Hai Dear, wellcome to my Blog

Kamis, 01 Agustus 2024

TASAWUF TUMBUH DI NEGERI SINGA Reaksi Terhadap Ahl Tareqat


 

Nilma Yola

Universitas Islam Negeri Imam Bonjol Padang

dindayola17@gmail.com

Diah Putranti Rahmaning Tiyas

Universitas Islam Negeri Imam Bonjol Padang

diahputranti.rTiyas@gmail.com

ABSTRACT

Singapore, as an Islamic minority country, was once the center for the development of Islamic scholarship in Southeast Asia. Singapore's position as a center for international trade and commerce has encouraged scientific transmigration from the Middle East to the archipelago, which was spearheaded by traders and Sufis. This serves as the foundation for the presence of Sufism in Singapore. This study aims to explain the history of Islam in Singapore and the development of Sufism there. The approach used in this research is qualitative. The process begins with gathering data and sources pertinent to the conversation. The obtained data and sources undergo verification, which involves review, comparison, and analysis. Once the correct results are obtained, the final stage of the data analysis is documented in written form. According to the study's findings, it is very likely that the arrival of Islam in Singapore occurred from the 8th to the 11th centuries, brought by traders from Arabia. When the Malacca Sultanate controlled Temasik in the 15th century, Islam experienced rapid development. In Singapore, Sufism-style Islam emerged. Despite experiencing ups and downs, the teachings of Sufism are still part of the Islamic tradition in Singapore. As a result, Islam, as a minority religion, was able to survive until it finally had various legitimate institutions in the Singapore government.

Keywords: Islamic history; Sufism; Singapore

ABSTRAK

Singapura, sebagai negara minoritas Islam, pernah menjadi pusat pengembangan keilmuan Islam di Asia Tenggara. Posisi Singapura sebagai pusat perdagangan dan perdagangan internasional telah mendorong terjadinya transmigrasi keilmuan dari Timur Tengah ke Nusantara, yang dipelopori oleh para pedagang dan sufi. Inilah akar dari jejak-jejak tasawuf di Singapura. Kajian ini bertujuan untuk menjelaskan sejarah Islam di Singapura serta perkembangan tasawuf di negara tersebut. Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini yaitu kualitatif. Diawali dengan pengumpulan data dan sumber-sumber yang berkaitan dengan pembahasan. Data dan sumber yang telah diperoleh kemudian diverifikasi

yaitu ditelaah dan dibandingkan untuk kemudian dianalisis. Setelah mendapatkan hasil yang benar, tahap akhir data dideskripsikan dalam bentuk tulisan. Hasil kajian menunjukkan bahwa kemungkinan besar masuknya Islam di Singapura terjadi sejak abad ke-8 hingga abad ke-11, dibawa oleh para pedagang dari Arab. Islam mengalami perkembangan pesat ketika Temasik dikuasai oleh Kesultanan Malaka pada abad ke-15. Islam bercorak tasawuf berkembang di Singapura. Meski mengalami pasang surut, ajaran tasawuf masih menjadi bagian dari tradisi Islam di Singapura. Sejalan dengan itu, Islam sebagai agama minoritas mampu bertahan hingga akhirnya memiliki berbagai institusi yang sah dalam pemerintahan Singapura.

Kata Kunci: Sejarah Islam; Tasawuf; SIngapura

PENDAHULUAN

Singapura merupakan sebuah negara yang terbentuk dari pulau kecil di ujung gugusan Semenanjung Melayu, di wilayah Asia Tenggara. Negara ini berbatasan dengan Kepulauan Riau (Indonesia) dan Johor (Malaysia). Singapura merupakan sebuah negara yang dihuni oleh 4.839.000 jiwa, yang terdiri dari berbagai ras dan etnis. Mayoritas penduduk Singapura adalah etnis Tionghoa, dan sisanya adalah etnis Melayu, Tamil, Arab dan Pakistan. Sedangkan agama dan kepercayaan masyarakatnya yaitu menganut agama Budha (33%), Taoism 11%, Confusionism (Kong Hu Cu) 20%, Muslim 15%, Kristen 14,6%, Hindu 4%, dan sisanya kepercayaan-kepercayaan lainnya (Subehi, 2022)

Islam di Singapura merupakan agama minoritas, dengan sekitar 13,5% penduduknya adalah etnis Melayu, sedangkan sisanya berasal dari etnis Arab, India, dan Pakistan. Menurut Sharon Siddique, Muslim di Singapura terbagi menjadi dua kelompok utama yaitu: migran dari dalam negeri dan migran dari luar negeri. Migran dari dalam negeri berasal dari wilayah Nusantara dan umumnya adalah etnis Melayu, seperti dari Sumatera, Riau, Jawa, Sulawesi, dan Bawean. Sementara migran dari luar negeri adalah Muslim keturunan Arab, India, Pakistan, dan Hadramaut (Nurbaiti, 2019)

Masyarakat Melayu pada umumnya beraliran Islam Sunni, yang mana mereka juga mengikuti berbagai mazhab, seperti Syafi’i, Hambali, Maliki, dan Hanafi, serta sedikit pengikut Syi’ah. Sementara itu, Mazhab Syafi’i menjadi mazhab yang paling banyak dianut oleh masyarakat etnis Melayu di Singapura. Hal ini disebabkan ketika wilayah Singapura yang dahulunya bernama Temasik merupakan salah satu wilayah kekuasaan Kesultanan Malaka, kesultanan ini berorientasi pada paham fikih Syafi’i. Kesultanan Malaka juga mendapat pengaruh yang sangat signifikan dari perkembangan keilmuan di Sumatra. Pada zaman tersebut, Kesultanan Samudera Pasai menjadi acuan bagi kesultanan-kesultanan di dunia Melayu. Sultan Malik Al-Zahir, dengan tegas menyatakan bahwa Samudera Pasai bermazhab Syafi’i, yang mana hal itu memberikan pengaruh yang besar di wilayah Asia Tenggara (Jambak, 2018)

Sebagai negara sekuler, Singapura tidak menekankan pilihan kepercayaan penduduknya. Meskipun mayoritas penduduknya adalah etnis Tionghoa yang beragama Buddha, namun Islam tetap menjadi bagian integral dari keragaman agama di Singapura. Islam, yang dianggap sebagai al-Din oleh kaum Muslim, diakui oleh Pemerintah Singapura dan tercantum dalam Konstitusi Republik Singapura. Perkembangan Islam di Singapura sejalan dengan perkembangan Islam di negara-negara Asia Tenggara lainnya.

Perjalanan perkembangan Islam di Singapura adalah bagian dari sejarah panjang negara ini. Secara kronologis, perkembangan ini dimulai dengan kedatangan pedagang dan mubaligh Muslim dari Timur Tengah, diikuti oleh kekuasaan berbagai Kesultanan Islam di Temasik. Saat Temasik berada di bawah kekuasaan Malaka, terbentuklah jaringan ulama dari berbagai wilayah, termasuk Nusantara. Perkembangan ini berlanjut hingga Singapura menjadi negara merdeka, terpisah dari Federasi Malaysia.

Sejak berada di bawah kekuasaan Inggris, Singapura didominasi oleh etnis Tionghoa, menjadikan Islam sebagai agama minoritas dengan mayoritas penganutnya adalah etnis Melayu. Meskipun demikian, sebagai negara sekuler, Singapura menghargai hak-hak warga negaranya, terbukti dengan pembentukan lembaga-lembaga Islam. Pada tahun 1915, dibentuklah Lembaga Penasehat Orang-orang Islam untuk menangani masalah sosial keagamaan. Tugas lembaga ini yaitu mengurus pernikahan sesuai syariat Islam, menentukan waktu berpuasa dan hari raya, serta memberi masukan kepada pemerintah Inggris. Awalnya, lembaga ini dikendalikan oleh Inggris dengan anggota Muslim, tetapi pada tahun 1928, kepemimpinannya beralih kepada seorang Muslim bernama Hafizuddin S. Moonshi.

Awalnya, hak untuk mengeluarkan fatwa hanya dimiliki oleh Mufti Kerajaan Johor, yang didampingi oleh Qadhi Singapura. Kemudian, Mufti Singapura diberikan hak untuk memimpin komisi fatwa secara musyawarah. Pada tahun 1968, Pemerintah Singapura membentuk Majelis Ugama Islam Singapura (MUIS) untuk menasehati presiden tentang masalah-masalah Islam. Pembentukan MUIS didasarkan pada "Akta Pentadbiran Hukum Islam" (AMLA). Selain MUIS, terdapat lembaga-lembaga Islam lainnya, seperti Majelis Pendidikan Anak-anak Muslim (MANDAKI) yang mengurus pendidikan, Dana Perwalian Muslim (DANAMIS) yang menangani ekonomi dan pendanaan sosial Muslim, serta lembaga-lembaga dakwah seperti Himpunan Dakwah Islam Singapura (JAMIYAH) dan Association of Muslim Professionals (AMP) (Herawati, 2018). Demikian perkembangan Islam yang terus meningkat dari waktu ke waktu di Negara Singapura.

Melihat dari sejarahnya, negara dengan minoritas Muslim ini, ternyata pada masa dahulu pernah menjadi salah satu pusat perkembangan keilmuan Islam di Asia Tenggara. Sejak Temasik berada di awah kekuasaan Islam, wilayah ini menjadi tempat bertemunya para cendikiawan Muslim dari berbagai belahan dunia. Terlebih daerah ini juga memiliki peran besar dalam aspek berdagangan kala itu. Transfer keilmuan Islam berkembang di Singapura. Pengaruh corak-corak aliran Islam juga berkembang, seperti pengaruh dari berbagai mazhab. Tidak ketinggalan tasawuf dan peran para sufi juga memiliki pengaruh yang besar. Tasawuf berkembang di kalangan tokoh ulama dan Penguasa Melayu. Didukung dengan pesatnya perdagangan di Selat Malaka, sehingga ajaran tasawuf menyebar dan berkembang ke berbagai daerah, termasuk Temasik (Singapura dulu), karena posisinya yang strategis di Selat Malaka. Selanjutnya, tarekat Naqsbandiayah tiba di Singapura, yang saat itu menjadi penghubung jemaah haji dan titik fokus pertukaran informasi komersial/dagang. Di Singapura, cabang tarekat Naqsbandiyah bernama Naqsbandiyah Haqqani didirikan oleh Syekh Nazim Haqqani. Tarekat lain yang juga berkembang di Singapura adalah Tarekat Aurad Muhammadiah, yang berada di bawah kepemimpinan Al-Fadhil Sheikh Abdul Hafiz bin Muhammad Taha As-Suhaimi dan banyak lagi tarekat lainnya yang muncul dan berkembang di Singapura.

Saat ini, setelah Singapura menjadi negara yang modern, eksistensi ilmu tasawuf dan tarekat tidak segemilang dahulu. Hal tersebut bisa saja dilatarbelakangi oleh dominasi etnis Tionghoa dan agama Budha di negara ini. Oleh karena itu, penulis tertarik mengkaji tentang tasawuf tumbuh di Singapura; reaksi terhadap Alh Tareqat. Terutama menguraikan tentang bagaimana tasawuf bisa masuk dan berkembang dalam negara yang realitasnya terdiri dari minoritas Muslim ini. Lalu bagaimana kaitan antara kehadiran tareqat dengan ilmu tasawuf di Negara tersebut.

METODE PENELITIAN

Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif. Penulisan dilakukan dengan bebarapa tahapan: 1) Heuristik, yang berarti pengumpulan data-data. Pada tahap ini penulis mencari sumber terkait dengan tema yang penulis bahas berkaitan dengan sejarah dan perkembangan ilmu tasawuf di Singapura. Selain bersumber dai buku-buku penulis juga mengumpulkan artikel-artikel jurnal terkait dengan tema dan pembahasan yang sama. 2) Kritik sumber, pada proses ini yang penulis lakukan adalah memilih bagian mana yang sesuai dan cocok untuk penulis ambil data-datanya yang terdapat pada sumber yang penulis temukan, kemudian data tersebut penulis kritisi dan lakukan pengelompokan data sesuai dengan klasifikasinya. Lalu diambil data mana yang dapat penulis jadikan sebagai acuan dalam mengkaji dan menjawab pertanyaan dari penitian ini. 3) Analisa data, dilakukan setelah data data yang sejenis penulis kelompokkan, lalu penulis mulai menganalisa, data mana saja yang sekiranya sesuai dan tepat untuk menemukan jawaban atas pertanyaan penelitian. 4) Historiografi penelitian. setelah mendapat dan menelaah data yang relevan, data kemudian dirangkum dalam bentuk tulisan dengan menggunakn metode deskriptif analitif berdasarkan data dan sumber-sumber sejarah.

PEMBAHASAN

A. Sejarah Masuknya Islam di Singapura

Dahulu, Singapura dikenal dengan nama Temasik. Dalam kitab Pararaton dan Negarakertagama, Temasik disebut sebagai "Tumasik". Sumber lain menyebutkan bahwa pada abad ke-14, Temasik juga dikenal sebagai "Pulau Ujung" (Pu-lo Chung). Temasik merupakan kerajaan kecil yang diperkirakan berdiri sejak abad ke-13 Masehi. Menurut Asep (2016), beberapa raja yang pernah memerintah Temasik antara lain:

1. Raja I Sri Tri Buana (1299-1347);

2. Raja II Seri Pikrama Wira (1347-1362);

3. Raja III Sri Rana Wikema (1362-1375);

4. Raja IV Sri Maharaja (1375- 1388).

5. Raja IV Sri Sultan Iskandar Syah, memerintah selama lima tahun di Singapura (1388-1391), kemudian di Malaka (1393-1397).

Sebelum terbentuknya negara bangsa, wilayah Singapura pernah dikuasai oleh beberapa kerajaan dan kesultanan, terutama yang berada di sekitar Selat Malaka dan Semenanjung Melayu. Singapura pernah berada di bawah kekuasaan Kesultanan Malaka sekitar 1398-1511, Kesultanan Johor pada 1511-1699, dan Kesultanan Riau pada 1699-1818. Sebelum kekuasaan Islam, wilayah ini dikuasai oleh kerajaan Hindu-Buddha terbesar di Nusantara, yaitu Kerajaan Majapahit dan Kerajaan Sriwijaya.

Sementara itu, tidak diketahui secara pasti kapan tepatnya Islam masuk ke Singapura. Namun wilayah Singapura yang kala itu memiliki peran dan pengaruh yang besar dalam perdagangan internasional karena posisinya yang strategis. Hal ini memunculkan kemungkinan besar bahwa masuknya Islam telah terjadi sejak abad ke-8 hingga abad ke-11, yang mana para pedagang dari Arab telah banyak melakukan pelayaran ke wilayah sekitar Selat Malaka. Pada periode tersebut, Temasik telah menjadi pusat perdagangan maritim cukup penting (Amin & Ananda, 2018). Temasik yang berarti Kota Pantai diidentifikasi sebagai salah satu tempat persinggahan para pedagang yang akan menuju ke Cina.

Islam mulai berkembang pesat di Temasik ketika wilayah ini dikuasai oleh Kesultanan Malaka pada abad ke-15. Menurut sejarah Melayu, seorang bangsawan dari Kerajaan Sriwijaya di Palembang bernama Parameswara melarikan diri ke Temasik, sebuah kerajaan kecil di ujung Semenanjung Melayu, karena tekanan dari Majapahit. Setelah Temasik diserang oleh Siam, Parameswara berpindah ke Malaka dan mendirikan sebuah kerajaan di sana. Malaka menjadi titik singgah penting bagi para pedagang asing, termasuk pedagang Muslim. Parameswara mulai berinteraksi dengan pedagang Muslim dan akhirnya memeluk Islam pada tahun 1414, dengan bimbingan Sayyid Abdul Aziz, seorang Arab dari Jazirah Arab. Setelah itu, Parameswara mengubah namanya menjadi Sultan Iskandar Syah (Amin & Ananda, 2018). Masuknya Islam Raja Parameswara kemudian diikuti oleh para pengikut serta kerajaan-kerajaan yang berada di bawah kekuasaannya, termasuk Temasik.

Pada abad ke-15 hingga abad ke-16, Islam di Singapura berkembang pesat seiring dengan meluasnya kekuasaan Kesultanan Malaka. Pada masa itu, kekuasaan Malaka meliputi Pahang, Trengganu, Kelantan, serta Kampar, Rokan, Indragiri, Siak, dan Riau-Lingga, yang kini termasuk wilayah Indonesia. Kesultanan Malaka menjadi kekuatan Islam yang dominan dari Selat Malaka hingga Temasik, dengan pengaruh besar dalam politik dan perdagangan. Potensi besar ini menarik perhatian berbagai bangsa untuk menguasai Malaka. Namun, proses islamisasi yang sedang berkembang pesat terganggu oleh datangnya kolonialisme. Pada tahun 1511, Portugis melancarkan invasi ke Malaka, menyebabkan para Sultan Malaka mundur ke Johor, yang turut menghambat kegiatan penyebaran dan dakwah Islam (Pratama et al., 2022).

Setelah kemunduran Malaka akibat kolonialis Portugis, wilayah Temasik menjadi bagian dari Kesultanan Johor antara abad ke-16 hingga abad ke-19. Namun, pada tahun 1613, kolonialis Portugis membakar sejumlah pemukiman di muara Sungai Temasik. Akibatnya, wilayah ini kurang mendapat perhatian selama hampir dua abad berikutnya (Abidin, 2020). Selanjutnya, wilayah Singapura mulai dimasuki oleh Inggris dengan kedatangan Stamford Raffles, yang mendarat pada 28 Januari 1819. Raffles kemudian membentuk Singapura dan menjadikannya sebagai pelabuhan bebas (Helmiati, 2014).

Situasi ini menjadikan Singapura memiliki peran penting dalam pasar internasional, terutama karena kota ini menjadi jalur transit perdagangan antara India dan Cina. Setelah pelabuhan dagang dibuka, banyak pedagang asing mulai datang ke wilayah ini. Keadaan ini menjadi salah satu faktor yang mendukung penyebaran ilmu pengetahuan Islam. Salah satu tokoh terkenal keturunan Arab yang memanfaatkan kesempatan ini adalah Syekh Mohamed bin Ahmed Alsagoff, yang pindah dari Malaka ke Singapura untuk berdagang (Tumiran, 2021). Pada abad ke-19, pengembangan tasawuf mulai digalakkan oleh para ahli tarekat. Pada masa ini, Singapura menjadi tempat pemberhentian atau transit bagi para jamaah haji dari Indonesia. Para ahli tarekat kemudian mulai mengajak para jamaah untuk melakukan khalwat.

B. Perkembangan Tasawuf di Singapura

Singapura, meskipun merupakan negara dengan minoritas Muslim, dulunya pernah menjadi salah satu pusat penting perkembangan Islam di Asia Tenggara. Wilayah ini memainkan peran dalam menyatukan berbagai kelompok masyarakat Muslim dari Asia Tenggara, Timur Tengah, Asia Selatan, dan wilayah lainnya. Karena peran tersebut, Singapura menjadi tempat berkumpulnya para cendekiawan Muslim dan pusat publikasi serta distribusi tulisan-tulisan ulama dari berbagai daerah seperti Hadramaut, Pattani, Aceh, Jawa, Palembang, dan lainnya.

Pada masa awal islamisasi di Singapura, pengaruh tasawuf sangat kuat. Perkembangan tasawuf di Singapura ditandai dengan ajaran-ajaran yang berkembang di kalangan ulama dan raja-raja Melayu saat itu. Ini tidak terlepas dari peran jaringan antara ulama Timur Tengah dan Nusantara. Kontak antara Timur Tengah dan Nusantara mempercepat transformasi keilmuan dan tradisi islamisasi di Nusantara. Ditambah dengan ramainya perdagangan di Selat Malaka, proses islamisasi semakin berkembang. Dari sinilah ajaran-ajaran tarekat mulai menyebar di Nusantara, termasuk Tarekat Satariyyah yang berkembang hingga ke Banten, Jawa Barat. Dalam perkembangannya, Abd al-Ra'uf ibn Ali al-Jawi al-Fansuri, murid dari Ibrahim al-Kurani (1615-1690), yang dikenal sebagai guru besar di Haramayn, berperan penting dalam penyebaran Tarekat Satariyyah.

Pada abad berikutnya, muncul ajaran tarekat baru yaitu Naqsyabandiyah. Tarekat ini berkembang di wilayah Riau, Minangkabau, dan terutama Singapura, karena pada masa itu Singapura menjadi tempat berkumpulnya jamaah haji dari Nusantara dan pusat pertukaran informasi dagang. Beberapa tokoh penting dalam penyebaran Tarekat Naqsyabandiyah di Singapura termasuk Syekh Ismail al-Minangkabawi (1712-1844), yang menulis karya berjudul "Mawahibul Falaq bi Syarhi Qashidah al-'Arif Billah al-Qadhi Nashiruddin Ibni Bintil Milaqasy-Syazili" dan "Ar-Rahmatul Habitah fi Zikri Ismiz Zati Wa ar-Rabitah," serta Ahmad Khatib dari Sambas (1803-1875) yang menggabungkan ritual Tarekat Naqsyabandiyah dengan silsilah Qomariyah. Ini kemudian diidentifikasi sebagai gerakan maju dari Sammaniyah.

Tarekat Naqsyabandiyah adalah salah satu tarekat tertua dan dengan pengikut terbanyak karena penyebarannya yang luas. Tokoh utama dalam tarekat ini adalah Syekh Baha ad-Din Naqshband, yang lahir pada tahun 1318 di Qasri Arifa dekat Bukhara dan meninggal pada tahun 1389. Sesuai dengan namanya, beliau adalah pendiri tarekat Naqsyabandiyah. Sebagian besar hidupnya dihabiskan di Bukhara dan Transoxiana. Sayangnya, tidak banyak catatan tentang Syekh Baha ad-Din Naqshband karena beliau melarang murid-muridnya untuk mencatat segala perbuatannya dan perkataannya.

Pada masa-masa selanjutnya, tarekat Naqsyabandiyah memiliki berbagai cabang. Salah satu tokoh penting yang berperan dalam penyebaran tarekat ini adalah Syekh Ahmad al-Faruqi al-Sirhindi, yang menyebarkan tarekat Naqsyabandiyah Mujaddidi pada awal abad ke-19 di wilayah India dan Ottoman. Selain itu, Syekh Maulana Khalid Bagdad menjadi pelopor setelah Syekh Sirhindi dengan mengembangkan cabang Khalidiyah. Syekh Maulana Khalid juga menjadi tokoh penting yang membawa ajaran Naqsyabandiyah ke wilayah-wilayah yang sebelumnya dianggap kurang penting bagi mayoritas umat Islam, seperti Mozambik, Ceylon, dan Sumatera.

Dari Sumatera, tarekat Naqsyabandiyah Khalidiyah kemudian menyebar ke utara, yaitu Semenanjung Malaya, dan ke timur, yaitu Kalimantan, Kepulauan Sulu, dan Mindanao bagian selatan. Usaha Syekh Maulana Khalid dalam menyebarkan tarekat ke negeri-negeri jauh memberikan wajah baru bagi kawasan Asia Tenggara. Kelompok ini juga berkontribusi besar dalam menentang dominasi asing, seperti perlawanan Aceh terhadap Belanda, pergolakan di Filipina Selatan, dan melawan pemerintahan Thailand atas Pattani yang dihuni oleh etnis Melayu Muslim (Sani, 2010)

Naqsyabandiyah Haqqani adalah salah satu tarekat yang relatif baru hadir di Singapura. Tarekat ini didirikan oleh Syekh Nazim Haqqani, yang lahir di Larnaca, Siprus, dan memiliki garis keturunan yang sampai kepada Syekh Abd al-Qadir al-Jailani, pendiri tarekat Qadariyah. Perkembangan tarekat Naqsyabandiyah Haqqani di Singapura tidak terlepas dari peran Syekh Hisham, yang datang ke Singapura dan bertemu dengan Syekh Zakaria, putra dari Grand-Sheikh tarekat Qadariyah di Singapura. Syekh Hisham kemudian membaiat Syekh Zakaria dan mengangkatnya sebagai wakil khalifah tarekat Naqsyabandiyah Haqqani di Singapura. Para pengikut tarekat ini rutin berkumpul setiap Kamis malam di Masjid Kampong Siglap untuk melakukan zikir bersama.

Selain itu, perkembangan ajaran tarekat di Singapura juga didukung oleh sejumlah ulama dari Timur Tengah dan keturunan Nabi Muhammad saw., yang dikenal sebagai Habaib. Para Habaib di Singapura umumnya mengikuti Tarekat Ba'alawi, yang juga dikenal sebagai Tarekat Alawiyah, yang berasal dari Hadramaut, Yaman. Tarekat Alawiyah didirikan oleh Saidina al-Faqih Muqaddam Muhammad bin Ali Ba'alawi, yang merupakan keturunan ke-11 dari Rasulullah saw. Tarekat ini memiliki pengaruh besar dalam dunia Islam, khususnya di Nusantara, karena telah banyak mengislamkan orang Melayu sejak masuknya tarekat ini sekitar 1.400 tahun yang lalu (Mohsin et al., 2016)

Tarekat ini berfokus pada pembersihan jiwa dengan mencontoh sikap hidup Rasulullah saw. Ajaran tarekat ini bertujuan untuk mewujudkan makna suluk batin melalui penanaman sifat ikhlas, zuhud, tawakal, serta adab-adab yang diajarkan oleh Imam al-Ghazali. Pusat pengajaran Tarekat Alawiyah berada di Masjid Ba’alawi, di mana para pengikutnya menjalankan amalan Ahl al-Sunnah wa al-Jama’ah. Kegiatan yang biasa dilakukan termasuk perayaan keagamaan seperti Maulid Nabi setiap bulan Rabi’ul Awal dengan membaca rawi dalam ritual "barzanji." Selain itu, di Masjid Ba’alawi, tarekat Alawiyah juga rutin mengadakan majelis wirid dengan membaca Ratib Al-Attas serta kitab-kitab maulid lainnya seperti Maulid Diba’i.

Tasawuf memiliki berbagai corak ajaran. Salah satu tarekat lain yang berkembang di Singapura adalah Tarekat Aurad Muhammadiah, yang dipimpin oleh Al-Fadhil Syekh Abdul Hafiz bin Muhammad Taha As-Suhaimi. Beliau menerapkan amalan dari Syekh Muhammad Ibnun’Abdullah As-Suhaimi, yang juga dikenal sebagai Kyai Agung. Tarekat ini mulai berkembang ketika Syekh Abdul Hafiz menetap selama 40 hari di Singapura. Hingga kini, amalan tarekat ini terus diajarkan, terutama di Madrasah Al-Ma'arif Al-Islamiyah, dalam bentuk amalan Aurad/Maulid setiap malam Jumat dan malam Senin untuk mencapai mahabbah kepada Nabi Muhammad saw. Setelah wafatnya, tarekat ini dilanjutkan oleh keturunan-keturunan dan para khalifah yang diangkatnya. Perkembangan tarekat ini mencapai puncaknya di bawah pimpinan Ustadz Ashari bin Muhammad, pendiri Darul Arqam.

Saat ini, berbagai macam tarekat berkembang di Singapura. Menurut Khairul Amilin & Fazrihah Duriat dalam bukunya "Peran Ajaran Sufi dan Para Habaib di Singapura," beberapa tarekat yang ada antara lain: Ahmadiyah Idrisiyah, Naqsyabandiyah Haqqani Osmanli, Ahmadiyah Idrisiyah Rashidiyah Dandarawiyah, Ahmadiyah Idrisiyah Ja'fariyah, Arusiyah Qadiriyah, Chistiyah, Aurad Muhammadiah, Khalidiyah, Ba'alawiyah, Dasuqiyah Shadhiliyah, Darqawiyah Alawiyah, Naqsyabandiyah Mohsiniyyah, Darqawiyah Shadhiliyah Qadiriyah, Khalwatiyah, Naqsyabandiyah Haqqani, Naqsyabandiyah Aliyyah, Naqsyabandiyah Khalidiyah, Naqsyabandiyah Mujaddidiyah Saifiyah, Naqsyabandiyah Khalidiyah, Suhrawardiyah Sanusiyah, Qadiriyah, Qadiriyah Aleemiyah, Qadiriyah Chistiyah Suhrawardiyah, Naqsyabandiyah Sanusiyah, Qadiriyah Naqsyabandiyah, Qadiriyah Rifa'iyah, Tijaniyah, Shadhiliyah Aliyyah, dan lainnya ( Amilin & Duriat, 2021)

Di tengah gejolak perkembangan tasawuf di Singapura, muncul berbagai tanggapan dan reaksi terhadap para ahli tarekat, baik di Singapura maupun di Nusantara secara umum. Syekh Salim Ibn Sumayr menulis sebuah naskah berjudul “Hadhi Nubdhah li al-Mu'alim Salim ibn Sumayr fi Radd Ahl al-Tariqah fi Singgapurah Sanatan 1269 H”, sebagai bentuk tanggapan terhadap dinamika tarekat yang berkembang di Singapura pada abad ke-19. Pada tahun tersebut, banyak peziarah dan jamaah haji berkumpul di Singapura. Selama waktu transit mereka untuk menunaikan haji, para ahli tarekat mengajak jamaah haji untuk ikut berkhalwat dan mengikuti tarekat. Para ahli tarekat mengajak jamaah untuk menyibukkan diri dengan berzikir pada waktu-waktu tertentu dan menjalani khalwat selama 40 hari. Mereka yang mengikuti hal ini dianggap akan mendapatkan kedudukan yang tinggi dalam agama. Namun, inilah yang kemudian dikritik oleh Syekh Ibn Sumayr melalui naskahnya. Dalam naskah tersebut, beliau mengkritik bagaimana tarekat mengajak jamaah untuk menyibukkan diri dengan khalwat tanpa menyampaikan tentang larangan-larangan agama dan perintah syariat kepada jamaah (Arifin, 2022)

Saat ini, ajaran-ajaran tarekat masih tetap dilaksanakan di Singapura, yang dikembangkan oleh para habaib dan ahl tarekat. Perkembangan Islam di negara Minoritas ini juga mendapat perhatian dari pemerintah. Sebagai negara sekuler, Singapura menjamin hak-hak warga negara untuk menentukan kepercayaan yang dianut. Perhatian terhadap perkembangan Islam diwujudkan dengan dibentuknya berbagai lembaga yang menangani masalah sosial keagamaan, seperti MUIS, MANDAKI, DANAMIS, JAMIYAH, dan kelembagaan Islam lainnya.

PENUTUP

Singapura sebagai negara minoritas Islam, pada masa dahulu pernah menjadi tempat perkembangan dan pusat keilmuan Islam di Asia Tenggara. Eksistensi Singapura telah dimulai sejak abad ke-15, ketika daerah ini menjadi salah satu daerah kekuasaan Kesultanan Malaka dan sekaligus sebagai salah satu pusat perdagangan dan pelabuhan di Asia Tenggara. Trasmigrasi keilmuan Islam dari belahan Timur Tengah, telah menunjang proses islamisasi di Negara Singapura. Dalam perannya sebagai pelabuhan terpenting, Singapura menjadi wadah bagi perkumpulan kaum Muslim dari berbagai belahan dunia, seperti dari Timur Tengah, Asia Selatan, dan Asia Tenggara. Pada masa inilah, perkembangan keilmuan Islam mulai kembali bersinar, yang mana para pedagang mulai kembali berdatangan ke Singapura, termasuk pedagang-pedagang sekaligus sufi, Muslim dari Arab, India, Hadramaut, dan Nusantara. Hal ini tidak lepas dari peran jaringan antar ulama Timur Tengah dengan Nusantara. Pada abad ke-19, pengembangan tasawuf mulai di lakukan secara gencar oleh ahl tarekat, yang mana Singapura ketika itu menjadi tempat pemberhentian atau transit para jama`ah haji dari Indonesia. Perkembangan tasawuf di Singapura, munculah berbagai tanggapan dan reaksi terhadap ahl tarekat, terkhusus di Singapura dan Nusantara umumnya.


DAFTAR PUSTAKA

Abidin, Y. (2020). Pengantar Budaya Masyarakat Asia Tenggara. UNAS PRESS.

Amilin, K & Duriat, F. (2021). Peranan Ajaran Sufi dan Para Habaib di Singapura. Akademi Tareqat Tasawwuf Al-Ja’fari.

Amin, F., & Ananda, R. A. (2018). Kedatangan dan Penyebaran Islam di Asia Tenggara: Tela’ah Teoritik Tentang Proses Islamisasi Nusantara. Analisis: Journal Studi Keislaman, 18 (2), 91.

Arifin. (2022). Nubdzah Fi Radd Ahl Al-Tariqah Fi Singapura Oleh Salim Ibn Sumair: Sebuah Komentar Terhadap Penganut Tarekat Di Nusantara Abad 19. Jumantara: Jurnal Manuskrip Nusantara, 13 (2), 138.

Helmiati. (2014). Sejarah Islam Asia Tenggara. LPPM UIN Sultan Syarif Kasim Riau.

Herawati, A. (2018). Eksistensi Islam di Asia Tenggara. Ash-Shahabah: Jurnal Pendidikan Islam, 4 (2), 125.

Jambak, F. F. (2018). Pemahaman Keagamaan Islam di Asia Tenggara Abad XIII-XX. Millah: Journal Of Religious Studies, 6 (2), 56–61.

Mohsin, M. A., Baharudin, M. H. A. M., Abdullah, N., Sawari, S. S. Md., Napiah, O., Noor, S. S. Mohd., & Kamarul Azmi Jasmi, K. A. (2016). View of Ratib al-Attas Menurut Perspektif al-Quran dan Hadis. 8((3-2)), 101–107. https://doi.org/10.11113/sh.v8n3-2.970

Nurbaiti. (2019). Pendidikan Islam Pada Awal Islamisasi di Asia Tenggara. Rajawali Press.

Pratama, F. S., Erasiah, Zain, F. M., Oktavia, N., & Rossa, M. (2022). Tumasik In The Tresures Of Southeast Asian Islamic Civilization (A Study Of The Islamic Civilization Of Singapore In The 15-20 Th Century). El-Hakam: Jurnal Studi Keislaman, 7 (2), 215–217.

Sani, H. B. A. (2010). The Rise And Role of Tariqa Among Muslims In Singapore-The Case of The Naqshbandi Haqqani. National University of Singapore.

Subehi, I. (2022). Minoritas Muslim di Asia Tenggara. KBM Indonesia.

Tumiran, S. N. (2021). Personaliti Termasyhur Singapura: Syed Mohamed bin Ahmed Alsagoff. Prosiding Nadwah Ulama Nusantara (NUN), 434.


Dynamics of Fatayat NU West Sumatra, Period of Three Srikandi Nahdiyin 1971-1999


 Nilma Yola 1*, Mufti Ulil Amri 2*, Lukmanul Hakim3

123UIN Imam Bonjol Padang

*Email: nilmayola@uinib.ac.id

Abstract

This research aims to explore the role of Fatayat NU West Sumatra

during three different leadership periods, namely Khadijah

Mawardi, Husna Aziz, and Siti Izzati Aziz. The research method used

is the historical method, which includes the stages of heuristics,

source criticism, synthesis, and preparation of reports based on the

results of data analysis. The results showed that during the

leadership of Khadijah Mawardi, Fatayat NU did not show

significant movement, especially because at the same time there was

monoloyalty to the Golkar Party in the New Order era. Furthermore,

during the leadership of Husna Aziz, the role of Fatayat NU began to

increase and was recognised by the wider community, especially

through cooperation with the Ministry of Religion and UNICEF.

However, during the leadership of Siti Izzati Aziz, there was a

setback due to her focus on preparing to run as a legislative candidate

from one of the political parties at that time.


INTRODUCTION

After the NU Congress in Palembang in 1952, Fatayat NU was recognised as an

autonomous organisation under NU. Then, the organisation began to expand its network

to other areas in Sumatra Island, such as Palembang, North Sumatra, Jambi, and Lampung.

Furthermore, the expansion also included Kalimantan and other regions, until finally 70

branches were formed in various regions during the 10-year period from 1950 to 1960. As

there was no Fatayat NU branch in West Sumatra, NU officials in the region took the

initiative to establish Fatayat NU management there.

Since NU announced its withdrawal from Masyumi in 1952, it was a tragedy that

shook the politics of Muslims at that time. Initially, Masyumi was established with the aim

of combining the political aspirations of Muslims through political parties in parliament.

The majority of supporters of the Masyumi Party were members of the NU organisation.

However, when NU withdrew, it certainly caused an uproar among the party's supporters.

As a result, the Masyumi Party lost support from NU's traditional Muslim group.

The background to NU's decision to leave the Masyumi Party was a difference of

opinion in the late 1940s. This was related to the declining role of the ulama in the political

party, where previously, the position of the Shuro Council previously given to the NU had

undergone changes in its rights and authority by the party management.(Yola, 2014) This

was the forerunner of the establishment of Fatayat NU in West Sumatra in order to gain

votes in the second election in 1971.(Maidir Harun, 2021)

‘That I still remember, when NU began to join, initially there was only

Muslimat NU, then after the election Fatayat NU appeared.’

‘In the 70s, as the 1971 elections approached, Fatayat NU was formed. The

aim was to expand the scope of NU. At that time NU was still active in

politics."

What this means is that, based on the results of the first election in 1955, although

the NU Party was the fourth winner of the election, in West Sumatra the NU Party did not

win a single seat from NU representatives. Meanwhile, the Masyumi Party, which was a

‘political opponent’ at that time, obtained several seats in parliament from West Sumatra.

Seeing Masyumi's significant strength in West Sumatra, NU felt the need to participate and

gain support from the community, especially in the context of the next general election. In

this case, the concept of political marketing expressed by Nursal can be applied. NU

planned a series of activities with a long-term focus. They utilised a marketing approach to

build effective relationships with constituents and the wider community. (Taufik

Nurrohman & Moh. Ali A, 2013) Through its cadres in West Sumatra, NU hopes to gain a

strong position and great support from the community.

Another view of the origin of Fatayat NU in West Sumatra was given by Armaidi

Tanjung, a young NU figure who was active in the West Sumatra NU. According to his

understanding, he discovered the presence of Fatayat NU around the 1980s, when he began

to be the board of GP Anshor West Sumatra. However, he does not have definite

information about official documents that mark the beginning of Fatayat NU's presence in

West Sumatra. The following is an explanation conveyed by him to the author:

"I do not have specific information about when Fatayat NU started operating in West

Sumatra. Regarding the reason why Fatayat NU came late to West Sumatra, I also

cannot provide an explanation. I first met the Chairperson of Fatayat NU in the

management period of the 1980s. Currently, that person is in Jakarta and can be

contacted for further information. That is the amount of information I have."

" I joined GP Anshor in 1989, and at that time Fatayat NU already existed. GP Anshor

itself has been operating in West Sumatra since the 1950s."(Armaidi Tanjung, 2021)

From this story, there is no definite answer from the former GP Anshor board at

that time. Perhaps when the informant joined the GP Anshor organisation, he had seen the

existence of the Fatayat NU organisation in West Sumatra. It is possible that Fatayat NU

already existed before 1989 in West Sumatra.

Based on the opinions of the two NU figures, the author estimates that since 1971

Fatayat NU has begun to germinate in West Sumatra, but because the management ignores

the proof of the management decree (SK), until now there is no definite document

regarding the certainty of it.

Apart from the issue of official documents, what is certain is that since the 1970s

Fatayat NU has set foot in West Sumatra, as it is known that the region is inhabited by most

people who think with modernity. Since the reform of the education system in the 19th

century, the people of West Sumatra have advanced in terms of mindset in every line of

life.

Then, what about the leadership of Fatayat NU in West Sumatra, are they accepted

with open arms, or even get rejection? Then, how did the Fatayat NU board carry out its

organisational movement from the New Order period to the early Reformation?


RESEARCH METHODS


This type of research uses the Historical research method, by going through four

stages namely Heuristics, source criticism, data analysis and finally writing research

results. The research technique also uses the interview method with figures related to the

NU, Muslimat and Fatayat NU West Sumatra organisations who are still alive and their

colleagues who can be asked for information as witnesses to related history.

Some of the figures the author interviewed were Husnun Aziz as Chairman of GP

Anshor in the 1970s, Azizah Aziz as Secretary of Fatayat NU in the 1980s. In addition,

interviews were also conducted with Armaidi Tanjung, an NU figure and senior journalist

who wrote a lot about NU in West Sumatra, and others.


RESULTS AND DISCUSSION

After entering West Sumatra, NU did not immediately become a well-known

organisation to the community, especially the autonomous body of NU itself. This was

mainly because West Sumatra already had an influential organisation, Perti (Persatuan

Tarbiyah Islamiyah), which was founded on 5 May 1928 in Candung, Bukittinggi, on the

initiative of Sheikh Sulaiman Ar-Rasuli, Sheikh Abbas, and Sheikh Muhammad Djamil

Djaho.

Perti is a traditionalist organisation based in rural, agrarian and Islamic boarding

schools in West Sumatra. They uphold the Shafi'i Mazhab and refer to the books and

beliefs of Ahlusunnah wal-jamaah. The establishment of this organisation was triggered

by conflicts of thought and differences of opinion between the older and younger ulama,

especially in matters of Fiqh, Tariqah, and others. These conflicts were often presented

through oral and written discussions, the results of which were documented in several

print media.

In an effort to demonstrate their existence, the old guard also began to publish

magazines such as al-Mizan, Ar-Radd wa al-Mardud, and others. This was aimed at

showing the superiority of the older scholars in scientific debate, just as the younger

ones had done. Seeing these dynamics, Sheikh Sulaiman Ar-Rasuli initiated a meeting

with other elders. An agreement was reached to establish the Madrasah Tarbiyah

Islamiah (MTI) in 1930, which then united the old ulama in an organisation called Perti.

Although the organisation expanded to areas such as Jambi, Tapanuli, Bengkulu, Aceh,

West Kalimantan and South Sulawesi, its strongest influence remained in West

Sumatra.(Kementerian Penerangan, 1954)

The Perti organisation is in line with NU in tradition and scholarship, both

adhering to the Ahlu Sunnah wal-Jamaah school of thought and following the four

Imams of the madhhab. Over time, Perti also decided to establish its own political party,

the Tarbiyah Islamiah Party. The similarities in culture, ideology and school of thought

between NU and Perti may be one of the reasons for NU's acceptance in West Sumatra,

as they felt they had something in common in their movements. In addition, the

friendliness of West Sumatran society towards immigrants also opened up

opportunities for NU and its autonomous organisations to mix in West Sumatra.

NU and Perti have similar beliefs, namely following ahlusunnah waljamaah, and

this similarity in beliefs is evident from the following statement. Sahirin said that:

" Not surprisingly, the Perti organisation, which calls itself an adherent of

Ahlusunnah wal Jamaah and the Syafii school of thought, has many

interesting aspects to explore."(Sahirin, 2020)

Nonetheless, in situations where two organisations have almost the same things

in common, one of the two is likely to become more dominant while the other may lag

behind. The same applies to Perti and NU. At that time, Perti's influence was still quite

strong, and the presence of NU did not disrupt their presence in West Sumatra so there

was no social jealousy between the two, in other words, the level of social discontent

was low. If the main organisation is already well accepted in the community,

introducing its women's organisation (Fatayat NU) will not be a difficult thing to

do.(Suwarno, 2001) It can be observed that both the long-established Perti in West

Sumatra and the newly established NU have similar basic principles. Therefore, the

presence of NU in West Sumatra did not threaten the existence of pre-existing

organisations.

In addition to the two factors mentioned above, it is also important to recognise

the role of figures who played a major role in NU in West Sumatra. Some of the figures

who bear witness to the history of NU in West Sumatra include highly respected

individuals in the area, such as H. Abdul Aziz Sholeh Tuanku Mudo, H. Tuanku

Bagindo Mohammad Leter, H. Abdul Razak Tuanku Mudo, Buya KH. Mansur Dt.

Nagari Basa, and others.

These figures are not ordinary people, they are highly respected figures in West

Sumatra and have great influence in the community. Their presence alone has a strong

attraction, similar to a magnet that draws people to join NU. Thus, from the above

explanation, it can be seen that the presence of NU and its autonomous organisations in

West Sumatra from the beginning did not cause rejection from pre-existing

organisations or from the local community.(Nilma Yola, 2023)


Firstly, the author will discuss Fatayat NU during the period of Khadijah Mawardi,

which lasted from 1971 to 1982. Khadijah Ismail, who was the first Fatayat NU Chairperson

in West Sumatra, was a lecturer at the Faculty of Tarbiyah IAIN Imam Bonjol Padang and

a foundation administrator at STAI-YAPTIT Pasaman Barat. Her husband, Mawardi

Nasution, was also a West Sumatra NU official at the time.

1. Khadijah Ismail1

As is customary for Fatayat NU in Java, the Fatayat NU board was first chosen from

the closest circle or relatives of NU administrators. This decision was made through

deliberation and consensus between the West Sumatra NU, Muslimat, and GP Anshor

Regional Administrators, as well as several other NU activists. Khadijah Ismail was then

chosen to be the first Fatayat NU Chairperson in West Sumatra. However, during this

period, Fatayat NU did not experience significant development for a decade, or often called

‘suspended animation’. Coupled with the enactment of the obligation of monoloyalty to

the Golkar Party during the Orde Baru regime.(Syafrizal, 2020) Khadijah Ismail allegedly

served as Chairperson of Fatayat NU West Sumatra from around 1971 to the 1980s, which

ended at the same time as Husna Aziz's leadership continued.

The vacuum of Fatayat NU activities in West Sumatra coincided with the vacuum

of Fatayat NU management nationally, as previously explained. The lack of figures who

led and directed Fatayat NU during that period caused no development or work

programme to be seen during that period.

Further information about Khadijah Ismail's leadership period is not available, and

the last information obtained states that she died in 2016. However, information from one

of her relatives, Dra. Putrina, a retired IAIN Imam Bonjol employee, confirms that Khadijah

Ismail in 1970 was domiciled in Padang City as a lecturer at the Faculty of Tarbiyah IAIN

Imam Bonjol Padang. This corroborates the fact that in 1971, Khadijah Ismail did serve as

the head of Fatayat NU while carrying out her teaching duties on campus. However, there

is no further information about Khadijah Ismail's involvement in the Fatayat NU

organisation.

Second, during Husna Aziz's time Fatayat NU began to rise and develop. Based on

her story to the author, Husna Aziz was initially only included as the regional secretary of

Fatayat NU West Sumatra during the leadership of Khadijah Mawardi. This was because

she was the daughter of NU West Sumatra leader Buya Bagindo Aziz, but during that time

she did not know anything about the running of the Fatayat NU organisation, aka she was

not active in the organisation. According to her memories, around the 1980s, she was reelected

as Chairperson to replace Khadijah Ismail, along with the visit of PP Fatayat NU

officials who brought the responsibility to run the PKHA Project by Fatayat NU

administrators who were active in the region. The project must be carried out by active

Fatayat NU administrators, while Khadijah Ismail's management period has been

vacuumed. Therefore, she was appointed as a replacement for Khadijah Ismail as the

Chairperson of Fatayat NU. The inauguration of the new board was held in the evening at

Muaro Hotel, followed by the initiation procession. Initially, Husna refused to accept the

role of the board, but the NU central board who came continued to persuade her until she

finally agreed. (Nilma Yola, 2023)


2.  Husna Aziz

Husna Aziz was appointed as the Chairperson of Fatayat NU also because of her

position as the daughter of an NU figure in West Sumatra. When PP Fatayat NU visits West

Sumatra, they will definitely visit the NU secretariat office, which happens to be located in

the pavilion where her family lives, which was used by her father as the office of the NU

Secretariat and its banom at that time. Instead of looking for another candidate, it was more

practical to directly appoint a relative from the West Sumatra NU board, which would

certainly be approved by the NU figure.

To assist Husna Aziz in running the programme assigned by the central Fatayat NU

PP, her younger sister, Azizah Aziz, who was still young at the time, was appointed as the

person who would help her run the organisation as well as the cooperation project.

Moreover, with the young pregnancy she was facing, it was not possible for her to move

too actively, for the safety of the foetus in her womb.(Husna Aziz, 2021)

To start the first step, Fatayat NU West Sumatra collaborated with GP Anshor to

expand their presence in various regions. As a result, several Fatayat NU branches were

formed, such as PC Fatayat NU Padang Pariaman Regency, PC Fatayat NU Bukittinggi

Regency, PC Fatayat NU Agam, PC Fatayat NU Payakumbuh, PC Fatayat NU 50 Kota

Regency, PC Fatayat NU Sawahlunto Sijunjung Regency, PC Fatayat NU Padang, and PC

Fatayat NU Pasaman.

At the beginning of the establishment of Fatayat NU, the branches that were formed

were not yet active in activities. The management was taken from the daughter of the local

NU board. After the board was elected and inaugurated, the socialisation of the PKHA

program began to each management, while introducing Fatayat NU to the community.

At that time, Fatayat NU, Muslimat NU, and GP Anshor supported each other in

the implementation of activities because there was still a lack of human resources who were

ready to go directly to the field. The lack of interest of the younger generation is also a

challenge in developing the organisation.

Their enthusiasm in building branches in various regions is very high. In fact, they

are willing to stay at the home of local NU administrators during socialisation. Personal

approach and support from the Muktasyar PWNU also helped smooth their affairs in the

regions, leading to the establishment of new branches.(Nilma Yola, 2021)

During this period, moderator training was also conducted for field officers

implementing the PKHA programme. Based on the 1983 Statistical Report, infant and

under-five mortality rates in Indonesia were relatively high, reaching 90.3 per thousand

births for infants and 17.8 per thousand for under-fives. However, census results in 1985

showed a decline in infant mortality to 7.5 per thousand births. This decline was supported

by health programmes implemented by the government with the help of relevant officials.

In order for the officials involved to work effectively in the field, they need to be

equipped with adequate knowledge. Therefore, before going to the community, Fatayat

NU as the implementer of this activity held a motivator training. This training was held at

Wisma B.K.K.B.N DATI I West Sumatra, Jalan Khatib Sulaiman No.1 on 18-21 October 1987.

This training is a continuation of the cooperation programme in the Child Survival Project

between the Indonesian government and UNICEF in 1985/1989, as stated in the letter of

Assistance Agreement which has been signed for the second year.(Aziz, 1987)

The objective of the training is to provide motivation to implement immunisation

and diarrhoea control programmes. The training participants, 50 in total from 8 regional

branches, will be equipped with the necessary knowledge to enable them to become

effective motivators in the community. The participants come from various regions such as

Padang, Pariaman, Agam, Payakumbuh, Bukittinggi, Sawahlunto/Sijunjung, Pasaman,

and District 50 Kota.

This activity was funded by UNICEF, the Provincial Government, and Fatayat NU

West Sumatra. The Child Survival Project (PKHA), which is carried out in collaboration

with NGOs, is expected to provide benefits to the community, especially for those who

have children and toddlers. This is especially important for people living in areas that are

difficult to reach by health services. This motivator training is part of the support provided

to run the PKHA programme initiated by UNICEF, the Ministry of Religious Affairs, and

executed by Fatayat NU. Those were some of the activities that were quite large and broad

in scope carried out by Fatayat NU in West Sumatra during Husna Aziz's time. Then, the

management period ended and the leadership changed to Siti Izati Aziz, the younger sister

of Husna and Azizah Aziz.

Third, during her leadership period, there was no visible development of the Fatayat

NU organisation as before. She was more inclined to continue what had been pioneered by

her two older siblings. Although she did not get permission from her husband to be active

in organisational activities, at the request of her mother to replace her sister, Husna Aziz,

she decided to follow her wishes as a form of obedience to her parents.

3. Siti Azizah Aziz

In addition, she was preparing to run for the West Sumatra Provincial Parliament.

Most of her focus was on preparing to enter politics. This may have caused her to focus less

on developing the Fatayat NU organisation as her two sisters had done before.

However, in 1991, during Siti Izzati's inactive leadership, her father, Buya Aziz,

began to look for solutions to make Fatayat NU active again. He saw leadership potential

in his granddaughter, Jusmaniar, who often visited his house in Padang City. So, Jusmaniar

was invited to participate in NU activities and began to learn about the Fatayat NU

organisation. When the position of Chairperson of Fatayat NU Padang City was vacant,

Jusmaniar was appointed as Chairperson of Fatayat NU Padang City because of her

experience in organising in Padang City and the assumption that without the existence of

an active branch, the region would have no meaning. Although at the same time she also

served as PAW for the Fatayat NU Regional Board, this is where Jusmaniar began to

continue the struggle of Fatayat NU in West Sumatra. She served as a Fatayat NU board

member only until 1999, because her parents began to get sick and she was required to

serve her parents in the village. Since then, the echo of Fatayat NU in West Sumatra has not

been heard anymore. Structurally they still exist, but the movement is no longer visible.


CONCLUSIONS

Fatayat NU was initially present in West Sumatra with the aim of contributing to

the number of votes in the second election in 1971 by the NU Party. However, in reality,

the NU Party experienced a change in direction as an organisation that focused more on

service to the ummah, so in 1971, the NU Party no longer participated in the second election

contest.

During the first decade since its establishment in West Sumatra, Fatayat NU under

the leadership of Khadijah Mawardi did not carry out active activities. This was because

Khadijah was busy as a lecturer engaged in teaching activities, and also because at that time

there was monoloyalty to the Golkar Party in the New Order era.

However, in the second decade, Fatayat NU's presence in West Sumatra began to

be felt. This was marked by the opening of new branches in various regions in West

Sumatra. This was further strengthened by the cooperation programme between the

Ministry of Religious Affairs and UNICEF run by Fatayat NU. However, although it began

to be recognised by the community, Fatayat NU experienced significant changes after the

change of leadership from Husna Aziz to Siti Izzati Aziz, without any innovation or new

work programmes being introduced.


ADVICE

This research is only about the figures who govern Fatayat NU in West Sumatra,

for further researchers can continue the study of the causes of the decline of Fatayat NU in

West Sumatra until now.


ACKNOWLEDGMENTS

Thank you to those who have helped in completing this research, especially the

resource persons who have been willing to take the time to provide information to the

author. Mr. Maidir Harun, Armaidi Tanjung, Husna Aziz, Azizah Aziz, Jusmaniar, etc.


REFERENCE

Armaidi Tanjung. (2021). Wawancara Pribadi dengan Armaidi Tanjung.

Aziz, A. (1987). Laporan Pelaksanaan Latihan Motivator Fatayat NU Sumatra Barat.

Husna Aziz. (2021). Wawancara pribadi dengan Husna aziz.

Kementerian Penerangan. (1954). Kementerian Penerangan, Kepartaian dan Parlementaria di

Indonesia. Kementerian Penerangan.

Maidir Harun. (2021). Wawancara dengan Maidir Harun.

Nilma Yola. (2021). Wawancara Pribadi dengan Azizah Aziz.

Nilma Yola. (2023). Derap Langkah Fatayat NU Sumatra Barat. Penerbit ADAB.

Sahirin. (2020). Sejarah Perkembangan PERTI di kabupaten Seluma Tahun 1950-2019. IAIN

Bengkulu.

Suwarno. (2001). Muhammadyah Sebagai Oposisi. UII Press.

Syafrizal. (2020). Kemunduruan Politik Aliran di Sumatra Barat Pada Awal Orde Baru:

Partai Perti Sebagai Perbandingan. Analisis Sejarah, 9 (2), 1.

Taufik Nurrohman & Moh. Ali A. (2013). Partai Politik dan Pemilukada (Analisis Marketing

Politik dan Strategi Postioning Partai Politik Pada Pilkada Kabupaten Tasikmalaya.

Universitas Siliwangi.

Yola, N. (2014). Dinamika Partai Politik Islam di Indonesia; Analisis tentang Eksistensi Nahdlatul

Ulama dalam Partai Masyumi. IAIN Imam Bonjol Padang.


Organisasi Perempuan Tradisionalis di Tengah Masyarakat Modernis (Fatayat NU di Sumatera Barat 1971-1999)

ORGANISASI PEREMPUAN TRADISIONALIS DI TENGAH MASYARAKAT MODERNIS: (Fatayat NU di Sumatera Barat 1971-1999)



Nilma Yola

UIN Imam Bonjol Padang

dindayola17@gmail.com

Abstrak

Tulisan ini membahas mengenai sejarah perkembangan Fatayat NU di Sumatera Barat. Masalah dalam penelitian ini adalah bagaimana sejarah masuk dan berkembang Fatayat NU di Sumatera Barat. Dalam membahas tulisan ini penulis menggunakan metode penelitian sejarah. Hasil dari penelitian ini menjelaskan bahwasanya Fatayat NU masuk ke Sumatera Barat Pada tahun 1971, dengan tujuan awal untuk melebarkan sayap NU di daerah. Periode pertama, Fatayat NU dipimpin oleh Ibu Khadijah Ismail namun mengalami kevakuman dalam menjalankan organisasi, mulai bergerak kembali saat terbentuknya kepengurusan Fatayat NU periode kedua masa kepengurusan Husna Aziz. Hingga mengalami kemunduran masa kepengurusan Siti Izzati Aziz.

Kata kunci: Fatayat NU, sejarah dan Sumatera Barat.

Abstract

This paper discusses the history of the development of Fatayat NU in West Sumatra. The problem in this research is how the history of the entry and development of Fatayat NU in West Sumatra. In discussing this paper the author uses the method historical research. The results of this study explain that Fatayat NU entered West Sumatra in 1971, with the initial aim of to expand NU's wings in the regions. The first period, Fatayat NU was led by Khadijah Ismail's mother but experienced a vacuum in carrying out organization, began to move again when the Fatayat management was formed NU for the second period of the management of Husna Aziz. Until experiencing the setback of Siti Izzati Aziz's tenure.

Keywords: Fatayat NU, history dan West Sumatera.


A. Latar Belakang Hadirnya Organisasi Fatayat NU di Sumatera Barat

Dari sejak berdiri hingga diakui secara resmi oleh PBNU sebagai salah satu organisasi banomnya, Fatayat NU bergerak cepat melebarkan sayap kekuasaannya ke wilayah lain di sekitaran Pulau, Jawa lalu ke Pulau Sumatera hingga kepuluan di wilayah Timur Indonesia. Di Pulau Sumatera jaringan penyebaran organisasi Fatayat NU meliputi wilayah Sumatera Utara. Jambi, Lampung dan Palembang. Hingga pada akhirnya masuk ke wilayah Sumatera Barat.

Terdapat beberapa pendapat dari tokoh-tokoh yang mengetahui informasi mengenai Fatayat NU di Sumatera Barat, seperti:

1. Maidir Harun, mengatakan bahwa masuknya Fatayat NU ke Sumatera Barat bertepatan dengan akan digelarnya pemilu di Indonesia. NU sebagai salah satu organisasi Islam terbesar, melalui partai politik NU ikut serta dalam pemilihan umum kala itu melihat adanya peluang untuk mendapatkan jatah kursi di DPRD Sumatera Tengah. Biasanya suara Masyumi adalah pemenang pemilu pada pemilihan umum terdahulu.

“Seingat saya, awalnya NU hanya ada Muslimat sebagai organisasi perempuan di Sumatera Barat. Tidak lama setelah itu berdiri Fatayat NU, tujuannya untuk memperluas jaringan NU di Sumatera Barat.

Pendapat tersebut didukung dengan data hasil pemilu sebelumnya tahun 1955, sebagai berikut :

1. Di wilayah pemilihan Sumatera Tengah berhasil mendapatkan 11 kursi di parlemen pada pemilijan umum tahun 1955, dengan rincian: 6 kursi dari Masyumi, 3 kursi dari Perti, 1 kursi dari PKI dan 1 kursi dari PPTI. Dari pemenang pemilu di atas, NU tidak mempeoleh kursi pada pemilihan kali ini di wilayah Sumatera Tengah, maka dari itu ia mulai menambah perwakilannya melalui organisasi pemudinya.

2. Armaidi Tanjung, berujar bahwasanya Fatayat NU sudah ia dapati pada tahun 1980-an, bertepatan dengan dirinya aktif bergabung pada organisasi GP Anshor Sumatera Barat tahun 1989, dan mereka sering melakukan kerja bersama degan Fatayat NU saat mengangkat kegiatan di tengah masyarakat.. Namun, ia tidak mengetahui kapan pastinya Fatayat NU Sumatera Barat berdiri, dikarenakan tidak ada arsip ataupun dokumentasi yang ia temukan mengenai Fatayat NU tersebut.5 Berikut ungkapan darinya:

“Ambo, kalau bilo masuaknyo secaro persis ambo ndak tau, tapi kalau latar belakang baa talambek masuak, tu bisa ambo manjawab tu. Lalu, Ambo yang baru dapek ketuanyo tu yang tahun 80-an.

Kini urangnyo di Jakarta, bisa di telpon itu. Ha, itu informasi yang dapek dek ambonyo”.

(saya, soal kapan masuk Fatayat NU saya tidak tahu. Namun, kalau bicara soal latar belakang kenapa Fatayat NU terlambat masuk ke Sumatera Barat saya bisa menjawab. Saya bertemu dengan Ketua Fatayat NU itu yang ada pada kepengurusan tahun 1980-an. Sekarang orangnya ada di Jakarta, bisa dihubungi itu. Itu informasi yang saya tahu.

“Ambo bergabung dengan Anshor dan NU tu tahun 1989, haa bersama dengan itu alah ado Fatayat NU, karano itu informasi yang ambo dapatkan, sedangkan Anshor dari tahun 50 an alah ado”.

(Saya bergabung dengan GP Anshor pada tahun 1989, nah bersamaan dengan itu sudah ada Fatayat NU, dan GP Anshor itu sudah ada di Sumatera Barat sejak tahun 1950-an).

3. Husna Aziz, merupakan putri dari Mukhtasyar PBNU masa itu sekaligus Ketua Fatayat NU periode ke-2, mengatakan bahwa ia menjabat sebagai pengurus sekitar tahun 1980-an.

“Uni lupo sangaik bilo lah ado Fatayat NU ko di awalnyo, rasonyo tahun 80-an uni ingek, katiko itu uni hamil anak uni nan partamo, sadang hamil mudo uni katiko itu. Katiko itu ado proyek yang punyo Fatayat NU, dan tu harus ado pengurus yang aktif, makonyo ditunjuaklah uni jadi ketua manggantian ibu Khadijah tu, sebab urang pusat kan berkunjung ka sakretariat NU maso itu di pavilium uni, dirumah. Malam tu juo uni ntah di hotel Muaro ntah dima wakatu tu tu langsuang dilantik jo dibaiat, awalnyo uni manolak tapi disamangek an juo taruih dek pengurus pusat yang datang (kunjungan ibu

Makhfudoh), Husna kamu bisa. Akhirnyo uni yang jadi ketua sasudah Ibu Khadijah Ismail tu lai”.

(Uni lupa kapan persisnya Fatayat NU ini hadir di Sumatera Barat, rasanya sekitar tahun 1980 an. Uni ingat pada masa itu uni sedang hamil anak pertama, pas banget waktu itu tengah hamil muda. Lalu datang pengurus Fatayat NU pusat membawa kabar mengenai adanya proyek kerjasama Fatayat NU, dan proyek itu harus dijalankan oleh pengurus Fatayat NU aktif, sedangkan masa kepengurusan Bu Khadijah selama ini sudah vakum. Lalu ditunjuklah uni sebagai pengganti Buk Khadijah menjadi ketua Fatayat NU. Pada hari itu juga, malamnya dilakukan pelantikan pengurus baru di Hotel Muaro , lalu langsung di baiat. Pada awalnya uni menolak untuk dijadikan pengurus. Namun, karena di kasih dukungan terus sama pengurus pusat akhirnya uni bersedia menjabat sebagai Ketua Fatayat NU).

Pengangkatannya lewat penunjukan langsung oleh pengurus Fatayat NU pusat yang berkunjung ke Sumatera Barat dalam rangka sosialisasi pelaksanaan program PKHA yang diamanahkan oleh Departemen Agama bekerja sama dengan UNICEF. Kerja sama tersebut mengharuskan adanya kepengurusan Fatayat NU aktif di setiap daerah yang ditunjuk sebagai pelaksana kegiatan tersebut. Bertepatan, Husna merupakan putri dari salah satu tokoh pembawa NU ke wilayah Sumatera Barat yaitu Buya Aziz. Kebiasaan dalam organisasi Fatayat NU untuk penunjukan pengurus diambil dari putri pengurus NU di daerah. Kemudian ia dibantu oleh adiknya Azizah Aziz sebagai Sekretaris Wilayah Fatayat NU Sumatera Barat.

4. Azizah Aziz, merupakan mantan Sekretaris wilayah Fatayat NU wilayah Sumatera Barat tahun 1980-an. Berdasarkan cerita yang ia sampaikan, awalnya ia tidak tahu apapun tentang Fatayat NU, namun ayahnya Tuanku Aziz selalu membujuk dia agar mengambil jabatan posisi sebagai penerus organisasi Fatayat NU. Apalagi, ia yang berlatar belakang sebagai kader HMI, lebih fokus memajukan organisasinya tersebut. Namun, kegigihan ayahnya membujuk, akhirnya meluluhkan hati azizah untuk berbalik arah mengabadikan diri menjadi pengurus Fatayat NU dengan mengawali pengkaderan dari organisasi PMII terlebih dahulu. Setelah itu, ia ikut dilantik sebagai pengurus Fatayat NU berbarengan dengan kakaknya Husna Aziz, yang masa itu tengah dalam kondisi berbadan dua, sehingga tidak memungkinkan untuk terlalu aktif berorganisasi. Saat itulah, peran Azizah banyak membantu berjalannya organisasi.

5. Khusnun Aziz, merupakan Ketua GP Anshor masa tahun 1980-an, menyampaikan bahwasanya sebelum kepengurusan Husna Aziz telah ada terbentuk pengurus Fatayat NU Suamatera Barat sebelumnya. Kepengurusan tersebut diketuai oleh Khadijah Ismail, seorang dosen di Fakultas Tarbiyah IAIN Imam Bonjol Padang. Untuk mengkonfirmasi data tersebut, penulis juga melakukan wawancara dengan salah satu kerabat Khadijah Aziz yang juga pensiunan pegawai di IAIN Imam Bonjol Padang, Masrina bahwasanya sekitar tahun 1970-an, Khadijah Aziz memang terdaftar sebagai salah satu dosen di Fakutas Tarbiyah IAIN Imam Bonjol, dan berdomisili di Kota Padang.

6. Jusmaniar, ia merupakan mantan Ketua Fatayat NU cabang Kota Padang pertama. Awalnya ia menjabat sebagai pengganti sementara sekretaris wilayah masa kepengurusan Siti Izzati Aziz, yang masa itu sempat tidak berjalan. Menurut sepengetahuannya, Fatayat NU sudah ia dapati ada, dan dapat cerita memang dimulai dari kepengurusan Khadijah Ismail, namun ia tidak mendapati arsip-arsip Fatayat NU terdahulu sampai masa ia menerima estafet kepengurusan Fatayat NU. Menurutnya, Fatayat NU di Sumatera Barat sudah ada sejak lama, namun tidak ada terdengar gaung pergerakan Fatayat NU di Sumatera Barat selama ini.8

Berdasarkan beberapa pendapat di atas, penulis melihat bahwasanya Fatayat NU di Sumatera Barat awalnya dibawa untuk memperluas jaringan NU yang dilakukan melalui perantara kader mereka di daerah. Hal itu dikarenakan, pada pemilu tahun 1955, Partai NU memperoleh urutan ke 3 sebagai peraih suara terbanyak nasional. Sedangkan di Sumatera Barat9 Partai NU tidak memperoleh kursi pemenang pemilu, timbul keinginan untuk menjadi peraih kursi dalam pemilu berikutnya. Salah satu langkah yang ditempuh dengan menempatkan kader mereka disana. Menurut Schroder Peter, strategi politik bisa diterapkan pada kasus kali ini, dimana strategi politik sudah beralih fungsi dari bidang militer kepada bidang lainnya.10 Itulah masa awal berdiri, kepengurusan Fatayat NU di Sumatera Barat tahun 1971. Untuk keanggotaannya ditunjuk kerabat dari petinggi NU di Sumatera Barat.

B. Masuk dan Berkembang Fatayat NU dalam masyarakat Sumatera Barat

Sebelum NU masuk ke Sumatera Barat, disini sudah berkembang organisasi tradisionalis keagamaan juga, namanya PERTI (Persatuan Tarbiyah Islamiyah). Merupakan organisasi yang berliran sama dengan NU berbasis pedesaan, agraris, serta pesantren di Sumatera Barat. Pada bidang pemikiran, merujuk dan berpegang pada kitab-kitab karangan Imam Syafii, dan berfaham Ahlusunnah wal-jamaah. Organisasi ini berdiri pada tanggal 5 Mei 1928 di daerah Canduang, Bukittinggi, diprakarsai oleh Syeikh Sulaiman Ar-Rasuli, Syeikh Abbas dan Syeikh Muhammad Djamil Djaho.12

Lahirnya organisasi ini dilatarbelakangi oleh konflik perang pemikiran antara kaum muda dan kaum tua di Sumatera Barat. Tahun 1930, diawali dengan didirikannya Madrasah Tarbiyah Islamiyah (MTI) untuk menyatukan antara kaum muda dan kaum tua dalam sebuah wadah yaitu organisasi PERTI (Persatuan Tarbiyah Islamiyah). Organisasi ini berkembang hingga Jambi, Aceh, Tapanuli, Aceh, Kalimantan Barat, Sulawesi Selatan, Bengkulu, dll.

Selain itu, NU sebagai organisasi pendatang di Sumatera Barat, dijelaskan dalam AD-ART NU bahwasanya “Nahdlatul Ulama beraqidah Islam menurut faham Ahlusunnah wal-jamaah dalam bidang aqidah mengikuti salah satu dari Mazhab empat (Hanafi, Maliki, Syafii dan Hambali); dan dalam bidang tasawuf mengikuti mazhab Imam al-Junaidi al-Baghdadi dan Abu Hamid al-Ghazali”.14 Dari penjelasan tersebut, kita ketahui bahwa ciri-ciri yang dimiliki oleh organisasi Perti hampir mirip dengan organisasi NU sebagai oranisasi tradisionalis namun memiliki kultur Jawa. Sehingga, antara kedua organisasi tersebut tidak terjadi pertentangan yang besar saat NU masuk dan mulai berkembang di Sumatera Barat karena mereka sejalan. Dikarenakan NU sudah memperoleh tempat di tengah masyarakat Sumatera Barat, untuk kehadiran banom perempuan NU yang masuk juga tidak terjadi penolakan dari masyarakat.

Selain itu, tokoh-tokoh penting NU di Sumatera Barat dipegang oleh orang-orang yang memiliki pengaruh, seperti H. Abdul Aziz Sholeh Tuanku Mudo, H. Tuanku Bagindo Mohammada Leter, H. Abdul Razak Tuanku Mudo, dll. Ketokohan mereka menjadi daya tarik tersendiri bagi masyarakat untuk ikut serta organisasi yang mereka ikuti, termasuk Fatayat NU dimana untuk kepengurusan diambil dari putri pejabat NU tersebut.

Perkembangan Fatayat NU di Sumatera Barat

Dalam penelitian ini, terdapat tiga periode kepemimpinan Fatayat NU di Sumatera Barat:

1. Masa Khadijah Ismail (1971-1980)

Merupakan Ketua Fatayat NU pertama di Sumatera Barat, masa itu sekaligus ia menjabat sebagai dosen di Fakultas Tarbiyah IAIN Imam Bonjol Padang. Suaminya merupakan salah satu pengurus NU di Sumatera Barat, yaktu Mawardi. Berdasarkan kebiasaan dalam keluarga NU, untuk pemilihan kepengurusan awal ditunjuk calonnya dari kerabat-kerabat pengurus NU. lewat mufakat bersama pengurus NU Sumatera Barat, pengurus GP Anshor, dan juga Muslimat NU. Akhirnya, desepakati memilih Khadijah Ismail sebagai ketua pertama Fatayat NU Sumatera Barat.

Namun, masa kepengurusannya terjadi praktik mono loyalitas kepada Golkar, dimana seluruh Pegawai Negeri diwajibkan untuk loyal dan patuh kepada Golkar di bawah Soeharto. Berhubung Khadijah Ismail adalah seorang Pegawai Negeri, ia lebih memilih menyelamatkan sumber ekonomi kelurganya ketimbang aktif menyuarakan organisasi. Selain itu, masa kepengurusan ini bertepatan dengan masa vakum Fatayat NU secara nasional, jadi tidak terdapat pergerakan yang berarti ,asa awal periode pengurusan Fatayat NU di Sumatera Barat.

2. Husna Aziz (1982-1992)

Ia merupakan putri dari Mukhtasyar PWNU Sumatera Barat masa itu. Ditunjuk langsung oleh Ketua PP Fatayat NU Makhfudzoh, bertepatan dengan kunjungan mereka ke Sumatera Barat dalam rangka sosialisasi program PKHA (Program Kelangsungan Hidup Anak). Kerjasama ini merupakan kesepakatan antara Unicef dengan departemen Agama, dan Fatayat NU menjadi salah satu lembaga yang diamanahi melaksanakan program kerjasama tersebut. Selama menjabat ia didampingi oleh adiknya Azizah Aziz sebagai Sekretaris Wilayah Fatayat NU, hingga berakhir masa kepengurusannya.

Selama masa kepengurusan ini, beberapa program kerja berhasil dilaksanakan, diantaranya:

a. Memperbanyak cabang Fatayat NU di daerah-daerah Sumatera Barat, seperti: PC Fatayat Kab Padang Pariaman, Kab. Bukit Tinggi, Kab. Agam, Kota Payakumbuh, Kab. 50 Kota, Kab. Sawahlunto Sijunjuang, Kota Padang, Pasaman.15

b. Melaksanakan program PKHA, untuk mewujudkan visi “Indonesia Sehat 2010”16, dengan menerapkan pembangunan nasional berwawasan kesehatan, dan ditargetkan membentuk lingkungan yang sehat serta perilaku yang sehat.

c. Melakukan Kegiatan Pelatihan Motivator, dilaksanakan di Wisma B.K.K.B.N DATI I Sumatera Barat, pada tanggal 18-21 Oktober 1987. Merupakan kegiatan tindak lanjut dari program PKHA sebagai bagian integrasi dari program kerjasama antara pemerintah Indonesia dengan Unicef.

Masa kepengurusan perode ke 2 ini merupakan masa emas Fatayat NU di Sumatera Barat. Melalui PKHA pengurus Fatayat NU Sumatera Barat, menyelipkan misi memperkenalkan Fatayat NU kepada masyarakat luas. Sampai akhirnya Fatayat NU mulai dikenal oleh masyarakat.

3. Siti Izzati Aziz (1993-1999)

Siti merupakan adik dari Husna Aziz, merupakan anggota DPRD Provinsi Sumatera Barat dari Partai Golkar. Selama masa kepengurusannya Fatayat NU mulai redup, berbeda dengan periode kepengurusan sebelumnya. Selain meneruskan program yang diwariskan dari kepengurusan terdahulu, tidak ada lagi kegiatan baru yang dilaksanakan masa kepengurusan ini. Tambah lagi, sibuk mempersiapkan pemilihan anggota DPRD Provinsi Sumatera Barat. Begitulah awal mulai hilangnya semangat berorganisasi Fatayat NU di Sumatera Barat, bahkan hingga saat ini.

Berhubung Ketua Fatayat NU sudah tidak aktif lagi berkegiatan, lalu Jusmaniar diangkat sebagai PAW Sekretaris Wilayah Fatayat NU mendampingi Yanti yang diamanahkan sebagai pengganti sementara Siti Izzati. Tidak berselang lama, Yanti menikah kemudian tersisalah Jusmaniar sebagai PAW Fatayat NU, dari situlah berawal perpindahan kepengurusan dari PAW Fatayat NU hingga menjabat Ketua Cabang Fatayat NU Kota Padang.


Daftar Pustaka

Aldomi, P, Hazan, Z.M.K. Prinsip dan Jati Diri Persatuan Tarbiyah Islamiyah; Beri’tikad Ahlusunnah Wal Jama’ah dan Mazhab Mazhab Syafi’i. Padang: Jasa Surya Padang, 2015.

Armaidi, Tanjung. Wawancara Pribadi Penulis, Agustus 2021.

Azizah, Aziz. “Laporan Pelaksanaan Latihan Motivator Fatayat NU Sumatera Barat.” Padang, 1987.

———. Wawancara pribadi, 21082021.

Hasan, ’Abd al-’Al. Al-Tarbiyah al-Islamiyyah fi al-Qarn al-Rabi‘ al-Hijri. Mesir: Dar al-Fikr al’Arabi, t.t., t.t.

Husna, Aziz. Wawancara Pribadi Penulis, Agustus 2021.

Jusmaniar. Wawancara Pribadi Penulis, Agustus 2021.

Kementerian Kesehatan. Keputusan Menteri Kesehatan RI Nomor 1059/MENKES/SK/IX/2004, 1059 § (2004).

Kementerian Penerangan. Kepartaian dan Parlementaria di Indonesia. Jakarta: Kementerian Penerangan, 1954.

Maidir, Harun. Wawancara Pribadi Penulis, Agustus 2021.

Nalfira. “Sumatera Barat di Parlemen, Hasil Pemilu 1955.” Parintangrintang (blog), t.t. https://parintangrintang.wordpress.com/2019/04/14/sumatera-barat-di-parlemen-hasil-pemilu-1955/.

Peter, Schroder. Strategi Politik. Jakarta: Friedrich Nauman Stiftung, 2008.

PP NU. ADART Nahdhlatul Ulama Mukhtamar ke 32 (2010).

Selasa, 18 Oktober 2022

Sejarah Asal usul Sistem Matrilineal di Minangkabau

 



Banyak yang bertanya kapan awal mula munculnya sistem kekerabatan "matrilineal" di Minangkabau. Dan, siapa yang mencetuskannya pertama kali ?
Memang tidak banyak sumber yang membahas tentang hal tersebut. Charles Robenta, dkk dalam tulisannya "Perjuangan Adityawarman di Kerajaan Dharmasraya Nusantara tahun 1339-1376, menulis bahwasanya asal muasal munculnya sistem kekerabatan matrilineal di Minangkabau bermula saat Adityawarman diutus sebagai bawahan Majapahit ke Dharmasraya.

Saat Adityawarman menjadi Raja bawahan di Dharmasraya akan memperluas wilayah kekuasaannya di
bumi Melayu, salah satu wilayah yang akan ditaklukan serta disatukan ke dalam kekuasaan Dharmasraya adalah Minangkabau, namun mendapat pertentangan dari Datuk Katumanggungan yang merupakan mamak (paman) Adityawarman sendiri, sebagai pemangku nagari Rajo Alam Minangkabau sudah berkehendak untuk melawannya dengan kekuatan militer namun dilain pihak Datuk Perpatih Nan Sebatang sudah memperkirakan, bahwa tidak mungkin Minangkabau menang menghadapi bala tentara Adityawarman yang terlatih dan bahkan sudah berpengalaman dalam pertempuran diantaranya pengalaman tempur disaat memadamkan pemberontakan Sadeng atas Majapahit di tanah Jawa.

Jika melawan pasukan Majapahit yang dibawa Adityawarman dipastikan pasukan Minangkabau akan mengalami kekalahan. Dengan usaha yang keras, akhirnya Datuk Perpatih nan Sebatang berhasil meyakinkan Adityawarman untuk bernegosiasi dan menghindari peperangan, dengan tetap mempertahankan harkat dan martabat Minangkabau dengan cara menikahkan Putri Jamilan dengan
Adityawarman yang merupakan penguasa di Dharmasraya. Oleh Datuk Perpatih nan Sebatang kekuasaannya sebagai Rajo Alam Minangkabau digantikan oleh adik perempuanya, yaitu Putri Jamilan, yang selanjutnya akan dikawinkan dengan Adityawarman. Datuk Perpati nan Sebatang telah menyiasati dengan cara merubah hukum monarki absolute yang Paterilinear diubah menjadi Matrilinear, dimana pewaris tahta dan suku adalah dari garis keturunan Ibu. Dengan demikian tidak ada celah bagi Adityawarman untuk mengganti permaisurinya, dan jika nantinya Adityawarman mempunyai selir, tidak mungkin keturunan selir menjadi Raja, karena hanya anak Putri Jamilan yang berhak atas warisan tahta. 

Selain itu dengan menerapkan hukum MamakKamanakan, dimana Mamak bertanggung jawab penuh atas kemenakannya, tetap menjadikan penguasa penuh atas pewaris tahta di Minangkabau. Akhirnya setelah urusan konstitusional ini selesai, barulah Datuk Perpatih nan Sebatang bernegosiasi. Adityawarman setuju penggabungan kedua Kerajaan dengan menikahi Putri Jamilan, dan setuju pula dengan konstitusi Adat Minangkabau yang tersebut di atas, akhirnya tanpa perang-tanpa pertumpahan darah, Adityawarman menjadi Raja Minangkabau.

sumber: Charles Robenta, Tontowi Amsia dan Yustina Sri Ekwandari

Selasa, 04 Oktober 2022

KONSEP, RUANG LINGKUP, dan SEJARAH FILOLOGI

 

MAKALAH

KONSEP, RUANG LINGKUP, dan SEJARAH FILOLOGI

 

Mata Kuliah:

Filologi

 



 

 

Oleh:

Nilma Yola

 NIM. 2020060002

 

 

 

 Dosen Pembimbing:

Dr. Ahmad Taufik Hidayat, MA

 

 

PROGRAM STUDI S2 SEJARAH PERADABAN ISLAM (SPI)

PASCASARJANA UIN IMAM BONJOL PADANG

TAHUN 2020



 

 

 

 

 


1.      Pendahuluan

Setiap peristiwa sejarah, pasti meninggalkan bukti bahwa sejarah itu pernah ada. Bukti tersebut bisa berbentuk fisik benda (puing-puing), tulisan (naskah dan prasasti). Nah, seiring perjalanan waktu, tentu saja manusia akan berevolusi dari yang awalnya hanya bisa berbahasa lisan, kemudian muncul tulisan, dan manusia mulai pintar menulis dan membaca. Akan bermunculan satu persatu bukti-bukti sejarah kehidupan di masa lalu. Khusus untuk bukti berupa tulisan atau naskah, itu untuk mempelajari atau menerjemahkan isi yang terdapat dalam naskah, kepada bahasa disuatu daerah tertentu, butuh keahlian khususnya dalam bidang bahasa dan sastra. Dan keahlian tersebut akan di bawahi dalam sebuah keilmuwan yaitu ilmu filologi, dan pembahasan lebih lanjut akan penulis bahas di bagian berikutnya.

2.      Pembahasan

a.      Pengertian Filologi

Filologi merupakan sebuah ilmu tentang sastra-sastra dalam arti luas yang mencakup bidang Bahasa, sastra, dan kebudayaan. Melalui filologi dapat dengan mudah meneliti Bahasa, melalui tiga bidang yaitu:

1)      Linguistic, khusus mempelajari unsur-unsur yang membangun Bahasa seperti, ucapan, cara membuat kalimat, dan lain-lain.

2)      Memaknai kata secara khusus, karena tujuannya adalah kejelasan Bahasa secara menyeluruh  dan sesuai kata demi kata, baik yang tertulis maupun yang lisan, dan;

3)      Ilmu sastra, yang berkepentingan dengan penilaian atau ungkapan Bahasa jika dilihat dari sudut estetika.[1]

 Dapat juga diartikan sebagai suatu ilmu yang diperlukan untuk mengkaji peninggalan berupa tulisan yang berasal dari kurun waktu berates-ratus tahun yang lalu.[2] Fungsinya untuk menemukan bentuk teks yang asli serta mengetahui pesan yang disampaikan penulis, setelah dibersihkan semua kesalahan-kesalahan yang terdapat pada teks. Kata filologi berasal dari Bahasa Yunani, yaitu “philos” yang artinya cinta dan “logos” berarti kata atau “senang bertutur”. [3] awalnya filologi diartikan dengan “cinta kata”, kemudian lama-kelamaan berkembang menjadi “cinta pada sastra” yang mencangkup Bahasa, kesastraan dan kebudayaan.[4]

Dalam bahasa Arab, filologi adalah ilmu “tahqiq al-Nushush”, sebagaimana disebutkan oleh Az-Zamakhsari dalam kitab “Asas al-Balaghah” sebagai berikut:

 

  حققت الامروأحققتة: كنت على يقين منه, وحققت الخبر فانا أحقه, وقفت على حقيقته, ويقول الرجل لاصحابه

إذابلغهم خبر فلم يستيقنوه: انا أحق لكم هذا الخبر, أى أعلمه لكم وأعرف حقيقت.....

Maksudnya:

“Mentahqiq sebuah teks atau nash, yaitu melihat sejauh mana hakekat sesungguhnya yang terkandung didalam teks itu. Mengetahui suatu berita dan menjadi yakin akan kebenarannya. Oleh sebab itu, yang dimaksud dengan “tahqiq” dalam bahasa ialah pengetahuan yang sesungguhnya dan berarti juga mengetahui haqeqat suatu tulisan”.[5]

Istilah tahqiq paling popular artinya diteliti oleh fulan. Orang yang melakukan tahqiq disebut muhaqqiq.

Secara istilah, tahqiq adalah penelitian yang cermat terhadap suatu karya yang mencakup hal-hal sebagai berikut:

a)      Apakah benar, karya yang diteliti merupakan karangan assli pengarangnya yang disebut pada buku.

b)      Apakah isinya benar-benar sesuai mazhab pengarangnya ?

c)      Sejauh mana tingkat kebenaran materinya ?

d)      Mentahqiq dan mentakhrij semua ayat-ayat Al-Qur’an dan hadist serta menyebut sumbernya dalam catatan kaki.

e)      Memberi penjelasan tentang hal-hal yang kurang jelas, seperti nama orang, tanggal yang diragukan, kejadian-kejadian dsb.

Selain pada al-Qur’an dan sunnah, tahqiq digunakan dalam penyusunan buku-buku sumber dalam segala bidang, seperti tafsir yang menggunakan riwayat (tafsir al-matsur), juga dibidang fiqh dan akidah. Melalui tahqiq maka penerbitan-penerbitan awal yang sangat teliti, kemudian ilmu-ilmu itu telah sampai dengan sempurna kepada kita sekarang ini.

Tahqiq juga menyelamatkan warisan kesastraan dari zaman pra islam, seperti di jazirah Arab. Sebagai contoh, upaya mentahqiq kitab Mu’jam al-Ain, karya al-khalil ibn Ahmad. Buku itu mendapat perhatian dan diteliti secara mendalam oleh para ulama Bahasa Arab melalui penelitian terhadap materi buku, meneliti perawinya, tanggal ditulisnya, dan masa hidup para guru-guru al-Khalil, lalu tempat pertama dimunculkan Mu’jam al-‘Ain. Hingga didapat hasil penelitian bahwasanya buku tersebut dapat diterbitkan disertai dengan penjelasan yang merupakan upaya ulama muhaqqin, dan upaya ahli filologi.

Dalam bahasa Inggris, philology dipakai dalam pengertian terbatas ialah studi sejarah dan penafsiran teks pada naskah-naskah lama. Pada tradisi klasik Barat, pengertian filologi diperluas menjadi studi kebudayaan berdasarkan teks. Di Belanda, istilah filologi diartikan sebagai ilmu pengetahuan yang berhubungan dengan studi teks sastra yang berkaitan dengan latar belakang budaya kehidupan pendukungnya, termasuk bahasa, sejarah, adat istiadat, agama dsb. Di negara-negara Anglo Saxon, filologi diberi makna linguistik yang cenderung mengarahkan studinya ke sejarah bahasa (linguistik histories), perkembangannya dan juga kekerabatannya antara beberapa bahasa.

b.      Sejarah Filologi

Mengurai sejarah perkembangan Filologi secara kronologis, apalagi dalam ruang lingkup pengertian pengertian Filologi dunia, muncul abad ke-3 SM, dipelopori oleh Erastothemes di Iskandariah. Masa ini, mereka berhasil membaca naskah Yunani lama yang ditulis dalam huruf bangsa Funisia. Menggunakan daun papyrus dengan cara merekam tradisi lisan yang mereka miliki sebelumnya.[6] Dalam upaya menggali khazanah ilmu pengetahuan yang dikandung naskah-naskah itu, mereka menggunakan sebuah metode yang kemudian dikenal dengan nama alat filologi. Para ahli menamakan periode ini dengan “Mazhab Iskandariah”.

Masa ini, kegiatan filologi juga juga dimanfaatkan dalam transaksi bisnis, untuk kegiatan perdagangan naskah ini, biasanya penyalinan naskah dilakukan oleh budak belia, yang memang masa itu masih banyak dan mudah didapatkan. Kemungkinan, dari proses ini terjadi banyak penyimpangan-penyimpangan dari bahan yang disalin. Hasil penyalinan ini kemudian dipasarkan disekitar laut Tengah. Bisa dibayangkan, proses penyalinan berkali-kali dari naskah yang menyimpang membuat naskah hasil salinan menjadi makin jauh dari naskah asli. Hal itu dikarenakan: ada unsur kesengajaan, penyalin kebetulan bukan ahli dalam ilmu yang ada ada dalam naskah yang ditulisnya itu; dan ada unsur kelalaian penyalin.

Selain itu, Filologi juga dipandang sebagai ilmu sastra secara ilmiah dengan mengkaji karya-karya Homerus, Plato, Herodotus, Hipocrates, Socrates, Aristoteles sebagai karya sastra yang bernilai tinggi. Setelah Iskandariah jatuh dibawah pengaruh Romawi, kegiatan penelitian berpindah ke Eropa Selatan yang berpusat di Kota Roma. Abad ke 1M, merupakan masa perkembangan tradisi Yunani dalam bentuk referensi terhadap naskah-naskah tertentu.

Pada abad ke 4 M, di kawasan Timur Tengah sudah berdiri berbagai pusat studi ilmu pengetahuan yang berasal dari Yunani, seperti: Gaza sebagai pusat ilmu oratori, Beirut dibidang ilmu hukum, Edessa dalam kebudayaan Yunani demikian di Antioch.[7]

Abad ke 5M terjadi perpecahan di kalangan kerajaan di Kota Edessa yang membuat banyak ahli filologi pindah ke wilayah Persia, merekalah yang mengembangkan kegiatan ilmiah ini di Kota Yundi Syapur. Banyak diterjemahkan naskah Yunani ke dalam bahasa Siria, yang kemudian di masa pemerintahan dinasti Islam akan diterjemahkan ke dalam bahasa Arab.

Masa pemerintahan Khalifah Al-Manshur, Harun al-Rasyid, dan al-Makmun, studi filologi makin meningkat dan mencapai puncak masa dinasti Abbasiyah ini. Masa itu dikenal ada tiga penerjemah kenamaan, yaitu: Qusta bin Luqa, Hunain bin ishak, dan al-Hubaisyi, dan keriganya beragama Nasrani.[8] Selain itu, ahli filologi di kawasan Timur Tengah juga menerapkan teori filologi terhadap naskah-naskah yang dihasilkan para penulis daerah setempat, yang terlihat dari kumpulan naskah di Bait al-Hikmah.

Abad ke 17 M, studi teks klasik Arab dan Persia di Eropa sudah dipandang mantap. Selain naskah Arab dan Persia, ditelaah pula naskah Turki, Ibrani dan Syiria. Penghujung abad ke 18M di Paris, banyak didirikan pusat studi ketimuran oleh Silverter de Sacy, disana banyak dipelajari naskah-naskah dari timur tengah, oleh para ahli dari kawasan Eropa.

Buku-buku yang membahas Filologi sebenarnya belum banyak ditemukan di tengah masyarakat. Orang yang sangat berjasa karena telah merintis dan mengupayakan tersedianya informasi yang sangat bermanfaat mengenai sejarah Filologi yaitu Reynolds dan Wilson (1975) sebagaimana diuraikan dalam Scribes and Scholars A Guide to the Transmission of Greek and Latin Literature. Buku tersebut banyak dijadikan rujukan dikalangan akademik dalam hal yang berkaitan dengan Filologi, bahkan hingga saat ini. Buku tersebut juga telah dipublikasikan dalam versi Bahasa Indonesia yang disusun oleh tim dari Universitas Gadjah Mada Djogjakarta (Siti Baroroh Baried, dkk. 1983) dalam Pengantar Teori Filologi yang didalamnya juga menguraikan tentang sejarah perkembangan filologi, dan menjadikan beberapa edisi naskah – naskah Nusantara sebagai sumber kajian.

Keinginan untuk mengkaji naskah-naskah Nusantara mulai timbul seiring kedatangan bangsa Barat pada abad ke 16M. mereka orang Barat mengumpulkan naskah-naskah dari Nusantara lalu menjadikannya sebagai komoditi jual beli di Laut Tengah. Kolektor naskah Nusantara itu ialah Peter Foros atau Piert William, sedangkan kolektor naskah nusantara dari kalangan pedagang yaitu Edward Picocke, pemilik naskah Hikayat Sri Rama (tertua) dan Milliam Laud.

Pelancong dari Belanda, Frederik de Haufman yang bisa berbahasa Melayu, mengarah sebuah buku yang berjudul  Spraeck ende Woordboek in de Malaysche en de Madagaskarsche Talen, kemudian buku ini diterjemahkan ke dalam bahasa Latin, Inggris dan Perancis.

Tahun 1629, di kepulauan Nusantara terbit terjemahan al-kitab yang pertama dalam Bahasa Melayu. Penulisnya ialah Jan Jacobsz dan penerjemahnya Albert Cornelisz Ruil. Kemudian banyak muncul penerjemahan kitab injil sesudahnya.

Kehadiran para misioner di Indonesia, dengan bekal ilmu pengetahuan Linguistik telah mendorong tumbuhnya kegiatan untuk meneliti naskah-naskah berbagai daerah di Nusantara. Kajian para ahli filologi terhadap naskah-naskah Nusantara bertujuan untuk menyunting, membahas serta menganalisanya. Dan akibat keterbatasan tenaga penyunting naskah, maka difokuskan saja kepada naskah yang berbahasa Jawa dan Melayu.

Perkembangan selanjutnya, naskah disunting dalam bentuk transliteris dalam huruf Latin, ada juga naskah yang disunting ke dalam Bahasa Belanda  dan Inggris. Suntingan naskah dengan metode kritik teks yang banyak dilakukan pada Abad ke 20, menghasilkan suntingan yang lebih baik dari sebelumnya. Pada abad ke 20M, banyak diterjemahkan naskah keagamaan dan sejarah.

Pada periode mjtakhir, mulai dirintis studi naskah Nusantara dengan Analisa struktur berdasarkan ilmu sastra (Barat). Dengan demikian, terbukalah kemungkinan penyusunan sejarah kesastraan Nusantara atau kesastraan daerah dan keduanya telah mendorong minat untuk menyusun kamus bahasa-bahasa  Nusantara.

 

Sebagai suatu disiplin ilmu yang mempelajari naskah-naskah lama pernah dipandang sebagai ilmu yang mempelajari sastra-sastra dan Bahasa. Inilah latarbelakang dimulainya kegiatan pengkajian terhadap teks-teks yang berupa karya sastra yang dinilai mengandung kadar sastra tinggi. Hal ini menekankan aspek kesasteraan dan kritik. Disis lain, ilmu filoloi juga mengutamakan kajian Bahasa, khususnya Bahasa-bahasa yang digunakan didalam teks-teks lama.

Naskah-naskah (manuskrip) yang dijadikan objek kajian filologi bisa saja mengandung teks-teks bacaan yang berbeda. Malahan, ada yang memperlihatkan bacaan yang sudah agak rusak. Ada juga pihak yang menganggap perbedaan-perbedaan tersebut sebagai satu keslahan yang harus diperbaiki oleh peneliti. Hal inilah yang kemudian memunculkan istilah filologi tradisional. Dalam hal ini, kegiatan filologi difokuskan untuk menetapkan bentuk sebuah teks yang paling mendekati bentuk teks asli.

Saat ini, dalam perkembangan ilmu filologi, terkadang ada kecenderungan melihat perbedaan-perbedaan yang terdapat dalam setiap teks sebagai bentuk kreativitas. Dimana variasi tersebut dianggap sebagai ungkapan proses kegiatan kreatif mengenai hal-hal yang berhubungan dengan aspek kehidupan manusia pada zamannya. Pandangan ini yang membawa filologi pada suatu pengertian lain yang disebut  filologi modern.

Filologi modern memandang perbedaan-perbedaan yang ada dalam teks sebagai suatu ciptaan atau pngungkap kegiatan yang kreatif mengenai hal-hal yang berhubungan dengan aspek-aspek kehidupan manusia pada zamannya. Kegiatan penelitian ini tujuannya tidak lagi untuk merekonstruksi teks guna mendapatkan satu bentuk teks yang paling dekat dengan teks asli, tetapi lebih cenderung diarahkan untuk mengungkapkan persepsi penyalin pada setiap kurun waktu penerimaannya. Atau, bisa disebutkan sebagai suatu model (tren) didalam penelitian-penelitian naskah sebagaimana dijumpai dari hasil-hasil penelitian di Universitas Gadjah Mada Yogyakarta terutama dalam rangka program S3.

Secara historis, bangsa Indonesia banyak dipengaruhi oleh bangsa-bangsa Eropa terutama Belanda, termasuk di dalam bidang akademik. Filologi yang berkembang di Indonesia, cenderung mengikuti pengertian yang berkembang di Negeri Belanda, sebagai satu disiplin ilmu yang mendasarkan kegiatannya pada bahan-bahan tertulis dan bertujuan untuk mengungkapkan makna teks dari segi kebudayaannya.

Di Indonesia, Filologi lebih banyak diarahkan pada kajian teks yang menggunakan Bahasa-bahasa daerah, seperti Melayu, Jawa, Bali, Sunda, dan lain-lain. Aktivitas filologi di Indonesia dimulai sekitar abad ke-16, oleh orang-orang dari Kawasan Benua Eropa seperti Belanda yang melakukan aktivitas perdagangan naskah. Setelah itu, baru dilakukan oleh misionaris yang ingin menyebarkan agama Kristen di Indonesia.[9]

Menurut Baroroh-Baried, terdapat beberapa factor penyebab lahirnya disiplin keilmuwan filologi, yaitu:

1.      Munculnya informasi tentang masa lampau didalam sejumlah karya tulisan.

2.      Anggapan bahwa nilai-nilai yang terkandung dalam peninggalan tulisan masa lampau masih relevan dengan kehidupan sekarang ini.

3.      Kondisi fisik dan substansi materi informasi akibat rentang waktu yang Panjang.

4.      Factor social budaya yang melatarbelakangi penciptaan karya-karya tulisan masa lampau yang tidak ada lagi atau tidak sama dengan latar social bidaya pembacanya masa kini.

5.      Keperluan untuk mendapatkan hasil pemahaman yang akurat.[10]

Dari pemaparan diatas dapat disimpulkan bahwa filologi merupakan. Sebuah bidang keilmuan yang mempelajari tentang Bahasa, sejarah, sastra, dan kebudayaan, terkandung dalam peninggalan tulisan masa lampau, bertujuan untuk menyampaikan kembali pesan-pesan yang terkandung didalamnya.

c.       Ruang Lingkup Filologi

Filologi juga dipandang sebagai ilmu yang menyelidiki perkembangan kerohanian suatu bangsa dari kesusastraan atau yang menyelidiki kebudayaan melalui Bahasa dan karya kesasteraan.

1)      Objek Penelitian Filologi

Sasaran penelitian objek filologi yaitu: naskah dan teks klasik. Naskah, diartikan suatu karya tulis yang berwujud tulisan tangan yang dalam Bahasa Inggris disebut manuscript dan dalam Bahasa Belanda handschrift. Naskah yang menjadi objek material penelitian Filologi adalah berupa naskah yang ditulis pada kulit kayu, bambu, lontar, rotan dan kertas. Artinya, bahwa perjanjian-perjanjian, ukiran, dan rulisan pada batu nisan adalah diluar pembahasan Filologi. Naskah-naskah itu dilihat sebagai hasil budaya berupa cipta sastera. Menurut Suripan Sadihutomo, telaah Filologi bukan hanya berobyek sumber tulis, melainkan juga sumber lisan.[11]

Istilah “klasik” pada teks-teks Nusantara pada hakekatnya lebih ditekankan kepada masalah waktu dan periode masa lampau yang di Indonesia biasanya disebut dengan “premodern”, yaitu suatu kondisi yang pada waktu itu pengaruh Eropa belum masuk secara intensif.[12]

2)      Tujuan Ilmu Filologi

Tujuan adanya Filologi, yaitu:

a.       Tujuan Umum

1.      Memahami sejauhmana perkembangan suatu bangsa melalui sastranya, baik tulisan maupun lisan.

2.      Memahami makna dan fungsi teks bagi masyarakat penciptanya/ penulisnya.

3.      Mengungkapkan nilai-nilai budaya lama sebagai alternatif pengembangan kebudayaan.

b.      Tujuan Khusus

1.      Menyunting seuah teks yang dipandang dekat dengan teks aslinya.

2.      Mengungkapkan sejarah terjadinya teks dan sejarah perkembangannya.

3.      Mengungkapkan persepsi pembaca pada setiap kurun/ zaman penerimaannya.[13]

Kegunaan filologi bermanfaat untuk referensi sejarah, hukum adat, sejarah perkembangan agama, kebahasaan, kebudayaan, dan referensi public.

3)      Metode Filologi

Dalam penelitian naskah ada dua metode yang selama ini sering digunakan, yakni metode (edisi) diplomatic dan metode (edisi) kritis.[14] Teks diplomatic ini identic dengan teks naskah bersangkutan, dan teks edisi kritis adalah suatu (persiapan, pendahuluan) rekonstruksi teks asli. Prinsip dasar dari sebuah edisi kritis adalah mengikuti kembali jalur transmisi dan mencoba memperbaiki teks-teks agar sedekat mungkin dengan teks asli.[15]

Dilihat dari banyak sedikitnya jumlah naskah yang dijadikan objek penelitian, metode filologi dapat dibagi menjadi dua, yaitu:

a)      Metode (edisi) naskah tunggal, dan

b)      Metode (edisi) naskah jamak.

Untuk meng-edisi naskah, dapat ditempuh dua cara, yaitu:

1.      Edisi Diplomatik

Naskah, pada edisi ini diterbitkan tanpa disertai perubahan sedikitpun, baik ejaan, pungtuasi maupun pembagian teks. Jadi, dalam bentuk sempurna dari edisi ini adalah naskah asli direproduksi fotografis. Halaman naskah dipotret dan dicetak begitu saja, metode ini dianggap paling murni karena factor subjektivitas editor tidak berpengaruh didalamnya. Tetapi dari segi praktis, dianggap kurang menarik, karena hanya dapat dinikmati oleh kalangan tertentu saja terutama mereka yang telah memiliki dasar pengetahuan aksara atau Bahasa yang ada didalam naskah bersangkutan.

2.      Edisi Standar

Edisi ini disebut edisi biasa, meskipun naskah yang tersedia hanya satu (naskah tunggal), tetapi didalam metode ini penyunting sangat memperhatikan semua aspek kegiatan penyuntingan naskah, seperti menyediakan transliterasi, membetulkan kesalahan yang dijumpai dalam teks, menyesuaikan ejaan sampai kepada menyusun apparat kritik dan membuat komentar mengenai kejanggalan-kejanggalan (bacaan) yang dijumpai.

Setiap perubahan yang dilakukan dalam edisi ini akan dicatat ditempat khusus untuk memudahkan pemeriksaan kembali atau membandingkan dengan bacaan yang ada didalam naskah. Apabila sebuah penelitian dihadapkan pada tersedianya sejumlah naskah (lebih dari satu) maka untuk kepentingan penyuntingan ada beberapa alternatif yang digunakan yaitu:

(1)   Metode Intuitif, disebut juga metode subjektif dan tergolong sebagai metode kritik teks yang tertua, dan cara kerjanya didasarkan atas subjektivitas (intuisi). Untuk kepentingan edisi teks, diambil satu naskah yang paling tua diantara naskah-naskah yang ada. Bagian kesalahan dalam teks, kemudian diperbaiki berdasarkan teks naskah lain dengan menggunakan logika (secara ilmiah).

(2)   Metode Objektif, Metode ini lebih menekankan pada usaha mencari hubungan kekeluargaan dari naskah-naskah yang ditemukan peneliti. Dengan melihat jumlah dan nilai kesaksian sejarah bisa dijadikan acuan dalam memilih bacaan yang benar. Menetukan kebenaran itu didasarkan kepada kebenaran objektif, tidak subjektif. Cara kerjanya dengan membandingkan kata dmi kata, bila dalam beberapa naskah terdapat banyak kesalahan yang sama di tempat yang sama pula, maka dapat disimpulkan naskah tersebut berasal dari satu sumber. Metode ini cocok diterapkan pada naskah-naskah yang proses penurunannya mengikuti tradisi tertutup (vertical).

Dalam proses penurunan naskah ada dikenal istilah naskah yang bersumber dari satu nenek moyang  (arcketyp), merupakan induk naskah atau nenek moyang naskah (berupa Salinan), dapat dipandang sebagai pembagi persekutuan terbesar dari naskah-naskah yang ada. Naskah archetyp diberi nama alpha, beta dan gama menggunakan huruf Yunani kuno. Kemudian, ada lagi naskah hyparchetyp, merupakan bagian dari  naskah-naskah seversi.

(3)   Metode Gabungan

Digunakan apabila menurut tafsiran nila semua naskah yang ada hampir sama. Perbedaan antarnaskah tidak terlalu mencolok dan dapat dianggap tidak mempengaruhi teks. Pemilihan bacaan dianggap sebagai kesalahan dari naskah-naskah yang ada, didasrkan pada mayoritas dengan perkiraan bahwa tingkat kemungkinan bacaan itu lebih baik lebih besar. Dapat diartikan bahwa, jumlah naskah mayoritas merupakan saksi dari bacaan yang benar. Melalu metode ini, teks yang dihasilkan dapat dianggap sebagai satu teks yang baru karena merupakan gabungan dari semua naskah yang ada.

(4)   Metode Landasan

Metode ini dikenal juga dengan metode legger atau induk, digunakan apabila menurut tafsiran nilai semua naskah jelas berbeda. Ada naskah yang dari segi kualitas lebih baik bahkan paling menonjol. Hal itu dikarenakan naskah tersebut mengandung sedikit kesalahan dibandingkan naskah yang lain.[16]

Metode-metode ini nanti, menghasilkan satu edisi teks yang dari segi tekstual hampir seluruhnya mempunyai kesamaan dengan teks pada naskah landasan.

Sebagai satu disiplin studi filologi menuntut metode yang memadai. Berbagai factor yang terlibat dalam kerja filologi menjadi pertimbangan dalam menetapkan metode. Factor-faktor tersebut, yaitu:

1.      Pandangan tentang studi filologi yang dilatari oleh sikapnya terhadap variasi.

2.      Kondisi sasaran dan objek kerjanya seperti terlihat pada materialnya, pada system Bahasa, system sastra, dan konvensi social budayanya.

3.      Besarnya jumlah peninggalan tulisan yang memuat teks dan bentuknya


 

3.      Penutup

Dari penjelasan diatas dapat disimpulkan bahwa, filologi merupakan pengetahuan tentang sastra-sastra dalam arti luas mencakup bidang bahasa, sastra dan kebudayaan.

Filologi lahir, tumbuh dan berkembang di wilayah kota Iskandariah pada abad ke 3 M. mereka  berhasil membaca naskah Yunani lama yang ditulis dalam huruf bangsa Funisia. Kemudian berkembang ke wilayah di Timur tengah, hingga sampailah ke Nusantara.

DAFTAR KEPUSTAKAAN

Ahmad, Zaidan. FILOLOGI, Buku Perkuliahan Program Studi Bahasa dan Sastra Arab Fakultas Adab dan Humaniora UIN SUnan Ampel. Surabaya: Fak Adab dan Humaniora UIN SUnan Ampel, 2013.

Baried, Siti Baroroh, dkk. Pengantar Teori Filologi. Yogyakarta: Fak Sastra UGM, 1999.

I Ketut, Nuarca. Sebuah Pengantar Metode Filologi. Bali: Fak Ilmu Budaya Univ Udayana, 2017.

Lubis, Nabilah. Naskah Teks dan Metode Penelitian Filologi. Jakarta, t.t.

———. Teks dan Metode Penelitian. Jakarta: Fak Adab IAIN Syarif Hidayatullah, 1996.

Mahmud Abbas, Mahmudah. Tarikh al-Kitab al-Islami al-Makhthuth. Riyadh: Dar Tsaqit lil-Nasyri, t.t.

Martin, L. West. Textual Criticiosm and editorial Technique, Aplicable tu Greec and latin Texts. Stutgart: Teubner, 1973.

Maththa, al-Tharabishi. Fi Manhaj Tahqiq al-Makhthuthath. Damaskus: Dar al-Fikri, 1983.

Reynold, Wilson. Scribes and Scholars, A Guide to the Transmission of Greek and Latin Literature. Oxford: Clarendon Press, 1975.

Sadihutomo, Suripan. Filologi Lisan: Telaah Teks Kentrung. CV Lautan Rejeki, 1999.

subalidinata. “Manfaat Studi Sastra Jawa Kuna dari Segi Filologi,” 1975.

Willem, Molen. “Aim and Methods of Javanese Philology” dalam Indonesia Circle, 1981.

 



[1] Nabilah Lubis, Naskah Teks dan Metode Penelitian Filologi (Jakarta, t.t.), h. 14.

[2] Siti Baroroh Baried dkk, Pengantar Teori Filologi (Yogyakarta: Fak Sastra UGM, 1999), h. 1.

[3] Nabilah Lubis, Teks dan Metode Penelitian (Jakarta: Fak Adab IAIN Syarif Hidayatullah, 1996), h. 14.

[4] subalidinata, “Manfaat Studi Sastra Jawa Kuna dari Segi Filologi,” 1975.

[5] al-Tharabishi Maththa, Fi Manhaj Tahqiq al-Makhthuthath (Damaskus: Dar al-Fikri, 1983), h. 9.

[6] L. West Martin, Textual Criticiosm and editorial Technique, Aplicable tu Greec and latin Texts (Stutgart: Teubner, 1973), h. 10.

[7] Baried, Pengantar Teori Filologi, h. 35-36.

[8] Mahmudah Mahmud Abbas, Tarikh al-Kitab al-Islami al-Makhthuth (Riyadh: Dar Tsaqit lil-Nasyri, t.t.), h. 21.

[9] Nuarca I Ketut, Sebuah Pengantar Metode Filologi (Bali: Fak Ilmu Budaya Univ Udayana, 2017), h. 9.

[10] Baried, Pengantar Teori Filologi, h. 2.

[11] Suripan Sadihutomo, Filologi Lisan: Telaah Teks Kentrung (CV Lautan Rejeki, 1999), h. v-vi.

[12] Zaidan Ahmad, FILOLOGI, Buku Perkuliahan Program Studi Bahasa dan Sastra Arab Fakultas Adab dan Humaniora UIN SUnan Ampel (Surabaya: Fak Adab dan Humaniora UIN SUnan Ampel, 2013), h. 11.

[13] Baried, Pengantar Teori Filologi, h. 5.

[14] Molen Willem, “Aim and Methods of Javanese Philology” dalam Indonesia Circle, 1981, h. 5.

[15] Wilson Reynold, Scribes and Scholars, A Guide to the Transmission of Greek and Latin Literature (Oxford: Clarendon Press, 1975), h. 186.

[16] I Ketut, Sebuah Pengantar Metode Filologi, 15–16.