Hai Dear, wellcome to my Blog

Selasa, 04 Oktober 2022

 

Review Buku

MENJERAT GUS DUR

 

Nilma Yola[1]

UIN Imam Bonjol Padang



    

  


Tulisan berikut merupakan review buku

Karya Virdika Rizky Utama, dengan judul Menjerat GUS DUR

 

Buku berjudul “Menjerat Gus Dur” karya tangan Virdika Rizky merupakan buku yang menceritakan tentang Gus Dur mulai dari dia dipilih menjadi Presiden pengganti BJ. Habibie, hingga dia dilengserkan sebagai Presiden Republik Indonesia. Buku ini terdiri dari tujuh bab, 37 halaman yang diterbitkan oleh PT.NUmedia Digital Indonesia, cetakan pertama di Jakarta.

Virdika Rizky Utama, adalah seorang mantan jurnalis Majalah Berita Mingguan Gatra, Majalah Sawit Indonesia  dan Narasi TV. Buku ini berawal dari ketidaksengajaannya menemukan sebuah artikel yang akan dibuang oleh petugas kebersihan saat ia sedang mewawancarai Setia Novanto kira-kira tahun 2017 silam di kantor Golkar. Ia juga mengatakan bahwa butuh waktu yang lumayan lama untuk memvalidasi data yang ada didalam dokumen tersebut. Bahkan, ia juga pernah diancam oleh salah satu petinggi pemerintahan yaitu Amin Rais karena mengetahui isi dari dokumen tersebut.[2]

Pada bagian Bab I Virdika mengisahkan tentang awal Orde Baru, islam politik di awal Orde Baru, hingga Soeharto lengser dari kursi presiden. Berawal dari naiknya Soeharto menggantikan posisi Soekarno sebagai Presiden Republik Indonesia, maka nuansa kehidupan politik di Negara Indonesia berubah total dari yang awalnya anti terhadap Barat lalu berubah menjadi Pro kepada Barat. Kemudian Soeharto mulai berubah menjadikan keluarga dan orang-orang terdekat menjadi pemegang jabatan strategis dipemerintahan. Hingga berlangsung selama 32 tahun lamanya, membuat masyarakat melalui perwakilan mahasiswa berusaha untuk menggulingkan dia dari tampuk kepemimpinan sebagai orang nomor satu di Indonesia. Aksi mahasiswa semakin menjadi saat dilakukannya Sidang Istimewa menetapkan kembali Soeharto menjadi Presiden serta meletakkan anak dan kroni-kroninya mengisi jabatan-jabatan dalam kabinet.

Unjuk rasa mahasiswa terjadi hampir diseluruh wilayah Indonesia. Misalnya di Solo , Yogyakarta, dan Sumatera Utara juga terjadi unjuk rasa mahasiswa dari kampus UGM dan juga USU. Bahkan Angkatan Darat dan Brigade Mobil (Brimob) sempat menduduki UGM selama 8 jam. Di Jakarta, juga terjadi tragedy Tri Sakti, yang menewaskan empat orang mahasiswa Tri Sakti, yaitu Hendriawan Sie Alang Mulia Lesmana, , Hafidin Royan, dan Heri Hertanto.[3] Tidak hanya itu, aksi tersebut juga diiringi oleh tentara yang diduga dilakukan untuk membuat kerusuhan di Jakarta. Penjarahan toko-toko Tionghoa di daerah Tanjung Priok, Tangerang, dimana property yang menjadi milik etnis Tionghoa menjadi target uatama massa[4], bahkan pembunuhan serta perkosaan kepada perempuan-perempuan Tionghoa tersebut.

Kekerasan seksual terjadi didalam rumah-rumah, dimana korban diperkosa secara bergiliran. Dan dilakukan didepan orang lain pada waktu yang sama. Meskipun tidak semua korban perkosaan adalah keturunan etnis Cina Tionghoa, namun sebagaian besar berasal dari mereka. Sedikitnya tercatat sekitar 85 korban kekerasan seksual selama kerusuhan Mei 1998.[5]

Di jalan, gelombang tuntutan untuk reformasi kian membesar. Disini muncullah Amin Rais menjadi salah satu tokoh public yang mengecam keras Orde Baru. Padahal, ia pernah menjadi bagian dari Orde Baru dengan menjadi bagian dari ICMI. Sementara itu, Gus Dur lebih memilih menemui Soeharto dengan harapan agar tidak terjadi makin banyak pertumpahan darah.

Justru saat keadaan genting di Jakarta, Soeharto malah berangkat ke Mesir untuk menghadiri sebuah konfrensi dan ABRI sebagai kaki tangan Soeharto mengambil alih kekuasaan dengan mengadakan Sidang Istimewa MPR. Mengetahui hal itu, mahasiswa menjadi makin geram kemudia mereka memaksa menduduki Gedung DPR, hingga pada akhirnya keluarlah draf dari DPR dan MPR yang meminta Soeharto mengundurkan diri.

Pada bagian Bab II dijelaskan bahwa, Soeharto mundur dari jabatannya sebagai presiden. Kemudian ia digantikan oleh wakilnya B.J. Habibie yang memerintah selama satu tahun lima bulan saja. Karena ia tidk dianggap cakap untuk melanjutkan pemerintahan terutama oleh orang-orang yang semasa orde baru ikut menikmati fasilitas yang disediakan oleh Soeharto.

Pada Bab III, mulailah bermunculan partai-partai baru seperti PAN, PDI-P dan kemudian PKB. Kemudian mereka mengikuti pemilu, PDI-P dan PKB berkoalisi . seperti yang diungkapkan oleh Matori, bahwa sudah ada lobi-lobi antara PKB dan PDIP untuk mencalonkan dirinya sebagai ketua MPR. Scenario yang dirancang oleh PDIP dan PKB adalah dia atau Gus Dur yang akan menjabat ketua MPR, Megawati menjadi Presiden, dan Akbar Tanjung menjadi wakil Presiden.[6]

Malam itu, Senin tanggal 10 Oktober 1999, Gedung MPR dipenuhi kesibukan puluhan awak televisi dalam dan luar negeri yang berebutan tempat di balkon pada kedua sisi ruang siding. Ruang itu sendiri dipenuhi hampir 700 anggota MPR, berpuluh-puluh pejabat, dan sejumlah besar wartawan yang memenuhi balkon ruang siding. Anggota MPR menyatakan mosi tidak percaya kepada B.J. Habibie, presiden di masa peralihan, laporan pertanggung jawabannya ditolak mentah-mentah oleh MPR.[7]

Hari Rabu pagi, Habibie mengumumkan bahwa ia mundur dari pencalonan Presiden berikutnya, tersisa lah dua calon yaitu Megawati dan Gus Dur. Karena mengundurkan diri secara mendadak Parta Golkar tidak bisa mencarikan penggantinya, hingga pemilihan berlangsung. Akhirnya pertarungan hanya diikuti oleh Megawati dan Gus Dur saja.

Saat perhitungan suara dimulai, sebagian besar orang  beranggapan bahwa Megawati adalah pemenang kali ini. Namun, diluar dugaan, justru Gus Dur lah yang menjadi pemenangnya. Suara yang diperolehnya mengalahkan suara perolehan Megawati yakni 60 suara unggul. Padahal banyak yang menginginkan Gus Dur cukup menjadi ketua MPR saja, namu disaat pemilihan justru ia malah menjagokan AMien Rais sebagai Ketua MPR. Alasannya menurut saya, Gus Dur sudah percaya diri bahwa beberapa hari kemudian ia akan terpilih menjadi seorang Presiden.[8]

Salah satu mimpi Gus Dur menjadi Presiden ialah, menyelesaikan perpecahan yang melibatkan warga biasa, pemuda NU bergabung dengan tentara memburu kaum Komunis dan membunuh mereka secara keji. Hal itu diungkapkan oleh Gusdur saat saya, Mohammad Sobary dan juga seorang teman dari Paris, Andre Feillard ketika kami mengunjunginya.[9]

Niat Gus Dur “membersihkan” sisa-sisa orde baru diawali dengan mengganti Ketua LKBN Antara, yakni Parni Hadi oleh Mohammad Sobary. Masa itu, dikabarkan Parni bertugas untuk mengamankan pemerintahan Habibie dari isu-isu negative di media, sebab ia dekat dengan Habibie karena tergabung dalam ICMI. Tidak hanya itu, Gus Dur juga memberhentikan Gubernur Bank Indonesia, Syaril Sabirin, dikarenakan ia terindikasi berpartisipasi dalam korupsi Bank Bali pada tahun 1998. Hal itu menyangkut nama sejumlah pejabat tinggi negara  seperti Setya Novanto, bahkan menjerat nama Presiden BJ. Habibie juga.

Sebagai Presiden Gus Dur berhak melakukan berbagai perubahan agar Indonesia baru seperti konsepnya dapat terwujud, namun kekurangannya idenya itu hanya dia simpan sendiri tanpa memberitahukan anggotanya konsep apa yang sedang ia terapkan. Sehingga ia dianggap egois dan hanya memikirkan diri sendiri selama memerintah. Maka dari itu, mulailah muncul konflik antara Presiden dengan parta pendukungnya, yang menaruh wakil-wakilnya di cabinet dan wakil rakyat di DPR.[10]

Disinilah bermula pelemahan terhadap pemerintahan Gus Dur gencar dilakukan, bahkan Amin Rais sendiri yang dahulu mencalonkan Gus Dur malah berkata bahwasanya ia menyesal telah memilih Gus Dur sebagai presiden. Perkataan itu ia sampaikan dalam diskusi KAHMI di Jakarta tanggal 25 Oktober 2000. Amin Rais juga berkata kalau dia tidak akan menyerahkan “cek kosong” kepada Gus Dur, serta dikatakannya rapor Gus Dur dalam kuartal pemerintahannya banyak yang merah, makanya Gus Dur perlu diperingatkan dan bahkan kalua perlu “dijewer” telinganya.[11] Hingga akhirnya Gus Dur dihadapkan pada rapat Paripurna hak angket pemakzulannya. Jika dilihat dari strategi yang disusun lawan politik Gus Dur, pemkzulan ini dilakukan dengan cara disengaja, mahasiswa didatangkan dari daerah-daerah untuk melakukan demo menuntut Gus Dur mundur dari jabatan presiden. Penggiringan opini juga dilakukan oleh tokoh cendekiawan atas kegagalan pemerintahan Gus Dur.

Pada bab ke IV dalam buku ini dijelaskan juga bahwasanya April 1999 terjadi konflik di Timur Leste. Actor yang terlibat dalam tragedy ini adalah antara pemerintah Indonesia dengan masyarakat Timor – Timor yang ingin merdeka. Kemudian, actor pendukung ialah Australia yang mana di awal berperan sebagai mediator antara Indonesia dengan Timur-timur, malah berbalik mendukung Tim Tim untuk merdeka. Alasan Timor-timor ingin merdeka ialah dampak jawanisasi di daerah mereka. Penduduk Timor-timor seolah disingkirkan dari kampung mereka sendiri, apalagi ketika militer hampir menguasai seluruh aspek di Timor-timor.

Setelah Indonesia melakukan invansi tahun 1976, Timur-timur kemudian diresmikan menjadi provinsi Republik Indonesia di urtan ke 27. Kemudian, pemerintah Indonesia berusaha memenangkan hati masyarakat Timur-timur, dengan memperbanyak bangunan infrastruktur, memberikan sistem Pendidikan yang baik, menerapkan penggunaan Bahasa Indonesia di sekolah, dll. Akan tetapi, pembangunan ekonomi di Timur-timur harus melayani kepentingan Jakarta tentunya. Realitanya di lapangan, korupsi besar-besaran dilakukan oleh para pejabat yang ada di Timur-timur, hal itu membuat semakin tingginya kesenjangan ekonomi dalam masyarakat dan persaingan tak sehat dalam masyarakat menjadi sebuah keniscayaan. Semetara itu, Tentara Nasional Indonesia, dituduh melanggar Hak Asasi Manusia (HAM) yang menewaskan ± 200.000 warga Timur-timur.[12] Lalu ditunjuklah Wiranto untuk memprakarsai perdamaian disana, namun pihak yang kontra kepada Wiranto malam menjebak dia sebagai pelaku pelanggar HAM di Timur-timur, sehingga PBB turun tangan meminta Gus Dur memecat Wiranto dari jabatan MENKOPOLKAM.

Pemberhentian ini sengaja dilakukan saat ia pergi melawat ke sejumlah Negara Eropa. Tujuannya untuk menghilangkan kekhawatiran masyarakat internasional bahwa otoritas sipil di Indonesia tidak sanggup mengendalikan kekuatan militer, yang menjadi penyokong utama kekuasaan Soeharto selama 32 tahun. Ditambah lagi permintaan mundur itu dilakukan di tengah upaya masyarakat internasional mendorong pengadilan HAM internasional terhadap pelaku pelanggaran HAM di Timor timur.

 Pada bagian Bab IV, juga dibahas tentang terjadinya gejolak di Aceh, Riau, sebagian Sulawesi menuntut kemerdekaan dan terlepas dari pemerintahan pusat di Jakarta. Jika dilihat ke belakang, peristiwa pemberontakan yang terjadi di Aceh terjadi karena adanya perbedaan dua arus pemikiran antara Islam dan sekuler. Dari sudut pandang politik lahirlah sebuah kekuatan besar di kalangan para ulama yang tergabung dalam PUSA dan ulebalang[13] dikarenakan tidak mendapat perlakuan yang sepantasnya, maka rakyat Aceh merasakan kekecewaan terhadap pemerintah. Sudah menjadi rahasia umum, bahwasanya Aceh sering membantu pemerintah, contohnya saat Indonesia menyambut kemerdekaan yang ke-3 Aceh menyumbangkan bantuan dua pesawat terbang, kemudian di tahun 1949 rakyat Aceh juga memberikan uang kontan 250.000 dolar AS kepada angkatan perang RI dan 250.000 dolar AS untuk keperluan pemerintahan Sukarno.[14] Dari hal itu, dapat kita pahami, bahwa usaha rakyat Aceh dalam melahirkan Republik Indonesia patut diapresiasi oleh pemerintah sesuai denga napa yang telah mereka berikan kepada negara, namun sangat memprihatinkan bahwa di masa orde baru bumi Aceh dijadikan sapi perah oleh pemerinth dan kemiskinan yang terjadi di wilayah Aceh diabaikan begitu saja. Kekecewaan rakyat Aceh ini pada akhirnya menimbulkan pemberontakan dari masyarakat mulai dari DI/ TII, dipimpin oleh Daud Beureuh dan GAM (Gerakan Aceh Merdeka) yang dipimpin oleh Hasan Tiro.

