Hai Dear, wellcome to my Blog

Sabtu, 26 April 2014

Kartini oh Kartini

Banyak yang bertanya dan menggugat, mengapa oh mengapa kartini yang dipilih ?
Wajar saja jika tanya itu terlompat dari mulut setiap orang yang berpijak kepada spekulasi seorang tokoh dalam memandang sisi perjuangan Kartini.

Jika kita tela'ah, Kartini pantas kok disiebut sebagai pahlwan bagaimana tidak, pengorbanan yang dilakukan kartini tidak asal-asalan. Kartini Memiliki Gagasan / Pemikiran Besar tentang Emansipasi Wanita…
Kartini telah menghasilkan karya inspiratif yang membuka mata dunia akan semangat dan kegigihan wanita Indonesia..
Perjuangan Kartini dilakukan sepanjang hidup
Kartini memiliki kecintaan yang besar akan Indonesia dan memiliki akhlak yang baik .
Kejamnya Imprelisme (penjajahan), minimnya akses pendidikan, dogma adat istiadat dan agama yang mengukung tak membuatnya menyerah untuk memikirkan nasib kaumnya..


Jika bukan Kartini, siapa yang akan kita jadikan pahlawan ? Cut Nyak Dien, Dewi Sartika, Rohana Kudus, atau yang lainnya ?
Andai saja semua pahlawan meminta satu hari saja untuk dijadikan peringatan kepahlawanan mereka, apakah mungkin jumlah hari yang hanya 365 dalam setahun cukup untuk memperingatinya ?
Atau, jika para pahlawan minta satu lagu untuk menghargai kepahlawanan mereka, kira-kira adik-adik kita di SMP sanggup menghafal ribuan lagu pahlawan ? Bisa-bisa mereka gak bisa ngikutin UN nantinya.

Dari itu, mari kita jadikan peringatan Hari Kartini sebagai momentum perjuangan pahlawan perempuan. Emansipasi itu esensinya bukan siapa nama tokohnya, hari apa dirayakan atau busana apa yang dikenakan. Namun, bagaimana kontribusi kita terhadap kemajuan bangsa ini.

Salam.

Selasa, 15 April 2014

My Graduation






To My Parent's





Ketiadaan dan kekurangan
Bukanlah menjadi penghalang
Buatnya untuk tetap berjuang
Membantuku dalam menimba ilmu..
Ayah, Ibu..
Engkau pejuang sejati
Walau terik matahari membakar kulitmu
Walau hujan mengguyur tubuhmu
Engkau tak kenal lelah dan terus berjuang untukku
Agar tetap melanjutkan pendidikan hingga keperguruan tinggi..
Ayah, Ibu..
Jasamu tak kan pernah ku lupakan
Tak sedikit air mata dan keringat yang bercucuran demi ku
Telah ku raih dan wujudkan untuk kalian
Sarjana Humaniora ini ku persembahkan
Ayah, Ibu..
Ku bangga memiliki orang tua seperti kalian
Walau di usiamu yang senja tetap
Senyum dan peduli
Terhadap nasib dan pendidikanku
Terima kasih Ayah,
Terima kasih Ibu
Engkau adalah pahlawan hidup dan pendidikan buatku.

Dinamika Partai Politik Islam di Indonesia, analisis tentang keberadaan NU dalam Partai Masyumi



