A. Latar
Belakang
Salah
satu puncak kejayaan kejayaan Islam di Nusantara ditandai dengan berdirinya
beberapa kerajaan Islam besar yang mempunyai pengaruh besar. Salah satu contoh
kerajaan itu ialah kerajaan Malaka, yang terletak di daerah semenanjung Malaka.
Hingga hari ini, telah banyak diperbincangkan tentang sejarah kerajaan ini :
termasuk dalam bidang politik dan budaya berpolitik Melayu ketika itu,
terangkumlah juga bidang-bidang sejarah lain. Ini termasuk juga undang-undang,
ekonomi, dan kegiatan pelaut.[1]
Salah
satu peninggalan yang terkenal yaitu Undang-undang Malaka, hal yang luar biasa
dihasilkan oleh masyarakat kala itu dengan segala keterbatasan yang ada. Untuk
pembahasan lebih lanjut, akan di bahas pada pembahasan berikut, pembahasan itu
antara lain mencangkup :
a. Bagaimana
asal muasal kerajaan Malaka ?
b. Apa
itu Undang-undang Malaka dan fungsinya ?
B. Pembahasan
a. Sekilas
mengenai Kerajaan Malaka
Kerajaan Malaka merupakan kerajaan Islam kedua di asia
Tenggara. Kerajaan ini berdiri pada awal abad ke 15.[2] Kerajaan
malaka ini di dirikan oleh Parameswara, seorang raja keturunan Sriwijaya
yang melarikan diri setelah kerajaan Sriwijaya runtuh. Pada awalnya Melaka
bukanlah sebuah kerajaan islam, Melaka berubah menjadi kerajaan islam pada
tahun 1409, disaat Parameswara menikah dengan puteri dari pasai dan ia masuk
islam. Ia mewarisi kepandaian politik dan karisma yang besar sehingga di waktu
pelariannya itu, ia masih mendapat penghormatan dan dukungan dari tempat-tempat
yang ia lalui. Setelah diusir dari Palembang Parameswara pergi ke Tumasik
(Singapura) dan berhasil membunuh rajanya. Ia menjadi raja di sana untuk
beberapa tahun sebelum mendirikan Malaka. Tome Pires mengatakan ini
menjadi pengalaman dan intrik politik secara alami untuk akhirnya bisa menjadi
seorang penggagas sebuah kerajaan.[3]
b. Undang-undang
Malaka
Dilihat
dari ilmu antropologi undang-undang dapat dilihat dari dua pendekatan yakni;
pertama, menurut Levi-Strauss , undang-undang dilihat sebagai
suatu system yang berfungsi. Fungsi ini bergerak (operate) diberbagai-bagai
peringkat dikalangan kelompok –kelompok masyarakat dan dengan berbagai cara
pula. Tujuan udang-undang yang paling asas atau mendasar adalah untuk
menentukan peraturan. Karena untuk menjaga dan mengawal keamanan dan keselarasan
social serta keharmonisan masyarakat. Kedua, menurut David S. Moyer undang-undang dilihat sebagai suatu
system yang berkonsep, terdiri dari berbagai kategori system yang tersusun
secara formal (formally organized system of categories).
Sebagaimana yang pernah diajukan oleh Mac Gluckman bahwa
undang-undang dalam rangka pengajian antropologi adalah merupakan suatu
penegasan. Undang-undang atau system perundangan adalah suatu cara untuk
menyelesaikan berbagai bentuk konflik dan kekecohan dalam masyarakat (antara
sesama individu, di kalangan sesama kelompok atau antara individu dengan
kelompok dengan system keadilan yang telah pun ditentukan dalam masyarakat
tersebut).
Penduduk Melaka bercorak cosmopolitan (bermacam budaya),
bahasa yang dipakai oleh penduduk ini berjumlah 84 macam.[4]
penduduknya diperkirakan 190. 000 orang menjelang kedatangan portugis, dengan
diperkirakan jumlah hulu balang sekitar 100.000 orang. Oleh karena itu, sangat
mustahil Melaka tidak mempunyai sebuah undang-undang atau sesuatu yang dapat
mengawal tindak tanduk anggota masyarakatnya yang ada di Bandar atau kota Malaka
itu sendiri, ataupun diluar malaka. Undang-undang bertujuan untuk melahirkan sebuah
masyarakat yang bersistem, Tome Pires, pelapor portugis sezaman yang lebih
berminat pada keadaan ekonomi dan perdagangan Melaka, pernah juga menyebut
tentang wujudnya dari Hukum Malaka, yaitu unit kalimat yang rujukannya kepada
organisasi system dan urusan perdagangan.
Terdapat teks undang-undang tradisional di Melaka yaitu hukum
Kanun Malaka. Ia dikenali juga sebagai undang-undang darat Melaka dan Risalat
Hukum Kanun. Konstitusi di kerajaan Malaka dapat dibedakan menjadi dua
kategori. Pertama, adalah konstitusi yang sejak awal menjadi tradisi
dari kerajaan Palembang yang diterapkan oleh raja Malaka dengan para
pembesar-pembesar yang sejak awal mengikutinya dan turut membangun Malaka. Kedua,
Munculnya konstitusi baru (Undang-undang Malaka) yang disebabkan oleh
kompleksnya keadaan sosial masyarakat Malaka, hal ini wajar dan memang umum
terjadi di kerajaan manapun.
Undang-undang Malaka disusun dan ditulis melalui tradisi
lisan dan ingatan yang dimiliki oleh para menteri Malaka. Pada tahap tertentu,
peraturan- peraturan yang sudah dituliskan dan didokumentasikan tidaklah
berarti bahwa sasaran dan tujuan Undang-undang Malaka itu ‘wajib’ digunakan
untuk semua permasalahan hukum. Ia hanya merupakan salah satu bukti eksplisit
tentang hakikat adanya undang - undang dalam sebuah kerajaan Melayu lama. Ia
hanya digunakan seperlunya, atau hanya menjadi kitab rujukan para hakim ketika
hendak mengambil keputusan (untuk hukum-hukum Islam, untuk Bendahara, Laksamana
dan Syahbandar; dan Penghulu Bendahari untuk undang-undang rakyat).
Undang-undang
Malaka terdiri dari 4 unsur (komponen) yaitu :
1.
Hukum Adat yang meliputi kebiasaan,
moral, etika, peraturan-peraturan resmi (tidak tertulis)
2.
Naskah dan dokumentasi Undang-undang
tertulis.
3.
Undang-undang Islam.
4.
Titah Raja, patik, murka, karunia dan
nugraha.
Undang-Undang
Malaka yang sebenarnya tidak mengacu pada Undang-Undang secara universal
seperti halnya yang dibuat oleh negara-negara selain Malaka. Namun
undang-undang Malaka mengacu pada masa kesultanan Malaka, yang tidak lain
adalah hukum adat itu sendiri. Bukan itu saja, undang-undang di sini juga
mengikutsertakan hukum syari’at Islam.
Sedangkan peran yang terbesar dalam manifestasi
undang-undang adalah titah raja itu sendiri. Raja sebagai simbol kekuasaan
tertinggi sekaligus sebagai sumber hukum yang mutlak, apapun yang diucapkannya
merupakan undang- undang. Raja mempunyai hak mutlak. Adapun ucapan-ucapan raja
terbagi menjadi lima, yaitu :
1. Titah.
2. Patik.
3. Murka.
4. Karunia.
5. Nugraha.
Sebagaimana yang dituliskan oleh Liaw YockFang dalam bukunya
“Undang-Undang Malaka” (1976), yang berbunyi:
“ Pasal yang kedua menyatakan hukum
bahasa segala raja-raja itu perkara yang tiada dapat kita menurut kata ini
melainkan dengan titah tuan kita juga maka dapat. Pertama titah, kedua patik
dan ketiga murka, keempat karunia, kelima nugraha. Maka segala kata ini tiada
dapat dikatakan oleh kita sekalian. Adapun berpatik dan bertitah dan murka itu
dan karunia itu tiada dapat kita mengatakan pada seorang pun melainkan
bahasa itu tertentulah kepada raja-raja juga...“.
Raja dianggap sebagai “wakil” Tuhan di dunia yakni dzulillah
fil’ard atau dzulillah fil’a’lam. Otoritas inilah yang secara
emplisit menegaskan kuasa raja atas segala-galanya. Hal ini sebenarnya
merupakan suatu sistem politik untuk mengekalkan status quo
kerajaan. Di samping itu, hukum yang terangkum dalam Undang-undang Melaka ini
dijelaskan mengikuti dan menurut hukum adat istiadat sejak zaman Sultan
Iskandar Zulkarnain. Sebagaimana yang tertera berikut ini :
“...Adapun ketahuilah olehmu sekalian akan
adat ini turun temurun daripada zaman
Sultan Iskandar Dzulkarnain yang memerintahkan segala manusia... “ .[5]
Pengenalan status quo ini telihat dalam
proses dan tujuannya. Hukum Kanun Malaka atau Undang-undang
Malaka dibuat di istana Malaka. Pihak-pihak yang terlibat secara langsung
untuk menyusun undang-undang tersebut ialah raja sendiri dan para pembesarnya.
Rakyat jelata yang berada di luar istana mungkin tidak tahu tentang
undang-undang tersebut. Begitu juga dengan raja-raja ‘lokal’ yang berada dalam
wilayah taklukan Malaka mungkin tidak terlibat di dalamnya. Akan tetapi
penggunaan undang-undang yang luas dan menyeluruh bagi semua wilayah kekuasaan
kerajaan Malaka adalah suatu kewajiban.
c. Fungsi
Undang-Undang Malaka
Selain sebagai maksud politis di atas, Undang-undang Malaka
juga mempunyai fungsi untuk penegakan hukum dalam kehidupan Malaka saat itu.
Adalah wajar Malaka mempunyai undang-undang secara tertulis di tengah
masyarakatnya yang terus berkembang. Tujuan ditulisnya Undang-undang Malaka,
selain sebagai hukum tertulis yang diperuntukkan untuk semua ‘anak negeri’,
yang mengatur hukum pidana dan perdata, juga diperuntukkan untuk pengekalan
adat. Adat Melayu ini dikenal dengan Adat Temenggung, agar tidak terjadi
kesalahan dalam melaksanakan adat-istiadat tersebut.
Adat Temenggung diyakini sebagai adat pertama yang
perkenalkan di dunia Melayu, ia berasal dari Minangkabau, Sumatera Barat. Adat
ini mempunyai pengaruh agama Hindu-Budha dan ketika Islam datang adat
Temenggung juga ikut kena pengaruhnya.
Jika dibandingkan dengan adat Melayu yang lain, adat
Temenggung adalah adat yang paling lengkap. Ia meliputi keseluruhan aspek dalam
kehidupan manusia. Terdapat dua hal terpenting dalam adat ini, yaitu : pertama,
sistem kekeluargaan dan sistem politik.
Dalam adat perkawinan, adat Temenggung mengamalkan sistem
perkawinan endogami yaitu perkawinan hanya boleh dilakukan oleh pasangan yang
tidak melanggar hukum dan hanya boleh sama satu agama, yakni Islam. Dalam
perkawinan ini banyak mengambil dari hukum Islam bermahzab Syafi’i.
Dalam sistem waris, Adat Temenggung mengamalkan sistem dengan hukum
Islam walaupun terdapat sedikit perbedaan pada masalah pembagiannya.
Kedua, untuk soal politik, adat Temenggung meletakkan
sistem autokrasi. Raja atau Sultan yang memerintah diberi kuasa penuh untuk
menjalankan kekuasaan secara penuh dan mutlak. Konsep daulat dan durhaka
menjadi bagian dari sistem ini. Dalam konsep ini rakyat tidak boleh
mempersoalkan setiap keputusan raja atau sultan dalam hal apapun.
Berbeda
dengan adat Temenggung, ada adat Perpatih yang juga berasal dari Minangkabau.
Perbedaannya dalam beberapa hal adalah adat
Perpatih dalam konsep kekeluargaan lebih mengutamakan nashab atau
keturunan dari
sebelah
ibu.[6]
Kekuatiran
akan terjadinya kesilapan dan kekeliruan dalam pelaksanaan adat-istiadat
kerajaan mungkin tidak merisaukan raja-raja Malaka, karena di sekeliling raja
ada para menteri yang sudah sangat mengerti akan hal itu. Akan tetapi hukum
adat raja diraja dirasa perlu untuk dimengerti semua rakyat agar tidak
disalahgunakan. Hukum adat ini pada dasarnya untuk memperlihatkan wibawa
raja-raja yang secara tegas harus dipisahkan dan diberi hak istimewa dari
rakyat biasa, karena raja adalah simbol yang harus ditaati.
d. Manuskrip Undang-undang Malaka
Undang-undang Malaka terbagi dua bagian. Pertama,
Undang-undang darat, yang sering disebut dengan Undang-undang Melaka,
ia ditulis sebanyak 46 salinan dengan berbagai judul seperti Undang-undang
Malaka, Undang-undang Negeri dan Pelayaran, Surat Undang-undang, Kitab
Undang-undang, Undang- undang Melayu, Undang-undang Raja Malaka, Undang-undang
Sultan Mahmud Syah, Kitab Hukum Kanun dan Surat Hukum Kanun. Kedua,
Undang-undang laut, atau juga dikenal sebagai Adat Pelayaran Melaka, Kitab
Peraturan Pelayaran, dan Hukum Undang-undang Laut.
e. Undang-Undang
Malaka sebagai Alat Propaganda
Di tengah masyarakat yang majemuk dan menjadi bandar
metropolitan, karena disingagahi oleh banyak saudagar asing, baik yang hanya
ingin berdagang atau mengadu nasib di rantau ini, Malaka telah menjadi pelabuhan
yang sangat ramai. Pembauran budaya pun menjadi hal yang lumrah, baik lewat
interaksi sosial sesama anggota masyarakat ataupun
lewat hubungan perkawinan. Sultan Muhammad Syah misalnya
mempunyai dua orang istri dari suku yang berbeda. Istri pertama beliau adalah
Tun Wati, campuran Melayu-Tamil dan yang kedua berasal dari keturunan
Melayu-Rokan, Sumatra. Bentuk kerajaan dengan sistem warisan (seperti di
Malaka), menurut Machiavelli akan menghadapi kesulitan-kesulitan yang relatif
lebih kecil. Hal ini disebabkan oleh kepercayaan dan mitos yang terdapat pada
masyarakat yang menghasilkan “kekuasaan ideologis”
masih mudah didapati dan terus dimanfaatkan dan
dilestarikan oleh penguasa. Keyakinan tentang legitimasi Tuhan, keturunan
tokoh-tokoh yang hebat dan istimewa serta kewibawaan yang diturunkan
langsung lewat garis keturunan melahirkan
bentuk kekuasaan ideologis, yakni kekuasaan yang diperoleh dari gagasan
(ide) yang datang dari kekuasaan kharismatik yang memiliki daya persuasi yang
kuat. atau arketipe.[7]
Rezim penguasa berkepentingan untuk terus menyakinkan rakyat
bahwa rajanya adalah mempunyai kekuatan mukjizat. Dengan pola budaya protokoler
yang ribet penguasa mendapatkan nilai kesucian, kewibawaan dan
kemuliaan lewat jubah kebesarannya, ritual-ritual, upacara dan sebagainya.
Upacara-upacara dan protokoler merupakan kegiatan-kegiatan sosial yang sengaja
dibuat untuk menciptakan jarak sosial dan dengan demikian akan menjaga
kekuasaan kelas elit dengan rakyat biasa. Untuk kepentingan ini, Undang-undang
Malaka memberikan hak-hak istimewa kepada para penguasa.
Ada beberapa pasal-pasal dipengaruhi oleh hukum adat dan
pengaruh Hindu-Budha. Warna kuning misalnya, mempunyai nilai yang tinggi,
karena ia adalah warna emas, dimana dalam
keyakinan agama Hindu-Budha emas mempunyai nilai sakral.
Hak-hak istimewa yang diberikan kepada raja merupakan salah satu instrument
penguasa, hal tersebut di atas jelas merupakan dasar hukum yang kuat karena
Undang-undang Malaka dibuat oleh elit penguasa. Sehingga secara dalam menjaga
suatu susunan pemerintahan. Undang-undang merupakan alat dalam mepropaganda
satu kekuatan sistem kerajaan yang secara hukum kanun tetap berlangsung hingga
akhir zaman. Dari propaganda tersebut dapat melahirkan satu kekuasaan ideologi
sebagai hasil kemajuan secara intelektual. Namun ‘kekuasaan ideologi’ ini telah
melahirkan konflik baru, bukan pada tataran penguasa versus rakyat tapi pada
elit penguasa yang selama ini berlindung dan mengambil keuntungan dari pengaruh
ideologi tersebut. Konflik elit ini justru menciptakan pola idialistis dimana
kesetiaan rakyat-sebagai ‘korban ideologi’ justru dicari justifikasinya untuk
mencari pembenaran lewat menghitam-putihkan” keyakinan ke dalam Undang-undang
oleh segelintir elit penguasa yang berseteru menjadi hukum Kanun Malaka.
Undang-undang Malaka atau Hukum Kanun Malaka dianggap
sebagai salah satu kemajuan peradaban intelektual terpenting, diawali oleh
misi- misi politik tertentu yang boleh juga disebut sebagai mediator elit
penguasa dengan dasar pembodohan mengatasnamakan keyakinan hakiki. Dengan
demikian Undang-undang Malaka digunakan sebagai instrument penguasa untuk
kekuasaan.
C. Penutup
1. Kesimpulan
Dari
penjelasan di atas, dapat kita lihat bagaimana kedudukan dan fungsi Qonun
Malaka dalam mengatur tata cara kehidupan bermasyarakatnya.
2. Saran
Semoga
makalah ini memberikan manfaat bagi kita semua, terutama pemakalah sendiri.
Serta dapat dijadikan sebagai bahan rujukan untuk tulisan ilmiah berikutnya.
Makalah
Qonun Malaka
Diajukan
untuk memenuhi tugas perkuliahan pada mata kuliah
Kapita
Selekta Konsentrasi Indonesia
Oleh:
Nilma Yola :
110 173
Dosen
Bidang Study :
Drs. Rusdy Ramli, M. A
Drs.
Muhapril Musri, M. Ag
JURUSAN
SEJARAH KEBUDAYAAN ISLAM (B)
FAKULTAS
ADAB
INSTITUT
AGAMA ISLAM NEGERI (IAIN)
IMAM
BONJOL PADANG
1434 H/
2013 M
DAFTAR PUSTAKA
Helmiati, Sejarah Islam Asia Tenggara, Bandung
: Nusa Media, 2011
Ahmad Kassim, Hikayat Hang Tuah, Kuala Lumpur : Dewan Bahasa Pustaka
1975
Mohamed, Mustafa
Ali, Undang-undang Malaka, Selangor : Pelanduk publication, 1987
Azmah
Abdul Manaf, Sejarah Sosial Masyarakat Malaysia, Kuala Lumpur : Lohprint SDN. BHD, 2001
Zainal
Abidin, Kesultanan Melayu Malaka; Pentadbiran Kuno atau Modern ?, Malaka:
Institusi Kajian Sejarah dan Patriotisme Malaysia (IKSEP), 1997
Bakar Abdul Latif Abu, Melaka dan Arus Gerakan Kebangsaan
Malaysia, Kuala Lumpur : University Malaya, 1996
[1] Abdul
Latif Abu Bakar, Melaka dan Arus Gerakan Kebangsaan Malaysia, (Kuala
Lumpur : Universiti Malaya, 1996), h.10
[2] Helmiati,
Sejarah Islam Asia Tenggara, (Bandung : Nusa Media, 2011), h. 29
[3] Kassim
Ahmad, Hikayat Hang Tuah. (Kuala Lumpur; Dewan Bahasa Pustaka 1975), h.
87
[4] laporan tome pires dalam Armando corteseo, the suma oriental
of tome pires, vol 2 (London, the Hakluyt society, 1944), hlm 261
[5] Mohamed, Mustafa
Ali. Undang-undang Malaka, (Selangor; Pelanduk publication,1987).h. 35
[6] Azmah Abdul Manaf, Sejarah Sosial Masyarakat
Malaysia, (Kuala Lumpur. Lohprint SDN. BHD, 2001), h. 187, Cet. Ke-1.
[7] Bin Abdl
Wahid, Zainal Abidin, Kesultanan Melayu Malaka; Pentadbiran Kuno atau Modern
? (Malaka: Institusi Kajian Sejarah dan Patriotisme Malaysia (IKSEP), 1997).
hal, 73
Tidak ada komentar:
Posting Komentar