Hai Dear, wellcome to my Blog

Sabtu, 25 Januari 2014

Pemikiran Hamka




A.    Pendahuluan
Haji Abdul Malik Karim Amrullah (HAMKA) adalah salah satu tokoh Nasional yang memiliki pengaruh besar untuk Negara Indonesia, khususnya Umat Islam. Banyak sumbangan positif yang telah beliau berikan, pemikiran-pemikiran modern yang sesuai dengan perkembangan zaman namun tidak bertentangan dengan ajaran Islam. Mengenai hal itu, akan penulis bahas lebih lanjut pada poin berikut.
B.     Pembahasan

1.      Riwayat Hidup
Beliau lahir tanggal 17 Februari 1908 di Kampung Molek, Maninjau, Sumatera Barat. Nama pemberian ayahnya adalah Abdul Malik, ia adalah seorang ulama, aktivis politik, sastrawan, politikus, filsuf, dan aktivis Muhammadyah.
Ibunya keturunan bangsawan, ayahnya Syeikh Abdul Karim bin Amrullah atau dikenal dengan nama Haji Rasul, berasal dari keluarga ulama dan seorang pelopor gerakan pembaruan/ modernis dalam Gerakan Islah (tajdid) di Minangkabau sekembalinya dari Makkah tahun 1906.
Beliau dibesarkan dalam tradisi Minangkabau, masa kecilnya dipenuhi gejolak batin karena saat itu terjadi pertentangan yang keras antara kaum adat dan kaum muda tentang pelaksanaan ajaran Islam. Banyak hal-hal yang tidak dibenarkan dalam Islam, tapi dipraktikkan dalam kehidupan masyarakat sehari-hari.[1]
2.      Pemikiran-pemikiran Buya Hamka
a.       Pemikiran tasawuf Hamka
Seseorang yang mendalami spritual, bukan berarti memisahkan diri dari kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi. Agama menemptkan ilmu pengetahuan dan teknologi itu sebagai alat, sarana dan bukan tujuan, sebab tujuan manusia itu sendiri sesuai dengan martabatnya telah ditentukan oleh Tuhan yang menentukan manusia itu sendiri. Dan jalan menuju kesana, hanya dapat ditempuh melalui submission kita pada agama, termasuk didalam tasawuf, jika kita ingin selamat dan tidak sesat di jalan atau terombang ambing oleh pergolakan zaman.
Tasawuf dapat menjadi solusi alternative terhadap kebutuhan spiritual dan pembinaan manusia modern, karena tasawuf merupakan tradisi yang hidup dan kaya dengan doktrin-doktrin metafisis, kosmologis, dan psikoterapi relijius yang dapat mengahantarkan kita menuju kesempurnaan dan ketenangan hidup, yang hampir hilang atau bahkan tidak pernah dipelajari manusa modern.
Selain itu, Hamka juga berpandangan bahwa penganut tasawuf modern tidak harus lari dari kehidupan duniawi, tetapi justru harus terlibat aktif dalam masyarakat. Dengan mempraktekkan tasawuf secara aktif dalam setiap aktivitas manusia modern dapat membangunkan orang modern dari tidur spritualnya yang panjang dan pembinaan moral.[2]
b.      Tauhid sebagai prinsip keluarga
Tauhid sebagai inti ajaran Islam tidak hanya sekedar dimaknai sebagai pengakuan atas satu Tuhan, akan tetapi al-Faruqi mencoba melakukan internalisasi (penghayatan) tauhid ke dalam seluruh aspek kehidupan agar seseorang dapat berjalan sebagaimana tujuan penciptaan yakni penghambaan kepada Allah semata.
Tauhid menurut Hamka mengandung dua aspek tauhid, yaitu tauhid uluhiyyah dan tauhid rububiyyah, berarti menyangkut pengertian tauhid secara teoritis dan praktis. Jadi, tauhid menurut Hamka melibatkan unsur ibadah. Hal ini sesuai dengan pengertian iman dalam perspektif islam, dimana iman bukan hanya kepercayaan saja, tetapi juga menyangkut perbuatan atau ibadah.
Keluarga sebagai lingkungan pertama pendidikan bagi seorang anak, maka menurut Hamka orang tua wajib memberikan nilai-nilai pendidikan kepada anak, yang harus pertama kali diberikan adalah nilah ilahiyah (ketauhidan), karena dengan nilai-nilai tersebut, diharapkan anak-anak akan terpatri dengan nilai-nilai ketundukan kepada Khaliknya. Bentuk implementasi pengajaran tauhid  ini dilakukan dengan cara memberikan tauladan yang baik bagi anak, sehingga terciptalah generasi yang menjadi kebanggaan orang tuanya.
c.       Politik
Pemikiran politik Hamka dalam tafsir al-Azhar yang relevansinya ke dalam pemikiran kenegaraan di Indonesia tertuang dalam bahasan tentang syura. Dengan adanya lembaga perwakilan rakyat sebagai perwujudan dari demokrasi parlementer yang berlaku di Indonesia, maka dapat disatu alurkan dengan pemikiran Hamka tentang syura yang menjadi ajaran Islam, terutama dalam suatu negara. Tentang Negara, bahwa Indonesia adalah negara yang berkedaulatan rakyat, berdasarkan Pancasila dan UUD 1945. Sila ke-Tuhan-an Yang Maha Esa adalah suatu bukti bahwa Indonesia adalah negara yang menjunjung tinggi agama dan merupakan dasar pemikiran kenegaraan. Tidak ada pemisahan antara negara dan agama sebagaimana yang telah dikemukakanoleh Hamka. Hamka memberikan satu batasan untuk negara yang melakukan hubungan internasional, yaitu kekuatan, dalam arti bahwa posisi negara kuat, sehingga tidak mudah diremehkan atau dikhianati negara lain.[3]
d.      Pendidikan
Menurutnya, ada tiga tema yang digunakan para ahli untuk menunjukkan istilah pendidikan Islam, yaitu ta’lim, tarbiyah, dan ta’dib. Hamka membedakan makna pendidikan dan pengajaran. Menurutnya, pendidikan Islam merupakan serangkaian upaya yang dilakukan pendidik untuk membantu membentuk watak, budi, akhlak, dan kepribadian peserta didik. Sehingga ia tahu membedakan mana yang baik dan mana yang buruk. Sementara, pengajaran Islam adalah upaya untuk mengisi intelektual peserta didik dengan sejumlah ilmu pengetahuan.
Dalam mendefinisikan pendidikan dan pengajaran, ia hanya membedakan makna pengajaran dan pendidikan pada pengertian kata. Akan tetapi secara esensial ia tidak membedakannya. Kedua kata tersebut (pendidikan dan pengajaran) merupakan suatu sistem yang saling berkelindan. Setiap proses pendidikan, di dalamnya terdapat proses pengajaran. Keduanya saling melengkapi antara satu dengan yang lain, dalam rangka mencapai tujuan yang sama. Tujuan dan misi pendidikan akan tercapai melalui proses pengajaran. Demikian pula sebaliknya, proses pengajaran tidak akan banyak berarti bila tidak dibarengi dengan proses pendidikan. Dengan pertautan kedua proses ini, manusia akan memperoleh kemuliaan hidup, baik di dunia maupun di akhirat.
Bila dilihat dari dataran filsafat, batasan definisi pendidikan Islam yang dikemukakannya dapat dipandang sebagai ontologi pendidikan Islam. Definisi di atas merupakan salah satu titik perbedaan pendapatnya dengan batasan pendidikan dewasa ini yang mendikotomikan kedua istilah tersebut secara parsial. Ia mencoba membangun proses pengajaran dan pendidikan dalam sebuah konstruksi yang integral. Dalam pandangannya, proses pendidikan tidak hanya berorientasi pada hal-hat yang bersifat material belaka. Pendekatan yang demikian itu tidak akan dapat membawa manusia kepada kepuasan batin (rohani). Pendidikan yang baik adalah pendidikan yang dapat mengintegralkan potensi fitrah-Nya yang tinggi dengan potensi akal pikiran, perasaan dan sifat-sifat kemanusiaannya yang lain secara serasi dan seimbang.
Melalui integrasi kedua unsur potensi tersebut, maka peserta didik akan mampu mengetahui rahasia yang tertulis (Al-Qur’an dan Hadis) dan fenomena alam semesta yang tak tertulis (QS. Faathir: 28). Melalui pendekatan ini manusia (peserta didik) akan dapat menyingkap rahasia keagungan dan kebesaran-Nya, sekaligus untuk memper-tebal keimanannya kepada Allah. Namun demikian, pendidikan bukan berarti hanya berorientasi pada hal-hal yang bersifat metafisik belaka. Dalam melaksanakan tugasnya sebagai khalifah fi al-ardh, manusia juga memerlukan pendidikan yang bersifat material. Hanya melalui pendekatan kedua proses tersebut, manusia akan dapat melaksanakan tugas dan fungsinya di muka bumi ini dengan sebaik-baiknya.
Di sini ia memaknai manusia sebagai khalifah fi al-ardh sebagai makhluk yang telah diberikan Allah potensi akal sebagai sarana untuk mengetahui hukum-Nya, me-nyingkap rahasia alam dan meman-faatkannya bagi kemaslahatan umat manusia.
Menurut HAMKA, melalui akalnya manusia dapat menciptakan peradabannya dengan lebih baik. Fenomena ini dapat dilihat dari sejarah manusia di muka bumi. Disamping itu, fungsi pendidikan bukan saja sebagai proses pengembangan intelektual dan kepribadian peserta didik, akan tetapi juga proses sosialisasi peserta didik dengan lingkungan di mana ia berada. Secara inheren, pendidikan merupakan proses penanaman nilai-nilai kebebasan dan kemerdekaan kepada peserta didik untuk menyatakan pikiran serta mengembangkan totalitas dirinya. Dengan kata lain pendidikan (Islam) merupakan proses transmisi ajaran Islam dari generasi ke generasi berikutnya. Proses tersebut melibatkan tidak saja aspek kognitif pengetahuan tentang ajaran Islam, tetapi juga aspek afektif dan psiko­motorik (menyangkut bagaimana sikap dan pengamalan ajaran Islam secara kaffah).
HAMKA menekankan pentingnya pendidikan jasmani dan rohani (jiwa yang diwarnai oleh roh agama dan dinamika intelektual) yang seimbang. Integralitas kedua aspek tersebut akan membantu keseimbangan dan kesempurnaan fitrah peserta didik. Hal ini disebabkan karena esensi pendidikan Islam berupaya melatih perasaan peserta didik sesuai dengan fitrah-Nya yang dianugrehkan kepada setiap manusia, se­hingga akan tercermin dalam sikap hidup, tindakan, keputusan dan pendekatan mereka terhadap semua jenis dan bentuk pengetahuan dipengaruhi nilai-nilai ajaran Islam.
C.     Penutup
Berbagai macam pemikiran yang bersumber dari Buya Hamka, baik itu dilihat dari sudut pandang politik, pendidikan, keluarga dan juga tasawuf, memberikan manfaan yang luar biasa bagi kita semua. Terutama generasi masa depan yang tidak berjumpa langsung dengan beliau, namun bertemu dengan karya warisan yang beliau sumbangkan.




Daftar Pustaka
  http://elsaelsi.files.wordpress.com/ 17/11/2013/ diakses jam 12.30 wib
  Skripsi Mas’ut Ulum, Jurusan Aqidah Filsafat, Fakultas Ushuludin UIN Sunan Kalijaga, dengan judul “Urgensi Tasawuf dalam Kehidupan Modern; telaah atas Pemikiran Tasawuf Hamka”, h. 29
  Skripsi Ahmad Hakim, UIN Sunan Kalijaga, Yogyakarta dengan judul “Pemikiran Hamka tentang Politik dalam Tafsir Al-Azhar”.



 
Makalah
Pemikiran Buya HAMKA


Diajukan untuk memenuhi tugas perkuliahan pada mata kuliah
Kapita Selekta SKI Indonesia







Oleh:

Nilma Yola                    : 110 173



Dosen Bidang Study :

Drs. Ryusdi Ramli, M. A
Muhaprul Musri




JURUSAN SEJARAH KEBUDAYAAN ISLAM (B)
FAKULTAS ADAB
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI (IAIN)
IMAM BONJOL PADANG
1435 H/ 2013 M


 



[1] http://elsaelsi.files.wordpress.com/ 17/11/2013/ diakses jam 12.30 wib
[2] Skripsi Mas’ut Ulum, Jurusan Aqidah Filsafat, Fakultas Ushuludin UIN Sunan Kalijaga, dengan judul “Urgensi Tasawuf dalam Kehidupan Modern; telaah atas Pemikiran Tasawuf Hamka”, h. 29
[3] Skripsi Ahmad Hakim, UIN Sunan Kalijaga, Yogyakarta dengan judul “Pemikiran Hamka tentang Politik dalam Tafsir Al-Azhar”.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar