ORGANISASI PEREMPUAN TRADISIONALIS DI TENGAH MASYARAKAT MODERNIS: (Fatayat NU di Sumatera Barat 1971-1999)
Nilma Yola
UIN Imam Bonjol Padang
dindayola17@gmail.com
Abstrak
Tulisan ini membahas mengenai sejarah perkembangan Fatayat NU di Sumatera Barat. Masalah dalam penelitian ini adalah bagaimana sejarah masuk dan berkembang Fatayat NU di Sumatera Barat. Dalam membahas tulisan ini penulis menggunakan metode penelitian sejarah. Hasil dari penelitian ini menjelaskan bahwasanya Fatayat NU masuk ke Sumatera Barat Pada tahun 1971, dengan tujuan awal untuk melebarkan sayap NU di daerah. Periode pertama, Fatayat NU dipimpin oleh Ibu Khadijah Ismail namun mengalami kevakuman dalam menjalankan organisasi, mulai bergerak kembali saat terbentuknya kepengurusan Fatayat NU periode kedua masa kepengurusan Husna Aziz. Hingga mengalami kemunduran masa kepengurusan Siti Izzati Aziz.
Kata kunci: Fatayat NU, sejarah dan Sumatera Barat.
Abstract
This paper discusses the history of the development of Fatayat NU in West Sumatra. The problem in this research is how the history of the entry and development of Fatayat NU in West Sumatra. In discussing this paper the author uses the method historical research. The results of this study explain that Fatayat NU entered West Sumatra in 1971, with the initial aim of to expand NU's wings in the regions. The first period, Fatayat NU was led by Khadijah Ismail's mother but experienced a vacuum in carrying out organization, began to move again when the Fatayat management was formed NU for the second period of the management of Husna Aziz. Until experiencing the setback of Siti Izzati Aziz's tenure.
Keywords: Fatayat NU, history dan West Sumatera.
A. Latar Belakang Hadirnya Organisasi Fatayat NU di Sumatera Barat
Dari sejak berdiri hingga diakui secara resmi oleh PBNU sebagai salah satu organisasi banomnya, Fatayat NU bergerak cepat melebarkan sayap kekuasaannya ke wilayah lain di sekitaran Pulau, Jawa lalu ke Pulau Sumatera hingga kepuluan di wilayah Timur Indonesia. Di Pulau Sumatera jaringan penyebaran organisasi Fatayat NU meliputi wilayah Sumatera Utara. Jambi, Lampung dan Palembang. Hingga pada akhirnya masuk ke wilayah Sumatera Barat.
Terdapat beberapa pendapat dari tokoh-tokoh yang mengetahui informasi mengenai Fatayat NU di Sumatera Barat, seperti:
1. Maidir Harun, mengatakan bahwa masuknya Fatayat NU ke Sumatera Barat bertepatan dengan akan digelarnya pemilu di Indonesia. NU sebagai salah satu organisasi Islam terbesar, melalui partai politik NU ikut serta dalam pemilihan umum kala itu melihat adanya peluang untuk mendapatkan jatah kursi di DPRD Sumatera Tengah. Biasanya suara Masyumi adalah pemenang pemilu pada pemilihan umum terdahulu.
“Seingat saya, awalnya NU hanya ada Muslimat sebagai organisasi perempuan di Sumatera Barat. Tidak lama setelah itu berdiri Fatayat NU, tujuannya untuk memperluas jaringan NU di Sumatera Barat.
Pendapat tersebut didukung dengan data hasil pemilu sebelumnya tahun 1955, sebagai berikut :
1. Di wilayah pemilihan Sumatera Tengah berhasil mendapatkan 11 kursi di parlemen pada pemilijan umum tahun 1955, dengan rincian: 6 kursi dari Masyumi, 3 kursi dari Perti, 1 kursi dari PKI dan 1 kursi dari PPTI. Dari pemenang pemilu di atas, NU tidak mempeoleh kursi pada pemilihan kali ini di wilayah Sumatera Tengah, maka dari itu ia mulai menambah perwakilannya melalui organisasi pemudinya.
2. Armaidi Tanjung, berujar bahwasanya Fatayat NU sudah ia dapati pada tahun 1980-an, bertepatan dengan dirinya aktif bergabung pada organisasi GP Anshor Sumatera Barat tahun 1989, dan mereka sering melakukan kerja bersama degan Fatayat NU saat mengangkat kegiatan di tengah masyarakat.. Namun, ia tidak mengetahui kapan pastinya Fatayat NU Sumatera Barat berdiri, dikarenakan tidak ada arsip ataupun dokumentasi yang ia temukan mengenai Fatayat NU tersebut.5 Berikut ungkapan darinya:
“Ambo, kalau bilo masuaknyo secaro persis ambo ndak tau, tapi kalau latar belakang baa talambek masuak, tu bisa ambo manjawab tu. Lalu, Ambo yang baru dapek ketuanyo tu yang tahun 80-an.
Kini urangnyo di Jakarta, bisa di telpon itu. Ha, itu informasi yang dapek dek ambonyo”.
(saya, soal kapan masuk Fatayat NU saya tidak tahu. Namun, kalau bicara soal latar belakang kenapa Fatayat NU terlambat masuk ke Sumatera Barat saya bisa menjawab. Saya bertemu dengan Ketua Fatayat NU itu yang ada pada kepengurusan tahun 1980-an. Sekarang orangnya ada di Jakarta, bisa dihubungi itu. Itu informasi yang saya tahu.
“Ambo bergabung dengan Anshor dan NU tu tahun 1989, haa bersama dengan itu alah ado Fatayat NU, karano itu informasi yang ambo dapatkan, sedangkan Anshor dari tahun 50 an alah ado”.
(Saya bergabung dengan GP Anshor pada tahun 1989, nah bersamaan dengan itu sudah ada Fatayat NU, dan GP Anshor itu sudah ada di Sumatera Barat sejak tahun 1950-an).
3. Husna Aziz, merupakan putri dari Mukhtasyar PBNU masa itu sekaligus Ketua Fatayat NU periode ke-2, mengatakan bahwa ia menjabat sebagai pengurus sekitar tahun 1980-an.
“Uni lupo sangaik bilo lah ado Fatayat NU ko di awalnyo, rasonyo tahun 80-an uni ingek, katiko itu uni hamil anak uni nan partamo, sadang hamil mudo uni katiko itu. Katiko itu ado proyek yang punyo Fatayat NU, dan tu harus ado pengurus yang aktif, makonyo ditunjuaklah uni jadi ketua manggantian ibu Khadijah tu, sebab urang pusat kan berkunjung ka sakretariat NU maso itu di pavilium uni, dirumah. Malam tu juo uni ntah di hotel Muaro ntah dima wakatu tu tu langsuang dilantik jo dibaiat, awalnyo uni manolak tapi disamangek an juo taruih dek pengurus pusat yang datang (kunjungan ibu
Makhfudoh), Husna kamu bisa. Akhirnyo uni yang jadi ketua sasudah Ibu Khadijah Ismail tu lai”.
(Uni lupa kapan persisnya Fatayat NU ini hadir di Sumatera Barat, rasanya sekitar tahun 1980 an. Uni ingat pada masa itu uni sedang hamil anak pertama, pas banget waktu itu tengah hamil muda. Lalu datang pengurus Fatayat NU pusat membawa kabar mengenai adanya proyek kerjasama Fatayat NU, dan proyek itu harus dijalankan oleh pengurus Fatayat NU aktif, sedangkan masa kepengurusan Bu Khadijah selama ini sudah vakum. Lalu ditunjuklah uni sebagai pengganti Buk Khadijah menjadi ketua Fatayat NU. Pada hari itu juga, malamnya dilakukan pelantikan pengurus baru di Hotel Muaro , lalu langsung di baiat. Pada awalnya uni menolak untuk dijadikan pengurus. Namun, karena di kasih dukungan terus sama pengurus pusat akhirnya uni bersedia menjabat sebagai Ketua Fatayat NU).
Pengangkatannya lewat penunjukan langsung oleh pengurus Fatayat NU pusat yang berkunjung ke Sumatera Barat dalam rangka sosialisasi pelaksanaan program PKHA yang diamanahkan oleh Departemen Agama bekerja sama dengan UNICEF. Kerja sama tersebut mengharuskan adanya kepengurusan Fatayat NU aktif di setiap daerah yang ditunjuk sebagai pelaksana kegiatan tersebut. Bertepatan, Husna merupakan putri dari salah satu tokoh pembawa NU ke wilayah Sumatera Barat yaitu Buya Aziz. Kebiasaan dalam organisasi Fatayat NU untuk penunjukan pengurus diambil dari putri pengurus NU di daerah. Kemudian ia dibantu oleh adiknya Azizah Aziz sebagai Sekretaris Wilayah Fatayat NU Sumatera Barat.
4. Azizah Aziz, merupakan mantan Sekretaris wilayah Fatayat NU wilayah Sumatera Barat tahun 1980-an. Berdasarkan cerita yang ia sampaikan, awalnya ia tidak tahu apapun tentang Fatayat NU, namun ayahnya Tuanku Aziz selalu membujuk dia agar mengambil jabatan posisi sebagai penerus organisasi Fatayat NU. Apalagi, ia yang berlatar belakang sebagai kader HMI, lebih fokus memajukan organisasinya tersebut. Namun, kegigihan ayahnya membujuk, akhirnya meluluhkan hati azizah untuk berbalik arah mengabadikan diri menjadi pengurus Fatayat NU dengan mengawali pengkaderan dari organisasi PMII terlebih dahulu. Setelah itu, ia ikut dilantik sebagai pengurus Fatayat NU berbarengan dengan kakaknya Husna Aziz, yang masa itu tengah dalam kondisi berbadan dua, sehingga tidak memungkinkan untuk terlalu aktif berorganisasi. Saat itulah, peran Azizah banyak membantu berjalannya organisasi.
5. Khusnun Aziz, merupakan Ketua GP Anshor masa tahun 1980-an, menyampaikan bahwasanya sebelum kepengurusan Husna Aziz telah ada terbentuk pengurus Fatayat NU Suamatera Barat sebelumnya. Kepengurusan tersebut diketuai oleh Khadijah Ismail, seorang dosen di Fakultas Tarbiyah IAIN Imam Bonjol Padang. Untuk mengkonfirmasi data tersebut, penulis juga melakukan wawancara dengan salah satu kerabat Khadijah Aziz yang juga pensiunan pegawai di IAIN Imam Bonjol Padang, Masrina bahwasanya sekitar tahun 1970-an, Khadijah Aziz memang terdaftar sebagai salah satu dosen di Fakutas Tarbiyah IAIN Imam Bonjol, dan berdomisili di Kota Padang.
6. Jusmaniar, ia merupakan mantan Ketua Fatayat NU cabang Kota Padang pertama. Awalnya ia menjabat sebagai pengganti sementara sekretaris wilayah masa kepengurusan Siti Izzati Aziz, yang masa itu sempat tidak berjalan. Menurut sepengetahuannya, Fatayat NU sudah ia dapati ada, dan dapat cerita memang dimulai dari kepengurusan Khadijah Ismail, namun ia tidak mendapati arsip-arsip Fatayat NU terdahulu sampai masa ia menerima estafet kepengurusan Fatayat NU. Menurutnya, Fatayat NU di Sumatera Barat sudah ada sejak lama, namun tidak ada terdengar gaung pergerakan Fatayat NU di Sumatera Barat selama ini.8
Berdasarkan beberapa pendapat di atas, penulis melihat bahwasanya Fatayat NU di Sumatera Barat awalnya dibawa untuk memperluas jaringan NU yang dilakukan melalui perantara kader mereka di daerah. Hal itu dikarenakan, pada pemilu tahun 1955, Partai NU memperoleh urutan ke 3 sebagai peraih suara terbanyak nasional. Sedangkan di Sumatera Barat9 Partai NU tidak memperoleh kursi pemenang pemilu, timbul keinginan untuk menjadi peraih kursi dalam pemilu berikutnya. Salah satu langkah yang ditempuh dengan menempatkan kader mereka disana. Menurut Schroder Peter, strategi politik bisa diterapkan pada kasus kali ini, dimana strategi politik sudah beralih fungsi dari bidang militer kepada bidang lainnya.10 Itulah masa awal berdiri, kepengurusan Fatayat NU di Sumatera Barat tahun 1971. Untuk keanggotaannya ditunjuk kerabat dari petinggi NU di Sumatera Barat.
B. Masuk dan Berkembang Fatayat NU dalam masyarakat Sumatera Barat
Sebelum NU masuk ke Sumatera Barat, disini sudah berkembang organisasi tradisionalis keagamaan juga, namanya PERTI (Persatuan Tarbiyah Islamiyah). Merupakan organisasi yang berliran sama dengan NU berbasis pedesaan, agraris, serta pesantren di Sumatera Barat. Pada bidang pemikiran, merujuk dan berpegang pada kitab-kitab karangan Imam Syafii, dan berfaham Ahlusunnah wal-jamaah. Organisasi ini berdiri pada tanggal 5 Mei 1928 di daerah Canduang, Bukittinggi, diprakarsai oleh Syeikh Sulaiman Ar-Rasuli, Syeikh Abbas dan Syeikh Muhammad Djamil Djaho.12
Lahirnya organisasi ini dilatarbelakangi oleh konflik perang pemikiran antara kaum muda dan kaum tua di Sumatera Barat. Tahun 1930, diawali dengan didirikannya Madrasah Tarbiyah Islamiyah (MTI) untuk menyatukan antara kaum muda dan kaum tua dalam sebuah wadah yaitu organisasi PERTI (Persatuan Tarbiyah Islamiyah). Organisasi ini berkembang hingga Jambi, Aceh, Tapanuli, Aceh, Kalimantan Barat, Sulawesi Selatan, Bengkulu, dll.
Selain itu, NU sebagai organisasi pendatang di Sumatera Barat, dijelaskan dalam AD-ART NU bahwasanya “Nahdlatul Ulama beraqidah Islam menurut faham Ahlusunnah wal-jamaah dalam bidang aqidah mengikuti salah satu dari Mazhab empat (Hanafi, Maliki, Syafii dan Hambali); dan dalam bidang tasawuf mengikuti mazhab Imam al-Junaidi al-Baghdadi dan Abu Hamid al-Ghazali”.14 Dari penjelasan tersebut, kita ketahui bahwa ciri-ciri yang dimiliki oleh organisasi Perti hampir mirip dengan organisasi NU sebagai oranisasi tradisionalis namun memiliki kultur Jawa. Sehingga, antara kedua organisasi tersebut tidak terjadi pertentangan yang besar saat NU masuk dan mulai berkembang di Sumatera Barat karena mereka sejalan. Dikarenakan NU sudah memperoleh tempat di tengah masyarakat Sumatera Barat, untuk kehadiran banom perempuan NU yang masuk juga tidak terjadi penolakan dari masyarakat.
Selain itu, tokoh-tokoh penting NU di Sumatera Barat dipegang oleh orang-orang yang memiliki pengaruh, seperti H. Abdul Aziz Sholeh Tuanku Mudo, H. Tuanku Bagindo Mohammada Leter, H. Abdul Razak Tuanku Mudo, dll. Ketokohan mereka menjadi daya tarik tersendiri bagi masyarakat untuk ikut serta organisasi yang mereka ikuti, termasuk Fatayat NU dimana untuk kepengurusan diambil dari putri pejabat NU tersebut.
Perkembangan Fatayat NU di Sumatera Barat
Dalam penelitian ini, terdapat tiga periode kepemimpinan Fatayat NU di Sumatera Barat:
1. Masa Khadijah Ismail (1971-1980)
Merupakan Ketua Fatayat NU pertama di Sumatera Barat, masa itu sekaligus ia menjabat sebagai dosen di Fakultas Tarbiyah IAIN Imam Bonjol Padang. Suaminya merupakan salah satu pengurus NU di Sumatera Barat, yaktu Mawardi. Berdasarkan kebiasaan dalam keluarga NU, untuk pemilihan kepengurusan awal ditunjuk calonnya dari kerabat-kerabat pengurus NU. lewat mufakat bersama pengurus NU Sumatera Barat, pengurus GP Anshor, dan juga Muslimat NU. Akhirnya, desepakati memilih Khadijah Ismail sebagai ketua pertama Fatayat NU Sumatera Barat.
Namun, masa kepengurusannya terjadi praktik mono loyalitas kepada Golkar, dimana seluruh Pegawai Negeri diwajibkan untuk loyal dan patuh kepada Golkar di bawah Soeharto. Berhubung Khadijah Ismail adalah seorang Pegawai Negeri, ia lebih memilih menyelamatkan sumber ekonomi kelurganya ketimbang aktif menyuarakan organisasi. Selain itu, masa kepengurusan ini bertepatan dengan masa vakum Fatayat NU secara nasional, jadi tidak terdapat pergerakan yang berarti ,asa awal periode pengurusan Fatayat NU di Sumatera Barat.
2. Husna Aziz (1982-1992)
Ia merupakan putri dari Mukhtasyar PWNU Sumatera Barat masa itu. Ditunjuk langsung oleh Ketua PP Fatayat NU Makhfudzoh, bertepatan dengan kunjungan mereka ke Sumatera Barat dalam rangka sosialisasi program PKHA (Program Kelangsungan Hidup Anak). Kerjasama ini merupakan kesepakatan antara Unicef dengan departemen Agama, dan Fatayat NU menjadi salah satu lembaga yang diamanahi melaksanakan program kerjasama tersebut. Selama menjabat ia didampingi oleh adiknya Azizah Aziz sebagai Sekretaris Wilayah Fatayat NU, hingga berakhir masa kepengurusannya.
Selama masa kepengurusan ini, beberapa program kerja berhasil dilaksanakan, diantaranya:
a. Memperbanyak cabang Fatayat NU di daerah-daerah Sumatera Barat, seperti: PC Fatayat Kab Padang Pariaman, Kab. Bukit Tinggi, Kab. Agam, Kota Payakumbuh, Kab. 50 Kota, Kab. Sawahlunto Sijunjuang, Kota Padang, Pasaman.15
b. Melaksanakan program PKHA, untuk mewujudkan visi “Indonesia Sehat 2010”16, dengan menerapkan pembangunan nasional berwawasan kesehatan, dan ditargetkan membentuk lingkungan yang sehat serta perilaku yang sehat.
c. Melakukan Kegiatan Pelatihan Motivator, dilaksanakan di Wisma B.K.K.B.N DATI I Sumatera Barat, pada tanggal 18-21 Oktober 1987. Merupakan kegiatan tindak lanjut dari program PKHA sebagai bagian integrasi dari program kerjasama antara pemerintah Indonesia dengan Unicef.
Masa kepengurusan perode ke 2 ini merupakan masa emas Fatayat NU di Sumatera Barat. Melalui PKHA pengurus Fatayat NU Sumatera Barat, menyelipkan misi memperkenalkan Fatayat NU kepada masyarakat luas. Sampai akhirnya Fatayat NU mulai dikenal oleh masyarakat.
3. Siti Izzati Aziz (1993-1999)
Siti merupakan adik dari Husna Aziz, merupakan anggota DPRD Provinsi Sumatera Barat dari Partai Golkar. Selama masa kepengurusannya Fatayat NU mulai redup, berbeda dengan periode kepengurusan sebelumnya. Selain meneruskan program yang diwariskan dari kepengurusan terdahulu, tidak ada lagi kegiatan baru yang dilaksanakan masa kepengurusan ini. Tambah lagi, sibuk mempersiapkan pemilihan anggota DPRD Provinsi Sumatera Barat. Begitulah awal mulai hilangnya semangat berorganisasi Fatayat NU di Sumatera Barat, bahkan hingga saat ini.
Berhubung Ketua Fatayat NU sudah tidak aktif lagi berkegiatan, lalu Jusmaniar diangkat sebagai PAW Sekretaris Wilayah Fatayat NU mendampingi Yanti yang diamanahkan sebagai pengganti sementara Siti Izzati. Tidak berselang lama, Yanti menikah kemudian tersisalah Jusmaniar sebagai PAW Fatayat NU, dari situlah berawal perpindahan kepengurusan dari PAW Fatayat NU hingga menjabat Ketua Cabang Fatayat NU Kota Padang.
Daftar Pustaka
Aldomi, P, Hazan, Z.M.K. Prinsip dan Jati Diri Persatuan Tarbiyah Islamiyah; Beri’tikad Ahlusunnah Wal Jama’ah dan Mazhab Mazhab Syafi’i. Padang: Jasa Surya Padang, 2015.
Armaidi, Tanjung. Wawancara Pribadi Penulis, Agustus 2021.
Azizah, Aziz. “Laporan Pelaksanaan Latihan Motivator Fatayat NU Sumatera Barat.” Padang, 1987.
———. Wawancara pribadi, 21082021.
Hasan, ’Abd al-’Al. Al-Tarbiyah al-Islamiyyah fi al-Qarn al-Rabi‘ al-Hijri. Mesir: Dar al-Fikr al’Arabi, t.t., t.t.
Husna, Aziz. Wawancara Pribadi Penulis, Agustus 2021.
Jusmaniar. Wawancara Pribadi Penulis, Agustus 2021.
Kementerian Kesehatan. Keputusan Menteri Kesehatan RI Nomor 1059/MENKES/SK/IX/2004, 1059 § (2004).
Kementerian Penerangan. Kepartaian dan Parlementaria di Indonesia. Jakarta: Kementerian Penerangan, 1954.
Maidir, Harun. Wawancara Pribadi Penulis, Agustus 2021.
Nalfira. “Sumatera Barat di Parlemen, Hasil Pemilu 1955.” Parintangrintang (blog), t.t. https://parintangrintang.wordpress.com/2019/04/14/sumatera-barat-di-parlemen-hasil-pemilu-1955/.
Peter, Schroder. Strategi Politik. Jakarta: Friedrich Nauman Stiftung, 2008.
PP NU. ADART Nahdhlatul Ulama Mukhtamar ke 32 (2010).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar