri pengurus NU di daerah. Kemudian ia dibantu oleh adiknya Azizah Aziz sebagai Sekretaris Wilayah Fatayat NU Sumatera Barat.

4. Azizah Aziz, merupakan mantan Sekretaris wilayah Fatayat NU wilayah Sumatera Barat tahun 1980-an. Berdasarkan cerita yang ia sampaikan, awalnya ia tidak tahu apapun tentang Fatayat NU, namun ayahnya Tuanku Aziz selalu membujuk dia agar mengambil jabatan posisi sebagai penerus organisasi Fatayat NU. Apalagi, ia yang berlatar belakang sebagai kader HMI, lebih fokus memajukan organisasinya tersebut. Namun, kegigihan ayahnya membujuk, akhirnya meluluhkan hati azizah untuk berbalik arah mengabadikan diri menjadi pengurus Fatayat NU dengan mengawali pengkaderan dari organisasi PMII terlebih dahulu. Setelah itu, ia ikut dilantik sebagai pengurus Fatayat NU berbarengan dengan kakaknya Husna Aziz, yang masa itu tengah dalam kondisi berbadan dua, sehingga tidak memungkinkan untuk terlalu aktif berorganisasi. Saat itulah, peran Azizah banyak membantu berjalannya organisasi.

5. Khusnun Aziz, merupakan Ketua GP Anshor masa tahun 1980-an, menyampaikan bahwasanya sebelum kepengurusan Husna Aziz telah ada terbentuk pengurus Fatayat NU Suamatera Barat sebelumnya. Kepengurusan tersebut diketuai oleh Khadijah Ismail, seorang dosen di Fakultas Tarbiyah IAIN Imam Bonjol Padang. Untuk mengkonfirmasi data tersebut, penulis juga melakukan wawancara dengan salah satu kerabat Khadijah Aziz yang juga pensiunan pegawai di IAIN Imam Bonjol Padang, Masrina bahwasanya sekitar tahun 1970-an, Khadijah Aziz memang terdaftar sebagai salah satu dosen di Fakutas Tarbiyah IAIN Imam Bonjol, dan berdomisili di Kota Padang.

6. Jusmaniar, ia merupakan mantan Ketua Fatayat NU cabang Kota Padang pertama. Awalnya ia menjabat sebagai pengganti sementara sekretaris wilayah masa kepengurusan Siti Izzati Aziz, yang masa itu sempat tidak berjalan. Menurut sepengetahuannya, Fatayat NU sudah ia dapati ada, dan dapat cerita memang dimulai dari kepengurusan Khadijah Ismail, namun ia tidak mendapati arsip-arsip Fatayat NU terdahulu sampai masa ia menerima estafet kepengurusan Fatayat NU. Menurutnya, Fatayat NU di Sumatera Barat sudah ada sejak lama, namun tidak ada terdengar gaung pergerakan Fatayat NU di Sumatera Barat selama ini.8

Berdasarkan beberapa pendapat di atas, penulis melihat bahwasanya Fatayat NU di Sumatera Barat awalnya dibawa untuk memperluas jaringan NU yang dilakukan melalui perantara kader mereka di daerah. Hal itu dikarenakan, pada pemilu tahun 1955, Partai NU memperoleh urutan ke 3 sebagai peraih suara terbanyak nasional. Sedangkan di Sumatera Barat9 Partai NU tidak memperoleh kursi pemenang pemilu, timbul keinginan untuk menjadi peraih kursi dalam pemilu berikutnya. Salah satu langkah yang ditempuh dengan menempatkan kader mereka disana. Menurut Schroder Peter, strategi politik bisa diterapkan pada kasus kali ini, dimana strategi politik sudah beralih fungsi dari bidang militer kepada bidang lainnya.10 Itulah masa awal berdiri, kepengurusan Fatayat NU di Sumatera Barat tahun 1971. Untuk keanggotaannya ditunjuk kerabat dari petinggi NU di Sumatera Barat.

B. Masuk dan Berkembang Fatayat NU dalam masyarakat Sumatera Barat

Sebelum NU masuk ke Sumatera Barat, disini sudah berkembang organisasi tradisionalis keagamaan juga, namanya PERTI (Persatuan Tarbiyah Islamiyah). Merupakan organisasi yang berliran sama dengan NU berbasis pedesaan, agraris, serta pesantren di Sumatera Barat. Pada bidang pemikiran, merujuk dan berpegang pada kitab-kitab karangan Imam Syafii, dan berfaham Ahlusunnah wal-jamaah. Organisasi ini berdiri pada tanggal 5 Mei 1928 di daerah Canduang, Bukittinggi, diprakarsai oleh Syeikh Sulaiman Ar-Rasuli, Syeikh Abbas dan Syeikh Muhammad Djamil Djaho.12

Lahirnya organisasi ini dilatarbelakangi oleh konflik perang pemikiran antara kaum muda dan kaum tua di Sumatera Barat. Tahun 1930, diawali dengan didirikannya Madrasah Tarbiyah Islamiyah (MTI) untuk menyatukan antara kaum muda dan kaum tua dalam sebuah wadah yaitu organisasi PERTI (Persatuan Tarbiyah Islamiyah). Organisasi ini berkembang hingga Jambi, Aceh, Tapanuli, Aceh, Kalimantan Barat, Sulawesi Selatan, Bengkulu, dll.

Selain itu, NU sebagai organisasi pendatang di Sumatera Barat, dijelaskan dalam AD-ART NU bahwasanya “Nahdlatul Ulama beraqidah Islam menurut faham Ahlusunnah wal-jamaah dalam bidang aqidah mengikuti salah satu dari Mazhab empat (Hanafi, Maliki, Syafii dan Hambali); dan dalam bidang tasawuf mengikuti mazhab Imam al-Junaidi al-Baghdadi dan Abu Hamid al-Ghazali”.14 Dari penjelasan tersebut, kita ketahui bahwa ciri-ciri yang dimiliki oleh organisasi Perti hampir mirip dengan organisasi NU sebagai oranisasi tradisionalis namun memiliki kultur Jawa. Sehingga, antara kedua organisasi tersebut tidak terjadi pertentangan yang besar saat NU masuk dan mulai berkembang di Sumatera Barat karena mereka sejalan. Dikarenakan NU sudah memperoleh tempat di tengah masyarakat Sumatera Barat, untuk kehadiran banom perempuan NU yang masuk juga tidak terjadi penolakan dari masyarakat.

Selain itu, tokoh-tokoh penting NU di Sumatera Barat dipegang oleh orang-orang yang memiliki pengaruh, seperti H. Abdul Aziz Sholeh Tuanku Mudo, H. Tuanku Bagindo Mohammada Leter, H. Abdul Razak Tuanku Mudo, dll. Ketokohan mereka menjadi daya tarik tersendiri bagi masyarakat untuk ikut serta organisasi yang mereka ikuti, termasuk Fatayat NU dimana untuk kepengurusan diambil dari putri pejabat NU tersebut.

Perkembangan Fatayat NU di Sumatera Barat

Dalam penelitian ini, terdapat tiga periode kepemimpinan Fatayat NU di Sumatera Barat:

1. Masa Khadijah Ismail (1971-1980)

Merupakan Ketua Fatayat NU pertama di Sumatera Barat, masa itu sekaligus ia menjabat sebagai dosen di Fakultas Tarbiyah IAIN Imam Bonjol Padang. Suaminya merupakan salah satu pengurus NU di Sumatera Barat, yaktu Mawardi. Berdasarkan kebiasaan dalam keluarga NU, untuk pemilihan kepengurusan awal ditunjuk calonnya dari kerabat-kerabat pengurus NU. lewat mufakat bersama pengurus NU Sumatera Barat, pengurus GP Anshor, dan juga Muslimat NU. Akhirnya, desepakati memilih Khadijah Ismail sebagai ketua pertama Fatayat NU Sumatera Barat.

Namun, masa kepengurusannya terjadi praktik mono loyalitas kepada Golkar, dimana seluruh Pegawai Negeri diwajibkan untuk loyal dan patuh kepada Golkar di bawah Soeharto. Berhubung Khadijah Ismail adalah seorang Pegawai Negeri, ia lebih memilih menyelamatkan sumber ekonomi kelurganya ketimbang aktif menyuarakan organisasi. Selain itu, masa kepengurusan ini bertepatan dengan masa vakum Fatayat NU secara nasional, jadi tidak terdapat pergerakan yang berarti ,asa awal periode pengurusan Fatayat NU di Sumatera Barat.

2. Husna Aziz (1982-1992)

Ia merupakan putri dari Mukhtasyar PWNU Sumatera Barat masa itu. Ditunjuk langsung oleh Ketua PP Fatayat NU Makhfudzoh, bertepatan dengan kunjungan mereka ke Sumatera Barat dalam rangka sosialisasi program PKHA (Program Kelangsungan Hidup Anak). Kerjasama ini merupakan kesepakatan antara Unicef dengan departemen Agama, dan Fatayat NU menjadi salah satu lembaga yang diamanahi melaksanakan program kerjasama tersebut. Selama menjabat ia didampingi oleh adiknya Azizah Aziz sebagai Sekretaris Wilayah Fatayat NU, hingga berakhir masa kepengurusannya.

Selama masa kepengurusan ini, beberapa program kerja berhasil dilaksanakan, diantaranya:

a. Memperbanyak cabang Fatayat NU di daerah-daerah Sumatera Barat, seperti: PC Fatayat Kab Padang Pariaman, Kab. Bukit Tinggi, Kab. Agam, Kota Payakumbuh, Kab. 50 Kota, Kab. Sawahlunto Sijunjuang, Kota Padang, Pasaman.15

b. Melaksanakan program PKHA, untuk mewujudkan visi “Indonesia Sehat 2010”16, dengan menerapkan pembangunan nasional berwawasan kesehatan, dan ditargetkan membentuk lingkungan yang sehat serta perilaku yang sehat.

c. Melakukan Kegiatan Pelatihan Motivator, dilaksanakan di Wisma B.K.K.B.N DATI I Sumatera Barat, pada tanggal 18-21 Oktober 1987. Merupakan kegiatan tindak lanjut dari program PKHA sebagai bagian integrasi dari program kerjasama antara pemerintah Indonesia dengan Unicef.

Masa kepengurusan perode ke 2 ini merupakan masa emas Fatayat NU di Sumatera Barat. Melalui PKHA pengurus Fatayat NU Sumatera Barat, menyelipkan misi memperkenalkan Fatayat NU kepada masyarakat luas. Sampai akhirnya Fatayat NU mulai dikenal oleh masyarakat.

3. Siti Izzati Aziz (1993-1999)

Siti merupakan adik dari Husna Aziz, merupakan anggota DPRD Provinsi Sumatera Barat dari Partai Golkar. Selama masa kepengurusannya Fatayat NU mulai redup, berbeda dengan periode kepengurusan sebelumnya. Selain meneruskan program yang diwariskan dari kepengurusan terdahulu, tidak ada lagi kegiatan baru yang dilaksanakan masa kepengurusan ini. Tambah lagi, sibuk mempersiapkan pemilihan anggota DPRD Provinsi Sumatera Barat. Begitulah awal mulai hilangnya semangat berorganisasi Fatayat NU di Sumatera Barat, bahkan hingga saat ini.

Berhubung Ketua Fatayat NU sudah tidak aktif lagi berkegiatan, lalu Jusmaniar diangkat sebagai PAW Sekretaris Wilayah Fatayat NU mendampingi Yanti yang diamanahkan sebagai pengganti sementara Siti Izzati. Tidak berselang lama, Yanti menikah kemudian tersisalah Jusmaniar sebagai PAW Fatayat NU, dari situlah berawal perpindahan kepengurusan dari PAW Fatayat NU hingga menjabat Ketua Cabang Fatayat NU Kota Padang.


Daftar Pustaka

Aldomi, P, Hazan, Z.M.K. Prinsip dan Jati Diri Persatuan Tarbiyah Islamiyah; Beri’tikad Ahlusunnah Wal Jama’ah dan Mazhab Mazhab Syafi’i. Padang: Jasa Surya Padang, 2015.

Armaidi, Tanjung. Wawancara Pribadi Penulis, Agustus 2021.

Azizah, Aziz. “Laporan Pelaksanaan Latihan Motivator Fatayat NU Sumatera Barat.” Padang, 1987.

———. Wawancara pribadi, 21082021.

Hasan, ’Abd al-’Al. Al-Tarbiyah al-Islamiyyah fi al-Qarn al-Rabi‘ al-Hijri. Mesir: Dar al-Fikr al’Arabi, t.t., t.t.

Husna, Aziz. Wawancara Pribadi Penulis, Agustus 2021.

Jusmaniar. Wawancara Pribadi Penulis, Agustus 2021.

Kementerian Kesehatan. Keputusan Menteri Kesehatan RI Nomor 1059/MENKES/SK/IX/2004, 1059 § (2004).

Kementerian Penerangan. Kepartaian dan Parlementaria di Indonesia. Jakarta: Kementerian Penerangan, 1954.

Maidir, Harun. Wawancara Pribadi Penulis, Agustus 2021.

Nalfira. “Sumatera Barat di Parlemen, Hasil Pemilu 1955.” Parintangrintang (blog), t.t. https://parintangrintang.wordpress.com/2019/04/14/sumatera-barat-di-parlemen-hasil-pemilu-1955/.

Peter, Schroder. Strategi Politik. Jakarta: Friedrich Nauman Stiftung, 2008.

PP NU. ADART Nahdhlatul Ulama Mukhtamar ke 32 (2010).

Selasa, 18 Oktober 2022

Sejarah Asal usul Sistem Matrilineal di Minangkabau

 



Banyak yang bertanya kapan awal mula munculnya sistem kekerabatan "matrilineal" di Minangkabau. Dan, siapa yang mencetuskannya pertama kali ?
Memang tidak banyak sumber yang membahas tentang hal tersebut. Charles Robenta, dkk dalam tulisannya "Perjuangan Adityawarman di Kerajaan Dharmasraya Nusantara tahun 1339-1376, menulis bahwasanya asal muasal munculnya sistem kekerabatan matrilineal di Minangkabau bermula saat Adityawarman diutus sebagai bawahan Majapahit ke Dharmasraya.

Saat Adityawarman menjadi Raja bawahan di Dharmasraya akan memperluas wilayah kekuasaannya di
bumi Melayu, salah satu wilayah yang akan ditaklukan serta disatukan ke dalam kekuasaan Dharmasraya adalah Minangkabau, namun mendapat pertentangan dari Datuk Katumanggungan yang merupakan mamak (paman) Adityawarman sendiri, sebagai pemangku nagari Rajo Alam Minangkabau sudah berkehendak untuk melawannya dengan kekuatan militer namun dilain pihak Datuk Perpatih Nan Sebatang sudah memperkirakan, bahwa tidak mungkin Minangkabau menang menghadapi bala tentara Adityawarman yang terlatih dan bahkan sudah berpengalaman dalam pertempuran diantaranya pengalaman tempur disaat memadamkan pemberontakan Sadeng atas Majapahit di tanah Jawa.

Jika melawan pasukan Majapahit yang dibawa Adityawarman dipastikan pasukan Minangkabau akan mengalami kekalahan. Dengan usaha yang keras, akhirnya Datuk Perpatih nan Sebatang berhasil meyakinkan Adityawarman untuk bernegosiasi dan menghindari peperangan, dengan tetap mempertahankan harkat dan martabat Minangkabau dengan cara menikahkan Putri Jamilan dengan
Adityawarman yang merupakan penguasa di Dharmasraya. Oleh Datuk Perpatih nan Sebatang kekuasaannya sebagai Rajo Alam Minangkabau digantikan oleh adik perempuanya, yaitu Putri Jamilan, yang selanjutnya akan dikawinkan dengan Adityawarman. Datuk Perpati nan Sebatang telah menyiasati dengan cara merubah hukum monarki absolute yang Paterilinear diubah menjadi Matrilinear, dimana pewaris tahta dan suku adalah dari garis keturunan Ibu. Dengan demikian tidak ada celah bagi Adityawarman untuk mengganti permaisurinya, dan jika nantinya Adityawarman mempunyai selir, tidak mungkin keturunan selir menjadi Raja, karena hanya anak Putri Jamilan yang berhak atas warisan tahta. 

Selain itu dengan menerapkan hukum MamakKamanakan, dimana Mamak bertanggung jawab penuh atas kemenakannya, tetap menjadikan penguasa penuh atas pewaris tahta di Minangkabau. Akhirnya setelah urusan konstitusional ini selesai, barulah Datuk Perpatih nan Sebatang bernegosiasi. Adityawarman setuju penggabungan kedua Kerajaan dengan menikahi Putri Jamilan, dan setuju pula dengan konstitusi Adat Minangkabau yang tersebut di atas, akhirnya tanpa perang-tanpa pertumpahan darah, Adityawarman menjadi Raja Minangkabau.

sumber: Charles Robenta, Tontowi Amsia dan Yustina Sri Ekwandari

Selasa, 04 Oktober 2022

 

Review Buku

MENJERAT GUS DUR

 

Nilma Yola[1]

UIN Imam Bonjol Padang



    

  


Tulisan berikut merupakan review buku

Karya Virdika Rizky Utama, dengan judul Menjerat GUS DUR

 

Buku berjudul “Menjerat Gus Dur” karya tangan Virdika Rizky merupakan buku yang menceritakan tentang Gus Dur mulai dari dia dipilih menjadi Presiden pengganti BJ. Habibie, hingga dia dilengserkan sebagai Presiden Republik Indonesia. Buku ini terdiri dari tujuh bab, 37 halaman yang diterbitkan oleh PT.NUmedia Digital Indonesia, cetakan pertama di Jakarta.

Virdika Rizky Utama, adalah seorang mantan jurnalis Majalah Berita Mingguan Gatra, Majalah Sawit Indonesia  dan Narasi TV. Buku ini berawal dari ketidaksengajaannya menemukan sebuah artikel yang akan dibuang oleh petugas kebersihan saat ia sedang mewawancarai Setia Novanto kira-kira tahun 2017 silam di kantor Golkar. Ia juga mengatakan bahwa butuh waktu yang lumayan lama untuk memvalidasi data yang ada didalam dokumen tersebut. Bahkan, ia juga pernah diancam oleh salah satu petinggi pemerintahan yaitu Amin Rais karena mengetahui isi dari dokumen tersebut.[2]

Pada bagian Bab I Virdika mengisahkan tentang awal Orde Baru, islam politik di awal Orde Baru, hingga Soeharto lengser dari kursi presiden. Berawal dari naiknya Soeharto menggantikan posisi Soekarno sebagai Presiden Republik Indonesia, maka nuansa kehidupan politik di Negara Indonesia berubah total dari yang awalnya anti terhadap Barat lalu berubah menjadi Pro kepada Barat. Kemudian Soeharto mulai berubah menjadikan keluarga dan orang-orang terdekat menjadi pemegang jabatan strategis dipemerintahan. Hingga berlangsung selama 32 tahun lamanya, membuat masyarakat melalui perwakilan mahasiswa berusaha untuk menggulingkan dia dari tampuk kepemimpinan sebagai orang nomor satu di Indonesia. Aksi mahasiswa semakin menjadi saat dilakukannya Sidang Istimewa menetapkan kembali Soeharto menjadi Presiden serta meletakkan anak dan kroni-kroninya mengisi jabatan-jabatan dalam kabinet.

Unjuk rasa mahasiswa terjadi hampir diseluruh wilayah Indonesia. Misalnya di Solo , Yogyakarta, dan Sumatera Utara juga terjadi unjuk rasa mahasiswa dari kampus UGM dan juga USU. Bahkan Angkatan Darat dan Brigade Mobil (Brimob) sempat menduduki UGM selama 8 jam. Di Jakarta, juga terjadi tragedy Tri Sakti, yang menewaskan empat orang mahasiswa Tri Sakti, yaitu Hendriawan Sie Alang Mulia Lesmana, , Hafidin Royan, dan Heri Hertanto.[3] Tidak hanya itu, aksi tersebut juga diiringi oleh tentara yang diduga dilakukan untuk membuat kerusuhan di Jakarta. Penjarahan toko-toko Tionghoa di daerah Tanjung Priok, Tangerang, dimana property yang menjadi milik etnis Tionghoa menjadi target uatama massa[4], bahkan pembunuhan serta perkosaan kepada perempuan-perempuan Tionghoa tersebut.

Kekerasan seksual terjadi didalam rumah-rumah, dimana korban diperkosa secara bergiliran. Dan dilakukan didepan orang lain pada waktu yang sama. Meskipun tidak semua korban perkosaan adalah keturunan etnis Cina Tionghoa, namun sebagaian besar berasal dari mereka. Sedikitnya tercatat sekitar 85 korban kekerasan seksual selama kerusuhan Mei 1998.[5]

Di jalan, gelombang tuntutan untuk reformasi kian membesar. Disini muncullah Amin Rais menjadi salah satu tokoh public yang mengecam keras Orde Baru. Padahal, ia pernah menjadi bagian dari Orde Baru dengan menjadi bagian dari ICMI. Sementara itu, Gus Dur lebih memilih menemui Soeharto dengan harapan agar tidak terjadi makin banyak pertumpahan darah.

Justru saat keadaan genting di Jakarta, Soeharto malah berangkat ke Mesir untuk menghadiri sebuah konfrensi dan ABRI sebagai kaki tangan Soeharto mengambil alih kekuasaan dengan mengadakan Sidang Istimewa MPR. Mengetahui hal itu, mahasiswa menjadi makin geram kemudia mereka memaksa menduduki Gedung DPR, hingga pada akhirnya keluarlah draf dari DPR dan MPR yang meminta Soeharto mengundurkan diri.

Pada bagian Bab II dijelaskan bahwa, Soeharto mundur dari jabatannya sebagai presiden. Kemudian ia digantikan oleh wakilnya B.J. Habibie yang memerintah selama satu tahun lima bulan saja. Karena ia tidk dianggap cakap untuk melanjutkan pemerintahan terutama oleh orang-orang yang semasa orde baru ikut menikmati fasilitas yang disediakan oleh Soeharto.

Pada Bab III, mulailah bermunculan partai-partai baru seperti PAN, PDI-P dan kemudian PKB. Kemudian mereka mengikuti pemilu, PDI-P dan PKB berkoalisi . seperti yang diungkapkan oleh Matori, bahwa sudah ada lobi-lobi antara PKB dan PDIP untuk mencalonkan dirinya sebagai ketua MPR. Scenario yang dirancang oleh PDIP dan PKB adalah dia atau Gus Dur yang akan menjabat ketua MPR, Megawati menjadi Presiden, dan Akbar Tanjung menjadi wakil Presiden.[6]

Malam itu, Senin tanggal 10 Oktober 1999, Gedung MPR dipenuhi kesibukan puluhan awak televisi dalam dan luar negeri yang berebutan tempat di balkon pada kedua sisi ruang siding. Ruang itu sendiri dipenuhi hampir 700 anggota MPR, berpuluh-puluh pejabat, dan sejumlah besar wartawan yang memenuhi balkon ruang siding. Anggota MPR menyatakan mosi tidak percaya kepada B.J. Habibie, presiden di masa peralihan, laporan pertanggung jawabannya ditolak mentah-mentah oleh MPR.[7]

Hari Rabu pagi, Habibie mengumumkan bahwa ia mundur dari pencalonan Presiden berikutnya, tersisa lah dua calon yaitu Megawati dan Gus Dur. Karena mengundurkan diri secara mendadak Parta Golkar tidak bisa mencarikan penggantinya, hingga pemilihan berlangsung. Akhirnya pertarungan hanya diikuti oleh Megawati dan Gus Dur saja.

Saat perhitungan suara dimulai, sebagian besar orang  beranggapan bahwa Megawati adalah pemenang kali ini. Namun, diluar dugaan, justru Gus Dur lah yang menjadi pemenangnya. Suara yang diperolehnya mengalahkan suara perolehan Megawati yakni 60 suara unggul. Padahal banyak yang menginginkan Gus Dur cukup menjadi ketua MPR saja, namu disaat pemilihan justru ia malah menjagokan AMien Rais sebagai Ketua MPR. Alasannya menurut saya, Gus Dur sudah percaya diri bahwa beberapa hari kemudian ia akan terpilih menjadi seorang Presiden.[8]

Salah satu mimpi Gus Dur menjadi Presiden ialah, menyelesaikan perpecahan yang melibatkan warga biasa, pemuda NU bergabung dengan tentara memburu kaum Komunis dan membunuh mereka secara keji. Hal itu diungkapkan oleh Gusdur saat saya, Mohammad Sobary dan juga seorang teman dari Paris, Andre Feillard ketika kami mengunjunginya.[9]

Niat Gus Dur “membersihkan” sisa-sisa orde baru diawali dengan mengganti Ketua LKBN Antara, yakni Parni Hadi oleh Mohammad Sobary. Masa itu, dikabarkan Parni bertugas untuk mengamankan pemerintahan Habibie dari isu-isu negative di media, sebab ia dekat dengan Habibie karena tergabung dalam ICMI. Tidak hanya itu, Gus Dur juga memberhentikan Gubernur Bank Indonesia, Syaril Sabirin, dikarenakan ia terindikasi berpartisipasi dalam korupsi Bank Bali pada tahun 1998. Hal itu menyangkut nama sejumlah pejabat tinggi negara  seperti Setya Novanto, bahkan menjerat nama Presiden BJ. Habibie juga.

Sebagai Presiden Gus Dur berhak melakukan berbagai perubahan agar Indonesia baru seperti konsepnya dapat terwujud, namun kekurangannya idenya itu hanya dia simpan sendiri tanpa memberitahukan anggotanya konsep apa yang sedang ia terapkan. Sehingga ia dianggap egois dan hanya memikirkan diri sendiri selama memerintah. Maka dari itu, mulailah muncul konflik antara Presiden dengan parta pendukungnya, yang menaruh wakil-wakilnya di cabinet dan wakil rakyat di DPR.[10]

Disinilah bermula pelemahan terhadap pemerintahan Gus Dur gencar dilakukan, bahkan Amin Rais sendiri yang dahulu mencalonkan Gus Dur malah berkata bahwasanya ia menyesal telah memilih Gus Dur sebagai presiden. Perkataan itu ia sampaikan dalam diskusi KAHMI di Jakarta tanggal 25 Oktober 2000. Amin Rais juga berkata kalau dia tidak akan menyerahkan “cek kosong” kepada Gus Dur, serta dikatakannya rapor Gus Dur dalam kuartal pemerintahannya banyak yang merah, makanya Gus Dur perlu diperingatkan dan bahkan kalua perlu “dijewer” telinganya.[11] Hingga akhirnya Gus Dur dihadapkan pada rapat Paripurna hak angket pemakzulannya. Jika dilihat dari strategi yang disusun lawan politik Gus Dur, pemkzulan ini dilakukan dengan cara disengaja, mahasiswa didatangkan dari daerah-daerah untuk melakukan demo menuntut Gus Dur mundur dari jabatan presiden. Penggiringan opini juga dilakukan oleh tokoh cendekiawan atas kegagalan pemerintahan Gus Dur.

Pada bab ke IV dalam buku ini dijelaskan juga bahwasanya April 1999 terjadi konflik di Timur Leste. Actor yang terlibat dalam tragedy ini adalah antara pemerintah Indonesia dengan masyarakat Timor – Timor yang ingin merdeka. Kemudian, actor pendukung ialah Australia yang mana di awal berperan sebagai mediator antara Indonesia dengan Timur-timur, malah berbalik mendukung Tim Tim untuk merdeka. Alasan Timor-timor ingin merdeka ialah dampak jawanisasi di daerah mereka. Penduduk Timor-timor seolah disingkirkan dari kampung mereka sendiri, apalagi ketika militer hampir menguasai seluruh aspek di Timor-timor.

Setelah Indonesia melakukan invansi tahun 1976, Timur-timur kemudian diresmikan menjadi provinsi Republik Indonesia di urtan ke 27. Kemudian, pemerintah Indonesia berusaha memenangkan hati masyarakat Timur-timur, dengan memperbanyak bangunan infrastruktur, memberikan sistem Pendidikan yang baik, menerapkan penggunaan Bahasa Indonesia di sekolah, dll. Akan tetapi, pembangunan ekonomi di Timur-timur harus melayani kepentingan Jakarta tentunya. Realitanya di lapangan, korupsi besar-besaran dilakukan oleh para pejabat yang ada di Timur-timur, hal itu membuat semakin tingginya kesenjangan ekonomi dalam masyarakat dan persaingan tak sehat dalam masyarakat menjadi sebuah keniscayaan. Semetara itu, Tentara Nasional Indonesia, dituduh melanggar Hak Asasi Manusia (HAM) yang menewaskan ± 200.000 warga Timur-timur.[12] Lalu ditunjuklah Wiranto untuk memprakarsai perdamaian disana, namun pihak yang kontra kepada Wiranto malam menjebak dia sebagai pelaku pelanggar HAM di Timur-timur, sehingga PBB turun tangan meminta Gus Dur memecat Wiranto dari jabatan MENKOPOLKAM.

Pemberhentian ini sengaja dilakukan saat ia pergi melawat ke sejumlah Negara Eropa. Tujuannya untuk menghilangkan kekhawatiran masyarakat internasional bahwa otoritas sipil di Indonesia tidak sanggup mengendalikan kekuatan militer, yang menjadi penyokong utama kekuasaan Soeharto selama 32 tahun. Ditambah lagi permintaan mundur itu dilakukan di tengah upaya masyarakat internasional mendorong pengadilan HAM internasional terhadap pelaku pelanggaran HAM di Timor timur.

 Pada bagian Bab IV, juga dibahas tentang terjadinya gejolak di Aceh, Riau, sebagian Sulawesi menuntut kemerdekaan dan terlepas dari pemerintahan pusat di Jakarta. Jika dilihat ke belakang, peristiwa pemberontakan yang terjadi di Aceh terjadi karena adanya perbedaan dua arus pemikiran antara Islam dan sekuler. Dari sudut pandang politik lahirlah sebuah kekuatan besar di kalangan para ulama yang tergabung dalam PUSA dan ulebalang[13] dikarenakan tidak mendapat perlakuan yang sepantasnya, maka rakyat Aceh merasakan kekecewaan terhadap pemerintah. Sudah menjadi rahasia umum, bahwasanya Aceh sering membantu pemerintah, contohnya saat Indonesia menyambut kemerdekaan yang ke-3 Aceh menyumbangkan bantuan dua pesawat terbang, kemudian di tahun 1949 rakyat Aceh juga memberikan uang kontan 250.000 dolar AS kepada angkatan perang RI dan 250.000 dolar AS untuk keperluan pemerintahan Sukarno.[14] Dari hal itu, dapat kita pahami, bahwa usaha rakyat Aceh dalam melahirkan Republik Indonesia patut diapresiasi oleh pemerintah sesuai denga napa yang telah mereka berikan kepada negara, namun sangat memprihatinkan bahwa di masa orde baru bumi Aceh dijadikan sapi perah oleh pemerinth dan kemiskinan yang terjadi di wilayah Aceh diabaikan begitu saja. Kekecewaan rakyat Aceh ini pada akhirnya menimbulkan pemberontakan dari masyarakat mulai dari DI/ TII, dipimpin oleh Daud Beureuh dan GAM (Gerakan Aceh Merdeka) yang dipimpin oleh Hasan Tiro.

Disinilah tugas Gus Dur bertambah, ia harus membersihkan sisa Orde Baru yang masih tertinggal, kemudian ia juga memecat Jusuf Kalla dan Laksamana Sukardi yang katanya terindikasi KKN. Jusuf Kalla meletakkan kepentingan negara dan bangsanya diatas kepentingan lainnya. Dia menjalankan tugas dimasa kepemimpinan Presiden Abdurrahman Wahid Gus Dur, diamanahkan menjadi pemimpin Departemen Perindustrian dan Perdagangan. Kendati hanya enam bulan karena dipecat dengan alasan tidak jelas.[15]  Pencopotan kedua orang ini kemudian berbuntut Panjang, tanggal 27 April 2000 Gus Dur menyampaikan alasan terbaru mengenai pencopotan Jusuf Kalla dan Laksamana Sukardi. Menurut Gus Dur, keduanya terlibat dalam sejumlah kasus korupi, kousi dan nepotisme di bidangnya. Alasan tersebut diutarakan Gus Dur dalam Rapat Konsultasi Tertutup antara pemerintah dan DPR di Gedung DPR Senayan, Jakarta. Dari beberapa kasus diatas, yang terjadi selama pemeritahan Presiden Gus Dur adalah tidak adanya transparansi setiap keputusan yang ia ambil kepada kabinetnya, seolah ia berjalan sendiri. Disanalah muncul konflik internal dalam cabinet.

Dalam Bab V pada buku ini, membahas kasus Buloggate dan Bruneigate, yang muncul saat Gus Dur tengah berusaha menstabilkan keadaan ekonomi negara, dengan mencari bantuan sumber dana dari Bulog dan sumbangan dari Sultan Brunei. Hal tersebut lalu dipolitisasi oleh lawan politiknya, sangat disayangkan sekali. Selama Gus Dur menjadi Presiden, ketegangannya dengan DPR terus mengalami intensitas dan eskalasi yang semakin memanas, bahkan ia dijadikan komoditas politik lewat pembentukan Pansus yang ditugasi untuk mengusut kedua kasus tersebut.

Kasus Bullogate yang melibatkan aliran pengucuran dana yanatera Bulog sebanyak Rp 35 miliar kepada beberapa orang tertentu, termasuk Suwondo yang diduga merupakan orang terdekat Gus Dur. Sedangkan kasus Bruneigate konon katanya terjadinya transaksi pemberian hadiah berupa sejumlah uang oleh pihak Sultan Brunei kepada Presiden Gus Dur. Para musuh Gus Dur menuduh, ia sengaja tidak melaporkan pemberian hadiah itu kepada publik dan itu dianggap telah menciderai sumpah jabatan sebagai seorang kepala negara. Sebaliknya, Gus Dur mengatakan bahwa uang tersebut adalah hibah Sultan Brunei kepada dirinya secara pribadi.[16] Kemudian keluarlah memorandum I dan memorandum II oleh DPR, meskipun ditolak oleh Gus Dur bahwa Pansus sebagai illegal, karena tidak tercantum dalam Lembaran Negara. Hingga diambil keputusan bahwa Gus Dur  sungguh-sungguh melanggar Haluan Negara. Gus Dur merasa bahwa kasus ini aneh, karena tidak terbukti secara hukum ia telah melanggar hukum.

Selain itu, pada bab ke V dalam buku ini, juga membahas tentang tuntutan Gus Dur untuk mengadili Soeharto dan kroninya. Namun, kasusu tersebut seolah selalu dihalangi dengan munculnya peristiwa-peristiwa yang seolah telah direncanakan seperti, ledakan bom di Bursa Efek Jakarta (BEJ) tanggal 14 September 2000, sehari sebelum sidang pengadilan Soeharto dilakukan. Gus Dur meyakini terdapat kaitan antara peristiwa-peristiwa pengeboman Gedung BEJ dan usaha-usahanya untuk menuntut anggota-anggota senior dari rezim sebelumnya ke pengadilan, khususnya anggota-anggota keluarga bekas  Presiden Soeharto.[17]

Namun, ada pendapat lain yang mengatakan bahwasanya Ismuhadi ia adalah pemilik sebuah bengkel di Ciganjur, Jakarta Selatan, yang mana di curigai lokasi ini dijadikan sebagai tempat untuk pembuatan bom. Mantan anggota Gerakan Aceh Merdeka (GAM) itu disebut-sebut sebagai otak pelaku pengeboman.[18] Bom tersebut disebutkan berbahan peledak TNT dan RDX dan indikasinya bom tersebut dirakit oleh dua oknum anggota TNI, yakni Serda Irwan dan Praka Ibrahim Hasan. Serda Irwan merupakan anggota Grup V Komando Pasukan Khusus (Kopassus) sedangkan Ibrahim adalah anggota Detasemen Markas Komando Strategi Cadangan Angkatan Darat, juga merupakan operator bom tersebut. Kepala Staf Angkatan Darat (KSAD) Jenderal Tyasno Sudarto menyatakan, kedua prajuritnya tersebut sebagai disertir. Menurutnya, kedua prajurit tersebut memiliki catatan merah. Disampaikan juga bahawasanya motif pengeboman Bursa Efek Jakarta dilatarbelakangi faktor ekonomi. Berdasarkan hasil rekonstruksi, para pelaku ingin cepat kaya dengan memanfaatkan suasana tak aman. Saat penangkapan, dari tangan pelaku kedapatan memiliki sejumlah uang dolar Amerika Serikat. Pemilihan lokasi peledakan di BEJ lantaran pelaku menilai tempat itu menjadi lalu lintas perekonomian internasional. Kondisi kacau tersebut diyakininya dapat mengerek nilai tukar dolar AS terhadap rupiah hingga membuat perekonomian Indonesia terganggu.

Dalam buku ini juga dijelaskan bahwa terdapat tujuh pembagian tugas yang direncanakan untuk menggulingkan Gus Dur dari tampuk kepresidenan, yaitu: pertama, memaksa Gus Dur menjawab Hak Interpelasi DPR dan menandatangani hak angket kasus Bulog dan Brunei dengan penanggungjawab Arifin Paigoro dan kawan-kawan. Kedua, kampanye di media massa oleh Fuad Bawazier khususny media televisi yang kontennya memberitakan tentang kejelekan Gus Dur. Ketiga, memobilisasi massa (FPI, Laskar Jihad, KAHMI, HMI dan Mahasiswa lain untuk berdemonstrasi. Keempat, mencegah Gus Dur dan Megawati bertemu dalam satu forum, karena dikhawatirkan Megawati nanti akan tunduk kepada Gus Dur, otomatis rencana yang sudah lama mereka susun akan jadi berantakan.

Kelima, melakukan kampanye Internasional dengan penanggungjawab Ginanjar Kartasasmita, memotong bantuan yang akan masuk dari negara luar kepada pemerintah Gus Dur. Keenam, memobilisasi TNI agar mengambil alih kekuasaan dengan cara paksa. Dan ketujuh mempercepat proses setiap kasus KKN yang dilakukan oleh pendukung Gus Dur, agar imej Gus Dur semakin buruk di mata masyarakat.

Tanggal 1 Juni 2001, Gus Dur bersikeras tidak akan turun dari jabatan kepresidenan, namun apa daya lawan politiknya tetap saja gencar melakukan serangan supaya Gus Dur segera turun dari tahta pemerintahan. Amin Rais mengambil posisi cari aman, dipihk Gus Dur ia seolah mendukung keputusan nya. Sedangkan dipihak lain, ia justru kontra kepada Gus Dur.

Gus Dur jatuh bukan karena Memorandum, melainkan karena mengeluarkan dekrit pembubaran parlemen. Jika ia tidak mengeluarkan dekrit, maka tidak akan ada Sidang Istimewa, dekrit itu mestinya mendapat dukungan dari DPR dan MPR juga dari TNI-Polri. Justru malah sebaliknya, tidak ada yang mendukung satupun, semua menghindar sebab alasan yang tidak masuk akal diambl oleh Gus Dur terkait dengan kebijakan-kebijakan kenegaraan.

Alasan utama fraksi-fraksi memakzulkan Gus Dur adalah, dari PDIP karena tantangan Gus Dur kepada MPR untuk adu kekuatan, dan itu adalah Tindakan inkonstitusuional (Agus Condro Prayitno). Happy Bone dari Golkar mengatakan bahwa, Tindakan presiden mengeluarkan dekrit tersebut merupakan pengkhianatan yang menginjak-injak kedaulatan yang selama ini dijunjung tinggi oleh presiden. Penolakan Presiden untuk memberikan pertanggungjawaban pada MPR adalah pelanggaran terhadap penjelasan umum tentang UUD 1945 butir 3 serta pelanggaran terhadap pasal 9 UUD 1945 mengenai sumpah Jabatan Presiden.[19]

Berdasarkan penjelasan diatas penulis melihat bahwasanya yang menjadi penyebab utama terjadinya perpecahan antara presiden dan kabinetnya adalah masalah “miss komunikasi”, dimana setiap keputusan yang diambil oleh Gus Dur tanpa melibatkan anggota kabinetnya. Seolah ia berjalan sendiri dalam menjalankan roda pemerintahan.

Gus Dur ingin menjalankan pola pemerintahan negeri ini kembali kepada sipil atau demi rakyat semua. Tidak lagi berkutat dalam tatanan kekuasaan militer lagi seperti yang terjadi masa sebelumnya di orde baru. Namun, sayangnya pihak yang merasa dirugikan membuat posisi Gus Dur menjadi bersalah di mata masyarakat atau dipolitisasi. Kesempatan ini justru dimanfaatkan oleh pihak oposisi untuk memakzulkan kedudukan Gus Dur sebagai Presiden dan menimpakan semua kesalahan kepada Gus Dur sendiri. Hingga berujung Gus Dur mengundurkan diri dari tampuk kepresidenan demi menjaga stabilitas dan kondusifitas negeri.

Dalam buku ini, tidak dilakukan penelitian nara sumber lebih intens lagi, seperti mewawacarai semua tokoh yang tersebut namanya untuk dimintai keterangan tentang peristiw di masa lalu, dimana tokohnya banyak yang masih hidup dan berdiam di bumi Indonesia. Selain itu, dibuku ini tidak digambarkan begitu detail soal keterlibatan Megawati dalam peristiwa pemakzulan Gus Dur, malah seolah Megawati acuh tak acuh saja. Adahal loginyanya, oposisi Gus Dur sebenarnya adalah pihak Megawati, justru partai poros tengah yang banyak berinisiatif untuk menjatuhkan Gus Dur. Padalah Gus Dur saat di wawancarai dalam acara Kick Andi dulu, terang-terangan menyebut nama Amin Rais dan Megawati sebagai pihak yang bertanggung jawab atas terjadinya peristiwa tersebut.

Penulis juga tidak mengetahui, kenapa nama Megawati tidak banyak disebut gerakannya selama pemakzulan Gus Dur dari kursi kepresidenan, yang hingga saat ini masih menjadi tanda tanya besar bagi penulis sendiri. Dan harusnya, ada pihak yang mengangkat kembali kasus Bullogate dan Bruneigate ini, sebab sampai detik ini masih belum ada kepastian yang memastikan bahwa Gus Dur terlibat dalam kedua kasus tersebut. Seharusnya, nama Gus Dur harus di harumkan lagi agar kesalahfahaman soal kasus Buloggate dan Bruneigate menjai terang.

 


 

DAFTAR PUSTAKA

Adi Susilo, Taufik. Biografi Singkat Jusuf Kalla. Cetakan II. Yogyakarta: Garasi House Of Book, 2014.

Barton, Greg. The Authirized Biography of Abdurrahman Wahid (terjemahan). Yogyakarta: LKiS Yogyakarta, 2002.

Biografi Gus Dur: The Authirized Biography of Abdurrahman Wahid. Yogyakarta: LKiS, 2002.

Faisal, Islamil. Pijar-Pijar Islam:Pergumulan Kultur Dan Struktur. Yogyakarta: LESFIYogya, 2002.

Geoffrey, Robinson. If You Leave Us Here, We Will Die: How Genoside was Stopped in East Timor. New Jersey: Princeton University Press., 2010.

Luhulima, James. Hari-Hari Terpanjang: Menjelang Mundurny Presiden Soeharto dan Beberapa Peristiwa Terkait. Jakarta: Kompas, 2005.

Pane, Neta S. Sejarah dan Kekuatan Gerakan Aceh Merdeka. Jakarta: Gramedia Widiasarana Indonesia, 2001.

Purdey, Jemma. Anti-Chinese Violence in Indonesia, 1996-1999. Hawai: University of Hawaii Press, 2006.

Rafick, Ishak. Catatan Hitam Lima Presiden Indonesia. Jakarta: Ufuk, 2007.

zoelva, Hamdan. Pemakzulan Presiden di Indonesia. Jakarta: Sinar Grafika, 2011.

https://www.liputan6.com/news/read/4060037/tragedi-bom-bej-dan-keterlibatan-oknum-prajurit-pasukan-elite-19-tahun-lalu diakses tanggal 28 desember 2020 jam 14:21

 

 

 

 

 



[1] Mahasiswa Program Magister Sejarah Peradaban Islam Pasca Sarjana UIN Imam Bonjol Padang, Angkatan 2020

[2] Hasil wawancara chanel Youtube Nahdlatul Ulama https://www.youtube.com/watch?v=Js-SiAtICCo#action=share

[3] James Luhulima, Hari-Hari Terpanjang: Menjelang Mundurny Presiden Soeharto dan Beberapa Peristiwa Terkait (Jakarta: Kompas, 2005), h.115.

[4] Jemma Purdey, Anti-Chinese Violence in Indonesia, 1996-1999 (Hawai: University of Hawaii Press, 2006), h. 64.

[5] Tim Gabungan Pencari Fakta, Temuan Gabungan Tim Pencari Fakta Kerusuhan Mei 1998 (Jakarta: Publikasi Komna Perempuan, 1999). H.17-18

[6] Mahrus Ali dan M.F. Nurhuda Y,, Pergulatan Membela yang Benar: Biografi Matori Abdul Jalil(Jakarta:KOMPAS,2008), h.212

[7] Greg Barton, The Authirized Biography of Abdurrahman Wahid (terjemahan) (Yogyakarta: LKiS Yogyakarta, 2002), h. 1.

[8] Barton, h. 14.

[9] Barton, h. 18.

[10] Ishak Rafick, Catatan Hitam Lima Presiden Indonesia (Jakarta: Ufuk, 2007), h. 334-335.

[11] Islamil Faisal, Pijar-Pijar Islam:Pergumulan Kultur Dan Struktur (Yogyakarta: LESFIYogya, 2002), h. 142.

[12] Robinson Geoffrey, If You Leave Us Here, We Will Die: How Genoside was Stopped in East Timor (New Jersey: Princeton University Press., 2010), h. 40.

[13] Sebutan untuk bangsawan yang dekat dan mendukung kebijakan Belanda, maka setelah kemerdekaan kekuatan para ulebalang pun tidak bisa menaandingi PUSA sebagai kekuatan politik yang dominan sejak 1945-1949.

[14] Neta S Pane, Sejarah dan Kekuatan Gerakan Aceh Merdeka (Jakarta: Gramedia Widiasarana Indonesia, 2001), h. v.

[15] Taufik Adi Susilo, Biografi Singkat Jusuf Kalla, Cetakan II (Yogyakarta: Garasi House Of Book, 2014), h. 60.

[16] Faisal, Pijar-Pijar Islam:Pergumulan Kultur Dan Struktur, h. 143.

[17] Biografi Gus Dur: The Authirized Biography of Abdurrahman Wahid (Yogyakarta: LKiS, 2002), h. 444-445.

[19] Hamdan zoelva, Pemakzulan Presiden di Indonesia (Jakarta: Sinar Grafika, 2011), h. 161.