A.    Latar Belakang Masalah
Setelah proklamasi kemerdekaan tanggal 17 Agustus 1945, pemerintah Indonesia membuka ruang kepada masyarakat dari semua golongan untuk ikut ­berpartisipasi dalam kancah perpolitikan nasional. Pada tanggal 3 November 1945, pemerintah mengeluarkan maklumat yang dikenal sebagai Maklumat No. X, ditandatangani oleh Wakil Presiden Mohammad Hatta, berisi anjuran pembentukan partai politik. Ini merupakan penegasan  bahwa pemerintah berharap, dengan dibentuknya partai politik, masyarakat dapat berpartisipasi dalam pemilihan anggota badan perwakilan rakyat pada bulan Januari 1946.
Text Box: 1Sebagai bentuk respon umat Islam atas terbukanya ruang politik di Indonesia tersebut, diadakan suatu agenda besar yang dikenal sebagai Muktamar Umat Islam. Muktamar tersebut diselenggarakan di Yogyakarta tanggal 7-8 November 1945, memutuskan untuk membentuk sebuah partai politik Islam yaitu Masyumi. Sebelum menjadi partai, Masyumi kala itu merupakan organisasi gabungan dari beberapa ormas besar Islam di Indonesia yaitu Nahdlatul Ulama (NU)[1], Muhammadiyah, Perikatan Umat Islam dan Persatuan Umat Islam. Kemudian Partai Masyumi dinobatkan sebagai satu-satunya partai yang mewakili aspirasi umat Islam dalam menjalankan pemerintahan.
Lahirnya Partai Masyumi tentu tidak dapat dipisahkan dari peranan NU sebagai salah satu ormas Islam terbesar di Indonesia. Dapat dikatakan NU merupakan salah satu pelopor berdiri Partai Masyumi. Sumbangan NU terhadap Partai Masyumi dapat kita lihat dalam keikutsertaannya mengajak umat untuk selalu mendukung Partai Masyumi, terutama para Nahdiyin.[2]
Hal itu dibuktikan dengan keputusan yang dihasilkan dalam kongres NU di Purwokerto tahun 1946 yang menyerukan warga NU ikut berpartisipasi aktif dalam Partai Masyumi dan NU akan menjadi tulang punggung Partai Masyumi. Sebagaimana yang dikutip Ali dari bukunya Soekaradja (Tjabang NO Banjumas), bunyi hasil keputusan kongres tersebut, yaitu: “Mukhtamar NU 1946 di Purwokerto memutuskan ‘soepaja anggota-anggota Nahdlatoel Oelama membanjiri Party Politik Masjoemi menoeroet petoenjoek Pengoeroes Besar NO’. Poetoesan-poetoesan Moe’tamar NO ke 16, 23-26 Rabiul Akhir 1365 (26/27-29 Maret 1946) di Poerwokerto”.[3]
Begitulah salah satu cara NU menunjukkan dukungannya pada  Partai Masyumi. NU memutuskan untuk terjun seutuhnya demi kemajuan dan perkembangan Partai Masyumi serta kemaslahatan umat ke depan. Berkat dukungan yang besar terhadap Partai Masyumi, NU mendapatkan posisi yang strategis dalam struktur partai, yakni dipercaya memegang posisi Majelis Syuro dengan ketua KH. Hasyim Asy‘ari. Majelis Syuro berperan sebagai penentu arah politik partai, terlebih dalam hubungannya dengan masalah keagamaan, yang kemudian dituangkan dalam Anggaran Rumah Tangga partai.[4]
Dalam perjalanan awal tahun 1945-1947, Partai Masyumi mendapat dukungan besar dari rakyat atas seruan para ulama NU serta penggagas Partai Masyumi lainnya. Seiring berjalannya waktu, perbedaan pandangan politik antar kelompok dalam Partai Masyumi segera menyusul. Persatuan yang sejak awal kemerdekaan sebagai obsesi dengan menjadikan Partai Masyumi sebagai satu-satunya partai Islam tidak dapat dipertahankan lagi. Segera saja pengaruh politik praktis berupa distribusi kekuasaan menjadi ajang perebutan dan hal-hal lain yang menyangkut ketidak sepahaman kebijaksanaan politik, terutama sekali terlihat ketika menghadapi Belanda dalam Perjanjian Linggarjati dan Renville. Hal itulah yang menyebabkan awal kisruh yang terjadi dalam internal Partai Masyumi.
Tidak hanya itu, dalam perjalanan partai, banyak muncul pemasalahan internal. Seperti yang tertera dalam buku Sejarah Umat Islam Indonesia yang diterbitkan MUI, berbunyi:
       Masa demokrasi parlementer selain diwarnai oleh konflik politik, antar partai Islam sendiri muncul perpecahan. Terbentuknya Masyumi sebagai partai politik pada bulan November 1945 dimaksudkan untuk menggalang persatuan Islam dan menyalurkan aspirasi Islam dan kaitannya dengan negara dan pemerintahan. Akan tetapi, ketika menghadapi masalah-masalah politik praktis dalam pemerintahan, ternyata tidak seluruhnya memegang kesepakatan mukhtamar.[5]

Ada asumsi bahwa “perkembangan politik tidak selamanya sesuai dengan perhitungan di atas kertas”.  Setidaknya para politisi NU mengakui akan kebenaran pernyataan ini. Betapapun penting posisi NU dalam Majelis Syuro[6], ternyata pada perkembangan berikut Majelis Syuro hanya berubah fungsi sebagai pemberi nasehat yang tidak terlalu diperlukan lagi.
Tidak lama sesudah itu, NU memutuskan keluar dari Partai Masyumi. Keputusan itu diambil melalui keputusan kongres ke-19 NU, April 1952 di Palembang. NU sebagai salah satu penggagas Partai Masyumi, tiba-tiba memutuskan keluar. NU yang seharusnya membantu menyelesaikan konflik yang terjadi di dalam tubuh partai justru memilih seolah tidak mengacuhkan polemik yang tengah terjadi. Tidak diketahui secara pasti, mengapa NU mengambil keputusan tersebut. Menurut pendapat penulis, NU merasa dianak tirikan karena tidak mendapatkan posisi yang sesuai dalam kabinet pemerintahan. Namun, pendapat lain mengatakan bahwa NU merasa Partai Masyumi tidak lagi se-ide dengannya dalam mewujudkan negara yang berlandaskan Islam. Perbedaan pendapat yang beredar itu, membuat penulis tertarik untuk meneliti lebih lanjut, mengapa NU sebagai salah satu tonggak awal penggagas berdiri Partai Masyumi kemudian memutuskan untuk memisahkan diri dari keanggotaan partai.
Berdasarkan penjelasan di atas, penulis berniat mengkaji lebih lanjut mengenai penyebab keluarnya NU dari Partai Masyumi, dan akan dituangkan dalam judul skripsi Dinamika Partai Politik Islam di Indonesia, Analisis tentang Eksistensi Nahdlatul Ulama (NU) dalam Partai Politik Masyumi.


B.    Kesimpulan
Melihat eksistensi NU di dalam Partai Masyumi, terlihat jelas bahwa NU mempunyai peranan besar dalam memberikan sumbangan bagi keberlangsungan partai. Terlihat bahwa sejak awal berdiri Partai Masyumi, NU selalu memperlihatkan keikutsertaannya, mulai dari berdiri partai, NU termasuk salah satu penggagas, dan NU juga dipercaya menduduki posisi Majelis Syuro.
Namun seiring perkembangan partai, NU mulai merasakan perlakuan yang tidak lagi memperhatikan keberadaannya dalam partai. Waktu dilaksanakan perundingan Linggarjati dan Renvile, NU menunjukkan sikap tidak sepakat, dikarenakan dengan kedua perjanjian itu memberikan dampak yang merugikan bangsa Indonesia. Wilayah kekuasaan Indonesia menjadi semakin berkurang dan sempit dan itu akan memberikan kerugian kepada Negara Indonesia, kenyataannya tokoh Masyumi yang terlibat tetap melaksanakannya.
NU menginginkan Partai Masyumi benar-benar menjalankan politik yang jujur dan selalu diawasi oleh agama dalam mengambil tiap kebijakan. Namun, realitanya Partai Masyumi banyak mengambil kebijakan yang justru merugikan rakyat dan ummat Islam sendiri. Hal itu dapat kita lihat pada saat terjadi peristiwa bataliyon 426 antara TNI dan mantan tentara Hizbullah. Peristiwa itu menggiring tertangkapnya pemuda-pemuda Islam akibat korban fitnahan kepada pemuda Islam, hingga mereka ditangkap dan dijebloskan ke dalam penjara.
Dalam kepengurusan partai, NU tidak berambisi untuk menduduki jabatan dalam partai. Posisi sebagai ketua Majelis Syuro diterima NU dengan alasan bahwa NU memiliki tanggungjawab secara agama atas setiap kebijakan-kebijakan yang dikeluarkan oleh partai. Posisi Majelis Syuro sebagai dewan tertinggi partai, bagi NU dapat djiadikan pedoman untuk selalu mengawasi setiap kebijakan partai yang menyimpang dari ketentuan agama. Namun, setiap pengorbanan yang dilakukan oleh NU tidak dihargai oleh pengurus partai yang lain. Justru, wewenang Majelis Syuro sebagai pengawas kebijakan partai berganti menjadi penasehat atas setiap kebijakan partai. Berubahnya wewenang Majelis Syuro, menunjukkan bahwa peranan NU dalam partai menjadi berkurang.
Kekecewaan NU tidak berakhir hanya sampai disitu, pada saat pemilihan menteri agama pada masa Kabinet Wilopo tahun 1952 melalui pemungutan suara, Partai Masyumi menolak calon yang diajukan oleh NU sebagai menteri agama. Justru, jabatan itu diberikan kepada Ki Haji Fakih Usman dari Muhammadyah.
Peristiwa tersebut merupakan puncak dari kekecewaan NU kepada Partai Masyumi, sebab telah berbagai upaya NU lakukan untuk memperbaiki hubungan dengan partai tetap tidak diacuhkan oleh pengurus partai, hingga tahun 1952 melalui muktamar yang ke-19 di Palembang NU memutuskan memisahkan diri dari keanggotaan Partai Masyumi. Keputusan itu diambil karena NU merasa sudah tidak sejalan lagi dengan Partai Masyumi dalam melanjutkan misi Islam  dibidang politik. Dan solusi terbaik adalah dengan memisahkan diri dari keanggotaan partai.
Selain itu, jika dilihat dari internal NU sendiri, terdapat beberapa alasan juga yang menjadi pendorong NU harus memisahkan diri, seperti massa dalam kuantitas besar merupakan modal awal bagi NU untuk memperoleh suara dalam pemilu pertama tahun 1955. Kemudian NU juga memperoleh keuntungan dengan kulturnya yang fleksibel, hingga sampai saat ini NU masih bisa mempertahankan keberadaannya dalam kelembagaan yang ada di Indonesia. Jika kita  bandingakn dengan Partai Masyumi yang dari dahulu terlalu keras menentang hal-hal yang dikeluarkan oleh penguasa kala itu, mengakibatkan Masyumi dibubarkan oleh Soekarno pada tahun 1960.
 



[1] Untuk selanjutnya akan disingkat dengan NU
[2] Choirul, Anam, Pertumbuhan & Perkembangan NU, (Surabaya : Duta Aksara Mulia, 1985), h.252-255
[3] Ali, Haidar, Nahdlatul Ulama Dan Islam Di Indonesia, (Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 1998), h.103
[4] Einar, Martahan Sitompul, NU & Pancasila, (Yogyakarta: LKiS, 2010), h.93
[5] Taufik Abdullah, dkk, Sejarah Umat Islam Indonesia, (Jakarta: MUI, 1991), h.389
[6] Dewan tertinggi dalam Partai Masyumi