A.
Pendahuluan
Haji Abdul Malik
Karim Amrullah (HAMKA) adalah salah satu tokoh Nasional yang memiliki pengaruh
besar untuk Negara Indonesia, khususnya Umat Islam. Banyak sumbangan positif
yang telah beliau berikan, pemikiran-pemikiran modern yang sesuai dengan
perkembangan zaman namun tidak bertentangan dengan ajaran Islam. Mengenai hal
itu, akan penulis bahas lebih lanjut pada poin berikut.
B.
Pembahasan
1.
Riwayat Hidup
Beliau lahir tanggal
17 Februari 1908 di Kampung Molek, Maninjau, Sumatera Barat. Nama pemberian
ayahnya adalah Abdul Malik, ia adalah seorang ulama, aktivis politik,
sastrawan, politikus, filsuf, dan aktivis Muhammadyah.
Ibunya keturunan
bangsawan, ayahnya Syeikh Abdul Karim bin Amrullah atau dikenal dengan nama Haji
Rasul, berasal dari keluarga ulama dan seorang pelopor gerakan pembaruan/
modernis dalam Gerakan Islah (tajdid) di Minangkabau sekembalinya dari Makkah
tahun 1906.
Beliau dibesarkan
dalam tradisi Minangkabau, masa kecilnya dipenuhi gejolak batin karena saat itu
terjadi pertentangan yang keras antara kaum adat dan kaum muda tentang
pelaksanaan ajaran Islam. Banyak hal-hal yang tidak dibenarkan dalam Islam, tapi
dipraktikkan dalam kehidupan masyarakat sehari-hari.[1]
2.
Pemikiran-pemikiran Buya
Hamka
a.
Pemikiran tasawuf Hamka
Seseorang yang
mendalami spritual, bukan berarti memisahkan diri dari kemajuan ilmu
pengetahuan dan teknologi. Agama menemptkan ilmu pengetahuan dan teknologi itu
sebagai alat, sarana dan bukan tujuan, sebab tujuan manusia itu sendiri sesuai
dengan martabatnya telah ditentukan oleh Tuhan yang menentukan manusia itu
sendiri. Dan jalan menuju kesana, hanya dapat ditempuh melalui submission kita
pada agama, termasuk didalam tasawuf, jika kita ingin selamat dan tidak sesat
di jalan atau terombang ambing oleh pergolakan zaman.
Tasawuf dapat
menjadi solusi alternative terhadap kebutuhan spiritual dan pembinaan manusia
modern, karena tasawuf merupakan tradisi yang hidup dan kaya dengan
doktrin-doktrin metafisis, kosmologis, dan psikoterapi relijius yang dapat
mengahantarkan kita menuju kesempurnaan dan ketenangan hidup, yang hampir
hilang atau bahkan tidak pernah dipelajari manusa modern.
Selain itu, Hamka
juga berpandangan bahwa penganut tasawuf modern tidak harus lari dari kehidupan
duniawi, tetapi justru harus terlibat aktif dalam masyarakat. Dengan
mempraktekkan tasawuf secara aktif dalam setiap aktivitas manusia modern dapat
membangunkan orang modern dari tidur spritualnya yang panjang dan pembinaan
moral.[2]
b.
Tauhid sebagai prinsip
keluarga
Tauhid sebagai
inti ajaran Islam tidak hanya sekedar dimaknai sebagai pengakuan atas satu Tuhan, akan tetapi al-Faruqi mencoba melakukan
internalisasi (penghayatan) tauhid ke dalam seluruh
aspek kehidupan agar seseorang dapat berjalan sebagaimana tujuan
penciptaan yakni penghambaan kepada Allah semata.
Tauhid menurut
Hamka mengandung dua aspek tauhid, yaitu tauhid uluhiyyah dan tauhid
rububiyyah, berarti menyangkut pengertian tauhid secara teoritis dan praktis.
Jadi, tauhid menurut Hamka melibatkan unsur ibadah. Hal ini sesuai dengan
pengertian iman dalam perspektif islam, dimana iman bukan hanya kepercayaan
saja, tetapi juga menyangkut perbuatan atau ibadah.
Keluarga sebagai lingkungan pertama
pendidikan bagi seorang anak, maka menurut Hamka orang tua wajib memberikan
nilai-nilai pendidikan kepada anak, yang harus pertama kali diberikan adalah
nilah ilahiyah (ketauhidan), karena dengan nilai-nilai tersebut, diharapkan
anak-anak akan terpatri dengan nilai-nilai ketundukan kepada Khaliknya. Bentuk
implementasi pengajaran tauhid ini
dilakukan dengan cara memberikan tauladan yang baik bagi anak, sehingga
terciptalah generasi yang menjadi kebanggaan orang tuanya.
c. Politik
Pemikiran politik Hamka dalam
tafsir al-Azhar yang relevansinya ke dalam pemikiran kenegaraan di Indonesia
tertuang dalam bahasan tentang syura. Dengan adanya lembaga perwakilan rakyat
sebagai perwujudan dari demokrasi parlementer yang berlaku di Indonesia, maka
dapat disatu alurkan dengan pemikiran Hamka tentang syura yang menjadi ajaran
Islam, terutama dalam suatu negara. Tentang Negara, bahwa Indonesia adalah
negara yang berkedaulatan rakyat, berdasarkan Pancasila dan UUD 1945. Sila
ke-Tuhan-an Yang Maha Esa adalah suatu bukti bahwa Indonesia adalah negara yang
menjunjung tinggi agama dan merupakan dasar pemikiran kenegaraan. Tidak ada
pemisahan antara negara dan agama sebagaimana yang telah dikemukakanoleh Hamka.
Hamka memberikan satu batasan untuk negara yang melakukan hubungan
internasional, yaitu kekuatan, dalam arti bahwa posisi negara kuat, sehingga
tidak mudah diremehkan atau dikhianati negara lain.[3]
d. Pendidikan
Menurutnya, ada tiga tema yang digunakan para
ahli untuk menunjukkan istilah pendidikan Islam, yaitu ta’lim, tarbiyah, dan
ta’dib. Hamka membedakan makna pendidikan dan pengajaran. Menurutnya,
pendidikan Islam merupakan serangkaian upaya yang dilakukan pendidik untuk
membantu membentuk watak, budi, akhlak, dan kepribadian peserta didik. Sehingga
ia tahu membedakan mana yang baik dan mana yang buruk. Sementara, pengajaran
Islam adalah upaya untuk mengisi intelektual peserta didik dengan sejumlah ilmu
pengetahuan.
Dalam mendefinisikan pendidikan dan
pengajaran, ia hanya membedakan makna pengajaran dan pendidikan pada pengertian kata. Akan tetapi
secara esensial ia tidak membedakannya. Kedua kata tersebut (pendidikan dan
pengajaran) merupakan suatu sistem yang saling berkelindan. Setiap proses
pendidikan, di dalamnya terdapat proses pengajaran. Keduanya saling melengkapi
antara satu dengan yang lain, dalam rangka mencapai tujuan yang sama. Tujuan
dan misi pendidikan akan tercapai melalui proses pengajaran. Demikian pula
sebaliknya, proses pengajaran tidak akan banyak berarti bila tidak dibarengi
dengan proses pendidikan. Dengan pertautan kedua proses ini, manusia akan
memperoleh kemuliaan hidup, baik di dunia maupun di akhirat.
Bila dilihat dari dataran filsafat,
batasan definisi pendidikan Islam yang dikemukakannya dapat dipandang sebagai ontologi
pendidikan Islam. Definisi di atas merupakan salah satu titik perbedaan
pendapatnya dengan batasan pendidikan dewasa ini yang mendikotomikan kedua
istilah tersebut secara parsial. Ia mencoba membangun proses pengajaran dan
pendidikan dalam sebuah konstruksi yang integral. Dalam pandangannya, proses
pendidikan tidak hanya berorientasi pada hal-hat yang bersifat material belaka.
Pendekatan yang demikian itu tidak akan dapat membawa manusia kepada kepuasan
batin (rohani). Pendidikan yang baik adalah pendidikan yang dapat
mengintegralkan potensi fitrah-Nya yang tinggi dengan potensi akal pikiran,
perasaan dan sifat-sifat kemanusiaannya yang lain secara serasi dan seimbang.
Melalui integrasi kedua unsur potensi
tersebut, maka peserta didik akan mampu mengetahui rahasia yang tertulis
(Al-Quran dan Hadis) dan fenomena alam semesta yang tak tertulis (QS. Faathir:
28). Melalui pendekatan ini manusia (peserta didik) akan dapat menyingkap
rahasia keagungan dan kebesaran-Nya, sekaligus untuk memper-tebal keimanannya
kepada Allah. Namun demikian, pendidikan bukan berarti hanya berorientasi pada
hal-hal yang bersifat metafisik belaka. Dalam melaksanakan tugasnya sebagai
khalifah fi al-ardh, manusia juga memerlukan pendidikan yang bersifat material.
Hanya melalui pendekatan kedua proses tersebut, manusia akan dapat melaksanakan
tugas dan fungsinya di muka bumi ini dengan sebaik-baiknya.
Di sini ia memaknai manusia sebagai
khalifah fi al-ardh sebagai makhluk yang telah diberikan Allah potensi akal
sebagai sarana untuk mengetahui hukum-Nya, me-nyingkap rahasia alam dan
meman-faatkannya bagi kemaslahatan umat manusia.
Menurut HAMKA, melalui akalnya manusia
dapat menciptakan peradabannya dengan lebih baik. Fenomena ini dapat dilihat
dari sejarah manusia di muka bumi. Disamping itu, fungsi pendidikan bukan saja
sebagai proses pengembangan intelektual dan kepribadian peserta didik, akan
tetapi juga proses sosialisasi peserta didik dengan lingkungan di mana ia
berada. Secara inheren, pendidikan merupakan proses penanaman nilai-nilai
kebebasan dan kemerdekaan kepada peserta didik untuk menyatakan pikiran serta
mengembangkan totalitas dirinya. Dengan kata lain pendidikan (Islam) merupakan
proses transmisi ajaran Islam dari generasi ke generasi berikutnya. Proses
tersebut melibatkan tidak saja aspek kognitif pengetahuan tentang ajaran Islam,
tetapi juga aspek afektif dan psikomotorik (menyangkut bagaimana sikap dan
pengamalan ajaran Islam secara kaffah).
HAMKA menekankan pentingnya pendidikan
jasmani dan rohani (jiwa yang diwarnai oleh roh agama dan dinamika intelektual)
yang seimbang. Integralitas kedua aspek tersebut akan membantu keseimbangan dan
kesempurnaan fitrah peserta didik. Hal ini disebabkan karena esensi pendidikan
Islam berupaya melatih perasaan peserta didik sesuai dengan fitrah-Nya yang
dianugrehkan kepada setiap manusia, sehingga akan tercermin dalam sikap hidup,
tindakan, keputusan dan pendekatan mereka terhadap semua jenis dan bentuk
pengetahuan dipengaruhi nilai-nilai ajaran Islam.
C. Penutup
Berbagai macam pemikiran yang bersumber dari Buya
Hamka, baik itu dilihat dari sudut pandang politik, pendidikan, keluarga dan
juga tasawuf, memberikan manfaan yang luar biasa bagi kita semua. Terutama
generasi masa depan yang tidak berjumpa langsung dengan beliau, namun bertemu
dengan karya warisan yang beliau sumbangkan.
Daftar Pustaka
http://elsaelsi.files.wordpress.com/ 17/11/2013/ diakses jam 12.30 wib
Skripsi
Mas’ut Ulum, Jurusan Aqidah Filsafat, Fakultas Ushuludin UIN Sunan Kalijaga,
dengan judul “Urgensi Tasawuf dalam Kehidupan Modern; telaah atas Pemikiran
Tasawuf Hamka”, h. 29
Skripsi
Ahmad Hakim, UIN Sunan Kalijaga, Yogyakarta dengan judul “Pemikiran Hamka
tentang Politik dalam Tafsir Al-Azhar”.
Makalah
Pemikiran Buya HAMKA
Diajukan untuk memenuhi tugas perkuliahan pada
mata kuliah
Kapita Selekta SKI Indonesia
Oleh:
Nilma Yola :
110 173
Dosen
Bidang Study :
Drs. Ryusdi Ramli, M. A
Muhaprul Musri
JURUSAN SEJARAH KEBUDAYAAN ISLAM (B)
FAKULTAS ADAB
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI (IAIN)
IMAM BONJOL PADANG
1435 H/
2013 M
[1] http://elsaelsi.files.wordpress.com/
17/11/2013/ diakses jam 12.30 wib
[2] Skripsi
Mas’ut Ulum, Jurusan Aqidah Filsafat, Fakultas Ushuludin UIN Sunan Kalijaga,
dengan judul “Urgensi Tasawuf dalam Kehidupan Modern; telaah atas Pemikiran
Tasawuf Hamka”, h. 29
[3] Skripsi
Ahmad Hakim, UIN Sunan Kalijaga, Yogyakarta dengan judul “Pemikiran Hamka
tentang Politik dalam Tafsir Al-Azhar”.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar