1. Sejarah bahan naskah Daluwang
Sebelumnya, mari kita lihat dulu pemaknaan
dari kertas daluwang itu sendiri. Menurut siti Zahra dalam bukunya FILOLOGI,
dia memaknai bahwa :
“Kertas Daluwang adalah sejenis kertas yang
dibuat secara tradisional dari kulit kayu”.
Berawal dari ditemukannya jenis kertas
papyrus di Mesir kuno, kemudian disusul oleh China serta Negara-negara lainnya
di dunia, menginspirasi pembuatan kertas di Nusantara beberapa abad kemudian.
Di kepulauan Nusantara
hingga kawasan kepulauan di Samudera Pasifik, sejak zaman pra-sejarah, masyarakatnya memiliki
keterampilan membuat bahan pakaian dari serat sejenis pohon yang dihasilkan
dengan cara dipukul-pukul dan dikerjakan oleh kaum wanita. Bahan pakaian
tersebut di Polynesia dikenal dengan nama tapa, sedangkan
di Sulawesi Tengah disebut dengan fuya.
Serat pohon yang digunakan berasal dari pohon yang dalam bahasa Jawa dikenal sebagai glugu atau galugu, dalam bahasa Melayu-bahasa Bosamah dikenal sebagai
sepukau, kemudian saeh (bahasa Sunda), dhalubang, dhulubang (bahasa Madura), kembala (bahasa Sumba Utara), rowa (bahasa
Sumba Barat), ambo(bahasa Baree), lingowas (bahasa Banggai), iwo (bahasa Tembuku), malak (bahasa Seram) (nama latinnya
Broussonetia papyrifera). Di Polynesia dipergunakan juga serat pohon jenis
lain, di antaranya pohon Sukun (Artocarpus Blumei) dan jenis ficus. Bahan pakaian itu
di Jawa disebut dluwang atau daluwang dalam bahasa Sunda.
Pada masa pra-Islam,
pakaian dluwang itu bukan pakaian biasa untuk keperluan sehari-hari, melainkan
dipakai dalam kegiatan upacara keagamaan, bagi orang-orang yang hidup
dilingkungan keagamaan atau orang-orang saleh.
Lembaran dluwang dapat
dihiasi dengan gambar-gambar berwarna, demikian juga tapa di Polynesia dan fuya
di Sulawesi Utara dan Sulawesi Tengah.
Zat pewarna dapat dibuat dari jenis-jenis tumbuhan seperti kunyit (Curcuma) dan
mengkudu (Morinda citrifolia). Di daerah Kalimantan, Suku Dayak juga memiliki bahan kain tenun tradisional yang berasal
dari serat dari suatu jenis tanaman yang dikenal dengan ulap doyo.
Pada masa pemeluk
agama Islam telah mengambil posisi yang berpengaruh di kota-kota pantai utara
Jawa, penggunaan daluwang sebagai bahan pakaian berakhir dan mulai dipakai
sebagai bahan tulis-menulis dengan contoh yang dikenal dengan kertas Arab yang
diperkenalkan oleh pedagang Islam. Hal ini menyebabkan orang-orang Jawa yang
baru masuk Islam mengubah penggunaan daluwang sebagai bahan pakaian menjadi
bahan tulis. Hal lain adalah penggunaan lontar tidak praktis untuk menulis
huruf Arab, dengan demikian penggunaan kertas dan bahan sejenis kertas semakin
berkembang.
Naskah tertua yang
dikenal dalam Ilmu pengetahuan dengan bahan tulis dluwang atau daluwang dan
memakai aksara Jawa, berasal dari akhir abad ke-16 serta isinya mengenai mistik
Islam kini di simpan di Perpustakaan Universitas Leiden di Belanda dengan nomor
kode Lor.1928.
2. Asal bahan dan daerah yang menggunakan
Bahan kertas tersebut berasal dari berbagai daerah di Nusantara, dikenal dengan nama tapa di Polynesia, sedangkan di
Sulawesi Tengah disebut dengan fuya, dalam
bahasa Jawa dikenal sebagai glugu atau galugu, dalam bahasa Melayu-bahasa
Bosamah dikenal sebagai sepukau, kemudian saeh (bahasa Sunda), dhulubang
(bahasa Madura), kembala (bahasa Sumba Utara), rowa (bahasa Sumba Barat), ambo (bahasa Baree), lingowas (bahasa Banggai), iwo (bahasa
Tembuku), malak (bahasa Seram) (nama latinnya Broussonetia papyrifera), dll. Kertas tersebut digunakan untuk dijadikan
alas menulis sebagai ganti kertas lontar yang tidak lagi bagus digunakan untuk
menulis karena daya tahannya kertasnya yang tidak lama.
3. Proses pembuatan
Pohon yang
berusia 3-6 bulan di tebang. Kulit bagian luar dibuang sehingga tinggal kulit
bagian dalam yang berwarna putih. Kulit yang berwarna putih itu kemudian di
potong sepanjang 30-40 cm.
Potongan
kulit kayu itu direndam dalam air sekitar 12 jam agar menjadi lembut dan mudah
dipukul-pukul. Makin lama direndam, maka kulit kayu itu akan menjadi semakin
lembut dan hasilnya akan semakin lebih baik. Jika kulit kayu direndam lebih
dari 12 jam (semalam) maka airnya harus diganti.
Setelah
selesai direndam, kulit kayu itu dipukul-pukul selembar demi selembar dengan
alat pemukul di atas balok kayu berukuran kira-kira 12 x 4 cm dengan tinggi 3
cm.
Setelah
dipukul, satu potong kulit yang ukurannya 10 cm akan berubah menjadi 30 cm.
untuk menghasilkan satu lembar kertas dibutuhkan 2 atau 3 lembar kulit dalam
yang ditumpuk. Kemudian dilipat dua, dipukul lagi begitu seterusnya sampa 4
lipatan hingga dirasa cukup merata dan menyatu, lalu dibuka lipatannya.
Setelah dipukul,
bahan tersebut dicelupkan dalam air lalu diperas. Setelah itu bahan dibungkus
daun pisang, diperam dalam sebuah keranjang bamboo selama lebih kurang 3 hari.
Bertujuan agar getah kulit kayu itu keluar dan merekatkan serat-seratnya. Makin
lam pemeraman dilakukan makin baik kualitas kertas yang dihasilkan.
Setelah
diperam, bahan tersebut dijemur dibawah terik matahari di atas bentangan batang
pisang sambil di gosok-gosok hingga permukannya halus. Penjemuran itu
berlangsung sampai bahan tersebut kering dan lepas dari batang pisang. Kertas
siap digunakan. (Zahra, 2000 : 4.10-4.11)
4. Tempat penyimpanan
Dari hasil tinjauan kami di kawasan Lubuk Jambi, Riau tempat penyimpanan
naskah yang kami temukan di rumah datuak Tomo di Koto.
Contoh kertas daluwang :