Nilma Yola
Universitas Islam Negeri Imam Bonjol Padang
dindayola17@gmail.com
Diah Putranti Rahmaning Tiyas
Universitas Islam Negeri Imam Bonjol Padang
diahputranti.rTiyas@gmail.com
ABSTRACT
Singapore, as an Islamic minority country, was once the center for the development of Islamic scholarship in Southeast Asia. Singapore's position as a center for international trade and commerce has encouraged scientific transmigration from the Middle East to the archipelago, which was spearheaded by traders and Sufis. This serves as the foundation for the presence of Sufism in Singapore. This study aims to explain the history of Islam in Singapore and the development of Sufism there. The approach used in this research is qualitative. The process begins with gathering data and sources pertinent to the conversation. The obtained data and sources undergo verification, which involves review, comparison, and analysis. Once the correct results are obtained, the final stage of the data analysis is documented in written form. According to the study's findings, it is very likely that the arrival of Islam in Singapore occurred from the 8th to the 11th centuries, brought by traders from Arabia. When the Malacca Sultanate controlled Temasik in the 15th century, Islam experienced rapid development. In Singapore, Sufism-style Islam emerged. Despite experiencing ups and downs, the teachings of Sufism are still part of the Islamic tradition in Singapore. As a result, Islam, as a minority religion, was able to survive until it finally had various legitimate institutions in the Singapore government.
Keywords: Islamic history; Sufism; Singapore
ABSTRAK
Singapura, sebagai negara minoritas Islam, pernah menjadi pusat pengembangan keilmuan Islam di Asia Tenggara. Posisi Singapura sebagai pusat perdagangan dan perdagangan internasional telah mendorong terjadinya transmigrasi keilmuan dari Timur Tengah ke Nusantara, yang dipelopori oleh para pedagang dan sufi. Inilah akar dari jejak-jejak tasawuf di Singapura. Kajian ini bertujuan untuk menjelaskan sejarah Islam di Singapura serta perkembangan tasawuf di negara tersebut. Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini yaitu kualitatif. Diawali dengan pengumpulan data dan sumber-sumber yang berkaitan dengan pembahasan. Data dan sumber yang telah diperoleh kemudian diverifikasi
yaitu ditelaah dan dibandingkan untuk kemudian dianalisis. Setelah mendapatkan hasil yang benar, tahap akhir data dideskripsikan dalam bentuk tulisan. Hasil kajian menunjukkan bahwa kemungkinan besar masuknya Islam di Singapura terjadi sejak abad ke-8 hingga abad ke-11, dibawa oleh para pedagang dari Arab. Islam mengalami perkembangan pesat ketika Temasik dikuasai oleh Kesultanan Malaka pada abad ke-15. Islam bercorak tasawuf berkembang di Singapura. Meski mengalami pasang surut, ajaran tasawuf masih menjadi bagian dari tradisi Islam di Singapura. Sejalan dengan itu, Islam sebagai agama minoritas mampu bertahan hingga akhirnya memiliki berbagai institusi yang sah dalam pemerintahan Singapura.
Kata Kunci: Sejarah Islam; Tasawuf; SIngapura
PENDAHULUAN
Singapura merupakan sebuah negara yang terbentuk dari pulau kecil di ujung gugusan Semenanjung Melayu, di wilayah Asia Tenggara. Negara ini berbatasan dengan Kepulauan Riau (Indonesia) dan Johor (Malaysia). Singapura merupakan sebuah negara yang dihuni oleh 4.839.000 jiwa, yang terdiri dari berbagai ras dan etnis. Mayoritas penduduk Singapura adalah etnis Tionghoa, dan sisanya adalah etnis Melayu, Tamil, Arab dan Pakistan. Sedangkan agama dan kepercayaan masyarakatnya yaitu menganut agama Budha (33%), Taoism 11%, Confusionism (Kong Hu Cu) 20%, Muslim 15%, Kristen 14,6%, Hindu 4%, dan sisanya kepercayaan-kepercayaan lainnya (Subehi, 2022)
Islam di Singapura merupakan agama minoritas, dengan sekitar 13,5% penduduknya adalah etnis Melayu, sedangkan sisanya berasal dari etnis Arab, India, dan Pakistan. Menurut Sharon Siddique, Muslim di Singapura terbagi menjadi dua kelompok utama yaitu: migran dari dalam negeri dan migran dari luar negeri. Migran dari dalam negeri berasal dari wilayah Nusantara dan umumnya adalah etnis Melayu, seperti dari Sumatera, Riau, Jawa, Sulawesi, dan Bawean. Sementara migran dari luar negeri adalah Muslim keturunan Arab, India, Pakistan, dan Hadramaut (Nurbaiti, 2019)
Masyarakat Melayu pada umumnya beraliran Islam Sunni, yang mana mereka juga mengikuti berbagai mazhab, seperti Syafi’i, Hambali, Maliki, dan Hanafi, serta sedikit pengikut Syi’ah. Sementara itu, Mazhab Syafi’i menjadi mazhab yang paling banyak dianut oleh masyarakat etnis Melayu di Singapura. Hal ini disebabkan ketika wilayah Singapura yang dahulunya bernama Temasik merupakan salah satu wilayah kekuasaan Kesultanan Malaka, kesultanan ini berorientasi pada paham fikih Syafi’i. Kesultanan Malaka juga mendapat pengaruh yang sangat signifikan dari perkembangan keilmuan di Sumatra. Pada zaman tersebut, Kesultanan Samudera Pasai menjadi acuan bagi kesultanan-kesultanan di dunia Melayu. Sultan Malik Al-Zahir, dengan tegas menyatakan bahwa Samudera Pasai bermazhab Syafi’i, yang mana hal itu memberikan pengaruh yang besar di wilayah Asia Tenggara (Jambak, 2018)
Sebagai negara sekuler, Singapura tidak menekankan pilihan kepercayaan penduduknya. Meskipun mayoritas penduduknya adalah etnis Tionghoa yang beragama Buddha, namun Islam tetap menjadi bagian integral dari keragaman agama di Singapura. Islam, yang dianggap sebagai al-Din oleh kaum Muslim, diakui oleh Pemerintah Singapura dan tercantum dalam Konstitusi Republik Singapura. Perkembangan Islam di Singapura sejalan dengan perkembangan Islam di negara-negara Asia Tenggara lainnya.
Perjalanan perkembangan Islam di Singapura adalah bagian dari sejarah panjang negara ini. Secara kronologis, perkembangan ini dimulai dengan kedatangan pedagang dan mubaligh Muslim dari Timur Tengah, diikuti oleh kekuasaan berbagai Kesultanan Islam di Temasik. Saat Temasik berada di bawah kekuasaan Malaka, terbentuklah jaringan ulama dari berbagai wilayah, termasuk Nusantara. Perkembangan ini berlanjut hingga Singapura menjadi negara merdeka, terpisah dari Federasi Malaysia.
Sejak berada di bawah kekuasaan Inggris, Singapura didominasi oleh etnis Tionghoa, menjadikan Islam sebagai agama minoritas dengan mayoritas penganutnya adalah etnis Melayu. Meskipun demikian, sebagai negara sekuler, Singapura menghargai hak-hak warga negaranya, terbukti dengan pembentukan lembaga-lembaga Islam. Pada tahun 1915, dibentuklah Lembaga Penasehat Orang-orang Islam untuk menangani masalah sosial keagamaan. Tugas lembaga ini yaitu mengurus pernikahan sesuai syariat Islam, menentukan waktu berpuasa dan hari raya, serta memberi masukan kepada pemerintah Inggris. Awalnya, lembaga ini dikendalikan oleh Inggris dengan anggota Muslim, tetapi pada tahun 1928, kepemimpinannya beralih kepada seorang Muslim bernama Hafizuddin S. Moonshi.
Awalnya, hak untuk mengeluarkan fatwa hanya dimiliki oleh Mufti Kerajaan Johor, yang didampingi oleh Qadhi Singapura. Kemudian, Mufti Singapura diberikan hak untuk memimpin komisi fatwa secara musyawarah. Pada tahun 1968, Pemerintah Singapura membentuk Majelis Ugama Islam Singapura (MUIS) untuk menasehati presiden tentang masalah-masalah Islam. Pembentukan MUIS didasarkan pada "Akta Pentadbiran Hukum Islam" (AMLA). Selain MUIS, terdapat lembaga-lembaga Islam lainnya, seperti Majelis Pendidikan Anak-anak Muslim (MANDAKI) yang mengurus pendidikan, Dana Perwalian Muslim (DANAMIS) yang menangani ekonomi dan pendanaan sosial Muslim, serta lembaga-lembaga dakwah seperti Himpunan Dakwah Islam Singapura (JAMIYAH) dan Association of Muslim Professionals (AMP) (Herawati, 2018). Demikian perkembangan Islam yang terus meningkat dari waktu ke waktu di Negara Singapura.
Melihat dari sejarahnya, negara dengan minoritas Muslim ini, ternyata pada masa dahulu pernah menjadi salah satu pusat perkembangan keilmuan Islam di Asia Tenggara. Sejak Temasik berada di awah kekuasaan Islam, wilayah ini menjadi tempat bertemunya para cendikiawan Muslim dari berbagai belahan dunia. Terlebih daerah ini juga memiliki peran besar dalam aspek berdagangan kala itu. Transfer keilmuan Islam berkembang di Singapura. Pengaruh corak-corak aliran Islam juga berkembang, seperti pengaruh dari berbagai mazhab. Tidak ketinggalan tasawuf dan peran para sufi juga memiliki pengaruh yang besar. Tasawuf berkembang di kalangan tokoh ulama dan Penguasa Melayu. Didukung dengan pesatnya perdagangan di Selat Malaka, sehingga ajaran tasawuf menyebar dan berkembang ke berbagai daerah, termasuk Temasik (Singapura dulu), karena posisinya yang strategis di Selat Malaka. Selanjutnya, tarekat Naqsbandiayah tiba di Singapura, yang saat itu menjadi penghubung jemaah haji dan titik fokus pertukaran informasi komersial/dagang. Di Singapura, cabang tarekat Naqsbandiyah bernama Naqsbandiyah Haqqani didirikan oleh Syekh Nazim Haqqani. Tarekat lain yang juga berkembang di Singapura adalah Tarekat Aurad Muhammadiah, yang berada di bawah kepemimpinan Al-Fadhil Sheikh Abdul Hafiz bin Muhammad Taha As-Suhaimi dan banyak lagi tarekat lainnya yang muncul dan berkembang di Singapura.
Saat ini, setelah Singapura menjadi negara yang modern, eksistensi ilmu tasawuf dan tarekat tidak segemilang dahulu. Hal tersebut bisa saja dilatarbelakangi oleh dominasi etnis Tionghoa dan agama Budha di negara ini. Oleh karena itu, penulis tertarik mengkaji tentang tasawuf tumbuh di Singapura; reaksi terhadap Alh Tareqat. Terutama menguraikan tentang bagaimana tasawuf bisa masuk dan berkembang dalam negara yang realitasnya terdiri dari minoritas Muslim ini. Lalu bagaimana kaitan antara kehadiran tareqat dengan ilmu tasawuf di Negara tersebut.
METODE PENELITIAN
Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif. Penulisan dilakukan dengan bebarapa tahapan: 1) Heuristik, yang berarti pengumpulan data-data. Pada tahap ini penulis mencari sumber terkait dengan tema yang penulis bahas berkaitan dengan sejarah dan perkembangan ilmu tasawuf di Singapura. Selain bersumber dai buku-buku penulis juga mengumpulkan artikel-artikel jurnal terkait dengan tema dan pembahasan yang sama. 2) Kritik sumber, pada proses ini yang penulis lakukan adalah memilih bagian mana yang sesuai dan cocok untuk penulis ambil data-datanya yang terdapat pada sumber yang penulis temukan, kemudian data tersebut penulis kritisi dan lakukan pengelompokan data sesuai dengan klasifikasinya. Lalu diambil data mana yang dapat penulis jadikan sebagai acuan dalam mengkaji dan menjawab pertanyaan dari penitian ini. 3) Analisa data, dilakukan setelah data data yang sejenis penulis kelompokkan, lalu penulis mulai menganalisa, data mana saja yang sekiranya sesuai dan tepat untuk menemukan jawaban atas pertanyaan penelitian. 4) Historiografi penelitian. setelah mendapat dan menelaah data yang relevan, data kemudian dirangkum dalam bentuk tulisan dengan menggunakn metode deskriptif analitif berdasarkan data dan sumber-sumber sejarah.
PEMBAHASAN
A. Sejarah Masuknya Islam di Singapura
Dahulu, Singapura dikenal dengan nama Temasik. Dalam kitab Pararaton dan Negarakertagama, Temasik disebut sebagai "Tumasik". Sumber lain menyebutkan bahwa pada abad ke-14, Temasik juga dikenal sebagai "Pulau Ujung" (Pu-lo Chung). Temasik merupakan kerajaan kecil yang diperkirakan berdiri sejak abad ke-13 Masehi. Menurut Asep (2016), beberapa raja yang pernah memerintah Temasik antara lain:
1. Raja I Sri Tri Buana (1299-1347);
2. Raja II Seri Pikrama Wira (1347-1362);
3. Raja III Sri Rana Wikema (1362-1375);
4. Raja IV Sri Maharaja (1375- 1388).
5. Raja IV Sri Sultan Iskandar Syah, memerintah selama lima tahun di Singapura (1388-1391), kemudian di Malaka (1393-1397).
Sebelum terbentuknya negara bangsa, wilayah Singapura pernah dikuasai oleh beberapa kerajaan dan kesultanan, terutama yang berada di sekitar Selat Malaka dan Semenanjung Melayu. Singapura pernah berada di bawah kekuasaan Kesultanan Malaka sekitar 1398-1511, Kesultanan Johor pada 1511-1699, dan Kesultanan Riau pada 1699-1818. Sebelum kekuasaan Islam, wilayah ini dikuasai oleh kerajaan Hindu-Buddha terbesar di Nusantara, yaitu Kerajaan Majapahit dan Kerajaan Sriwijaya.
Sementara itu, tidak diketahui secara pasti kapan tepatnya Islam masuk ke Singapura. Namun wilayah Singapura yang kala itu memiliki peran dan pengaruh yang besar dalam perdagangan internasional karena posisinya yang strategis. Hal ini memunculkan kemungkinan besar bahwa masuknya Islam telah terjadi sejak abad ke-8 hingga abad ke-11, yang mana para pedagang dari Arab telah banyak melakukan pelayaran ke wilayah sekitar Selat Malaka. Pada periode tersebut, Temasik telah menjadi pusat perdagangan maritim cukup penting (Amin & Ananda, 2018). Temasik yang berarti Kota Pantai diidentifikasi sebagai salah satu tempat persinggahan para pedagang yang akan menuju ke Cina.
Islam mulai berkembang pesat di Temasik ketika wilayah ini dikuasai oleh Kesultanan Malaka pada abad ke-15. Menurut sejarah Melayu, seorang bangsawan dari Kerajaan Sriwijaya di Palembang bernama Parameswara melarikan diri ke Temasik, sebuah kerajaan kecil di ujung Semenanjung Melayu, karena tekanan dari Majapahit. Setelah Temasik diserang oleh Siam, Parameswara berpindah ke Malaka dan mendirikan sebuah kerajaan di sana. Malaka menjadi titik singgah penting bagi para pedagang asing, termasuk pedagang Muslim. Parameswara mulai berinteraksi dengan pedagang Muslim dan akhirnya memeluk Islam pada tahun 1414, dengan bimbingan Sayyid Abdul Aziz, seorang Arab dari Jazirah Arab. Setelah itu, Parameswara mengubah namanya menjadi Sultan Iskandar Syah (Amin & Ananda, 2018). Masuknya Islam Raja Parameswara kemudian diikuti oleh para pengikut serta kerajaan-kerajaan yang berada di bawah kekuasaannya, termasuk Temasik.
Pada abad ke-15 hingga abad ke-16, Islam di Singapura berkembang pesat seiring dengan meluasnya kekuasaan Kesultanan Malaka. Pada masa itu, kekuasaan Malaka meliputi Pahang, Trengganu, Kelantan, serta Kampar, Rokan, Indragiri, Siak, dan Riau-Lingga, yang kini termasuk wilayah Indonesia. Kesultanan Malaka menjadi kekuatan Islam yang dominan dari Selat Malaka hingga Temasik, dengan pengaruh besar dalam politik dan perdagangan. Potensi besar ini menarik perhatian berbagai bangsa untuk menguasai Malaka. Namun, proses islamisasi yang sedang berkembang pesat terganggu oleh datangnya kolonialisme. Pada tahun 1511, Portugis melancarkan invasi ke Malaka, menyebabkan para Sultan Malaka mundur ke Johor, yang turut menghambat kegiatan penyebaran dan dakwah Islam (Pratama et al., 2022).
Setelah kemunduran Malaka akibat kolonialis Portugis, wilayah Temasik menjadi bagian dari Kesultanan Johor antara abad ke-16 hingga abad ke-19. Namun, pada tahun 1613, kolonialis Portugis membakar sejumlah pemukiman di muara Sungai Temasik. Akibatnya, wilayah ini kurang mendapat perhatian selama hampir dua abad berikutnya (Abidin, 2020). Selanjutnya, wilayah Singapura mulai dimasuki oleh Inggris dengan kedatangan Stamford Raffles, yang mendarat pada 28 Januari 1819. Raffles kemudian membentuk Singapura dan menjadikannya sebagai pelabuhan bebas (Helmiati, 2014).
Situasi ini menjadikan Singapura memiliki peran penting dalam pasar internasional, terutama karena kota ini menjadi jalur transit perdagangan antara India dan Cina. Setelah pelabuhan dagang dibuka, banyak pedagang asing mulai datang ke wilayah ini. Keadaan ini menjadi salah satu faktor yang mendukung penyebaran ilmu pengetahuan Islam. Salah satu tokoh terkenal keturunan Arab yang memanfaatkan kesempatan ini adalah Syekh Mohamed bin Ahmed Alsagoff, yang pindah dari Malaka ke Singapura untuk berdagang (Tumiran, 2021). Pada abad ke-19, pengembangan tasawuf mulai digalakkan oleh para ahli tarekat. Pada masa ini, Singapura menjadi tempat pemberhentian atau transit bagi para jamaah haji dari Indonesia. Para ahli tarekat kemudian mulai mengajak para jamaah untuk melakukan khalwat.
B. Perkembangan Tasawuf di Singapura
Singapura, meskipun merupakan negara dengan minoritas Muslim, dulunya pernah menjadi salah satu pusat penting perkembangan Islam di Asia Tenggara. Wilayah ini memainkan peran dalam menyatukan berbagai kelompok masyarakat Muslim dari Asia Tenggara, Timur Tengah, Asia Selatan, dan wilayah lainnya. Karena peran tersebut, Singapura menjadi tempat berkumpulnya para cendekiawan Muslim dan pusat publikasi serta distribusi tulisan-tulisan ulama dari berbagai daerah seperti Hadramaut, Pattani, Aceh, Jawa, Palembang, dan lainnya.
Pada masa awal islamisasi di Singapura, pengaruh tasawuf sangat kuat. Perkembangan tasawuf di Singapura ditandai dengan ajaran-ajaran yang berkembang di kalangan ulama dan raja-raja Melayu saat itu. Ini tidak terlepas dari peran jaringan antara ulama Timur Tengah dan Nusantara. Kontak antara Timur Tengah dan Nusantara mempercepat transformasi keilmuan dan tradisi islamisasi di Nusantara. Ditambah dengan ramainya perdagangan di Selat Malaka, proses islamisasi semakin berkembang. Dari sinilah ajaran-ajaran tarekat mulai menyebar di Nusantara, termasuk Tarekat Satariyyah yang berkembang hingga ke Banten, Jawa Barat. Dalam perkembangannya, Abd al-Ra'uf ibn Ali al-Jawi al-Fansuri, murid dari Ibrahim al-Kurani (1615-1690), yang dikenal sebagai guru besar di Haramayn, berperan penting dalam penyebaran Tarekat Satariyyah.
Pada abad berikutnya, muncul ajaran tarekat baru yaitu Naqsyabandiyah. Tarekat ini berkembang di wilayah Riau, Minangkabau, dan terutama Singapura, karena pada masa itu Singapura menjadi tempat berkumpulnya jamaah haji dari Nusantara dan pusat pertukaran informasi dagang. Beberapa tokoh penting dalam penyebaran Tarekat Naqsyabandiyah di Singapura termasuk Syekh Ismail al-Minangkabawi (1712-1844), yang menulis karya berjudul "Mawahibul Falaq bi Syarhi Qashidah al-'Arif Billah al-Qadhi Nashiruddin Ibni Bintil Milaqasy-Syazili" dan "Ar-Rahmatul Habitah fi Zikri Ismiz Zati Wa ar-Rabitah," serta Ahmad Khatib dari Sambas (1803-1875) yang menggabungkan ritual Tarekat Naqsyabandiyah dengan silsilah Qomariyah. Ini kemudian diidentifikasi sebagai gerakan maju dari Sammaniyah.
Tarekat Naqsyabandiyah adalah salah satu tarekat tertua dan dengan pengikut terbanyak karena penyebarannya yang luas. Tokoh utama dalam tarekat ini adalah Syekh Baha ad-Din Naqshband, yang lahir pada tahun 1318 di Qasri Arifa dekat Bukhara dan meninggal pada tahun 1389. Sesuai dengan namanya, beliau adalah pendiri tarekat Naqsyabandiyah. Sebagian besar hidupnya dihabiskan di Bukhara dan Transoxiana. Sayangnya, tidak banyak catatan tentang Syekh Baha ad-Din Naqshband karena beliau melarang murid-muridnya untuk mencatat segala perbuatannya dan perkataannya.
Pada masa-masa selanjutnya, tarekat Naqsyabandiyah memiliki berbagai cabang. Salah satu tokoh penting yang berperan dalam penyebaran tarekat ini adalah Syekh Ahmad al-Faruqi al-Sirhindi, yang menyebarkan tarekat Naqsyabandiyah Mujaddidi pada awal abad ke-19 di wilayah India dan Ottoman. Selain itu, Syekh Maulana Khalid Bagdad menjadi pelopor setelah Syekh Sirhindi dengan mengembangkan cabang Khalidiyah. Syekh Maulana Khalid juga menjadi tokoh penting yang membawa ajaran Naqsyabandiyah ke wilayah-wilayah yang sebelumnya dianggap kurang penting bagi mayoritas umat Islam, seperti Mozambik, Ceylon, dan Sumatera.
Dari Sumatera, tarekat Naqsyabandiyah Khalidiyah kemudian menyebar ke utara, yaitu Semenanjung Malaya, dan ke timur, yaitu Kalimantan, Kepulauan Sulu, dan Mindanao bagian selatan. Usaha Syekh Maulana Khalid dalam menyebarkan tarekat ke negeri-negeri jauh memberikan wajah baru bagi kawasan Asia Tenggara. Kelompok ini juga berkontribusi besar dalam menentang dominasi asing, seperti perlawanan Aceh terhadap Belanda, pergolakan di Filipina Selatan, dan melawan pemerintahan Thailand atas Pattani yang dihuni oleh etnis Melayu Muslim (Sani, 2010)
Naqsyabandiyah Haqqani adalah salah satu tarekat yang relatif baru hadir di Singapura. Tarekat ini didirikan oleh Syekh Nazim Haqqani, yang lahir di Larnaca, Siprus, dan memiliki garis keturunan yang sampai kepada Syekh Abd al-Qadir al-Jailani, pendiri tarekat Qadariyah. Perkembangan tarekat Naqsyabandiyah Haqqani di Singapura tidak terlepas dari peran Syekh Hisham, yang datang ke Singapura dan bertemu dengan Syekh Zakaria, putra dari Grand-Sheikh tarekat Qadariyah di Singapura. Syekh Hisham kemudian membaiat Syekh Zakaria dan mengangkatnya sebagai wakil khalifah tarekat Naqsyabandiyah Haqqani di Singapura. Para pengikut tarekat ini rutin berkumpul setiap Kamis malam di Masjid Kampong Siglap untuk melakukan zikir bersama.
Selain itu, perkembangan ajaran tarekat di Singapura juga didukung oleh sejumlah ulama dari Timur Tengah dan keturunan Nabi Muhammad saw., yang dikenal sebagai Habaib. Para Habaib di Singapura umumnya mengikuti Tarekat Ba'alawi, yang juga dikenal sebagai Tarekat Alawiyah, yang berasal dari Hadramaut, Yaman. Tarekat Alawiyah didirikan oleh Saidina al-Faqih Muqaddam Muhammad bin Ali Ba'alawi, yang merupakan keturunan ke-11 dari Rasulullah saw. Tarekat ini memiliki pengaruh besar dalam dunia Islam, khususnya di Nusantara, karena telah banyak mengislamkan orang Melayu sejak masuknya tarekat ini sekitar 1.400 tahun yang lalu (Mohsin et al., 2016)
Tarekat ini berfokus pada pembersihan jiwa dengan mencontoh sikap hidup Rasulullah saw. Ajaran tarekat ini bertujuan untuk mewujudkan makna suluk batin melalui penanaman sifat ikhlas, zuhud, tawakal, serta adab-adab yang diajarkan oleh Imam al-Ghazali. Pusat pengajaran Tarekat Alawiyah berada di Masjid Ba’alawi, di mana para pengikutnya menjalankan amalan Ahl al-Sunnah wa al-Jama’ah. Kegiatan yang biasa dilakukan termasuk perayaan keagamaan seperti Maulid Nabi setiap bulan Rabi’ul Awal dengan membaca rawi dalam ritual "barzanji." Selain itu, di Masjid Ba’alawi, tarekat Alawiyah juga rutin mengadakan majelis wirid dengan membaca Ratib Al-Attas serta kitab-kitab maulid lainnya seperti Maulid Diba’i.
Tasawuf memiliki berbagai corak ajaran. Salah satu tarekat lain yang berkembang di Singapura adalah Tarekat Aurad Muhammadiah, yang dipimpin oleh Al-Fadhil Syekh Abdul Hafiz bin Muhammad Taha As-Suhaimi. Beliau menerapkan amalan dari Syekh Muhammad Ibnun’Abdullah As-Suhaimi, yang juga dikenal sebagai Kyai Agung. Tarekat ini mulai berkembang ketika Syekh Abdul Hafiz menetap selama 40 hari di Singapura. Hingga kini, amalan tarekat ini terus diajarkan, terutama di Madrasah Al-Ma'arif Al-Islamiyah, dalam bentuk amalan Aurad/Maulid setiap malam Jumat dan malam Senin untuk mencapai mahabbah kepada Nabi Muhammad saw. Setelah wafatnya, tarekat ini dilanjutkan oleh keturunan-keturunan dan para khalifah yang diangkatnya. Perkembangan tarekat ini mencapai puncaknya di bawah pimpinan Ustadz Ashari bin Muhammad, pendiri Darul Arqam.
Saat ini, berbagai macam tarekat berkembang di Singapura. Menurut Khairul Amilin & Fazrihah Duriat dalam bukunya "Peran Ajaran Sufi dan Para Habaib di Singapura," beberapa tarekat yang ada antara lain: Ahmadiyah Idrisiyah, Naqsyabandiyah Haqqani Osmanli, Ahmadiyah Idrisiyah Rashidiyah Dandarawiyah, Ahmadiyah Idrisiyah Ja'fariyah, Arusiyah Qadiriyah, Chistiyah, Aurad Muhammadiah, Khalidiyah, Ba'alawiyah, Dasuqiyah Shadhiliyah, Darqawiyah Alawiyah, Naqsyabandiyah Mohsiniyyah, Darqawiyah Shadhiliyah Qadiriyah, Khalwatiyah, Naqsyabandiyah Haqqani, Naqsyabandiyah Aliyyah, Naqsyabandiyah Khalidiyah, Naqsyabandiyah Mujaddidiyah Saifiyah, Naqsyabandiyah Khalidiyah, Suhrawardiyah Sanusiyah, Qadiriyah, Qadiriyah Aleemiyah, Qadiriyah Chistiyah Suhrawardiyah, Naqsyabandiyah Sanusiyah, Qadiriyah Naqsyabandiyah, Qadiriyah Rifa'iyah, Tijaniyah, Shadhiliyah Aliyyah, dan lainnya ( Amilin & Duriat, 2021)
Di tengah gejolak perkembangan tasawuf di Singapura, muncul berbagai tanggapan dan reaksi terhadap para ahli tarekat, baik di Singapura maupun di Nusantara secara umum. Syekh Salim Ibn Sumayr menulis sebuah naskah berjudul “Hadhi Nubdhah li al-Mu'alim Salim ibn Sumayr fi Radd Ahl al-Tariqah fi Singgapurah Sanatan 1269 H”, sebagai bentuk tanggapan terhadap dinamika tarekat yang berkembang di Singapura pada abad ke-19. Pada tahun tersebut, banyak peziarah dan jamaah haji berkumpul di Singapura. Selama waktu transit mereka untuk menunaikan haji, para ahli tarekat mengajak jamaah haji untuk ikut berkhalwat dan mengikuti tarekat. Para ahli tarekat mengajak jamaah untuk menyibukkan diri dengan berzikir pada waktu-waktu tertentu dan menjalani khalwat selama 40 hari. Mereka yang mengikuti hal ini dianggap akan mendapatkan kedudukan yang tinggi dalam agama. Namun, inilah yang kemudian dikritik oleh Syekh Ibn Sumayr melalui naskahnya. Dalam naskah tersebut, beliau mengkritik bagaimana tarekat mengajak jamaah untuk menyibukkan diri dengan khalwat tanpa menyampaikan tentang larangan-larangan agama dan perintah syariat kepada jamaah (Arifin, 2022)
Saat ini, ajaran-ajaran tarekat masih tetap dilaksanakan di Singapura, yang dikembangkan oleh para habaib dan ahl tarekat. Perkembangan Islam di negara Minoritas ini juga mendapat perhatian dari pemerintah. Sebagai negara sekuler, Singapura menjamin hak-hak warga negara untuk menentukan kepercayaan yang dianut. Perhatian terhadap perkembangan Islam diwujudkan dengan dibentuknya berbagai lembaga yang menangani masalah sosial keagamaan, seperti MUIS, MANDAKI, DANAMIS, JAMIYAH, dan kelembagaan Islam lainnya.
PENUTUP
Singapura sebagai negara minoritas Islam, pada masa dahulu pernah menjadi tempat perkembangan dan pusat keilmuan Islam di Asia Tenggara. Eksistensi Singapura telah dimulai sejak abad ke-15, ketika daerah ini menjadi salah satu daerah kekuasaan Kesultanan Malaka dan sekaligus sebagai salah satu pusat perdagangan dan pelabuhan di Asia Tenggara. Trasmigrasi keilmuan Islam dari belahan Timur Tengah, telah menunjang proses islamisasi di Negara Singapura. Dalam perannya sebagai pelabuhan terpenting, Singapura menjadi wadah bagi perkumpulan kaum Muslim dari berbagai belahan dunia, seperti dari Timur Tengah, Asia Selatan, dan Asia Tenggara. Pada masa inilah, perkembangan keilmuan Islam mulai kembali bersinar, yang mana para pedagang mulai kembali berdatangan ke Singapura, termasuk pedagang-pedagang sekaligus sufi, Muslim dari Arab, India, Hadramaut, dan Nusantara. Hal ini tidak lepas dari peran jaringan antar ulama Timur Tengah dengan Nusantara. Pada abad ke-19, pengembangan tasawuf mulai di lakukan secara gencar oleh ahl tarekat, yang mana Singapura ketika itu menjadi tempat pemberhentian atau transit para jama`ah haji dari Indonesia. Perkembangan tasawuf di Singapura, munculah berbagai tanggapan dan reaksi terhadap ahl tarekat, terkhusus di Singapura dan Nusantara umumnya.
DAFTAR PUSTAKA
Abidin, Y. (2020). Pengantar Budaya Masyarakat Asia Tenggara. UNAS PRESS.
Amilin, K & Duriat, F. (2021). Peranan Ajaran Sufi dan Para Habaib di Singapura. Akademi Tareqat Tasawwuf Al-Ja’fari.
Amin, F., & Ananda, R. A. (2018). Kedatangan dan Penyebaran Islam di Asia Tenggara: Tela’ah Teoritik Tentang Proses Islamisasi Nusantara. Analisis: Journal Studi Keislaman, 18 (2), 91.
Arifin. (2022). Nubdzah Fi Radd Ahl Al-Tariqah Fi Singapura Oleh Salim Ibn Sumair: Sebuah Komentar Terhadap Penganut Tarekat Di Nusantara Abad 19. Jumantara: Jurnal Manuskrip Nusantara, 13 (2), 138.
Helmiati. (2014). Sejarah Islam Asia Tenggara. LPPM UIN Sultan Syarif Kasim Riau.
Herawati, A. (2018). Eksistensi Islam di Asia Tenggara. Ash-Shahabah: Jurnal Pendidikan Islam, 4 (2), 125.
Jambak, F. F. (2018). Pemahaman Keagamaan Islam di Asia Tenggara Abad XIII-XX. Millah: Journal Of Religious Studies, 6 (2), 56–61.
Mohsin, M. A., Baharudin, M. H. A. M., Abdullah, N., Sawari, S. S. Md., Napiah, O., Noor, S. S. Mohd., & Kamarul Azmi Jasmi, K. A. (2016). View of Ratib al-Attas Menurut Perspektif al-Quran dan Hadis. 8((3-2)), 101–107. https://doi.org/10.11113/sh.v8n3-2.970
Nurbaiti. (2019). Pendidikan Islam Pada Awal Islamisasi di Asia Tenggara. Rajawali Press.
Pratama, F. S., Erasiah, Zain, F. M., Oktavia, N., & Rossa, M. (2022). Tumasik In The Tresures Of Southeast Asian Islamic Civilization (A Study Of The Islamic Civilization Of Singapore In The 15-20 Th Century). El-Hakam: Jurnal Studi Keislaman, 7 (2), 215–217.
Sani, H. B. A. (2010). The Rise And Role of Tariqa Among Muslims In Singapore-The Case of The Naqshbandi Haqqani. National University of Singapore.
Subehi, I. (2022). Minoritas Muslim di Asia Tenggara. KBM Indonesia.
Tumiran, S. N. (2021). Personaliti Termasyhur Singapura: Syed Mohamed bin Ahmed Alsagoff. Prosiding Nadwah Ulama Nusantara (NUN), 434.