a.
Hadist tentang sholat
sambil duduk
...صَلِّ قَائِمًا فَاِنْ لَمْ تَسْتَطِعْ فَقَا عِدًافَاِنْ لَمْ
تَسْتَطِعْ فَعَلَى جَنْبِ...
Artinya :
“ Shalatlah dengan berdiri. Bila kamu tidak kuasa, maka shalatlah
sambil duduk. Bila kamu tidak kuasa, maka shalatlah sambil berbaring di atas
lambungmu (miring)”. (HR. al-Bukhari dan lainnya).[1]
b.
Asbabul Wurud hadist
Ibnu
Buraid menceritakan, katanya : Imran ibnu Husain mengabarkan kepadaku bahwa ia
pernah mengidap penyakit wasir atau ambeien. Lalu ia bertanya kepada Rasulullah
SAW mengenai seseorang, laki-laki yang mengerjakan shalat dalam keadaan wudhu’.
Maka beliau menjelaskan : “Shalatlah dengan berdiri…..” dan seterusnya bunyi
hadist di atas.
c.
Analisa Tekstual
Terdapat
hadist yang mampu menjelaskan kata جنب dalam hadist di atas, yakni :
وَقَا لَ عَطَاءٌ : إِنْ
لَمْ يَقْدِرْأَنْ يَتَحَوَّلَ إِلَى الْقِبْلَةِ صَلَّى حَيْثُ كَنَا وَخْهُهُ...
Atha’ berkata, “Apabila tidak mampu untuk berbalik
(menghadap) ke kiblat, maka ia boleh sholat kemana wajahnya menghadap.”
عَنْ عِمْرَانَ بْنِ
حُصَيْنٍ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ قَالَ : كَانَتْ بِيْ بَوَاسِيْرُ فَسَأَلْتُ
النَّبِيَّ صَلَ اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَنِ الصَّلَاةَ ؟ فَقَالَ : صَلَّ قَائِمًا
فَاِنْ لَمْ تَسْتَطِعْ فَقَا عِدًافَاِنْ لَمْ تَسْتَطِعْ فَعَلَى جَنْبِ
Dari
Imran bin Hushaini r.a, dia berkata : “Aku menderita wasir (ambeien), maka aku
bertanya kepada Nabi SAW tentang shalat. Beliau bersabda, ‘ Shalatlah dengan
Shalatlah dengan berdiri. Bila kamu tidak kuasa, maka shalatlah sambil duduk.
Bila kamu tidak kuasa, maka shalatlah sambil berbaring di atas lambungmu
(miring).
Keterangan Hadist :
وَقَا
لَ عَطَاءٌ : إِنْ لَمْ يَقْدِر (Atha’ berkata, “Apabila tidak mampu…”)
Dalam
riwayat Al-Kasyimihani disebutkan, إِنْ لَمْ يَقْدِر, atsar ini disebutkan dengan sanad yang maushul
(lengkap) oleh Abdurrazak dari Ibnu Juraij, dari Atha’. Adapun letak
kesuaiannya dengan judul bab adalah, bahwa orang yang tidak mampu melakukan
perbuatan fardhu, maka ia boleh melakukan perbuatan fardhu lain yang lebih
rendah tingkatannya. Ini merupakan dalil yang membantah pendapat bahwa orang
yang tidak mampu shalat dengan duduk, maka kewajiban shalat telah gugur
darinya. Pendapat ini menurut Al-Ghazali berasal dari Abu Hanifah, tapi hal itu
dibantah dengan alasan pendapat tersebut tidak ditemukan dalam kitab-kitab
madzhab Hanafi.
عَنِ الصَّلَا (tentang
shalat), maksudnya tentang orang yang sakit, berdasarkan perkatannya
pada bagian awal كَانَتْ
بِيْ بَوَاسِيْرُ
(Aku menderita wasir…). Dalam riwayat Waki’ dari Ibrahim bin Thaman
yang diriwayatkan oleh Imam Tirmidzi dan selainnya disebutkan, سَأَلْتُ عَنْ
صَلَاةِ الْمَرِيْضُ
(Aku bertanya tentang sholat orang yang sakit).
فَاِنْ لَمْ تَسْتَطِعْ (jika engkau
tidak mampu). Ini menjadi dalil bagi yang berpendapat bahwa orang yang sakit
tidak boleh mengerjakan shalat dengan duduk kecuali apabila dia tidak mampu
untuk berdiri. Pendapat ini diriwayatkan oleh Al-Qadhi Iyadh dari Imam Syafi’i.
sementara Imam Malik, Ahmad, dan Ishaq berpendapat bahwa “tidak mampu” itu bukan
menjadi syarat, tapi cukup adanya kesulitan itulah yang menjadi alasan
diperbolehkannya melakukan shalat dengan duduk.
Adapun
pendapat yang terkenal di kalangan madhzhab Syafi’i adalah, bahwa yang dimaksud
dengan “tidak mampu” disini adalah adanya kesulitan yang sangat untuk berdiri,
atau rasa takut penyakitnya akan bertambah parah. Tetapi, tidak cukup untuk
membolehkan syalat dengan duduk bila kesulitan itu masih dalam kadar yang
minim. Diantar kesulitan yang besar adalah kepala pusing bagi orang yang naik
perahu, atau takut tenggelam bila shalat dengan berdiri di atas perahu.
Lalu,
apakah seseorang yang sedang bersembunyi mengintai musuh dalam rangka jihad
termasuk digolongkan “tidak mampu” ? Karena, jika ia shalat berdiri maka akan
terlihat oleh musuh. Oleh karena itu, apakah ia boleh shalat dengan duduk atau
tidak ? Dalam hal ini ada dua pendapat dalam madzhab Syafi’i, dimana yang
paling kuat di antara keduanya adalah pendapat yang membolehkannya. Tetapi ia
harus mengganti (mengqada’), karena ini merupakan halangan yang sangat jarang
terjadi.[2]
Hadist
ini dijadikan dalil kesamaan antara tidak mampu berdiri denga duduk dalam hal
berpindah kepada fardhu berikutnya. Berbeda dengan pendapat yang membedakan
hukum keduanya, seperti Imam Al-Haramain. Pendapat jumhur didukung pula oleh
hadist Ibnu Abbas yang diriwayatkan oleh Ath-Thabrani dengan lafadz, يُصَلِّي قَائِمًا, فَإِنْ
نَالَتْهُ مَشَقْةٌ فَجَا لِسًا, فَإِنْ نَالَتْهُ مَشَقَةٌ صَلِّى نَا ئِمًا ( dia shalat
dengan beridir. Apabila mengalami kesulitan, maka shalat dengan duduk; apabila
mengalami kesulitan, maka dia shalat dengan tidur (berbaring). Beliau
mempertimbangkan adanya kesulitan pada kedua hal itu tanpa membedakannya).
فَعَلَى جَنْبِ (maka di atas
sisi badan). Dalam hadist Ali yang diriwayatkan oleh Ath-Thabrani disebutkan, عَلَ جَنْبِهِ الْاَيْمَنِ
مَسْتَقْبَلَ الْقِبْلَةِ بِوَجْهِهِ (di atas sisi badannya yang kanan
seraya menghadap kiblat dengan wajahnya). Ini menjadi dalil bagi jumhur ulama
dalam masalah berpindah dari duduk kepada shalat di atas sisi badan
(berbaring). Menurut mazhab Hanafi dan sebagian ulama mazhab Syafi’i, hendaknya
ia berbaring. Menurut mazhab Hanafi dan sebagian ulama mazhab Syafi’i,
hendaknya ia berbaring dengan posisi terlentang lalu menghadapkan kakinya ke
arah kiblat.
Dalam
hadist Ali dijelaskan bahwa shalat dengan terlentang itu dilakukan apabila
tidak mampu berbaring dengan posisi miring. Hal ini dijadikan dalil oleh mereka
yang berpendapat bahwa orang yang sakit tidak boleh berpindah kepada posisi
lain stelah tidak mampu terlentang, seperti menggunakan isyarat dengan kepala, lalu
isyarat dengan pelupuk mata, kemudian mengucapkan Al-Qur’an dan dzikir, dan
kemudian membacanya dalam hati, sebab semua ini tidak disebutkan dalam hadist.
Ini merupakan pendapat para ulama mazhab Syafi’i, Hanafi, dan sebagian ulama
mazhab Syafi’i.
Sementara
di antara ulama mazhab Syafi’i mengatakan seperti urutan tadi, dan mereka
menjadikan akal sehat sebagai patokan shalat,; kapanpun seseorang masih berakal
sehat, maka beban syar’i (taklif) tidak terlepas darinya. Oleh karena itu,
hendaknya ia mengerjakan sebatas kemampuannya berdasarkan sabda beliau SAW, إِذَاأَمَرْتُكُمْ بِ
أَمْرٍ فَأْتُوْامِنْهُ مَااسْتَطَعْتُمْ ( Apabila aku memerintahkan suatu perbuatan kepada kalian,
maka kerjakanlah sebatas kemampuan kalian ). Demikian dalil yang
dikemukakan Al-Ghazali. Namun pernyataannya ini ditanggapi oleh Ar-Rafi’i,
bahwa hadist tersebut memerintahkan untuk mengerjakan sesuatu yang masih dalam
cakupan apa yang diperintahkan. Sementara duduk tidak mencakup berdiri,
demikian pula yang sesudahnya…hingga khir perkataan beliau.
Tanggapan
Ar-Rafi’i dijawab oleh Ibnu Shalah, bahwa kami tidak mengatakan orang yang
melaksanakan sholat sambil duduk berarti telah mengerjakan apa yang ia mampu
kerjakan saat berdiri, akan tetapi kami mengatakan keduanya telah mengerjakan
gerakan shalat yang mampu mereka kerjakan. Semua yang disebutkan adalah jenis
shalat, sebagiannya mempunyai tingkatan yang lebih rendah daripada yang lain.
Apabila ia tidak mampu mengerjakan tingkatan yang lebih tinggi, lalu ia
mengerjakan yang lebih rendah, maka ia telah melakukan shalat sesuai
kemampuannya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar