Hai Dear, wellcome to my Blog

Sabtu, 25 Januari 2014

Contoh ilmu gharibul hadist





a.       Hadist tentang sholat sambil duduk
...صَلِّ قَائِمًا فَاِنْ لَمْ تَسْتَطِعْ فَقَا عِدًافَاِنْ لَمْ تَسْتَطِعْ فَعَلَى جَنْبِ...
Artinya :
“ Shalatlah dengan berdiri. Bila kamu tidak kuasa, maka shalatlah sambil duduk. Bila kamu tidak kuasa, maka shalatlah sambil berbaring di atas lambungmu (miring)”. (HR. al-Bukhari dan lainnya).[1]
b.      Asbabul Wurud hadist
Ibnu Buraid menceritakan, katanya : Imran ibnu Husain mengabarkan kepadaku bahwa ia pernah mengidap penyakit wasir atau ambeien. Lalu ia bertanya kepada Rasulullah SAW mengenai seseorang, laki-laki yang mengerjakan shalat dalam keadaan wudhu’. Maka beliau menjelaskan : “Shalatlah dengan berdiri…..” dan seterusnya bunyi hadist di atas.
c.       Analisa Tekstual
Terdapat hadist yang mampu menjelaskan kata جنب dalam hadist di atas, yakni :
وَقَا لَ عَطَاءٌ : إِنْ لَمْ يَقْدِرْأَنْ يَتَحَوَّلَ إِلَى الْقِبْلَةِ صَلَّى حَيْثُ كَنَا وَخْهُهُ...
Atha’ berkata, “Apabila tidak mampu untuk berbalik (menghadap) ke kiblat, maka ia boleh sholat kemana wajahnya menghadap.”
عَنْ عِمْرَانَ بْنِ حُصَيْنٍ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ قَالَ : كَانَتْ بِيْ بَوَاسِيْرُ فَسَأَلْتُ النَّبِيَّ صَلَ اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَنِ الصَّلَاةَ ؟ فَقَالَ : صَلَّ قَائِمًا فَاِنْ لَمْ تَسْتَطِعْ فَقَا عِدًافَاِنْ لَمْ تَسْتَطِعْ فَعَلَى جَنْبِ
Dari Imran bin Hushaini r.a, dia berkata : “Aku menderita wasir (ambeien), maka aku bertanya kepada Nabi SAW tentang shalat. Beliau bersabda, ‘ Shalatlah dengan Shalatlah dengan berdiri. Bila kamu tidak kuasa, maka shalatlah sambil duduk. Bila kamu tidak kuasa, maka shalatlah sambil berbaring di atas lambungmu (miring).

Keterangan Hadist :
وَقَا لَ عَطَاءٌ : إِنْ لَمْ يَقْدِر (Atha’ berkata, “Apabila tidak mampu…”)
Dalam riwayat Al-Kasyimihani disebutkan, إِنْ لَمْ يَقْدِر, atsar ini disebutkan dengan sanad yang maushul (lengkap) oleh Abdurrazak dari Ibnu Juraij, dari Atha’. Adapun letak kesuaiannya dengan judul bab adalah, bahwa orang yang tidak mampu melakukan perbuatan fardhu, maka ia boleh melakukan perbuatan fardhu lain yang lebih rendah tingkatannya. Ini merupakan dalil yang membantah pendapat bahwa orang yang tidak mampu shalat dengan duduk, maka kewajiban shalat telah gugur darinya. Pendapat ini menurut Al-Ghazali berasal dari Abu Hanifah, tapi hal itu dibantah dengan alasan pendapat tersebut tidak ditemukan dalam kitab-kitab madzhab Hanafi.
عَنِ الصَّلَا (tentang shalat), maksudnya tentang orang yang sakit, berdasarkan perkatannya pada bagian awal كَانَتْ بِيْ بَوَاسِيْرُ (Aku menderita wasir…). Dalam riwayat Waki’ dari Ibrahim bin Thaman yang diriwayatkan oleh Imam Tirmidzi dan selainnya disebutkan, سَأَلْتُ عَنْ صَلَاةِ الْمَرِيْضُ (Aku bertanya tentang sholat orang yang sakit).
فَاِنْ لَمْ تَسْتَطِعْ (jika engkau tidak mampu). Ini menjadi dalil bagi yang berpendapat bahwa orang yang sakit tidak boleh mengerjakan shalat dengan duduk kecuali apabila dia tidak mampu untuk berdiri. Pendapat ini diriwayatkan oleh Al-Qadhi Iyadh dari Imam Syafi’i. sementara Imam Malik, Ahmad, dan Ishaq berpendapat bahwa “tidak mampu” itu bukan menjadi syarat, tapi cukup adanya kesulitan itulah yang menjadi alasan diperbolehkannya melakukan shalat dengan duduk.
Adapun pendapat yang terkenal di kalangan madhzhab Syafi’i adalah, bahwa yang dimaksud dengan “tidak mampu” disini adalah adanya kesulitan yang sangat untuk berdiri, atau rasa takut penyakitnya akan bertambah parah. Tetapi, tidak cukup untuk membolehkan syalat dengan duduk bila kesulitan itu masih dalam kadar yang minim. Diantar kesulitan yang besar adalah kepala pusing bagi orang yang naik perahu, atau takut tenggelam bila shalat dengan berdiri di atas perahu.
Lalu, apakah seseorang yang sedang bersembunyi mengintai musuh dalam rangka jihad termasuk digolongkan “tidak mampu” ? Karena, jika ia shalat berdiri maka akan terlihat oleh musuh. Oleh karena itu, apakah ia boleh shalat dengan duduk atau tidak ? Dalam hal ini ada dua pendapat dalam madzhab Syafi’i, dimana yang paling kuat di antara keduanya adalah pendapat yang membolehkannya. Tetapi ia harus mengganti (mengqada’), karena ini merupakan halangan yang sangat jarang terjadi.[2]
Hadist ini dijadikan dalil kesamaan antara tidak mampu berdiri denga duduk dalam hal berpindah kepada fardhu berikutnya. Berbeda dengan pendapat yang membedakan hukum keduanya, seperti Imam Al-Haramain. Pendapat jumhur didukung pula oleh hadist Ibnu Abbas yang diriwayatkan oleh Ath-Thabrani dengan lafadz, يُصَلِّي قَائِمًا, فَإِنْ نَالَتْهُ مَشَقْةٌ فَجَا لِسًا, فَإِنْ نَالَتْهُ مَشَقَةٌ صَلِّى نَا ئِمًا ( dia shalat dengan beridir. Apabila mengalami kesulitan, maka shalat dengan duduk; apabila mengalami kesulitan, maka dia shalat dengan tidur (berbaring). Beliau mempertimbangkan adanya kesulitan pada kedua hal itu tanpa membedakannya).
فَعَلَى جَنْبِ (maka di atas sisi badan). Dalam hadist Ali yang diriwayatkan oleh Ath-Thabrani disebutkan, عَلَ جَنْبِهِ الْاَيْمَنِ مَسْتَقْبَلَ الْقِبْلَةِ بِوَجْهِهِ (di atas sisi badannya yang kanan seraya menghadap kiblat dengan wajahnya). Ini menjadi dalil bagi jumhur ulama dalam masalah berpindah dari duduk kepada shalat di atas sisi badan (berbaring). Menurut mazhab Hanafi dan sebagian ulama mazhab Syafi’i, hendaknya ia berbaring. Menurut mazhab Hanafi dan sebagian ulama mazhab Syafi’i, hendaknya ia berbaring dengan posisi terlentang lalu menghadapkan kakinya ke arah kiblat.
Dalam hadist Ali dijelaskan bahwa shalat dengan terlentang itu dilakukan apabila tidak mampu berbaring dengan posisi miring. Hal ini dijadikan dalil oleh mereka yang berpendapat bahwa orang yang sakit tidak boleh berpindah kepada posisi lain stelah tidak mampu terlentang, seperti menggunakan isyarat dengan kepala, lalu isyarat dengan pelupuk mata, kemudian mengucapkan Al-Qur’an dan dzikir, dan kemudian membacanya dalam hati, sebab semua ini tidak disebutkan dalam hadist. Ini merupakan pendapat para ulama mazhab Syafi’i, Hanafi, dan sebagian ulama mazhab Syafi’i.
Sementara di antara ulama mazhab Syafi’i mengatakan seperti urutan tadi, dan mereka menjadikan akal sehat sebagai patokan shalat,; kapanpun seseorang masih berakal sehat, maka beban syar’i (taklif) tidak terlepas darinya. Oleh karena itu, hendaknya ia mengerjakan sebatas kemampuannya berdasarkan sabda beliau SAW, إِذَاأَمَرْتُكُمْ بِ أَمْرٍ فَأْتُوْامِنْهُ مَااسْتَطَعْتُمْ ( Apabila aku memerintahkan suatu perbuatan kepada kalian, maka kerjakanlah sebatas kemampuan kalian ). Demikian dalil yang dikemukakan Al-Ghazali. Namun pernyataannya ini ditanggapi oleh Ar-Rafi’i, bahwa hadist tersebut memerintahkan untuk mengerjakan sesuatu yang masih dalam cakupan apa yang diperintahkan. Sementara duduk tidak mencakup berdiri, demikian pula yang sesudahnya…hingga khir perkataan beliau.
Tanggapan Ar-Rafi’i dijawab oleh Ibnu Shalah, bahwa kami tidak mengatakan orang yang melaksanakan sholat sambil duduk berarti telah mengerjakan apa yang ia mampu kerjakan saat berdiri, akan tetapi kami mengatakan keduanya telah mengerjakan gerakan shalat yang mampu mereka kerjakan. Semua yang disebutkan adalah jenis shalat, sebagiannya mempunyai tingkatan yang lebih rendah daripada yang lain. Apabila ia tidak mampu mengerjakan tingkatan yang lebih tinggi, lalu ia mengerjakan yang lebih rendah, maka ia telah melakukan shalat sesuai kemampuannya.


[1] Kitab al-Bukhari akhir bab Qashar Shalat, jilid 2 : h. 208 hadist ke 1117
[2] Adapun yang benar adalah tidak menggantinya, sebab halangan tersebut lebih berat daripada halangan orang yang sakit. Wallahu A’lam

Tidak ada komentar:

Posting Komentar