Hai Dear, wellcome to my Blog

Kamis, 03 Oktober 2013

Qonun Malaka


A.    Latar Belakang
Salah satu puncak kejayaan kejayaan Islam di Nusantara ditandai dengan berdirinya beberapa kerajaan Islam besar yang mempunyai pengaruh besar. Salah satu contoh kerajaan itu ialah kerajaan Malaka, yang terletak di daerah semenanjung Malaka. Hingga hari ini, telah banyak diperbincangkan tentang sejarah kerajaan ini : termasuk dalam bidang politik dan budaya berpolitik Melayu ketika itu, terangkumlah juga bidang-bidang sejarah lain. Ini termasuk juga undang-undang, ekonomi, dan kegiatan pelaut.[1]
Salah satu peninggalan yang terkenal yaitu Undang-undang Malaka, hal yang luar biasa dihasilkan oleh masyarakat kala itu dengan segala keterbatasan yang ada. Untuk pembahasan lebih lanjut, akan di bahas pada pembahasan berikut, pembahasan itu antara lain mencangkup :
a.      Bagaimana asal muasal kerajaan Malaka ?
b.      Apa itu Undang-undang Malaka dan fungsinya ?
B.     Pembahasan
a.      Sekilas mengenai Kerajaan Malaka
Kerajaan Malaka merupakan kerajaan Islam kedua di asia Tenggara. Kerajaan ini berdiri pada awal abad ke 15.[2] Kerajaan malaka ini di dirikan  oleh Parameswara, seorang raja keturunan Sriwijaya yang melarikan diri setelah kerajaan Sriwijaya runtuh. Pada awalnya Melaka bukanlah sebuah kerajaan islam, Melaka berubah menjadi kerajaan islam pada tahun 1409, disaat Parameswara menikah dengan puteri dari pasai dan ia masuk islam. Ia mewarisi kepandaian politik dan karisma yang besar sehingga di waktu pelariannya itu, ia masih mendapat penghormatan dan dukungan dari tempat-tempat yang ia lalui. Setelah diusir dari Palembang Parameswara pergi ke Tumasik (Singapura) dan berhasil membunuh rajanya. Ia menjadi raja di sana untuk beberapa tahun sebelum  mendirikan Malaka. Tome Pires mengatakan ini menjadi pengalaman dan intrik politik secara alami untuk akhirnya bisa menjadi seorang penggagas sebuah kerajaan.[3]
b.      Undang-undang Malaka
Dilihat dari ilmu antropologi undang-undang dapat dilihat dari dua pendekatan yakni; pertama, menurut Levi-Strauss , undang-undang dilihat  sebagai suatu system yang berfungsi. Fungsi ini bergerak (operate) diberbagai-bagai peringkat dikalangan kelompok –kelompok masyarakat dan dengan berbagai cara pula. Tujuan udang-undang yang paling asas atau mendasar adalah untuk menentukan peraturan. Karena untuk menjaga dan mengawal keamanan dan keselarasan social serta keharmonisan  masyarakat. Kedua, menurut David S. Moyer undang-undang dilihat sebagai suatu system yang berkonsep, terdiri dari berbagai kategori system yang tersusun secara formal (formally organized system of categories).
Sebagaimana yang pernah diajukan oleh Mac Gluckman bahwa undang-undang dalam rangka pengajian antropologi adalah merupakan suatu penegasan. Undang-undang atau system perundangan adalah suatu cara untuk menyelesaikan berbagai bentuk konflik dan kekecohan dalam masyarakat (antara sesama individu, di kalangan sesama kelompok atau antara individu dengan kelompok dengan system keadilan yang telah pun ditentukan dalam masyarakat tersebut).
Penduduk Melaka bercorak cosmopolitan (bermacam budaya), bahasa yang dipakai oleh penduduk ini berjumlah 84 macam.[4] penduduknya diperkirakan 190. 000 orang menjelang kedatangan portugis, dengan diperkirakan jumlah hulu balang sekitar 100.000 orang. Oleh karena itu, sangat mustahil Melaka tidak mempunyai sebuah undang-undang atau sesuatu yang dapat mengawal tindak tanduk anggota masyarakatnya yang ada di Bandar atau kota Malaka itu sendiri, ataupun diluar malaka. Undang-undang bertujuan untuk melahirkan sebuah masyarakat yang bersistem, Tome Pires, pelapor portugis sezaman yang lebih berminat pada keadaan ekonomi dan perdagangan Melaka, pernah juga menyebut tentang wujudnya dari Hukum Malaka, yaitu unit kalimat yang rujukannya kepada organisasi system dan urusan perdagangan.
Terdapat teks undang-undang tradisional di Melaka yaitu hukum Kanun Malaka. Ia dikenali juga sebagai undang-undang darat Melaka dan Risalat Hukum Kanun. Konstitusi di kerajaan Malaka dapat dibedakan menjadi dua kategori. Pertama, adalah konstitusi yang sejak awal menjadi tradisi dari kerajaan Palembang yang diterapkan oleh raja Malaka dengan para pembesar-pembesar yang sejak awal mengikutinya dan turut membangun Malaka. Kedua, Munculnya konstitusi baru (Undang-undang Malaka) yang disebabkan oleh kompleksnya keadaan sosial masyarakat Malaka, hal ini wajar dan memang umum terjadi di kerajaan manapun.
Undang-undang Malaka disusun dan ditulis melalui tradisi lisan dan ingatan yang dimiliki oleh para menteri Malaka. Pada tahap tertentu, peraturan- peraturan yang sudah dituliskan dan didokumentasikan tidaklah berarti bahwa sasaran dan tujuan Undang-undang Malaka itu ‘wajib’ digunakan untuk semua permasalahan hukum. Ia hanya merupakan salah satu bukti eksplisit tentang hakikat adanya undang - undang dalam sebuah kerajaan Melayu lama. Ia hanya digunakan seperlunya, atau hanya menjadi kitab rujukan para hakim ketika hendak mengambil keputusan (untuk hukum-hukum Islam, untuk Bendahara, Laksamana dan Syahbandar; dan Penghulu Bendahari untuk undang-undang rakyat).
Undang-undang Malaka terdiri dari 4 unsur (komponen) yaitu :
1.      Hukum Adat yang meliputi kebiasaan, moral, etika, peraturan-peraturan resmi   (tidak tertulis)
2.      Naskah dan dokumentasi Undang-undang tertulis.
3.      Undang-undang Islam.
4.      Titah Raja, patik, murka, karunia dan nugraha.
Undang-Undang Malaka yang sebenarnya tidak mengacu pada Undang-Undang secara universal seperti halnya yang dibuat oleh negara-negara selain Malaka. Namun undang-undang Malaka mengacu pada  masa kesultanan Malaka, yang tidak lain adalah hukum adat itu sendiri. Bukan itu saja, undang-undang di sini juga mengikutsertakan hukum syari’at Islam.
 Sedangkan peran yang terbesar dalam manifestasi undang-undang adalah titah raja itu sendiri. Raja sebagai simbol kekuasaan tertinggi sekaligus sebagai sumber hukum yang mutlak, apapun yang diucapkannya merupakan undang- undang. Raja mempunyai hak mutlak. Adapun ucapan-ucapan raja terbagi menjadi lima, yaitu :
1.      Titah.
2.      Patik.
3.      Murka.
4.      Karunia.
5.      Nugraha.
Sebagaimana yang dituliskan oleh Liaw YockFang dalam bukunya “Undang-Undang Malaka” (1976), yang berbunyi:
“ Pasal yang kedua menyatakan hukum bahasa segala raja-raja itu perkara yang tiada dapat kita menurut kata ini melainkan dengan titah tuan kita juga maka dapat. Pertama titah, kedua patik dan ketiga murka, keempat karunia, kelima nugraha. Maka segala kata ini tiada dapat dikatakan oleh kita sekalian. Adapun berpatik dan bertitah dan murka itu dan karunia itu tiada dapat kita mengatakan pada seorang pun melainkan bahasa  itu  tertentulah  kepada  raja-raja  juga...“. 
Raja dianggap sebagai “wakil” Tuhan di dunia yakni dzulillah fil’ard atau dzulillah fil’a’lam. Otoritas inilah yang secara emplisit menegaskan kuasa raja atas segala-galanya. Hal ini sebenarnya merupakan suatu sistem politik untuk mengekalkan status quo kerajaan. Di samping itu, hukum yang terangkum dalam Undang-undang Melaka ini dijelaskan mengikuti dan menurut hukum adat istiadat sejak zaman Sultan Iskandar Zulkarnain. Sebagaimana yang tertera berikut ini :
“...Adapun ketahuilah olehmu sekalian akan adat ini turun temurun  daripada zaman Sultan Iskandar Dzulkarnain yang memerintahkan segala manusia... “ .[5]
Pengenalan  status quo  ini telihat dalam proses dan tujuannya.  Hukum Kanun Malaka atau Undang-undang Malaka dibuat di istana Malaka. Pihak-pihak yang terlibat secara langsung untuk menyusun undang-undang tersebut ialah raja sendiri dan para pembesarnya. Rakyat jelata yang berada di luar istana mungkin tidak tahu tentang undang-undang tersebut. Begitu juga dengan raja-raja ‘lokal’ yang berada dalam wilayah taklukan Malaka mungkin tidak terlibat di dalamnya. Akan tetapi penggunaan undang-undang yang luas dan menyeluruh bagi semua wilayah kekuasaan kerajaan Malaka adalah suatu kewajiban.
c.       Fungsi Undang-Undang Malaka
Selain sebagai maksud politis di atas, Undang-undang Malaka juga mempunyai fungsi untuk penegakan hukum dalam kehidupan Malaka saat itu. Adalah wajar Malaka mempunyai undang-undang secara tertulis di tengah masyarakatnya yang terus berkembang. Tujuan ditulisnya Undang-undang Malaka, selain sebagai hukum tertulis yang diperuntukkan untuk semua ‘anak negeri’, yang mengatur hukum pidana dan perdata, juga diperuntukkan untuk pengekalan adat. Adat Melayu ini dikenal dengan Adat Temenggung, agar tidak terjadi kesalahan dalam melaksanakan adat-istiadat tersebut.
Adat Temenggung diyakini sebagai adat pertama yang perkenalkan di dunia Melayu, ia berasal dari Minangkabau, Sumatera Barat. Adat ini mempunyai pengaruh agama Hindu-Budha dan ketika Islam datang adat Temenggung juga ikut kena pengaruhnya.
Jika dibandingkan dengan adat Melayu yang lain, adat Temenggung adalah adat yang paling lengkap. Ia meliputi keseluruhan aspek dalam kehidupan manusia. Terdapat dua hal terpenting dalam adat ini, yaitu : pertama, sistem  kekeluargaan  dan  sistem  politik.  Dalam  adat  perkawinan,  adat Temenggung mengamalkan sistem perkawinan endogami yaitu perkawinan hanya boleh dilakukan oleh pasangan yang tidak melanggar hukum dan hanya boleh sama satu agama, yakni Islam. Dalam perkawinan ini banyak mengambil dari hukum Islam bermahzab  Syafi’i.  Dalam sistem waris,  Adat  Temenggung mengamalkan sistem dengan hukum Islam walaupun terdapat sedikit perbedaan pada  masalah  pembagiannya.  Kedua,  untuk  soal  politik, adat  Temenggung meletakkan sistem autokrasi. Raja atau Sultan yang memerintah diberi kuasa penuh untuk menjalankan kekuasaan secara penuh dan mutlak. Konsep daulat dan durhaka menjadi bagian dari sistem ini. Dalam konsep ini rakyat tidak boleh mempersoalkan setiap keputusan raja atau sultan dalam hal apapun.
Berbeda dengan adat Temenggung, ada adat Perpatih yang juga berasal dari Minangkabau. Perbedaannya  dalam  beberapa  hal  adalah  adat  Perpatih  dalam  konsep kekeluargaan lebih mengutamakan nashab atau keturunan dari sebelah ibu.[6]
Kekuatiran akan terjadinya kesilapan dan kekeliruan dalam pelaksanaan adat-istiadat kerajaan mungkin tidak merisaukan raja-raja Malaka, karena di sekeliling raja ada para menteri yang sudah sangat mengerti akan hal itu. Akan tetapi hukum adat raja diraja dirasa perlu untuk dimengerti semua rakyat agar tidak disalahgunakan. Hukum adat ini pada dasarnya untuk memperlihatkan wibawa raja-raja yang secara tegas harus dipisahkan dan diberi hak istimewa dari rakyat biasa, karena raja adalah simbol yang harus ditaati.
d.       Manuskrip Undang-undang Malaka
Undang-undang Malaka terbagi dua bagian.  PertamaUndang-undang darat, yang sering disebut dengan Undang-undang Melaka, ia ditulis sebanyak 46 salinan dengan berbagai judul seperti Undang-undang Malaka, Undang-undang Negeri dan Pelayaran, Surat Undang-undang, Kitab Undang-undang, Undang- undang Melayu, Undang-undang Raja Malaka, Undang-undang Sultan Mahmud Syah, Kitab Hukum Kanun dan Surat Hukum Kanun. Kedua, Undang-undang laut, atau juga dikenal sebagai Adat Pelayaran Melaka, Kitab Peraturan Pelayaran, dan Hukum Undang-undang Laut.
e.       Undang-Undang Malaka sebagai Alat Propaganda
Di tengah masyarakat yang majemuk dan menjadi bandar metropolitan, karena disingagahi oleh banyak saudagar asing, baik yang hanya ingin berdagang atau mengadu nasib di rantau ini, Malaka telah menjadi pelabuhan yang sangat ramai. Pembauran budaya pun menjadi hal yang lumrah, baik lewat interaksi sosial sesama  anggota  masyarakat  ataupun  lewat  hubungan  perkawinan.  Sultan Muhammad Syah misalnya mempunyai dua orang istri dari suku yang berbeda. Istri pertama beliau adalah Tun Wati, campuran Melayu-Tamil dan yang kedua berasal dari keturunan Melayu-Rokan, Sumatra. Bentuk kerajaan dengan sistem warisan (seperti di Malaka), menurut Machiavelli akan menghadapi kesulitan-kesulitan yang relatif lebih kecil. Hal ini disebabkan oleh kepercayaan dan mitos yang terdapat pada masyarakat yang menghasilkan  “kekuasaan  ideologis”  masih  mudah  didapati  dan  terus dimanfaatkan dan dilestarikan oleh penguasa. Keyakinan tentang legitimasi Tuhan, keturunan tokoh-tokoh yang hebat dan istimewa serta kewibawaan yang diturunkan  langsung  lewat  garis  keturunan  melahirkan  bentuk  kekuasaan ideologis, yakni kekuasaan yang diperoleh dari gagasan (ide) yang datang dari kekuasaan kharismatik yang memiliki daya persuasi yang kuat. atau arketipe.[7]
Rezim penguasa berkepentingan untuk terus menyakinkan rakyat bahwa rajanya adalah mempunyai kekuatan mukjizat. Dengan pola budaya protokoler yang  ribet penguasa mendapatkan nilai kesucian, kewibawaan dan kemuliaan lewat jubah kebesarannya, ritual-ritual, upacara dan sebagainya. Upacara-upacara dan protokoler merupakan kegiatan-kegiatan sosial yang sengaja dibuat untuk menciptakan jarak sosial dan dengan demikian akan menjaga kekuasaan kelas elit dengan rakyat biasa. Untuk kepentingan ini, Undang-undang Malaka memberikan hak-hak istimewa kepada para penguasa.
Ada beberapa pasal-pasal dipengaruhi oleh hukum adat dan pengaruh Hindu-Budha. Warna kuning misalnya, mempunyai nilai yang tinggi, karena ia adalah  warna  emas,  dimana  dalam  keyakinan  agama  Hindu-Budha  emas mempunyai nilai sakral. Hak-hak istimewa yang diberikan kepada raja merupakan salah satu instrument penguasa, hal tersebut di atas jelas merupakan dasar hukum yang kuat karena Undang-undang Malaka dibuat oleh elit penguasa. Sehingga secara dalam menjaga suatu susunan pemerintahan. Undang-undang merupakan alat dalam mepropaganda satu kekuatan sistem kerajaan yang secara hukum kanun tetap berlangsung hingga akhir zaman. Dari propaganda tersebut dapat melahirkan satu kekuasaan ideologi sebagai hasil kemajuan secara intelektual. Namun ‘kekuasaan ideologi’ ini telah melahirkan konflik baru, bukan pada tataran penguasa versus rakyat tapi pada elit penguasa yang selama ini berlindung dan mengambil keuntungan dari pengaruh ideologi tersebut. Konflik elit ini justru menciptakan pola idialistis dimana kesetiaan rakyat-sebagai ‘korban ideologi’ justru dicari justifikasinya untuk mencari pembenaran lewat menghitam-putihkan” keyakinan ke dalam Undang-undang oleh segelintir elit penguasa yang berseteru menjadi hukum Kanun Malaka.
Undang-undang Malaka atau Hukum Kanun Malaka dianggap sebagai salah satu kemajuan peradaban intelektual terpenting, diawali oleh misi- misi politik tertentu yang boleh juga disebut sebagai mediator elit penguasa dengan dasar pembodohan mengatasnamakan keyakinan hakiki. Dengan demikian Undang-undang Malaka digunakan sebagai instrument penguasa untuk kekuasaan.
C.    Penutup
1.      Kesimpulan
Dari penjelasan di atas, dapat kita lihat bagaimana kedudukan dan fungsi Qonun Malaka dalam mengatur tata cara kehidupan bermasyarakatnya.
2.      Saran
Semoga makalah ini memberikan manfaat bagi kita semua, terutama pemakalah sendiri. Serta dapat dijadikan sebagai bahan rujukan untuk tulisan ilmiah berikutnya.


Makalah
Qonun Malaka


Diajukan untuk memenuhi tugas perkuliahan pada mata kuliah
Kapita Selekta Konsentrasi Indonesia







Oleh:

Nilma Yola                    : 110 173



Dosen Bidang Study :
Drs. Rusdy Ramli, M. A
Drs. Muhapril Musri, M. Ag




JURUSAN SEJARAH KEBUDAYAAN ISLAM (B)
FAKULTAS ADAB
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI (IAIN)
IMAM BONJOL PADANG
1434 H/ 2013 M




DAFTAR PUSTAKA


 Helmiati, Sejarah Islam Asia Tenggara, Bandung : Nusa Media, 2011
  Ahmad Kassim, Hikayat Hang Tuah, Kuala Lumpur : Dewan Bahasa Pustaka 1975
 Mohamed,  Mustafa  Ali, Undang-undang Malaka, Selangor : Pelanduk  publication, 1987
 Azmah Abdul Manaf, Sejarah Sosial Masyarakat Malaysia, Kuala Lumpur :  Lohprint SDN. BHD, 2001
 Zainal Abidin, Kesultanan Melayu Malaka; Pentadbiran Kuno atau Modern ?, Malaka: Institusi Kajian Sejarah dan Patriotisme Malaysia (IKSEP), 1997
Bakar Abdul Latif Abu, Melaka dan Arus Gerakan Kebangsaan Malaysia, Kuala Lumpur : University Malaya, 1996


[1] Abdul Latif Abu Bakar, Melaka dan Arus Gerakan Kebangsaan Malaysia, (Kuala Lumpur : Universiti Malaya, 1996), h.10
[2] Helmiati, Sejarah Islam Asia Tenggara, (Bandung : Nusa Media, 2011), h. 29
[3] Kassim Ahmad, Hikayat Hang Tuah. (Kuala Lumpur; Dewan Bahasa Pustaka 1975), h. 87
[4] laporan tome pires dalam Armando corteseo, the suma oriental of tome pires, vol 2 (London, the Hakluyt society, 1944), hlm 261
[5] Mohamed,  Mustafa  Ali. Undang-undang Malaka,  (Selangor; Pelanduk  publication,1987).h. 35
[6] Azmah Abdul Manaf, Sejarah Sosial Masyarakat Malaysia, (Kuala Lumpur. Lohprint SDN. BHD, 2001), h. 187, Cet. Ke-1.
[7] Bin Abdl Wahid, Zainal Abidin, Kesultanan Melayu Malaka; Pentadbiran Kuno atau Modern ? (Malaka: Institusi Kajian Sejarah dan Patriotisme Malaysia (IKSEP), 1997). hal, 73

Tidak ada komentar:

Posting Komentar