A.
Latar
Belakang Masalah
Setelah
proklamasi kemerdekaan tanggal 17 Agustus 1945, pemerintah Indonesia membuka
ruang kepada masyarakat dari semua golongan untuk ikut berpartisipasi dalam
kancah perpolitikan nasional. Pada tanggal 3 November 1945, pemerintah
mengeluarkan maklumat yang dikenal sebagai Maklumat No. X, ditandatangani oleh
Wakil Presiden Mohammad Hatta, berisi anjuran pembentukan partai politik. Ini merupakan
penegasan bahwa pemerintah berharap,
dengan dibentuknya partai politik, masyarakat dapat berpartisipasi dalam
pemilihan anggota badan perwakilan rakyat pada bulan Januari 1946.
Sebagai
bentuk respon umat Islam atas terbukanya ruang politik di Indonesia tersebut,
diadakan suatu agenda besar yang dikenal sebagai Muktamar Umat Islam. Muktamar tersebut
diselenggarakan di Yogyakarta tanggal 7-8 November 1945, memutuskan untuk membentuk
sebuah partai politik Islam yaitu Masyumi. Sebelum menjadi partai, Masyumi kala
itu merupakan organisasi gabungan dari beberapa ormas besar Islam di Indonesia yaitu
Nahdlatul Ulama (NU),
Muhammadiyah, Perikatan Umat Islam dan Persatuan Umat Islam. Kemudian Partai
Masyumi dinobatkan sebagai satu-satunya partai yang mewakili aspirasi umat Islam
dalam menjalankan pemerintahan.
Lahirnya
Partai Masyumi tentu tidak dapat dipisahkan dari peranan NU sebagai salah satu
ormas Islam terbesar di Indonesia. Dapat dikatakan NU merupakan salah satu
pelopor berdiri Partai Masyumi. Sumbangan NU terhadap Partai Masyumi dapat kita
lihat dalam keikutsertaannya mengajak umat untuk selalu mendukung Partai
Masyumi, terutama para Nahdiyin.
Hal itu
dibuktikan dengan keputusan yang dihasilkan dalam kongres NU di Purwokerto
tahun 1946 yang menyerukan warga NU ikut berpartisipasi aktif dalam Partai
Masyumi dan NU akan menjadi tulang punggung Partai Masyumi. Sebagaimana yang
dikutip Ali dari bukunya Soekaradja (Tjabang NO Banjumas), bunyi hasil keputusan
kongres tersebut, yaitu: “Mukhtamar
NU 1946 di Purwokerto memutuskan ‘soepaja
anggota-anggota Nahdlatoel Oelama membanjiri Party Politik Masjoemi menoeroet
petoenjoek Pengoeroes Besar NO’. Poetoesan-poetoesan Moe’tamar NO ke 16, 23-26
Rabiul Akhir 1365 (26/27-29 Maret 1946) di Poerwokerto”.
Begitulah salah satu cara NU menunjukkan dukungannya pada Partai
Masyumi. NU memutuskan untuk terjun seutuhnya demi kemajuan dan perkembangan
Partai Masyumi serta kemaslahatan umat ke depan. Berkat dukungan yang besar
terhadap Partai Masyumi, NU
mendapatkan posisi yang strategis dalam struktur partai, yakni dipercaya
memegang posisi Majelis Syuro dengan ketua KH. Hasyim Asy‘ari. Majelis Syuro
berperan sebagai penentu arah politik partai, terlebih dalam hubungannya dengan
masalah keagamaan, yang kemudian dituangkan dalam Anggaran Rumah Tangga partai.
Dalam
perjalanan awal tahun 1945-1947, Partai Masyumi mendapat dukungan besar dari
rakyat atas seruan para ulama NU serta penggagas Partai Masyumi lainnya. Seiring
berjalannya waktu, perbedaan pandangan politik antar kelompok dalam Partai
Masyumi segera menyusul. Persatuan yang sejak awal kemerdekaan sebagai obsesi dengan
menjadikan Partai Masyumi sebagai satu-satunya partai Islam tidak dapat
dipertahankan lagi. Segera saja pengaruh politik praktis berupa distribusi
kekuasaan menjadi ajang perebutan dan hal-hal lain yang menyangkut ketidak
sepahaman kebijaksanaan politik, terutama sekali terlihat ketika menghadapi
Belanda dalam Perjanjian Linggarjati dan Renville. Hal itulah yang menyebabkan
awal kisruh yang terjadi dalam internal Partai Masyumi.
Tidak
hanya itu, dalam perjalanan partai, banyak muncul pemasalahan internal. Seperti
yang tertera dalam buku Sejarah Umat Islam Indonesia yang diterbitkan
MUI, berbunyi:
Masa demokrasi parlementer selain diwarnai
oleh konflik politik, antar partai Islam sendiri muncul perpecahan.
Terbentuknya Masyumi sebagai partai politik pada bulan November 1945
dimaksudkan untuk menggalang persatuan Islam dan menyalurkan aspirasi Islam dan
kaitannya dengan negara dan pemerintahan. Akan tetapi, ketika menghadapi
masalah-masalah politik praktis dalam pemerintahan, ternyata tidak seluruhnya
memegang kesepakatan mukhtamar.
Ada
asumsi bahwa “perkembangan politik tidak selamanya sesuai dengan perhitungan di
atas kertas”. Setidaknya para politisi
NU mengakui akan kebenaran pernyataan ini. Betapapun penting posisi NU dalam
Majelis Syuro,
ternyata pada perkembangan berikut Majelis Syuro hanya berubah fungsi sebagai
pemberi nasehat yang tidak terlalu diperlukan lagi.
Tidak lama sesudah itu, NU
memutuskan keluar
dari Partai Masyumi. Keputusan itu diambil melalui keputusan kongres ke-19 NU, April 1952 di Palembang. NU sebagai salah satu penggagas Partai Masyumi,
tiba-tiba memutuskan keluar. NU yang
seharusnya membantu menyelesaikan konflik yang terjadi di dalam tubuh partai
justru memilih seolah tidak mengacuhkan polemik yang tengah terjadi. Tidak
diketahui secara pasti, mengapa NU
mengambil keputusan tersebut. Menurut pendapat penulis, NU
merasa dianak tirikan karena tidak mendapatkan posisi yang sesuai dalam kabinet
pemerintahan. Namun,
pendapat lain mengatakan bahwa NU merasa Partai Masyumi tidak lagi se-ide
dengannya dalam mewujudkan negara yang berlandaskan Islam. Perbedaan pendapat yang beredar itu, membuat
penulis tertarik untuk meneliti lebih lanjut, mengapa NU sebagai salah satu tonggak awal penggagas
berdiri Partai Masyumi kemudian memutuskan untuk memisahkan diri dari keanggotaan
partai.
Berdasarkan penjelasan di atas, penulis berniat
mengkaji lebih lanjut mengenai penyebab keluarnya NU dari Partai Masyumi, dan akan dituangkan dalam
judul skripsi Dinamika Partai Politik Islam di Indonesia, Analisis tentang
Eksistensi Nahdlatul Ulama (NU) dalam Partai Politik Masyumi.
B.
Kesimpulan
Melihat eksistensi
NU di dalam Partai Masyumi, terlihat jelas bahwa NU mempunyai peranan besar
dalam memberikan sumbangan bagi keberlangsungan partai. Terlihat bahwa sejak
awal berdiri Partai Masyumi, NU selalu memperlihatkan keikutsertaannya, mulai
dari berdiri partai, NU termasuk salah satu penggagas, dan NU juga dipercaya
menduduki posisi Majelis Syuro.
Namun seiring
perkembangan partai, NU mulai merasakan perlakuan yang tidak lagi memperhatikan
keberadaannya dalam partai. Waktu dilaksanakan perundingan Linggarjati dan
Renvile, NU menunjukkan sikap tidak sepakat, dikarenakan dengan kedua
perjanjian itu memberikan dampak yang merugikan bangsa Indonesia. Wilayah
kekuasaan Indonesia menjadi semakin berkurang dan sempit dan itu akan
memberikan kerugian kepada Negara Indonesia, kenyataannya tokoh Masyumi yang
terlibat tetap melaksanakannya.
NU menginginkan Partai Masyumi benar-benar menjalankan
politik yang jujur dan selalu diawasi oleh agama dalam mengambil tiap
kebijakan. Namun, realitanya Partai
Masyumi banyak mengambil kebijakan yang justru merugikan rakyat dan ummat Islam
sendiri. Hal itu dapat kita lihat pada saat terjadi peristiwa bataliyon 426
antara TNI dan mantan tentara Hizbullah. Peristiwa itu menggiring tertangkapnya
pemuda-pemuda Islam akibat korban fitnahan kepada pemuda Islam, hingga mereka
ditangkap dan dijebloskan ke dalam penjara.
Dalam kepengurusan
partai, NU tidak berambisi untuk menduduki jabatan dalam partai. Posisi sebagai
ketua Majelis Syuro diterima NU dengan alasan bahwa NU memiliki tanggungjawab
secara agama atas setiap kebijakan-kebijakan yang dikeluarkan oleh partai.
Posisi Majelis Syuro sebagai dewan tertinggi partai, bagi NU dapat djiadikan
pedoman untuk selalu mengawasi setiap kebijakan partai yang menyimpang dari
ketentuan agama. Namun, setiap pengorbanan yang dilakukan oleh NU tidak
dihargai oleh pengurus partai yang lain. Justru, wewenang Majelis Syuro sebagai
pengawas kebijakan partai berganti menjadi penasehat atas setiap kebijakan
partai. Berubahnya wewenang Majelis Syuro, menunjukkan bahwa peranan NU dalam
partai menjadi berkurang.
Kekecewaan NU
tidak berakhir hanya sampai disitu, pada saat pemilihan menteri agama pada masa
Kabinet Wilopo tahun 1952 melalui pemungutan suara, Partai Masyumi menolak calon yang diajukan
oleh NU sebagai menteri agama. Justru, jabatan itu diberikan kepada Ki Haji
Fakih Usman dari Muhammadyah.
Peristiwa tersebut merupakan puncak dari
kekecewaan NU kepada Partai Masyumi, sebab telah berbagai upaya NU lakukan
untuk memperbaiki hubungan dengan partai tetap tidak diacuhkan oleh pengurus
partai, hingga tahun 1952 melalui muktamar yang ke-19 di Palembang NU
memutuskan memisahkan diri dari keanggotaan Partai Masyumi. Keputusan itu
diambil karena NU merasa sudah tidak sejalan lagi dengan Partai Masyumi dalam
melanjutkan misi Islam dibidang politik.
Dan solusi terbaik adalah dengan memisahkan diri dari keanggotaan partai.
Selain
itu, jika dilihat dari internal NU sendiri, terdapat beberapa alasan juga yang
menjadi pendorong NU harus memisahkan diri, seperti massa dalam kuantitas besar
merupakan modal awal bagi NU untuk memperoleh suara dalam pemilu pertama tahun
1955. Kemudian NU juga memperoleh keuntungan dengan kulturnya yang fleksibel,
hingga sampai saat ini NU masih bisa mempertahankan keberadaannya dalam
kelembagaan yang ada di Indonesia. Jika kita
bandingakn dengan Partai Masyumi yang dari dahulu terlalu keras
menentang hal-hal yang dikeluarkan oleh penguasa kala itu, mengakibatkan
Masyumi dibubarkan oleh Soekarno pada tahun 1960.