Disinilah tugas Gus Dur bertambah, ia harus membersihkan sisa Orde Baru yang masih tertinggal, kemudian ia juga memecat Jusuf Kalla dan Laksamana Sukardi yang katanya terindikasi KKN. Jusuf Kalla meletakkan kepentingan negara dan bangsanya diatas kepentingan lainnya. Dia menjalankan tugas dimasa kepemimpinan Presiden Abdurrahman Wahid Gus Dur, diamanahkan menjadi pemimpin Departemen Perindustrian dan Perdagangan. Kendati hanya enam bulan karena dipecat dengan alasan tidak jelas.[15]  Pencopotan kedua orang ini kemudian berbuntut Panjang, tanggal 27 April 2000 Gus Dur menyampaikan alasan terbaru mengenai pencopotan Jusuf Kalla dan Laksamana Sukardi. Menurut Gus Dur, keduanya terlibat dalam sejumlah kasus korupi, kousi dan nepotisme di bidangnya. Alasan tersebut diutarakan Gus Dur dalam Rapat Konsultasi Tertutup antara pemerintah dan DPR di Gedung DPR Senayan, Jakarta. Dari beberapa kasus diatas, yang terjadi selama pemeritahan Presiden Gus Dur adalah tidak adanya transparansi setiap keputusan yang ia ambil kepada kabinetnya, seolah ia berjalan sendiri. Disanalah muncul konflik internal dalam cabinet.

Dalam Bab V pada buku ini, membahas kasus Buloggate dan Bruneigate, yang muncul saat Gus Dur tengah berusaha menstabilkan keadaan ekonomi negara, dengan mencari bantuan sumber dana dari Bulog dan sumbangan dari Sultan Brunei. Hal tersebut lalu dipolitisasi oleh lawan politiknya, sangat disayangkan sekali. Selama Gus Dur menjadi Presiden, ketegangannya dengan DPR terus mengalami intensitas dan eskalasi yang semakin memanas, bahkan ia dijadikan komoditas politik lewat pembentukan Pansus yang ditugasi untuk mengusut kedua kasus tersebut.

Kasus Bullogate yang melibatkan aliran pengucuran dana yanatera Bulog sebanyak Rp 35 miliar kepada beberapa orang tertentu, termasuk Suwondo yang diduga merupakan orang terdekat Gus Dur. Sedangkan kasus Bruneigate konon katanya terjadinya transaksi pemberian hadiah berupa sejumlah uang oleh pihak Sultan Brunei kepada Presiden Gus Dur. Para musuh Gus Dur menuduh, ia sengaja tidak melaporkan pemberian hadiah itu kepada publik dan itu dianggap telah menciderai sumpah jabatan sebagai seorang kepala negara. Sebaliknya, Gus Dur mengatakan bahwa uang tersebut adalah hibah Sultan Brunei kepada dirinya secara pribadi.[16] Kemudian keluarlah memorandum I dan memorandum II oleh DPR, meskipun ditolak oleh Gus Dur bahwa Pansus sebagai illegal, karena tidak tercantum dalam Lembaran Negara. Hingga diambil keputusan bahwa Gus Dur  sungguh-sungguh melanggar Haluan Negara. Gus Dur merasa bahwa kasus ini aneh, karena tidak terbukti secara hukum ia telah melanggar hukum.

Selain itu, pada bab ke V dalam buku ini, juga membahas tentang tuntutan Gus Dur untuk mengadili Soeharto dan kroninya. Namun, kasusu tersebut seolah selalu dihalangi dengan munculnya peristiwa-peristiwa yang seolah telah direncanakan seperti, ledakan bom di Bursa Efek Jakarta (BEJ) tanggal 14 September 2000, sehari sebelum sidang pengadilan Soeharto dilakukan. Gus Dur meyakini terdapat kaitan antara peristiwa-peristiwa pengeboman Gedung BEJ dan usaha-usahanya untuk menuntut anggota-anggota senior dari rezim sebelumnya ke pengadilan, khususnya anggota-anggota keluarga bekas  Presiden Soeharto.[17]

Namun, ada pendapat lain yang mengatakan bahwasanya Ismuhadi ia adalah pemilik sebuah bengkel di Ciganjur, Jakarta Selatan, yang mana di curigai lokasi ini dijadikan sebagai tempat untuk pembuatan bom. Mantan anggota Gerakan Aceh Merdeka (GAM) itu disebut-sebut sebagai otak pelaku pengeboman.[18] Bom tersebut disebutkan berbahan peledak TNT dan RDX dan indikasinya bom tersebut dirakit oleh dua oknum anggota TNI, yakni Serda Irwan dan Praka Ibrahim Hasan. Serda Irwan merupakan anggota Grup V Komando Pasukan Khusus (Kopassus) sedangkan Ibrahim adalah anggota Detasemen Markas Komando Strategi Cadangan Angkatan Darat, juga merupakan operator bom tersebut. Kepala Staf Angkatan Darat (KSAD) Jenderal Tyasno Sudarto menyatakan, kedua prajuritnya tersebut sebagai disertir. Menurutnya, kedua prajurit tersebut memiliki catatan merah. Disampaikan juga bahawasanya motif pengeboman Bursa Efek Jakarta dilatarbelakangi faktor ekonomi. Berdasarkan hasil rekonstruksi, para pelaku ingin cepat kaya dengan memanfaatkan suasana tak aman. Saat penangkapan, dari tangan pelaku kedapatan memiliki sejumlah uang dolar Amerika Serikat. Pemilihan lokasi peledakan di BEJ lantaran pelaku menilai tempat itu menjadi lalu lintas perekonomian internasional. Kondisi kacau tersebut diyakininya dapat mengerek nilai tukar dolar AS terhadap rupiah hingga membuat perekonomian Indonesia terganggu.

Dalam buku ini juga dijelaskan bahwa terdapat tujuh pembagian tugas yang direncanakan untuk menggulingkan Gus Dur dari tampuk kepresidenan, yaitu: pertama, memaksa Gus Dur menjawab Hak Interpelasi DPR dan menandatangani hak angket kasus Bulog dan Brunei dengan penanggungjawab Arifin Paigoro dan kawan-kawan. Kedua, kampanye di media massa oleh Fuad Bawazier khususny media televisi yang kontennya memberitakan tentang kejelekan Gus Dur. Ketiga, memobilisasi massa (FPI, Laskar Jihad, KAHMI, HMI dan Mahasiswa lain untuk berdemonstrasi. Keempat, mencegah Gus Dur dan Megawati bertemu dalam satu forum, karena dikhawatirkan Megawati nanti akan tunduk kepada Gus Dur, otomatis rencana yang sudah lama mereka susun akan jadi berantakan.

Kelima, melakukan kampanye Internasional dengan penanggungjawab Ginanjar Kartasasmita, memotong bantuan yang akan masuk dari negara luar kepada pemerintah Gus Dur. Keenam, memobilisasi TNI agar mengambil alih kekuasaan dengan cara paksa. Dan ketujuh mempercepat proses setiap kasus KKN yang dilakukan oleh pendukung Gus Dur, agar imej Gus Dur semakin buruk di mata masyarakat.

Tanggal 1 Juni 2001, Gus Dur bersikeras tidak akan turun dari jabatan kepresidenan, namun apa daya lawan politiknya tetap saja gencar melakukan serangan supaya Gus Dur segera turun dari tahta pemerintahan. Amin Rais mengambil posisi cari aman, dipihk Gus Dur ia seolah mendukung keputusan nya. Sedangkan dipihak lain, ia justru kontra kepada Gus Dur.

Gus Dur jatuh bukan karena Memorandum, melainkan karena mengeluarkan dekrit pembubaran parlemen. Jika ia tidak mengeluarkan dekrit, maka tidak akan ada Sidang Istimewa, dekrit itu mestinya mendapat dukungan dari DPR dan MPR juga dari TNI-Polri. Justru malah sebaliknya, tidak ada yang mendukung satupun, semua menghindar sebab alasan yang tidak masuk akal diambl oleh Gus Dur terkait dengan kebijakan-kebijakan kenegaraan.

Alasan utama fraksi-fraksi memakzulkan Gus Dur adalah, dari PDIP karena tantangan Gus Dur kepada MPR untuk adu kekuatan, dan itu adalah Tindakan inkonstitusuional (Agus Condro Prayitno). Happy Bone dari Golkar mengatakan bahwa, Tindakan presiden mengeluarkan dekrit tersebut merupakan pengkhianatan yang menginjak-injak kedaulatan yang selama ini dijunjung tinggi oleh presiden. Penolakan Presiden untuk memberikan pertanggungjawaban pada MPR adalah pelanggaran terhadap penjelasan umum tentang UUD 1945 butir 3 serta pelanggaran terhadap pasal 9 UUD 1945 mengenai sumpah Jabatan Presiden.[19]

Berdasarkan penjelasan diatas penulis melihat bahwasanya yang menjadi penyebab utama terjadinya perpecahan antara presiden dan kabinetnya adalah masalah “miss komunikasi”, dimana setiap keputusan yang diambil oleh Gus Dur tanpa melibatkan anggota kabinetnya. Seolah ia berjalan sendiri dalam menjalankan roda pemerintahan.

Gus Dur ingin menjalankan pola pemerintahan negeri ini kembali kepada sipil atau demi rakyat semua. Tidak lagi berkutat dalam tatanan kekuasaan militer lagi seperti yang terjadi masa sebelumnya di orde baru. Namun, sayangnya pihak yang merasa dirugikan membuat posisi Gus Dur menjadi bersalah di mata masyarakat atau dipolitisasi. Kesempatan ini justru dimanfaatkan oleh pihak oposisi untuk memakzulkan kedudukan Gus Dur sebagai Presiden dan menimpakan semua kesalahan kepada Gus Dur sendiri. Hingga berujung Gus Dur mengundurkan diri dari tampuk kepresidenan demi menjaga stabilitas dan kondusifitas negeri.

Dalam buku ini, tidak dilakukan penelitian nara sumber lebih intens lagi, seperti mewawacarai semua tokoh yang tersebut namanya untuk dimintai keterangan tentang peristiw di masa lalu, dimana tokohnya banyak yang masih hidup dan berdiam di bumi Indonesia. Selain itu, dibuku ini tidak digambarkan begitu detail soal keterlibatan Megawati dalam peristiwa pemakzulan Gus Dur, malah seolah Megawati acuh tak acuh saja. Adahal loginyanya, oposisi Gus Dur sebenarnya adalah pihak Megawati, justru partai poros tengah yang banyak berinisiatif untuk menjatuhkan Gus Dur. Padalah Gus Dur saat di wawancarai dalam acara Kick Andi dulu, terang-terangan menyebut nama Amin Rais dan Megawati sebagai pihak yang bertanggung jawab atas terjadinya peristiwa tersebut.

Penulis juga tidak mengetahui, kenapa nama Megawati tidak banyak disebut gerakannya selama pemakzulan Gus Dur dari kursi kepresidenan, yang hingga saat ini masih menjadi tanda tanya besar bagi penulis sendiri. Dan harusnya, ada pihak yang mengangkat kembali kasus Bullogate dan Bruneigate ini, sebab sampai detik ini masih belum ada kepastian yang memastikan bahwa Gus Dur terlibat dalam kedua kasus tersebut. Seharusnya, nama Gus Dur harus di harumkan lagi agar kesalahfahaman soal kasus Buloggate dan Bruneigate menjai terang.

 


 

DAFTAR PUSTAKA

Adi Susilo, Taufik. Biografi Singkat Jusuf Kalla. Cetakan II. Yogyakarta: Garasi House Of Book, 2014.

Barton, Greg. The Authirized Biography of Abdurrahman Wahid (terjemahan). Yogyakarta: LKiS Yogyakarta, 2002.

Biografi Gus Dur: The Authirized Biography of Abdurrahman Wahid. Yogyakarta: LKiS, 2002.

Faisal, Islamil. Pijar-Pijar Islam:Pergumulan Kultur Dan Struktur. Yogyakarta: LESFIYogya, 2002.

Geoffrey, Robinson. If You Leave Us Here, We Will Die: How Genoside was Stopped in East Timor. New Jersey: Princeton University Press., 2010.

Luhulima, James. Hari-Hari Terpanjang: Menjelang Mundurny Presiden Soeharto dan Beberapa Peristiwa Terkait. Jakarta: Kompas, 2005.

Pane, Neta S. Sejarah dan Kekuatan Gerakan Aceh Merdeka. Jakarta: Gramedia Widiasarana Indonesia, 2001.

Purdey, Jemma. Anti-Chinese Violence in Indonesia, 1996-1999. Hawai: University of Hawaii Press, 2006.

Rafick, Ishak. Catatan Hitam Lima Presiden Indonesia. Jakarta: Ufuk, 2007.

zoelva, Hamdan. Pemakzulan Presiden di Indonesia. Jakarta: Sinar Grafika, 2011.

https://www.liputan6.com/news/read/4060037/tragedi-bom-bej-dan-keterlibatan-oknum-prajurit-pasukan-elite-19-tahun-lalu diakses tanggal 28 desember 2020 jam 14:21

 

 

 

 

 



[1] Mahasiswa Program Magister Sejarah Peradaban Islam Pasca Sarjana UIN Imam Bonjol Padang, Angkatan 2020

[2] Hasil wawancara chanel Youtube Nahdlatul Ulama https://www.youtube.com/watch?v=Js-SiAtICCo#action=share

[3] James Luhulima, Hari-Hari Terpanjang: Menjelang Mundurny Presiden Soeharto dan Beberapa Peristiwa Terkait (Jakarta: Kompas, 2005), h.115.

[4] Jemma Purdey, Anti-Chinese Violence in Indonesia, 1996-1999 (Hawai: University of Hawaii Press, 2006), h. 64.

[5] Tim Gabungan Pencari Fakta, Temuan Gabungan Tim Pencari Fakta Kerusuhan Mei 1998 (Jakarta: Publikasi Komna Perempuan, 1999). H.17-18

[6] Mahrus Ali dan M.F. Nurhuda Y,, Pergulatan Membela yang Benar: Biografi Matori Abdul Jalil(Jakarta:KOMPAS,2008), h.212

[7] Greg Barton, The Authirized Biography of Abdurrahman Wahid (terjemahan) (Yogyakarta: LKiS Yogyakarta, 2002), h. 1.

[8] Barton, h. 14.

[9] Barton, h. 18.

[10] Ishak Rafick, Catatan Hitam Lima Presiden Indonesia (Jakarta: Ufuk, 2007), h. 334-335.

[11] Islamil Faisal, Pijar-Pijar Islam:Pergumulan Kultur Dan Struktur (Yogyakarta: LESFIYogya, 2002), h. 142.

[12] Robinson Geoffrey, If You Leave Us Here, We Will Die: How Genoside was Stopped in East Timor (New Jersey: Princeton University Press., 2010), h. 40.

[13] Sebutan untuk bangsawan yang dekat dan mendukung kebijakan Belanda, maka setelah kemerdekaan kekuatan para ulebalang pun tidak bisa menaandingi PUSA sebagai kekuatan politik yang dominan sejak 1945-1949.

[14] Neta S Pane, Sejarah dan Kekuatan Gerakan Aceh Merdeka (Jakarta: Gramedia Widiasarana Indonesia, 2001), h. v.

[15] Taufik Adi Susilo, Biografi Singkat Jusuf Kalla, Cetakan II (Yogyakarta: Garasi House Of Book, 2014), h. 60.

[16] Faisal, Pijar-Pijar Islam:Pergumulan Kultur Dan Struktur, h. 143.

[17] Biografi Gus Dur: The Authirized Biography of Abdurrahman Wahid (Yogyakarta: LKiS, 2002), h. 444-445.

[19] Hamdan zoelva, Pemakzulan Presiden di Indonesia (Jakarta: Sinar Grafika, 2011), h. 161.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar