David Brown secara menarik melihat gerakan
Muslim di Thailand Selatan sebagai bagian dari reaksi atas ’kolonialisme
internal di Thailand. Disparitas ekonomi antara pusat dan provinsi di pinggiran
menimbulkan tumbuhnya semangat ’separatisme’, atau istilah Brown ’separatisme
etnis’ yang terjadi di Selatan, Utara dan Timur Laut.
Masing-masing melibatkan melayu Muslim di Selatan, etnis perbukitan di Utara, dan orang Isan di Timur Laut. Identitas Muslim Melayu di Selatan, masyarakat komunis di Utara secara jelas berbeda dengan mayoritas Thai-Buddha, sedangkan di Timur Laut hanya berbeda etnis, yaitu kelompok Laos-Thai, meskipun agama sama.
Disparitas ini memang sangat mencolok, pada tahun 1983, jauh sebelum krisis moneter yang bermula di Thailand, Kota Metropolis Bangkok memiliki pendapatan per kapita, 51.441 bath, sementara Minoritas Muslim , Konflik Dan Rekonsiliasi Di Thailand Selatan 97 Selatan, 16.148 bath, tiga kali lipat lebih rendah dibandingkan Bangkok, sementara di bagian Utara, 12.441 bath dan wilayah Timur Laut, 7.146 bath.
Disparitas ini menimbulkan kekecewaan, kecemburuan dan rasatidak adil yang kemudian berakibat pada keinginan masyarakat untuk mengatur mereka sendiri (otonomi, dan merdeka).
Dua puluh empat tahun kemudian, kesenjangan inipun semakin lebar, karena pemerintah menaruh curiga atas tumbuhnya kekuatan masyarakat di wilayah ini, dan pembangunan tidak diprioritaskan.
Disparitas memiliki konsekuensi yang mendalam diluar aspek ekonomi, yaitu lambatnya peningkatan sumberdaya manusia, pendidikan yang tidak merata, dan tekanan kebijakan berbasis keamanan yang mengancam masyarakat.
Masyarakat serasa tidak di ’rumah’ mereka sendiri. Kesenjangan ini pula yang menurunkan tingkat nasionalisme masyarakat diluar mayoritas Thai-Buddha. Perbedaan yang mencolok antara Melayu Muslim di Selatan dan Buddha-Thai di seluruh wilayah Thailand dilihat oleh Ted Robert Gurr tidak pada keragaman etnisitasnya, tetapi lebih pada agamanya. Muslim di Selatan Thailand dan Buddha dianut hampir diseluruh Thailand.
Negara dengan penduduk multi agama dan multietnik mendapat tantangan besar bagaimana menyatukan mereka dalam payung satu nasionalisme. Apalagi beberapa etnik atau agama telah tumbuh dalam satu kekuatan dinamis selama ratusan tahun.
Sebagian gerakan separatisme muncul dari satu etnik atau agama yang mendapat kebijakan ’diskriminatif’ dari pemerintah pusat.
Kebijakan ini diciptakan untuk meredam menguatnya identitas lokal sehingga pemerintah pusat merasa terancam, atau sengaja dibuat untuk tujuan ’integrasi nasional’. Antara 1947 hingga 1953, beberapa negara baru di Asia Tenggara mendapat letupan kelompok yang menuntut ’otonomi khusus’ atau ’pemisahan diri’ dari pemerintah pusat.
Dua negara yang belum berhasil ’menaklukkan’ kelompok ini diantaranya Thailand Selatan dan Filipina.yang kebetulan sama-sama Muslim minoritas ditengah mayoritas Buddha di Thailand dan Kristen di Filipina. Sementara Islam menyebar ke berbagai negara di Asia Tenggara, diantaranya ke Thailand Selatan, atau dikenal dengan sebutan Muslim Patani, atau secara resmi di Thailand, Islam Pattani.
Tulisan ini akan mengupas dinamika Islam di Thailand Selatan dari aspek etnisitas (sosial) dan keamanan. Fokus utama pada perkembangan Muslim Pattani antara 2004 hingga Mei 2007. Periode ini sangat urgen tidak hanya karena banyaknya korban dalam kurun waktu ini, setidaknya 2000 korban meninggal, tetapi juga karena pemerintah Thailand mulai serius membicarakan upaya rekonsiliasi dengan mengacu pada integrasi Gerakan Aceh Merdeka (GAM) ke Indonesia.
Perdamaian Aceh menjadi model upaya perdamaian dan rekonsiliasi di Thailand Selatan.Identitas lokal di Thailand Selatan lebih dekat dengan Kelantan dan Kedah, Malaysia. Masyarakat secara tradisional lebih at home menggunakan bahasa Melayu dibandingkan bahasa Thai yang digalakkan oleh pemerintah pusat sebagai bahasa resmi negara. Keterpaksaan masyarakat Melayu Muslim di Thailand Selatan dirasakan selama puluhan tahun, sejak integrasi Melayu di selatan Thailand menjadi bagian dari Kerajaan Thailand.
Penggunakan bahasa Thai wajib digunakan di kantor kerajaan, pemerintah, sekolah dan media. Radio, TV dan media cetak harus menggunakan bahasa Thai sebagai medium pemberitaan. Media elektronik, khususnya radio lokal hanya Minoritas Muslim , Konflik Dan Rekonsiliasi Di Thailand Selatan 99 diperbolehkan menggunakan bahasa Melayu tidak lebih dari 20 persen keseluruhan programnya.
Strategi pemerintah Thailand memang membuahkan hasil. Dalam waktu sekitar 50 tahun, banyak generasi muda Melayu Muslim lebih suka berbahasa Thai dibandingkan bahasa Melayu, baik di sekolah maupun dalam pergaulan sehari-hari. Tetapi mereka ’dipaksa’ keluarga untuk berbicara dalam bahasa Melayu ketika mereka berkumpul dilingkungan keluarga.
Upaya menjaga ’tradisi nenek moyang’ menjadi bagian dari identitas terkuat bagi keluarga Muslim Melayu di Thailand Selatan yang berbeda dengan kebanyakan masyarakat Thai lainnya. Mereka menyadari bahwa niat memisahkan diri dari pemerintah Kerajaan Thailand hanyalah suatu mimpi lama, yang kini harus ditinggalkan.
Terintegrasi dengan Thailand, bersaing dengan mayoritas masyarakat etnis Thai yang Buddis adalah pilihan saat ini. Strategi yang perlu dibangun adalah memajukan pendidikan, mendukung pembangunan nasional, dan menjaga stabilitas lokal.
Hal yang terakhir masih menjadi kendala bagi penciptaan perdamaian di wilayah selatan. Berbagai teror, pembunuhan dan pengeboman sering terjadi dalam tiga tahun terakhir, dengan jumlah meninggal settidaknya 2000 orang, sejak Januari 2004. Anehnya, belum ditemukan kelompok yang bertanggung jawab dalam kerusuhan ini.
Ketika terjadi penyerangan atau pembunuhan yang melibatkan korban tentara, polisi atau masyarakat Buddha, yang dituduh adalah Muslim. Bahkan Thaksin menyebut istilah mereka ’Bandit Muslim’. Istilah yang menodai perasaan Muslim Melayu di selatan, karena pencitraan telah sengaja diciptakan oleh pemerintah, tanpa melihat lebih obyektif siapa yang terlibat.
Muslim di Thailand sekitar 15 persen, dibandingkan penganut Budha, sekitar 80 persen. Mayoritas Muslim tinggal di Selatan Thailand, sekitar 1,5 juta jiwa, atau 80 persen dari total penduduk, khususnya di Patani, Yala dan Narathiwat, tiga provinsi yang sangat mewarnai dinamika di Thailand Selatan.
Tradisi Muslim di wilayah ini mengakar 100 Minoritas Muslim , Konflik Dan Rekonsiliasi Di Thailand Selatan sejak kerajaan Sri Vijaya yang menguasai wilayah Asia Tenggara, termasuk Thailand Selatan.
Thailand Selatan terdiri dari lima provinsi: Pattani, Yala, Narathiwat, Satun dan Songkhla, dengan total penduduk 6.326.732 (Kantor Statistik Nasional, Thailand, 2002). Mayoritas penduduk Muslim terdapat di empat provinsi: Pattani, Yala, Narathiwat dan Satun, yaitu sekitar 71% diperkotaan, dan 86 % di pedesaan (YCCI, 2006: 34), sedangkan di Songkhla, Muslim sekitar 19 %, minoritas, dan 76.6 % Buddha.
Sementara mayoritas penduduk yang berbahasa Melayu, ratarata 70 persen berada di tiga provinsi: Pattani, Yala dan Narathiwat, sementara penduduk berbahasa China, ada di tiga provinsi: Narathiwat, 0.3 %, Pattani, 1.0 %, dan Yala, 3.0 % (Sensus Penduduk, Thailand, 2000).
Mengenai masuknya Islam ke Thailand, ada yang mengatakan Islam masuk ke Thailand pada abad ke-10 melalui para pedgang dari Arab dan ada yang mengatakan Islam masum ke Thailand melalui Kerajaan Samudra Pasai di Aceh.
Dahulu, ketika Kerajaan Samudera Pasai ditaklukkan oleh Thailand, banyak orang-orang Islam yang ditawan, kemudian di bawa ke Thailand. Para tawanan itu akan dibebaskan apabila telah membayar uang tebusan. Kemudian para tawanan yang telah bebas itu ada yang kembali ke Indonesia dan ada pula yang menetap di Thailand dan menyebarkan agama Islam.
Wilayah Thailand yang dihuni oleh orang-orang Islam adalah wilayah bagian selatan yang berbatasan langsung dengan Malaysia. Muslim di Thailand merupakan golongan minoritas, karena mayoritas penduduknya beragama Budha. Daerah-daerah muslim di Thailand bagian selatan adalah Pattani, Yala, Satun, Narathiwat, dan Songkhla.
Kaum muslimin di Thailand yang terkenal dengan nama Patani memiliki perasaan kuat tentang jati dirinya, karena daerah Patani pada awal abad ke-17 pernah menjadi salah satu pusat penyebaran Islam di Asia Tenggara.
Pemerintah Thailand berusaha memasukkan daerah-daerah paling selatan itu ke negeri Thai. Hal ini dilakukan pada masa Raja Chulalongkom pada tahun 1902. Patani dijuluki tempat kelahiran Islam di Asia Tenggara. Bahkan, seorang Patani, Daud ibn Abdillah ibn Idris al-Fatani diakui sebagai seorang ulama terkemuka mengenai ilmu-ilmu Islam di Asia Tenggara.
Daerah yang sekarang disebut Thailand selatan pada masa dahulu berupa kesultanan-kesultanan yang merdeka dan berdaulat, diantara kesultanan yang terbesar adalah Patani. Pada abad ke empat belas masuklah Islam ke kawasan itu, raja Patani pertama yang memeluk Islam ialah Ismailsyah. Pada 1603 kerajaan Ayuthia di Siam menyerang kerajaan Patani namun serangan itu dapat digagalkan.
Pada 1783 Siam pada masa raja Rama I Phra Culalok menyerang Patani dibantu oleh oknum-oknum orang Patani sendiri, sultan Mahmud pun gugurlah, meriam Sri Patani dan harta kerajaan dirampas Siam dan dibawa ke Bangkok.
Maka Tengku Lamidin diangkat sebagai wakil raja atas perintah Siam tetapi kemudian ia pun berontak lalu dibunuh dan digantikan Dato Bangkalan tetapi ia pun memberotak pula.
Pada masa raja Phra Chulalongkorn tahun 1878.M Siam mulai mensiamisasi Patani sehingga Tengku Din berontak dan kerajaan Patani pun dipecahlah dan unit kerajaan itu disebut Bariwen.
Sebelum peristiwa itu terjadi sesungguhnya pada 1873 M Tengku Abdulqadir Qamaruzzaman telah menolak akan penghapusan kerajaan Patani itu. Kerajaan Patani dipecah dalam daerah-daerah kecil Patani, Marathiwat, Saiburi, Setul dan Jala.
Pada 1909 M Inggris pun mengakui bahwa daerah-daerah itu termasuk kawasan Kerajaan Siam. Dan pada tahun 1939 M, Nama Siam diganti dengan Muang Thai. Bahasa Siam menjadi bahasa kebangsaan di kawasan Selatan, di sekolah-sekolah merupakan bahasa resmi, tulisan Arab Melayu digantikan tulisan Siam yang berasal dari Palawa.
Pada 1923 M, beberapa Madrasah Islam yang dianggap ekstrim ditutup, dalam sekolah-sekolah Islam harus diajarkan pendidikan kebangsaan dan pendidikan etika bangsa yang diambil dari inti sari ajaran Budha.
Pada saat-saat tertentu anak-anak sekolah pun harus menyanyikan lagu-lagu bernafaskan Budha dan kepada guru harus menyembah dengan sembah Budha. Kementrian pendidikan memutar balik sejarah : dikatakannya bahwa orang Islam itulah yang jahat ingin menentang pemerintahan shah di Siam dan menjatuhkan raja.
Orang-orang Islam tidak diperbolehkan mempunyai partai politik yang berasas Islam bahkan segala organisasi pun harus berasaskan: Kebangsaan. Pemerintah pun membentuk semacam pangkat mufti yang dinamakan Culamantri, biasanya yang diangkat itu seorang alim yang dapat menjilat dan dapat memutar balik ayat sehingga ia memfatwakan haram melawan kekuasaan Budha.
Pada saat-saat tertentu dipamerkan pula segala persenjataan berat, alat-alat militer. Lalu mereka mengundang ulama Islam untuk melihat-lihat, dengan harapan akan tumbuh rasa takut untuk berontak. Akan tetapi orang-orang yang teguh dalam keislamannya itu tetap berjuang, menegakkan sebuah negeri yang berdaulat berasas Islam Republik Islam Patani.
Segala upacara yang sekuler dikerjakan dan Islam hanya terbatas pada adat, partai-partai pun tidak mau berdasarkan Islam dan tetap sekuler walaupun adat agama adakalanya dibawa juga seperti salam dan bismillah seperti tercantum dalam konstitusinya itu.
Transformasi dari loyalitas primordial ke loyalitas kepada negara dalam rangka menciptakan intergrasi nasional biasanya merupakan agenda utama di negara-negara yang proses perwujudan gagasan negara-negaranya belum selesai.
Agenda ini menjadi sangat pelik apabila negara bersangkutan dengan pluralitas etnis, budaya dan agama. Berdasarkan kategori primordial itu, negara tersebut memiliki kelompok mayoritas dan minoritas, dimana kelompok minoritas hendak dipaksa untuk diintegrasikan kedalam kelompok mayoritas.
Daftar Bacaan :
Badrus Sholeh, ‘Minoritas Muslim, Konflik Dan Rekonsiliasi di Thailand Selatan’, FISIP universitas BUDI LUHUR.
Masing-masing melibatkan melayu Muslim di Selatan, etnis perbukitan di Utara, dan orang Isan di Timur Laut. Identitas Muslim Melayu di Selatan, masyarakat komunis di Utara secara jelas berbeda dengan mayoritas Thai-Buddha, sedangkan di Timur Laut hanya berbeda etnis, yaitu kelompok Laos-Thai, meskipun agama sama.
Disparitas ini memang sangat mencolok, pada tahun 1983, jauh sebelum krisis moneter yang bermula di Thailand, Kota Metropolis Bangkok memiliki pendapatan per kapita, 51.441 bath, sementara Minoritas Muslim , Konflik Dan Rekonsiliasi Di Thailand Selatan 97 Selatan, 16.148 bath, tiga kali lipat lebih rendah dibandingkan Bangkok, sementara di bagian Utara, 12.441 bath dan wilayah Timur Laut, 7.146 bath.
Disparitas ini menimbulkan kekecewaan, kecemburuan dan rasatidak adil yang kemudian berakibat pada keinginan masyarakat untuk mengatur mereka sendiri (otonomi, dan merdeka).
Dua puluh empat tahun kemudian, kesenjangan inipun semakin lebar, karena pemerintah menaruh curiga atas tumbuhnya kekuatan masyarakat di wilayah ini, dan pembangunan tidak diprioritaskan.
Disparitas memiliki konsekuensi yang mendalam diluar aspek ekonomi, yaitu lambatnya peningkatan sumberdaya manusia, pendidikan yang tidak merata, dan tekanan kebijakan berbasis keamanan yang mengancam masyarakat.
Masyarakat serasa tidak di ’rumah’ mereka sendiri. Kesenjangan ini pula yang menurunkan tingkat nasionalisme masyarakat diluar mayoritas Thai-Buddha. Perbedaan yang mencolok antara Melayu Muslim di Selatan dan Buddha-Thai di seluruh wilayah Thailand dilihat oleh Ted Robert Gurr tidak pada keragaman etnisitasnya, tetapi lebih pada agamanya. Muslim di Selatan Thailand dan Buddha dianut hampir diseluruh Thailand.
Negara dengan penduduk multi agama dan multietnik mendapat tantangan besar bagaimana menyatukan mereka dalam payung satu nasionalisme. Apalagi beberapa etnik atau agama telah tumbuh dalam satu kekuatan dinamis selama ratusan tahun.
Sebagian gerakan separatisme muncul dari satu etnik atau agama yang mendapat kebijakan ’diskriminatif’ dari pemerintah pusat.
Kebijakan ini diciptakan untuk meredam menguatnya identitas lokal sehingga pemerintah pusat merasa terancam, atau sengaja dibuat untuk tujuan ’integrasi nasional’. Antara 1947 hingga 1953, beberapa negara baru di Asia Tenggara mendapat letupan kelompok yang menuntut ’otonomi khusus’ atau ’pemisahan diri’ dari pemerintah pusat.
Dua negara yang belum berhasil ’menaklukkan’ kelompok ini diantaranya Thailand Selatan dan Filipina.yang kebetulan sama-sama Muslim minoritas ditengah mayoritas Buddha di Thailand dan Kristen di Filipina. Sementara Islam menyebar ke berbagai negara di Asia Tenggara, diantaranya ke Thailand Selatan, atau dikenal dengan sebutan Muslim Patani, atau secara resmi di Thailand, Islam Pattani.
Tulisan ini akan mengupas dinamika Islam di Thailand Selatan dari aspek etnisitas (sosial) dan keamanan. Fokus utama pada perkembangan Muslim Pattani antara 2004 hingga Mei 2007. Periode ini sangat urgen tidak hanya karena banyaknya korban dalam kurun waktu ini, setidaknya 2000 korban meninggal, tetapi juga karena pemerintah Thailand mulai serius membicarakan upaya rekonsiliasi dengan mengacu pada integrasi Gerakan Aceh Merdeka (GAM) ke Indonesia.
Perdamaian Aceh menjadi model upaya perdamaian dan rekonsiliasi di Thailand Selatan.Identitas lokal di Thailand Selatan lebih dekat dengan Kelantan dan Kedah, Malaysia. Masyarakat secara tradisional lebih at home menggunakan bahasa Melayu dibandingkan bahasa Thai yang digalakkan oleh pemerintah pusat sebagai bahasa resmi negara. Keterpaksaan masyarakat Melayu Muslim di Thailand Selatan dirasakan selama puluhan tahun, sejak integrasi Melayu di selatan Thailand menjadi bagian dari Kerajaan Thailand.
Penggunakan bahasa Thai wajib digunakan di kantor kerajaan, pemerintah, sekolah dan media. Radio, TV dan media cetak harus menggunakan bahasa Thai sebagai medium pemberitaan. Media elektronik, khususnya radio lokal hanya Minoritas Muslim , Konflik Dan Rekonsiliasi Di Thailand Selatan 99 diperbolehkan menggunakan bahasa Melayu tidak lebih dari 20 persen keseluruhan programnya.
Strategi pemerintah Thailand memang membuahkan hasil. Dalam waktu sekitar 50 tahun, banyak generasi muda Melayu Muslim lebih suka berbahasa Thai dibandingkan bahasa Melayu, baik di sekolah maupun dalam pergaulan sehari-hari. Tetapi mereka ’dipaksa’ keluarga untuk berbicara dalam bahasa Melayu ketika mereka berkumpul dilingkungan keluarga.
Upaya menjaga ’tradisi nenek moyang’ menjadi bagian dari identitas terkuat bagi keluarga Muslim Melayu di Thailand Selatan yang berbeda dengan kebanyakan masyarakat Thai lainnya. Mereka menyadari bahwa niat memisahkan diri dari pemerintah Kerajaan Thailand hanyalah suatu mimpi lama, yang kini harus ditinggalkan.
Terintegrasi dengan Thailand, bersaing dengan mayoritas masyarakat etnis Thai yang Buddis adalah pilihan saat ini. Strategi yang perlu dibangun adalah memajukan pendidikan, mendukung pembangunan nasional, dan menjaga stabilitas lokal.
Hal yang terakhir masih menjadi kendala bagi penciptaan perdamaian di wilayah selatan. Berbagai teror, pembunuhan dan pengeboman sering terjadi dalam tiga tahun terakhir, dengan jumlah meninggal settidaknya 2000 orang, sejak Januari 2004. Anehnya, belum ditemukan kelompok yang bertanggung jawab dalam kerusuhan ini.
Ketika terjadi penyerangan atau pembunuhan yang melibatkan korban tentara, polisi atau masyarakat Buddha, yang dituduh adalah Muslim. Bahkan Thaksin menyebut istilah mereka ’Bandit Muslim’. Istilah yang menodai perasaan Muslim Melayu di selatan, karena pencitraan telah sengaja diciptakan oleh pemerintah, tanpa melihat lebih obyektif siapa yang terlibat.
Muslim di Thailand sekitar 15 persen, dibandingkan penganut Budha, sekitar 80 persen. Mayoritas Muslim tinggal di Selatan Thailand, sekitar 1,5 juta jiwa, atau 80 persen dari total penduduk, khususnya di Patani, Yala dan Narathiwat, tiga provinsi yang sangat mewarnai dinamika di Thailand Selatan.
Tradisi Muslim di wilayah ini mengakar 100 Minoritas Muslim , Konflik Dan Rekonsiliasi Di Thailand Selatan sejak kerajaan Sri Vijaya yang menguasai wilayah Asia Tenggara, termasuk Thailand Selatan.
Thailand Selatan terdiri dari lima provinsi: Pattani, Yala, Narathiwat, Satun dan Songkhla, dengan total penduduk 6.326.732 (Kantor Statistik Nasional, Thailand, 2002). Mayoritas penduduk Muslim terdapat di empat provinsi: Pattani, Yala, Narathiwat dan Satun, yaitu sekitar 71% diperkotaan, dan 86 % di pedesaan (YCCI, 2006: 34), sedangkan di Songkhla, Muslim sekitar 19 %, minoritas, dan 76.6 % Buddha.
Sementara mayoritas penduduk yang berbahasa Melayu, ratarata 70 persen berada di tiga provinsi: Pattani, Yala dan Narathiwat, sementara penduduk berbahasa China, ada di tiga provinsi: Narathiwat, 0.3 %, Pattani, 1.0 %, dan Yala, 3.0 % (Sensus Penduduk, Thailand, 2000).
Mengenai masuknya Islam ke Thailand, ada yang mengatakan Islam masuk ke Thailand pada abad ke-10 melalui para pedgang dari Arab dan ada yang mengatakan Islam masum ke Thailand melalui Kerajaan Samudra Pasai di Aceh.
Dahulu, ketika Kerajaan Samudera Pasai ditaklukkan oleh Thailand, banyak orang-orang Islam yang ditawan, kemudian di bawa ke Thailand. Para tawanan itu akan dibebaskan apabila telah membayar uang tebusan. Kemudian para tawanan yang telah bebas itu ada yang kembali ke Indonesia dan ada pula yang menetap di Thailand dan menyebarkan agama Islam.
Wilayah Thailand yang dihuni oleh orang-orang Islam adalah wilayah bagian selatan yang berbatasan langsung dengan Malaysia. Muslim di Thailand merupakan golongan minoritas, karena mayoritas penduduknya beragama Budha. Daerah-daerah muslim di Thailand bagian selatan adalah Pattani, Yala, Satun, Narathiwat, dan Songkhla.
Kaum muslimin di Thailand yang terkenal dengan nama Patani memiliki perasaan kuat tentang jati dirinya, karena daerah Patani pada awal abad ke-17 pernah menjadi salah satu pusat penyebaran Islam di Asia Tenggara.
Pemerintah Thailand berusaha memasukkan daerah-daerah paling selatan itu ke negeri Thai. Hal ini dilakukan pada masa Raja Chulalongkom pada tahun 1902. Patani dijuluki tempat kelahiran Islam di Asia Tenggara. Bahkan, seorang Patani, Daud ibn Abdillah ibn Idris al-Fatani diakui sebagai seorang ulama terkemuka mengenai ilmu-ilmu Islam di Asia Tenggara.
Daerah yang sekarang disebut Thailand selatan pada masa dahulu berupa kesultanan-kesultanan yang merdeka dan berdaulat, diantara kesultanan yang terbesar adalah Patani. Pada abad ke empat belas masuklah Islam ke kawasan itu, raja Patani pertama yang memeluk Islam ialah Ismailsyah. Pada 1603 kerajaan Ayuthia di Siam menyerang kerajaan Patani namun serangan itu dapat digagalkan.
Pada 1783 Siam pada masa raja Rama I Phra Culalok menyerang Patani dibantu oleh oknum-oknum orang Patani sendiri, sultan Mahmud pun gugurlah, meriam Sri Patani dan harta kerajaan dirampas Siam dan dibawa ke Bangkok.
Maka Tengku Lamidin diangkat sebagai wakil raja atas perintah Siam tetapi kemudian ia pun berontak lalu dibunuh dan digantikan Dato Bangkalan tetapi ia pun memberotak pula.
Pada masa raja Phra Chulalongkorn tahun 1878.M Siam mulai mensiamisasi Patani sehingga Tengku Din berontak dan kerajaan Patani pun dipecahlah dan unit kerajaan itu disebut Bariwen.
Sebelum peristiwa itu terjadi sesungguhnya pada 1873 M Tengku Abdulqadir Qamaruzzaman telah menolak akan penghapusan kerajaan Patani itu. Kerajaan Patani dipecah dalam daerah-daerah kecil Patani, Marathiwat, Saiburi, Setul dan Jala.
Pada 1909 M Inggris pun mengakui bahwa daerah-daerah itu termasuk kawasan Kerajaan Siam. Dan pada tahun 1939 M, Nama Siam diganti dengan Muang Thai. Bahasa Siam menjadi bahasa kebangsaan di kawasan Selatan, di sekolah-sekolah merupakan bahasa resmi, tulisan Arab Melayu digantikan tulisan Siam yang berasal dari Palawa.
Pada 1923 M, beberapa Madrasah Islam yang dianggap ekstrim ditutup, dalam sekolah-sekolah Islam harus diajarkan pendidikan kebangsaan dan pendidikan etika bangsa yang diambil dari inti sari ajaran Budha.
Pada saat-saat tertentu anak-anak sekolah pun harus menyanyikan lagu-lagu bernafaskan Budha dan kepada guru harus menyembah dengan sembah Budha. Kementrian pendidikan memutar balik sejarah : dikatakannya bahwa orang Islam itulah yang jahat ingin menentang pemerintahan shah di Siam dan menjatuhkan raja.
Orang-orang Islam tidak diperbolehkan mempunyai partai politik yang berasas Islam bahkan segala organisasi pun harus berasaskan: Kebangsaan. Pemerintah pun membentuk semacam pangkat mufti yang dinamakan Culamantri, biasanya yang diangkat itu seorang alim yang dapat menjilat dan dapat memutar balik ayat sehingga ia memfatwakan haram melawan kekuasaan Budha.
Pada saat-saat tertentu dipamerkan pula segala persenjataan berat, alat-alat militer. Lalu mereka mengundang ulama Islam untuk melihat-lihat, dengan harapan akan tumbuh rasa takut untuk berontak. Akan tetapi orang-orang yang teguh dalam keislamannya itu tetap berjuang, menegakkan sebuah negeri yang berdaulat berasas Islam Republik Islam Patani.
Segala upacara yang sekuler dikerjakan dan Islam hanya terbatas pada adat, partai-partai pun tidak mau berdasarkan Islam dan tetap sekuler walaupun adat agama adakalanya dibawa juga seperti salam dan bismillah seperti tercantum dalam konstitusinya itu.
Transformasi dari loyalitas primordial ke loyalitas kepada negara dalam rangka menciptakan intergrasi nasional biasanya merupakan agenda utama di negara-negara yang proses perwujudan gagasan negara-negaranya belum selesai.
Agenda ini menjadi sangat pelik apabila negara bersangkutan dengan pluralitas etnis, budaya dan agama. Berdasarkan kategori primordial itu, negara tersebut memiliki kelompok mayoritas dan minoritas, dimana kelompok minoritas hendak dipaksa untuk diintegrasikan kedalam kelompok mayoritas.
Daftar Bacaan :
Badrus Sholeh, ‘Minoritas Muslim, Konflik Dan Rekonsiliasi di Thailand Selatan’, FISIP universitas BUDI LUHUR.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar