Review Buku
MENJERAT GUS DUR
Nilma Yola[1]
UIN Imam Bonjol Padang
Tulisan berikut merupakan review buku
Karya Virdika Rizky Utama, dengan judul Menjerat GUS DUR
Buku berjudul “Menjerat Gus Dur” karya tangan Virdika Rizky
merupakan buku yang menceritakan tentang Gus Dur mulai dari dia dipilih menjadi
Presiden pengganti BJ. Habibie, hingga dia dilengserkan sebagai Presiden
Republik Indonesia. Buku ini terdiri dari tujuh bab, 37 halaman yang
diterbitkan oleh PT.NUmedia Digital Indonesia, cetakan pertama di Jakarta.
Virdika Rizky Utama, adalah seorang mantan jurnalis Majalah Berita
Mingguan Gatra, Majalah Sawit Indonesia dan
Narasi TV. Buku ini berawal dari ketidaksengajaannya menemukan sebuah artikel
yang akan dibuang oleh petugas kebersihan saat ia sedang mewawancarai Setia
Novanto kira-kira tahun 2017 silam di kantor Golkar. Ia juga mengatakan bahwa
butuh waktu yang lumayan lama untuk memvalidasi data yang ada didalam dokumen
tersebut. Bahkan, ia juga pernah diancam oleh salah satu petinggi pemerintahan
yaitu Amin Rais karena mengetahui isi dari dokumen tersebut.[2]
Pada bagian Bab I Virdika mengisahkan tentang awal Orde Baru, islam
politik di awal Orde Baru, hingga Soeharto lengser dari kursi presiden. Berawal
dari naiknya Soeharto menggantikan posisi Soekarno sebagai Presiden Republik
Indonesia, maka nuansa kehidupan politik di Negara Indonesia berubah total dari
yang awalnya anti terhadap Barat lalu berubah menjadi Pro kepada Barat.
Kemudian Soeharto mulai berubah menjadikan keluarga dan orang-orang terdekat
menjadi pemegang jabatan strategis dipemerintahan. Hingga berlangsung selama 32
tahun lamanya, membuat masyarakat melalui perwakilan mahasiswa berusaha untuk menggulingkan
dia dari tampuk kepemimpinan sebagai orang nomor satu di Indonesia. Aksi
mahasiswa semakin menjadi saat dilakukannya Sidang Istimewa menetapkan kembali
Soeharto menjadi Presiden serta meletakkan anak dan kroni-kroninya mengisi
jabatan-jabatan dalam kabinet.
Unjuk rasa mahasiswa terjadi hampir diseluruh wilayah Indonesia.
Misalnya di Solo , Yogyakarta, dan Sumatera Utara juga terjadi unjuk rasa
mahasiswa dari kampus UGM dan juga USU. Bahkan Angkatan Darat dan Brigade Mobil
(Brimob) sempat menduduki UGM selama 8 jam. Di Jakarta, juga terjadi tragedy
Tri Sakti, yang menewaskan empat orang mahasiswa Tri Sakti, yaitu Hendriawan
Sie Alang Mulia Lesmana, , Hafidin Royan, dan Heri Hertanto.[3]
Tidak hanya itu, aksi tersebut juga diiringi oleh tentara yang diduga dilakukan
untuk membuat kerusuhan di Jakarta. Penjarahan toko-toko Tionghoa di daerah
Tanjung Priok, Tangerang, dimana property yang menjadi milik etnis Tionghoa
menjadi target uatama massa[4],
bahkan pembunuhan serta perkosaan kepada perempuan-perempuan Tionghoa tersebut.
Kekerasan seksual terjadi didalam rumah-rumah, dimana korban
diperkosa secara bergiliran. Dan dilakukan didepan orang lain pada waktu yang
sama. Meskipun tidak semua korban perkosaan adalah keturunan etnis Cina
Tionghoa, namun sebagaian besar berasal dari mereka. Sedikitnya tercatat
sekitar 85 korban kekerasan seksual selama kerusuhan Mei 1998.[5]
Di jalan, gelombang tuntutan untuk reformasi kian membesar. Disini
muncullah Amin Rais menjadi salah satu tokoh public yang mengecam keras Orde
Baru. Padahal, ia pernah menjadi bagian dari Orde Baru dengan menjadi bagian
dari ICMI. Sementara itu, Gus Dur lebih memilih menemui Soeharto dengan harapan
agar tidak terjadi makin banyak pertumpahan darah.
Justru saat keadaan genting di Jakarta, Soeharto malah berangkat ke
Mesir untuk menghadiri sebuah konfrensi dan ABRI sebagai kaki tangan Soeharto
mengambil alih kekuasaan dengan mengadakan Sidang Istimewa MPR. Mengetahui hal
itu, mahasiswa menjadi makin geram kemudia mereka memaksa menduduki Gedung DPR,
hingga pada akhirnya keluarlah draf dari DPR dan MPR yang meminta Soeharto mengundurkan
diri.
Pada bagian Bab II dijelaskan bahwa, Soeharto mundur dari jabatannya
sebagai presiden. Kemudian ia digantikan oleh wakilnya B.J. Habibie yang
memerintah selama satu tahun lima bulan saja. Karena ia tidk dianggap cakap
untuk melanjutkan pemerintahan terutama oleh orang-orang yang semasa orde baru
ikut menikmati fasilitas yang disediakan oleh Soeharto.
Pada Bab III, mulailah bermunculan partai-partai baru seperti PAN,
PDI-P dan kemudian PKB. Kemudian mereka mengikuti pemilu, PDI-P dan PKB
berkoalisi . seperti yang diungkapkan oleh Matori, bahwa sudah ada lobi-lobi
antara PKB dan PDIP untuk mencalonkan dirinya sebagai ketua MPR. Scenario yang
dirancang oleh PDIP dan PKB adalah dia atau Gus Dur yang akan menjabat ketua
MPR, Megawati menjadi Presiden, dan Akbar Tanjung menjadi wakil Presiden.[6]
Malam itu, Senin tanggal 10 Oktober 1999, Gedung MPR dipenuhi
kesibukan puluhan awak televisi dalam dan luar negeri yang berebutan tempat di
balkon pada kedua sisi ruang siding. Ruang itu sendiri dipenuhi hampir 700
anggota MPR, berpuluh-puluh pejabat, dan sejumlah besar wartawan yang memenuhi
balkon ruang siding. Anggota MPR menyatakan mosi tidak percaya kepada B.J.
Habibie, presiden di masa peralihan, laporan pertanggung jawabannya ditolak
mentah-mentah oleh MPR.[7]
Hari Rabu pagi, Habibie mengumumkan bahwa ia mundur dari pencalonan
Presiden berikutnya, tersisa lah dua calon yaitu Megawati dan Gus Dur. Karena
mengundurkan diri secara mendadak Parta Golkar tidak bisa mencarikan
penggantinya, hingga pemilihan berlangsung. Akhirnya pertarungan hanya diikuti
oleh Megawati dan Gus Dur saja.
Saat perhitungan suara dimulai, sebagian besar orang beranggapan bahwa Megawati adalah pemenang kali
ini. Namun, diluar dugaan, justru Gus Dur lah yang menjadi pemenangnya. Suara
yang diperolehnya mengalahkan suara perolehan Megawati yakni 60 suara unggul.
Padahal banyak yang menginginkan Gus Dur cukup menjadi ketua MPR saja, namu
disaat pemilihan justru ia malah menjagokan AMien Rais sebagai Ketua MPR.
Alasannya menurut saya, Gus Dur sudah percaya diri bahwa beberapa hari kemudian
ia akan terpilih menjadi seorang Presiden.[8]
Salah satu mimpi Gus Dur menjadi Presiden ialah, menyelesaikan perpecahan
yang melibatkan warga biasa, pemuda NU bergabung dengan tentara memburu kaum
Komunis dan membunuh mereka secara keji. Hal itu diungkapkan oleh Gusdur saat
saya, Mohammad Sobary dan juga seorang teman dari Paris, Andre Feillard ketika
kami mengunjunginya.[9]
Niat Gus Dur “membersihkan” sisa-sisa orde baru diawali dengan
mengganti Ketua LKBN Antara, yakni Parni Hadi oleh Mohammad Sobary. Masa itu,
dikabarkan Parni bertugas untuk mengamankan pemerintahan Habibie dari isu-isu
negative di media, sebab ia dekat dengan Habibie karena tergabung dalam ICMI.
Tidak hanya itu, Gus Dur juga memberhentikan Gubernur Bank Indonesia, Syaril
Sabirin, dikarenakan ia terindikasi berpartisipasi dalam korupsi Bank Bali pada
tahun 1998. Hal itu menyangkut nama sejumlah pejabat tinggi negara seperti Setya Novanto, bahkan menjerat nama
Presiden BJ. Habibie juga.
Sebagai Presiden Gus Dur berhak melakukan berbagai perubahan agar
Indonesia baru seperti konsepnya dapat terwujud, namun kekurangannya idenya itu
hanya dia simpan sendiri tanpa memberitahukan anggotanya konsep apa yang sedang
ia terapkan. Sehingga ia dianggap egois dan hanya memikirkan diri sendiri
selama memerintah. Maka dari itu, mulailah muncul konflik antara Presiden
dengan parta pendukungnya, yang menaruh wakil-wakilnya di cabinet dan wakil
rakyat di DPR.[10]
Disinilah bermula pelemahan terhadap pemerintahan Gus Dur gencar
dilakukan, bahkan Amin Rais sendiri yang dahulu mencalonkan Gus Dur malah
berkata bahwasanya ia menyesal telah memilih Gus Dur sebagai presiden.
Perkataan itu ia sampaikan dalam diskusi KAHMI di Jakarta tanggal 25 Oktober
2000. Amin Rais juga berkata kalau dia tidak akan menyerahkan “cek kosong”
kepada Gus Dur, serta dikatakannya rapor Gus Dur dalam kuartal pemerintahannya
banyak yang merah, makanya Gus Dur perlu diperingatkan dan bahkan kalua perlu
“dijewer” telinganya.[11] Hingga
akhirnya Gus Dur dihadapkan pada rapat Paripurna hak angket pemakzulannya. Jika
dilihat dari strategi yang disusun lawan politik Gus Dur, pemkzulan ini dilakukan
dengan cara disengaja, mahasiswa didatangkan dari daerah-daerah untuk melakukan
demo menuntut Gus Dur mundur dari jabatan presiden. Penggiringan opini juga
dilakukan oleh tokoh cendekiawan atas kegagalan pemerintahan Gus Dur.
Pada bab ke IV dalam buku ini dijelaskan juga bahwasanya April 1999
terjadi konflik di Timur Leste. Actor yang terlibat dalam tragedy ini adalah
antara pemerintah Indonesia dengan masyarakat Timor – Timor yang ingin merdeka.
Kemudian, actor pendukung ialah Australia yang mana di awal berperan sebagai
mediator antara Indonesia dengan Timur-timur, malah berbalik mendukung Tim Tim
untuk merdeka. Alasan Timor-timor ingin merdeka ialah dampak jawanisasi di daerah
mereka. Penduduk Timor-timor seolah disingkirkan dari kampung mereka sendiri,
apalagi ketika militer hampir menguasai seluruh aspek di Timor-timor.
Setelah Indonesia melakukan invansi tahun 1976, Timur-timur
kemudian diresmikan menjadi provinsi Republik Indonesia di urtan ke 27. Kemudian,
pemerintah Indonesia berusaha memenangkan hati masyarakat Timur-timur, dengan
memperbanyak bangunan infrastruktur, memberikan sistem Pendidikan yang baik, menerapkan
penggunaan Bahasa Indonesia di sekolah, dll. Akan tetapi, pembangunan ekonomi
di Timur-timur harus melayani kepentingan Jakarta tentunya. Realitanya di
lapangan, korupsi besar-besaran dilakukan oleh para pejabat yang ada di Timur-timur,
hal itu membuat semakin tingginya kesenjangan ekonomi dalam masyarakat dan
persaingan tak sehat dalam masyarakat menjadi sebuah keniscayaan. Semetara itu,
Tentara Nasional Indonesia, dituduh melanggar Hak Asasi Manusia (HAM) yang
menewaskan ± 200.000 warga Timur-timur.[12]
Lalu ditunjuklah Wiranto untuk memprakarsai perdamaian disana, namun pihak yang
kontra kepada Wiranto malam menjebak dia sebagai pelaku pelanggar HAM di Timur-timur,
sehingga PBB turun tangan meminta Gus Dur memecat Wiranto dari jabatan
MENKOPOLKAM.
Pemberhentian ini sengaja dilakukan saat ia pergi melawat ke
sejumlah Negara Eropa. Tujuannya untuk menghilangkan kekhawatiran masyarakat
internasional bahwa otoritas sipil di Indonesia tidak sanggup mengendalikan
kekuatan militer, yang menjadi penyokong utama kekuasaan Soeharto selama 32
tahun. Ditambah lagi permintaan mundur itu dilakukan di tengah upaya masyarakat
internasional mendorong pengadilan HAM internasional terhadap pelaku
pelanggaran HAM di Timor timur.
Pada bagian Bab IV, juga
dibahas tentang terjadinya gejolak di Aceh, Riau, sebagian Sulawesi menuntut
kemerdekaan dan terlepas dari pemerintahan pusat di Jakarta. Jika dilihat ke
belakang, peristiwa pemberontakan yang terjadi di Aceh terjadi karena adanya
perbedaan dua arus pemikiran antara Islam dan sekuler. Dari sudut pandang
politik lahirlah sebuah kekuatan besar di kalangan para ulama yang tergabung
dalam PUSA dan ulebalang[13] dikarenakan
tidak mendapat perlakuan yang sepantasnya, maka rakyat Aceh merasakan
kekecewaan terhadap pemerintah. Sudah menjadi rahasia umum, bahwasanya Aceh
sering membantu pemerintah, contohnya saat Indonesia menyambut kemerdekaan yang
ke-3 Aceh menyumbangkan bantuan dua pesawat terbang, kemudian di tahun 1949
rakyat Aceh juga memberikan uang kontan 250.000 dolar AS kepada angkatan perang
RI dan 250.000 dolar AS untuk keperluan pemerintahan Sukarno.[14] Dari
hal itu, dapat kita pahami, bahwa usaha rakyat Aceh dalam melahirkan Republik
Indonesia patut diapresiasi oleh pemerintah sesuai denga napa yang telah mereka
berikan kepada negara, namun sangat memprihatinkan bahwa di masa orde baru bumi
Aceh dijadikan sapi perah oleh pemerinth dan kemiskinan yang terjadi di wilayah
Aceh diabaikan begitu saja. Kekecewaan rakyat Aceh ini pada akhirnya
menimbulkan pemberontakan dari masyarakat mulai dari DI/ TII, dipimpin oleh
Daud Beureuh dan GAM (Gerakan Aceh Merdeka) yang dipimpin oleh Hasan Tiro.
Disinilah tugas Gus Dur bertambah, ia harus membersihkan sisa Orde
Baru yang masih tertinggal, kemudian ia juga memecat Jusuf Kalla dan Laksamana
Sukardi yang katanya terindikasi KKN. Jusuf Kalla meletakkan kepentingan negara
dan bangsanya diatas kepentingan lainnya. Dia menjalankan tugas dimasa
kepemimpinan Presiden Abdurrahman Wahid Gus Dur, diamanahkan menjadi pemimpin
Departemen Perindustrian dan Perdagangan. Kendati hanya enam bulan karena
dipecat dengan alasan tidak jelas.[15] Pencopotan kedua orang ini kemudian berbuntut
Panjang, tanggal 27 April 2000 Gus Dur menyampaikan alasan terbaru mengenai
pencopotan Jusuf Kalla dan Laksamana Sukardi. Menurut Gus Dur, keduanya
terlibat dalam sejumlah kasus korupi, kousi dan nepotisme di bidangnya. Alasan
tersebut diutarakan Gus Dur dalam Rapat Konsultasi Tertutup antara pemerintah
dan DPR di Gedung DPR Senayan, Jakarta. Dari beberapa kasus diatas, yang
terjadi selama pemeritahan Presiden Gus Dur adalah tidak adanya transparansi
setiap keputusan yang ia ambil kepada kabinetnya, seolah ia berjalan sendiri.
Disanalah muncul konflik internal dalam cabinet.
Dalam Bab V pada buku ini, membahas kasus Buloggate dan Bruneigate,
yang muncul saat Gus Dur tengah berusaha menstabilkan keadaan ekonomi negara,
dengan mencari bantuan sumber dana dari Bulog dan sumbangan dari Sultan Brunei.
Hal tersebut lalu dipolitisasi oleh lawan politiknya, sangat disayangkan sekali.
Selama Gus Dur menjadi Presiden, ketegangannya dengan DPR terus mengalami
intensitas dan eskalasi yang semakin memanas, bahkan ia dijadikan komoditas
politik lewat pembentukan Pansus yang ditugasi untuk mengusut kedua kasus
tersebut.
Kasus Bullogate yang melibatkan aliran pengucuran dana yanatera Bulog
sebanyak Rp 35 miliar kepada beberapa orang tertentu, termasuk Suwondo yang
diduga merupakan orang terdekat Gus Dur. Sedangkan kasus Bruneigate konon
katanya terjadinya transaksi pemberian hadiah berupa sejumlah uang oleh pihak
Sultan Brunei kepada Presiden Gus Dur. Para musuh Gus Dur menuduh, ia sengaja
tidak melaporkan pemberian hadiah itu kepada publik dan itu dianggap telah menciderai
sumpah jabatan sebagai seorang kepala negara. Sebaliknya, Gus Dur mengatakan
bahwa uang tersebut adalah hibah Sultan Brunei kepada dirinya secara pribadi.[16]
Kemudian keluarlah memorandum I dan memorandum II oleh DPR, meskipun ditolak
oleh Gus Dur bahwa Pansus sebagai illegal, karena tidak tercantum dalam
Lembaran Negara. Hingga diambil keputusan bahwa Gus Dur sungguh-sungguh melanggar Haluan Negara. Gus
Dur merasa bahwa kasus ini aneh, karena tidak terbukti secara hukum ia telah
melanggar hukum.
Selain itu, pada bab ke V dalam buku ini, juga membahas tentang
tuntutan Gus Dur untuk mengadili Soeharto dan kroninya. Namun, kasusu tersebut
seolah selalu dihalangi dengan munculnya peristiwa-peristiwa yang seolah telah
direncanakan seperti, ledakan bom di Bursa Efek Jakarta (BEJ) tanggal 14
September 2000, sehari sebelum sidang pengadilan Soeharto dilakukan. Gus Dur
meyakini terdapat kaitan antara peristiwa-peristiwa pengeboman Gedung BEJ dan
usaha-usahanya untuk menuntut anggota-anggota senior dari rezim sebelumnya ke
pengadilan, khususnya anggota-anggota keluarga bekas Presiden Soeharto.[17]
Namun, ada pendapat lain yang mengatakan bahwasanya Ismuhadi ia
adalah pemilik sebuah bengkel di Ciganjur, Jakarta Selatan, yang mana di
curigai lokasi ini dijadikan sebagai tempat untuk pembuatan bom. Mantan anggota
Gerakan Aceh Merdeka (GAM) itu disebut-sebut sebagai otak pelaku pengeboman.[18]
Bom tersebut disebutkan berbahan peledak TNT dan RDX dan indikasinya bom
tersebut dirakit oleh dua oknum anggota TNI, yakni Serda Irwan dan Praka
Ibrahim Hasan. Serda Irwan merupakan anggota Grup V Komando Pasukan Khusus
(Kopassus) sedangkan Ibrahim adalah anggota Detasemen Markas Komando Strategi
Cadangan Angkatan Darat, juga merupakan operator bom tersebut. Kepala Staf
Angkatan Darat (KSAD) Jenderal Tyasno Sudarto menyatakan, kedua prajuritnya
tersebut sebagai disertir. Menurutnya, kedua prajurit tersebut memiliki catatan
merah. Disampaikan juga bahawasanya motif pengeboman Bursa Efek Jakarta
dilatarbelakangi faktor ekonomi. Berdasarkan hasil rekonstruksi, para pelaku
ingin cepat kaya dengan memanfaatkan suasana tak aman. Saat penangkapan, dari
tangan pelaku kedapatan memiliki sejumlah uang dolar Amerika Serikat. Pemilihan
lokasi peledakan di BEJ lantaran pelaku menilai tempat itu menjadi lalu lintas
perekonomian internasional. Kondisi kacau tersebut diyakininya dapat mengerek
nilai tukar dolar AS terhadap rupiah hingga membuat perekonomian Indonesia
terganggu.
Dalam buku ini juga dijelaskan bahwa terdapat tujuh pembagian tugas
yang direncanakan untuk menggulingkan Gus Dur dari tampuk kepresidenan, yaitu: pertama,
memaksa Gus Dur menjawab Hak Interpelasi DPR dan menandatangani hak angket
kasus Bulog dan Brunei dengan penanggungjawab Arifin Paigoro dan kawan-kawan. Kedua,
kampanye di media massa oleh Fuad Bawazier khususny media televisi yang
kontennya memberitakan tentang kejelekan Gus Dur. Ketiga, memobilisasi
massa (FPI, Laskar Jihad, KAHMI, HMI dan Mahasiswa lain untuk berdemonstrasi. Keempat,
mencegah Gus Dur dan Megawati bertemu dalam satu forum, karena dikhawatirkan
Megawati nanti akan tunduk kepada Gus Dur, otomatis rencana yang sudah lama
mereka susun akan jadi berantakan.
Kelima, melakukan kampanye Internasional
dengan penanggungjawab Ginanjar Kartasasmita, memotong bantuan yang akan masuk
dari negara luar kepada pemerintah Gus Dur. Keenam, memobilisasi TNI
agar mengambil alih kekuasaan dengan cara paksa. Dan ketujuh mempercepat
proses setiap kasus KKN yang dilakukan oleh pendukung Gus Dur, agar imej Gus
Dur semakin buruk di mata masyarakat.
Tanggal 1 Juni 2001, Gus Dur bersikeras tidak akan turun dari
jabatan kepresidenan, namun apa daya lawan politiknya tetap saja gencar
melakukan serangan supaya Gus Dur segera turun dari tahta pemerintahan. Amin
Rais mengambil posisi cari aman, dipihk Gus Dur ia seolah mendukung keputusan
nya. Sedangkan dipihak lain, ia justru kontra kepada Gus Dur.
Gus Dur jatuh bukan karena Memorandum, melainkan karena
mengeluarkan dekrit pembubaran parlemen. Jika ia tidak mengeluarkan dekrit,
maka tidak akan ada Sidang Istimewa, dekrit itu mestinya mendapat dukungan dari
DPR dan MPR juga dari TNI-Polri. Justru malah sebaliknya, tidak ada yang
mendukung satupun, semua menghindar sebab alasan yang tidak masuk akal diambl
oleh Gus Dur terkait dengan kebijakan-kebijakan kenegaraan.
Alasan utama fraksi-fraksi memakzulkan Gus Dur adalah, dari PDIP
karena tantangan Gus Dur kepada MPR untuk adu kekuatan, dan itu adalah Tindakan
inkonstitusuional (Agus Condro Prayitno). Happy Bone dari Golkar mengatakan
bahwa, Tindakan presiden mengeluarkan dekrit tersebut merupakan pengkhianatan
yang menginjak-injak kedaulatan yang selama ini dijunjung tinggi oleh presiden.
Penolakan Presiden untuk memberikan pertanggungjawaban pada MPR adalah
pelanggaran terhadap penjelasan umum tentang UUD 1945 butir 3 serta pelanggaran
terhadap pasal 9 UUD 1945 mengenai sumpah Jabatan Presiden.[19]
Berdasarkan penjelasan diatas penulis melihat bahwasanya yang
menjadi penyebab utama terjadinya perpecahan antara presiden dan kabinetnya
adalah masalah “miss komunikasi”, dimana setiap keputusan yang diambil
oleh Gus Dur tanpa melibatkan anggota kabinetnya. Seolah ia berjalan sendiri
dalam menjalankan roda pemerintahan.
Gus Dur ingin menjalankan pola pemerintahan negeri ini kembali
kepada sipil atau demi rakyat semua. Tidak lagi berkutat dalam tatanan kekuasaan
militer lagi seperti yang terjadi masa sebelumnya di orde baru. Namun,
sayangnya pihak yang merasa dirugikan membuat posisi Gus Dur menjadi bersalah
di mata masyarakat atau dipolitisasi. Kesempatan ini justru dimanfaatkan oleh
pihak oposisi untuk memakzulkan kedudukan Gus Dur sebagai Presiden dan
menimpakan semua kesalahan kepada Gus Dur sendiri. Hingga berujung Gus Dur
mengundurkan diri dari tampuk kepresidenan demi menjaga stabilitas dan
kondusifitas negeri.
Dalam buku ini, tidak dilakukan penelitian nara sumber lebih intens
lagi, seperti mewawacarai semua tokoh yang tersebut namanya untuk dimintai
keterangan tentang peristiw di masa lalu, dimana tokohnya banyak yang masih
hidup dan berdiam di bumi Indonesia. Selain itu, dibuku ini tidak digambarkan
begitu detail soal keterlibatan Megawati dalam peristiwa pemakzulan Gus Dur,
malah seolah Megawati acuh tak acuh saja. Adahal loginyanya, oposisi Gus Dur
sebenarnya adalah pihak Megawati, justru partai poros tengah yang banyak
berinisiatif untuk menjatuhkan Gus Dur. Padalah Gus Dur saat di wawancarai
dalam acara Kick Andi dulu, terang-terangan menyebut nama Amin Rais dan
Megawati sebagai pihak yang bertanggung jawab atas terjadinya peristiwa
tersebut.
Penulis juga tidak mengetahui, kenapa nama Megawati tidak banyak
disebut gerakannya selama pemakzulan Gus Dur dari kursi kepresidenan, yang
hingga saat ini masih menjadi tanda tanya besar bagi penulis sendiri. Dan
harusnya, ada pihak yang mengangkat kembali kasus Bullogate dan Bruneigate ini,
sebab sampai detik ini masih belum ada kepastian yang memastikan bahwa Gus Dur
terlibat dalam kedua kasus tersebut. Seharusnya, nama Gus Dur harus di harumkan
lagi agar kesalahfahaman soal kasus Buloggate dan Bruneigate menjai terang.
DAFTAR
PUSTAKA
Adi Susilo, Taufik. Biografi Singkat Jusuf Kalla. Cetakan
II. Yogyakarta: Garasi House Of Book, 2014.
Barton, Greg. The Authirized
Biography of Abdurrahman Wahid (terjemahan). Yogyakarta: LKiS Yogyakarta,
2002.
Biografi Gus Dur: The Authirized
Biography of Abdurrahman Wahid. Yogyakarta: LKiS, 2002.
Faisal, Islamil. Pijar-Pijar
Islam:Pergumulan Kultur Dan Struktur. Yogyakarta: LESFIYogya, 2002.
Geoffrey, Robinson. If You Leave
Us Here, We Will Die: How Genoside was Stopped in East Timor. New Jersey:
Princeton University Press., 2010.
Luhulima, James. Hari-Hari
Terpanjang: Menjelang Mundurny Presiden Soeharto dan Beberapa Peristiwa
Terkait. Jakarta: Kompas, 2005.
Pane, Neta S. Sejarah dan Kekuatan
Gerakan Aceh Merdeka. Jakarta: Gramedia Widiasarana Indonesia, 2001.
Purdey, Jemma. Anti-Chinese
Violence in Indonesia, 1996-1999. Hawai: University of Hawaii Press, 2006.
Rafick, Ishak. Catatan Hitam Lima
Presiden Indonesia. Jakarta: Ufuk, 2007.
zoelva, Hamdan. Pemakzulan
Presiden di Indonesia. Jakarta: Sinar Grafika, 2011.
https://www.liputan6.com/news/read/4060037/tragedi-bom-bej-dan-keterlibatan-oknum-prajurit-pasukan-elite-19-tahun-lalu diakses tanggal 28 desember 2020 jam 14:21
[1] Mahasiswa
Program Magister Sejarah Peradaban Islam Pasca Sarjana UIN Imam Bonjol Padang,
Angkatan 2020
[2] Hasil wawancara chanel Youtube Nahdlatul Ulama
https://www.youtube.com/watch?v=Js-SiAtICCo#action=share
[3] James Luhulima,
Hari-Hari Terpanjang: Menjelang Mundurny Presiden Soeharto dan Beberapa
Peristiwa Terkait (Jakarta: Kompas, 2005), h.115.
[4] Jemma Purdey, Anti-Chinese
Violence in Indonesia, 1996-1999 (Hawai: University of Hawaii Press, 2006),
h. 64.
[5] Tim Gabungan Pencari Fakta, Temuan Gabungan Tim
Pencari Fakta Kerusuhan Mei 1998 (Jakarta: Publikasi Komna Perempuan,
1999). H.17-18
[6] Mahrus Ali dan M.F. Nurhuda Y,, Pergulatan Membela
yang Benar: Biografi Matori Abdul Jalil(Jakarta:KOMPAS,2008), h.212
[7] Greg Barton, The
Authirized Biography of Abdurrahman Wahid (terjemahan) (Yogyakarta: LKiS
Yogyakarta, 2002), h. 1.
[8] Barton, h. 14.
[9] Barton, h. 18.
[10] Ishak Rafick, Catatan
Hitam Lima Presiden Indonesia (Jakarta: Ufuk, 2007), h. 334-335.
[11] Islamil Faisal,
Pijar-Pijar Islam:Pergumulan Kultur Dan Struktur (Yogyakarta:
LESFIYogya, 2002), h. 142.
[12] Robinson
Geoffrey, If You Leave Us Here, We Will Die: How Genoside was Stopped in
East Timor (New Jersey: Princeton University Press., 2010), h. 40.
[13] Sebutan untuk
bangsawan yang dekat dan mendukung kebijakan Belanda, maka setelah kemerdekaan
kekuatan para ulebalang pun tidak bisa menaandingi PUSA sebagai kekuatan
politik yang dominan sejak 1945-1949.
[14] Neta S Pane, Sejarah
dan Kekuatan Gerakan Aceh Merdeka (Jakarta: Gramedia Widiasarana Indonesia,
2001), h. v.
[15] Taufik Adi Susilo,
Biografi Singkat Jusuf Kalla, Cetakan II (Yogyakarta: Garasi House Of
Book, 2014), h. 60.
[16] Faisal, Pijar-Pijar Islam:Pergumulan Kultur Dan Struktur, h.
143.
[17] Biografi Gus Dur: The Authirized Biography of Abdurrahman Wahid (Yogyakarta: LKiS, 2002), h. 444-445.
[18]https://www.liputan6.com/news/read/4060037/tragedi-bom-bej-dan-keterlibatan-oknum-prajurit-pasukan-elite-19-tahun-lalu diakses
tanggal 22 November 2021 jam 14:21
[19] Hamdan zoelva, Pemakzulan Presiden di Indonesia (Jakarta:
Sinar Grafika, 2011), h. 161.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar