Serangan ke Sulit Air masa Perang Paderi
Raffik Dylova said:
Catatan lain, yang menyebutkan penyerangan ke Sulit Air itu memakan
waktu 5 hari, dan meninggalkan kehancuran yang luar biasa. Dengan kata
lain penduduk Sulit Air pada waktu itu ‘pergi’ ke suatu tempat. Saya
baru menduga mereka pindah ke Padang Barimbiang dan Kinari Kabupaten
Solok, karena mereka mengaku berasal dari Sulit Air. Ada banyak
pertanyaan yang menghinggapi saya selama ini :
1. Sebenarnya
siapakah orang Sulit Air? Dan kenapa serangan pertama Belanda ditujukan
ke negeri ini? Dalam hikayat disebutkan mereka tidak pernah beraja ke
Pagaruyung, dan … tidak pernah disinggung-singgung dalam sejarah dan
tambo sebelum masa itu. Hanya secuil pituah adat yang tersisa yang
menyebutkan: ‘Sulit Air cumeti Koto Piliang’.
2. Benarkah pada kurun 1812-1821 ada pengumpulan pasukan Paderi di tempat tersebut?
3. Bila setelah serangan 1821 itu negeri menjadi kosong, kemudian
siapakah orang-orang yang kemudian membangun kembali negeri tersebut,
dan pada saat ini menjadi nagari terbesar di Sumatera Barat? Saya coba
melakukan penelitian amatir selama ini, dan memang dalam tahap
penyusunan puzzle. Sehubungan dengan pertanyaan nomor 2, saya menilai
dari aspek geomorlogis belaka, kurang lebih sbb:
Bila kita
berada di Ombilin Singkarak, terdapat dua jalan menuju ke bukit, satu ke
arah Batusangkar-Pagaruyung dan satu lagi ke arah Bukit Kanduang –
Sulit Air. Dari sejarah yang saya pernah dengar, sebelumnya titik di
Simawang itu merupakan daerah strategis. Dan sebelumnya Inggris
dikabarkan juga membangun semacam pos di tempat tersebut. Dari titik ini
sebenarnya dapat dipantau ‘jalan dagang’ ke arah
Batusangkat-Pagaruyung. Mengenai istilah ‘jalan dagang’ ini dapat
dilihat pada Kamus Minangkabau karya Dr. Gusti Asnan. Karenanya cukup
beralasan bila Belanda ingin menduduki titik ini sepenuhnya. Namun
sebelumnya, saya mencurigai bila kaum Paderi juga telah menduduki titik
ini.
Pada masa itu disebutkan, dari Talago Laweh Sulit Air
dapat leluasa mata memandang sampai ke Padang Panjang. Apalagi bila
sampai mendaki Gunung Merah, maka terlihatlah bentangan luas luhak Tanah
Datar hingga perbatasan kedua luhak yang lain. Kuat dugaan saya bila
pada masa 1812-1821 ada pengumpulan kekuatan Paderi di tempat tersebut.
Namun tentunya telah ada pula pemukim awal yang telah tinggal di tempat
tersebut, dan membangun budaya ‘cumeti Koto Piliang’. Untuk pertanyaan
ke-3, saya sudah coba menghitung proyeksi mundur penduduk, untuk sekitar
tahun 1840 ada kurang lebih 2.000 jiwa, atau sekitar 500 KK. Dan
komposisi ini masih saya uji dengan total jumlah ruang rumah gadang.
Bilamana pas, maka bisa sampai pada hipotesis: Sulit Air ‘dibangun baru’
pasca perang Paderi.
Maaf, Bila sdri ingin menelusuri Sulit Air scara utuh dan apa yg dimaksud "Cumeti Koto Piliang" tsb berangkatlah dari catatan sejarah kerajaan kecil Hindu didaerah Dhamasraya, perang padri tiga priode tsb hanya sekelumit dari sekian banyak peristiwa sejarah dalam perkembangan islam di Minangkabau itu sendiri.
BalasHapusKomentar ini telah dihapus oleh pengarang.
BalasHapus